Proposal

Lisa memasuki rumahnya dengan hati-hati. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia berharap penghuni rumah, terutama ibunya sudah tidur. Dia memang sengaja pulang larut malam, alasannya tidak lain agar tidak bertemu ibunya dan dimarahi. Sungguh, Lisa hanya butuh langsung tidur begitu sampai di rumah bukannya diceramahi.

Sudah pasti Lisa akan mendapat wejangan dari ibunya, karena selepas kencan buta dia bukannya langsung pulang malah menginap di rumah Amel, juga memakai kartu kredit ibunya hingga habis sejuta hanya untuk sembilan porsi makanan dan sembilan novel Damian Alexander yang baru saja dibelinya.

Setelah membuka pintu rumah dan dilihatnya keadaan di dalam sudah gelap gulita, Lisa menghela napas lega. Itu berarti ibunya sudah tidur. Langkah kakinya berjalan menuju kamar, sejenak dia melihat-lihat dapur dan ruang keluarga yang sudah gelap juga pintu kamar orangtuanya yang sudah tertutup rapat.

Senyum tipis tersungging di bibir Lisa. Syukur deh! Mama sudah tidur! Dengan santai dia membuka pintu kamarnya lalu menyalakan saklar lampu.

Mata Lisa seketika terbelalak. Hampir saja dia terkena serangan jantung kalau saja tidak langsung menyadari siapa kini yang berdiri di hadapannya tengah bersidekap dengan ekspresi wajah murka. Mamanya ternyata sudah menunggu dengan aura kemarahan yang menguar di seisi kamarnya.

“Ma-mama?”

“Hm-mm.”

“Mama kok ada di sini? Lisa kira Mama udah tidur.”

“Gimana Mama mau tidur!? Anak Mama satu-satunya belum pulang!?”

“Mamaaa!!!” Lisa langsung berlari memeluk ibunya dengan manja. “Mama jangan marah ya sama Lisa?” rayunya dengan mencebikkan bibir dan memasang ekspresi anak kecil mau menangis.

Berbeda dengan Arga yang justru tidak tahan jika mamanya merayu dan mengambek, Lisa justru membuat mamanya tidak tahan jika sudah merayu dan mengambek.

Nadia menghirup udara dalam-dalam.  Masih dalam keadaan bersidekap, dia memejamkan mata. Wajahnya terlihat berusaha tenang dengan kecantikan yang khas wanita indosebutan untuk keturunan bule. Kecantikannya itu tentu saja menurun pada Lisa, putri semata wayangnya. Dia membiarkan Lisa memeluk dirinya. Setidaknya, pelukan putrinya itu bisa meredam sedikit emosinya. Karena setelah kepergian suami selama-lamanya, hanya Lisa-lah yang dia punya kini. Nadia tahu, untuk tidak gegabah menyakiti perasaan putrinya.

“Mama,” ujar Lisa dengan takut-takut memandang wajah ibunya. Sungguh, dia tidak ingin diceramahi hingga pagi. “Lisa, kan, udah bilang nginap di rumah Amel.”

Nadia membuka matanya lalu melihat dengan sinis. “Kenapa kamu enggak tinggal saja di sana sekalian?”

“Ih! Mama!” Lisa melepas pelukannya. “Kan, Lisa punya rumah sendiri, masa tinggal di sana?”

“Oh, jadi kamu inget kalau masih punya rumah?”

Lisa mengangguk sambil menyengir. “Mama jangan marah ya? Kita langsung tidur aja, yuk?”

“Enggak bisa!” Nadia menggeleng. “Kamu enggak boleh tidur sebelum ceritain ke Mama gimana kencan buta kamu! Dan…” Tangannya terulur seakan meminta sesuatu. “Mana kartu kredit Mama?” tanyanya mengintimidasi. “Bisa-bisanya kamu menghabiskan uang Mama sampai sejuta! Beli apaan saja kamu! Hah?”

Lisa menghela napas. Bibirnya kini mengerucut. Tangannya merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil dompet lalu mengeluarkan sebuah kartu. Diserahkannya benda itu ke ibunya. Bisa dipastikan dia akan diceramahi habis-habisan!

“Bisa kamu jelaskan ke Mama, kamu pakai buat apa saja kartu kredit Mama ini?” tanya Nadia sebisa mungkin untuk tidak meletup-letupkan emosi kepada putrinya.

“Itu…” Takut-takut Lisa melirik ibunya. “Pas kencan buta kemarin Lisa, kan, makan di restoran terus Lisa beli steak sembilan porsi.” Terlihat Mamanya berusaha sabar mendengarkan penjelasannya. “Terus kan…” Lisa memutar bola matanya. “Tadi Lisa beli sembilan novel karya penulis Damian Alexander,” lanjutnya, “penulisnya ganteng, loh, lahirnya juga tanggal sembilan Juli!”

