Second Meet
Jalanan Ibukota tampak indah berkelap-kelip dengan berbagai macam lampu dari kendaraan roda empat maupun roda dua yang terjebak dalam kemacetan yang tidak ada hentinya. Damian menikmati pemandangan itu dari lantai tiga puluh kamarnya di sebuah apartemen yang terletak tidak begitu jauh dari Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Bibirnya yang menempel di pinggir cangkir kopi langsung menyeruput cairan kental pahit kesukaannya, espresso. Matanya menerawang jauh hingga ke sudut kota yang terlihat gelap. Pikirannya tertuju pada seseorang. Entah kenapa setelah mengetahui Arga akhirnya memutuskan melamar seorang wanita, membuatnya semakin bersalah.
Jika bukan karena dirinya, Arga pasti akan masih bersama Serena. Jika bukan karena dirinya, Arga pasti akan melamar Serena. Jika bukan karena dirinya, Serena tidak akan berpaling dari seorang Arga. Dan kenyataan bahwa seorang Serena mengakui sudah jatuh cinta padanya, membuat Damian seperti orang brengsek.
Tiga tahun berlalu, Damian tidak tahu di mana keberadaan Serena. Terakhir mereka bertemu di Munich. Wanita itu mendatanginya dan dengan jujur mengatakan sudah mengakhiri hubungannya dengan Arga hanya demi kejelasan hubungan mereka.
Tapi Damian, mengabaikan perasaan wanita itu. “Sorry, Ren. Jika aku harus memilih antara Arga atau kamu. Aku akan memilih Arga. Dia satu-satunya keluarga aku, yang peduli sama aku. Maaf….”
Setelahnya, Damian tidak lagi mendengar kabar dari wanita yang diam-diam juga dicintainya itu. Serena tahu bagaimana perasaannya. Damian juga tahu bagaimana perasaan Serena. Tapi bagaimana perasaan Arga pada Serena adalah dinding tak kasat mata yang membuat Damian tidak bisa mengakuinya. Terlebih lagi, Arga tidak mengetahui bagaimana perasaan Serena dan Damian yang tertutup rapat tidak terucapkan.
Damian memijat keningnya. Kemelut permasalahan soal hati memang tidak bisa begitu saja diabaikan. Semakin menghindar, hati akan semakin memperjelasnya. Andai ia bertemu kembali dengan Serena, ingin rasanya mengajak wanita itu untuk kembali pada Arga alih-alih memilih dirinya. Tapi, kenapa jalan Tuhan bisa jadi begini? Kenapa harus ada sosok Julisa Cancerita hadir di kehidupan Arga? Bahkan sebelum Damian membereskan semua masalahnya?
Beranjak dari tempatnya berdiri. Damian duduk di kursi belajarnya dengan kedua tangannya saling menopang dagu di atas meja. Matanya terpejam sambil sesekali mengembuskan napas. Buntu. Itulah yang terjadi pada otak yang sangat dibutuhkannya saat ini untuk menulis sebuah karya terbaru, sebagai bentuk profesionalitasnya kepada penerbit.
Bunyi pop-up dari laptop mengusik ketenangannya. Matanya yang terpejam seketika terbuka untuk melihat ke layar. Dahinya mengernyit, ada satu pesan email yang masuk. Apa ini kebetulan? Atau Tuhan memang sengaja?
Damian tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa semuanya akan semakin rumit? Atau semakin jelas? Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka email yang dia tahu pasti siapa pengirimnya itu.
From : [email protected]
Bulan depan aku akan ke Jakarta. Aku harus bertemu kamu.
∆∇∆∇∆
Lisa mendaratkan pantatnya pada sofa bed yang ada di ruang keluarganya. Sambil memeluk camilan Doritos, dia menyalakan TV lalu memulai aktivitasnya bersantai di akhir pekan. Niatannya ingin memanjakan diri dan pikiran juga mengisi perut kosong karena belum sarapan dengan ciki yang plastiknya sudah terbuka, harus terhenti ketika Nadia menginterupsinya dengan ucapan yang sekonyong-konyong membuat Lisa membenci sekali hari sabtu yang biasanya selalu menjadi hari favoritnya.
“Lisa, kamu hari ini enggak ke mana-mana, kan? Nanti kamu ke rumah Arga, ya? Anterin rujak kesukaan dia, tuh, sudah mama siapkan.”
Memang hari sabtu ini Lisa tidak ada acara ataupun jadwal kuliah yang ingin sekali dimanfaatkan dirinya untuk benar-benar menikmati hidup. Lisa mengkerutkan dahinya dengan perasaan mendongkol antara kesal dan enggak habis pikir. Arga bahkan belum tentu jadi suaminya! “Ribet banget, sih Mah! Ngapain ngasih rujak ke dia? Mending buat Lisa aja sini!” cerocosnya sambil mengunyah camilan.
“Emangnya kamu suka rujak? Sejak kapan?” tanya Nadia melotot. “Itu makanan favorit calon suami kamu! Mama suruh kamu anterin ke sana biar kamu kesannya ada perhatiannya dikit! Bukannya enggak pedulian gini!”
Lisa mencebik, “yaelah Mah! Emang si Arga itu peduli sama Lisa? Ngapain repot-repot sih peduliin dia?”
“Justru karena dia belum peduli, mangkanya kamu bertindak duluan. Beruntung si Arga sudah tertarik sama kamu! Sudah maju duluan melamar kamu! Sekarang kamu yang ambil inisiatif!” Nadia mengembuskan napas kasar. “Sudah bangun sana! Anterin rujaknya! Jangan membantah!”
Lisa merungut. Kalau tidak ingat tunangannya itu sepupu Damian —Cowok yang mau dia dekati— mungkin Lisa tidak akan menuruti, tentu saja dengan harapan bisa bertemu Damian saat ke rumah Arga. “Iya, Mah. Iya!” ucapnya tanpa beranjak dari sofa bed.
“Iya! Iya! Tapi kamu enggak bangun-bangun juga!?” Rasa-rasanya Nadia ingin menyeret putrinya itu langsung ke kediaman Bhatara.
“Iya, Mah!” Lisa meringis. “Nanti jam sembilan Lisa berangkat!”
“Kamu ini!” Satu keplakan tangan Nadia mendarat di bahu Lisa. “Kenapa enggak sekarang aja berangkatnya? Kenapa harus nunggu jam sembilan? BANGUN CEPETAN!”
“Mama, ih!” Lisa kembali meringis sambil mengusap bahunya. “Lisa maunya jam sembilan aja jalannya! Ini masih jam delapan, Mah!” Tetap pada pendiriannya, Lisa ngotot ingin berangkat jam sembilan. Memang tidak bisa dijelaskan lagi sudah penyakit Lisa satu ini yang terobsesi dengan angka sembilan.
“Iya kamu jalannya jam sembilan! Tapi siap-siapnya dari sekarang dong!” omel Nadia. Baru saja dia hendak melayangkan kembali tangannya yang mulus ke tubuh Lisa entah di bagian mana, tapi Lisa sudah keburu beringsut dari sofa bed. Memilih kabur daripada harus babak belur.
“Iya, Maaaaah! Lisa siap-siap sekaraaaang!” Dengan gerak cepat Lisa berlari ke kamarnya untuk mempersiapkan diri diikuti segala macam umpatan di hatinya yang ditujukan kepada seorang laki-laki bernama Raden Bhatara Argaskara.
∆∇∆∇∆
Hanya tiga puluh menit perjalanan waktu yang Lisa tempuh dari rumahnya menuju tempat tinggal tunangannya. Kini, dia sudah berada di depan pintu masuk sebuah rumah minimalis yang didominasi warna hitam dan putih. Rumah Bhatara terlihat cukup besar, mata Lisa menjelajahi seluruh tempat. Dilihatnya ada taman yang juga bergaya minimalis di halaman depannya. Di bagian carport, ada dua buah mobil —Fortuner dan Kijang Innova.
Hmm… lumayan! Rumahnya bersih, asri, megah, tapi tetap terlihat sederhana. Tipikal orang kaya yang enggak suka pamer.