Seriously, Lisa? Mama mana mau tahu, sih, siapa itu penulis Damian Alexander!

Lisa merutuki dirinya sendiri dan dalam sekejap suasana di kamarnya terasa mencekam. Dia yakin sebentar lagi akan keluar cacian dan makian dari mulut ibunya.

“Tapi Lisa enggak makan semua steaknya kok! Sebagian Lisa sedekahin, Ma!” Dengan cepat Lisa berbicara lagi sebelum ibunya membuka mulut. “Novelnya juga Lisa hanya ambil satu! Sisanya Lisa sumbangin ke taman bacaan! Beneran, Ma!” angguknya meyakinkan.

Mendengar penjelasan Lisa yang terakhir membuat Nadia sekonyong-konyong tidak jadi memarahinya. “Beneran kamu sedekahin dan sumbangin?” selidiknya.

“Beneran, Ma! Masa Lisa bohong?” ucap Lisa, sekali lagi dengan nada meyakinkan. “Mama, kan, selalu ingetin Lisa untuk selalu bersedekah. Jadi, Lisa memang sengaja beli sampai sembilan porsi dan sembilan buku buat disedekahin,” lanjutnya bangga.

Nadia hanya menggeleng kepala tidak habis pikir. Terkadang putri semata wayangnya ini minta dikembalikan lagi ke rahim! Memang benar, dia selalu menasehati Lisa untuk ingat bersedekah, tapi enggak begini juga! Membeli sampai sembilan porsi dan sembilan buku hingga habis sejuta! Meskipun kelebihannya disedekahin dan disumbangin, tapi kalau terus-terusan seperti itu bisa jatuh miskin dan bangkrut!

Bukannya Nadia tidak tahu kebiasaan belanja Lisa dan penyimpangannya yang sangat tergila-gila dengan angka sembilan. Dia tahu betul! Dan kini dia bersumpah ini yang terakhir kalinya dia memberikan kekuasaan kartu kredit kepada Lisa.

“Terus, gimana sama kencan butanya?” tanya Nadia.

“Gimana apanya?” tanya Lisa balik pura-pura tidak mengerti.

Nadia menyadari keengganan Lisa untuk membahas kencan butanya dengan Arga. Itu berarti hanya ada satu kemungkinan, Lisa tidak tertarik dengan laki-laki itu. Namun, Nadia tidak bisa mengecewakan sahabatnya yang baru saja mengabari dengan perasaan bahagia bahwa putranya, Arga, mau dengan Lisa.

“Persiapkan diri kamu.” Lisa mengerutkan dahi mendengar ucapan Ibunya. Persiapkan diri untuk apa? Nadia melihat kebingungan di raut wajah Lisa lalu melanjutkan, “Arga dan orangtuanya akan datang besok untuk melamar kamu.”

∆∇∆∇∆

“Lisa! Kamu dandannya jangan kelamaan!” teriak Nadia yang langsung menyadarkan Lisa dari lamunan panjang.

Astaga! Hari ini Arga akan datang melamar!

Kontan, Lisa langsung membangunkan diri lalu terlihat mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia gelisah dan panik. Duh! Terima apa enggak ya lamarannya? batinnya sambil menggigit ujung jari kukunya.

Lalu, Lisa teringat ide gila yang dicetuskan sahabatnya. Apa perlu dia ikuti ide gila itu? Tapi, apa harus sampai bertunangan dengan Arga hanya demi mendekati Damian?

Lisa menggelengkan kepalanya keras. Fokus, Lis! Fokus! Dia memang bertekad mendekati Damian, tapi masalahnya dia tidak mau bertunangan dengan Arga. Dia pikir Arga hanya sesumbar ingin bertunangan dengannya, tapi tak disangka laki-laki itu benar-benar datang melamarnya!

Jika Lisa menerima lamaran Arga, resikonya dia harus menikahi laki-laki itu. Lisa langsung begidik. Menikah dengan cowok pelit juga ngirit kayak Arga? Bisa-bisa dia miskin melarat! Tapi kalau lamarannya ditolak, apa dia punya cara lain untuk mendekati Damian? Karena statusnya hanya penggemar, mana bisa dia segampang dan semudah membalikan telapak tangan jika ingin bertemu dengan penulis bestseller juga terkenal tampan itu!

“Lisa.” Nadia berdiri di ambang pintu. “Kamu kok belum siap-siap, sih? Sebentar lagi Arga sama orangtuanya tiba, loh!”

“Eh? Iya, Ma! Ini Lisa mau siap-siap.” Secepat kilat dia menuju kamar mandi.

Setelah membersihkan dirinya dan berpakaian, Lisa segera keluar dari kamar. Dia memakai Dress berwarna pastel merah muda selutut. Rambut lurusnya yang sebahu dia biarkan tergerai. Sebuah bando kecil berwarna hitam menghiasi kepalanya dengan poni yang menutupi dahi juga wajah yang dirias natural membuat Lisa terlihat sangat manis.

Saat hendak menuju dapur melewati ruang keluarga, bel rumahnya berbunyi. Itu pasti Arga dan orangtuanya!

“Lisa! Kamu bukain pintu ya? Mama mau ke dapur sebentar.”

Lisa hanya bisa mengangguk. Pikirannya kalut karena masih belum memutuskan akan menerima lamaran Arga atau tidak?

“Assalamu’alaikum, Lisa ya?” sapa Rahajeng ketika pintu terbuka.

“Wa’alaikumussalam.” Sesaat, Lisa terpesona. Apa ini Ibunya Arga? Wajar Lisa bertanya-tanya, karena wanita yang ada di hadapannya itu sangat cantik, elegan dan bahkan terlihat masih muda.

Namun, rasa terpesonanya tiba-tiba buyar ketika melihat berbagai macam kue yang dibawa. Sebut saja, ada kue blackforest, cheesecake, red velvet hingga kue roti anak buaya yang lucu-lucu.

Astaga! Ini mau lamaran apa mau jualan kue?

Refleks Lisa menerima beberapa roti kue anak buaya yang diberikan kepadanya. “I-iya Tante, saya Lisa.”

Rahajeng kemudian memeluk Lisa. “Kamu cantik dan manis banget,ya? Pantes saja Arga mau sama kamu,” ujarnya dengan wajah berseri-seri.

Arga berdeham. “Mah….”

“Loh? Kenapa?” tanya Rahajeng, “memang kamu mau, kan, sama dia?”

“Iya, Mah. Tapi …” Kedua sudut bibir Arga tersenyum tipis. Dia menatap Lisa dari atas hingga bawah. Tatapan Arga yang seakan-akan menyelidiki penampilannya membuat Lisa menjadi salah tingkah.

“Maaf, Tante, Om, dan Arga sebaiknya masuk saja dulu,” ucap Lisa sopan mempersilahkan keluarga Bhatara masuk dan menjamunya di ruang tamu. Lalu, tiba-tiba Nadia berlari kecil dari arah dapur menghampiri mereka.

“Rahajeng!”

“Nadia!”

Dalam hitungan detik, terjadi kehebohan antara dua wanita paruh baya yang sudah bersahabat sejak lama itu dan mereka seakan melupakan kehadiran Lisa, Arga dan Rasya —suaminya Rahajeng sekaligus ayahnya Arga— di ruang tamu.

“Ya ampun! Kita keasikan ngobrol sampai lupa tujuan aku ke sini,” ujar Rahajeng tertawa.

“Ah iya! Mari-mari kita langsung mulai saja acaranya.” Nadia melirik Lisa.

“Begini, Nak Lisa,” ucap Rasya, “putra Om, Raden Bhatara Argaskara ingin melamar kamu.” Kemudian dia memberi tanda pada Arga untuk memulai.

Tanpa menunggu lama, Arga langsung menyatakan niatnya. Dia membuka sebuah kotak kecil yang di dalamnya ada sebuah cincin perak berhiaskan berlian. Lalu, tanpa basa basi dan ucapan romantis. Memangnya bisa seromantis apa jika ini lamaran perjodohan? Arga berbicara dengan penuh keyakinan. “Julisa Cancerita, apa kamu bersedia menikah dengan saya?”

Lisa menatap lekat kedua mata Arga yang tidak memperlihatkan keraguan atas lamaran kepada dirinya. Jelas saja Arga tidak ragu-ragu karena dia tidak ingin membuat malu orangtuanya, khususnya membuat kecewa ibunya. Itu berarti Arga benar-benar serius dengan ucapannya. Kebingungan pun melanda diri Lisa. Dia harus menjawab apa?

Dengan menggenggam erat kedua tangannya yang sudah berkeringat dingin, juga menggigit bibir bawahnya. Pikiran kalutnya tiba-tiba membisikkan sesuatu tentang ide gila dari sahabatnya. Demi Damian, Lisa! Demi Damian! yang membuat Lisa tak sadar menganggukkan kepala menerima lamaran Arga.

Demi Tuhan, Lisa! Kenapa lo terima lamaran Arga?

∆∇∆∇∆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top