Pikiran Lisa berkelana membayangkan Damian Alexander yang sepupu tunangannya itu juga tinggal di sini. Pasti mudah baginya untuk Tepe Cepe —Tebar Pesona, Cari Perhatian— ke Damian. Dengan senang hati Lisa mau disuruh mengantarkan rujak tiap hari buat tunangannya yang sebenarnya dia mengantarkan hatinya menuju seorang Damian. Ah, sayangnya… itu hanya angan-angan penggemar yang berharap bisa saling jatuh cinta dengan penulis terkenal padahal status sebagai tunangan orang lain. Lisa mencebikkan bibirnya seraya berharap, semoga saja Damian yang jadi jodohnya! Helaan napas tanda pasrah pun lolos dari mulut Lisa meratapi nasibnya.
Agak lama tidak ada yang membukakan pintu, membuat Lisa kembali memencet bel. Lalu, dia memberanikan diri untuk mengucapkan salam. Baru saja setengah mulutnya terbuka, pintu akhirnya bergerak dan muncullah sosok yang kontan membuat mulut Lisa semakin menganga lebar dengan mata terbelalak.
Sosok itu pun tak kalah kaget di daun pintu melihat Lisa seperti itu. Tanpa sadar, wajahnya yang tampan ikut menirukan ekspresi Lisa sebagai akibat refleks tidak terduga yang terjadi begitu saja.
“Da-Damian?” Seketika Lisa menutup mulutnya yang menganga kaget.
Jodoh apa gimana ya sama Damian? Baru juga dipikirin, eh langsung beneran muncul!
“Kamu? Lisa, kan?” Damian mencoba mengingat-ngingat pertemuannya dengan perempuan yang diakui sepupunya sebagai calon istri.
“Eh? I-iya. Ini benar, kan, rumahnya Arga?” Efek terlalu sering menyemil ciki, membuat Lisa enggak bisa mikir!
Ya kali, Lis! Lo nyasar ke rumah Damian padahal jelas-jelas nyokap kasih alamat rumah keluarga Bhatara!
Tapi bukan tidak mungkin 'kan Lisa bisa bertemu dengan Damian? Bahkan sejak awal pun Lisa berharap bisa bertemu Damian ketika disuruh mengantarkan rujak. Mereka 'kan sepupuan! Kali aja Damian lagi main ke rumah Arga! Atau mungkin bisa jadi tinggal di kediaman Bhatara!
Iya! Mungkin saja! Kenapa jadi bego gini, sih!?
Baru saja pergerakan bibir Damian ingin mengucapkan sesuatu, suara berat nan seksi yang sempat membuat Lisa terpesona atau lebih tepatnya merasakan gelenyar aneh terdengar dari dalam rumah.
“Siapa Dam, yang datang?” Arga muncul dari belakang Damian kemudian ekspresinya bingung melihat Lisa seolah-olah melihat seseorang yang tidak dibayangkannya akan datang ke rumahnya. “Ngapain lo ke sini?”
Judes amat! Dengan raut muka datar, Lisa menyodorkan sebuah bungkusan. “Nih, rujak!”
“Buat gue?” tanya Arga. Memastikan saja sebelum hasrat untuk mengambil makanan kesukaannya itu muncul.
“Bukanlah!” Lisa menyeringai. “Buat Damian Alexander, kok,” lanjutnya diakhiri senyuman manis dan ekspresi yang mengatakan jelas ke Arga —ngapain gue kasih ke lo? Kalau ada Damian di depan gue!
Lisa… Lisa… Ini sebenernya yang tunangan lo itu siapa, sih!?
Arga terkekeh. Dia menepuk bahu sepupunya. “Lo, enggak bisa makan rujak, kan?” Damian mengangguk. “Jadi, buat gue aja ya?”
“Silahkan, Ga! Ambil aja! Lagian juga dari calon istri lo.”
Tanpa peduli dengan Lisa yang membisu antara malu dan kesal, Arga mengambil bungkusan dari tangan Lisa. “Makasih, ya… calon istri,” ucapnya dengan nada mengejek.
Arga sialan! Ingin rasanya Lisa mencakar-cakar wajah tunangannya itu!
∆∇∆∇∆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top