Gotcha!
Terdengar derap langkah mendekati pintu kamarnya. Amel yakin langkah itu milik sahabatnya. Pasti Lisa mau curhat masalah kencan butanya! Dia pun berpura-pura tidur dengan meringkuk di balik selimut.
“Ameeel!” Tanpa permisi Lisa masuk ke kamar sahabatnya lalu merebahkan diri di atas kasur. “Bete! Bete! Bete! Bete! Gue bete banget sumpah!” gerutunya.
Amel mendesah. Kayaknya enggak bisa dicuekin nih! Dia lalu menyibak selimutnya kemudian bangun dan duduk di atas kasur. “Gimana kencan butanya? Berantakan?” tanyanya sambil melirik Lisa.
“Duh, Mel! Acara kencan butanya, sih, sempurna banget! Tapi teman kencan butanya, si Arga tuh, bikin semuanya berantakan!”
“Oh, namanya Arga? Emangnya dia kenapa?”
Lisa membangunkan dirinya. “Masa, ya, dia pesen minuman air putih doang! Itu ngirit atau pelit? Bikin gue hiper tau nggak!”
Amel mengernyit. “Hiper? Apaan dah?”
“Hilang perasaan!”
Seketika Amel langsung tertawa. “Jadi, lo sempet ada perasaan ke dia?”
“Bukan gitu.” Lisa mengelak. “Gue sempet terpesona ke dia,” lanjutnya melirik Amel. “Eh, jangan mikir yang aneh-aneh, ya! Bukan berarti gue jatuh cinta sama dia!”
“Jatuh cinta biasanya karena terpesona pada pandangan pertama,” goda Amel.
Lisa langsung begidik. “Enggak deh, enggak! Pokoknya jangan sampai gue ketemu dia lagi di kehidupan selanjutnya.”
“Semoga kebalikannya, Aamiin.”
“Amel, ih!”
Tawa Amel pun berderai-derai. “Lagian lo, yak! Emang apa salahnya kalau dia pesan minuman air putih? Tapi, tunggu dulu… jangan bilang lo pesan makanan hingga sembilan porsi?” selidiknya.
“Lo kayak enggak kenal gue aja, Mel!”
“Astaga, Lis!” Amel mendecak. “Lo enggak serius, kan? Sembilan porsi? Seporsinya, tuh, makanan berapa harganya?”
“Seratus lima puluh ribu,” jawabnya santai, “emangnya kenapa deh? Kan, makanannya juga gue bayar sendiri pake kartu kredit nyokap.”
Amel melongo. “Dasar anak durhaka lo!”
“Kok durhaka, sih?”
“Lo habisin duit orangtua hampir sejuta cuma buat makanan doang? Gila!” Amel menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. “Kenapa lo enggak minta si Arga aja yang bayarin?”
Kedua bola mata Lisa memutar ke atas. “Benar juga, ya? Lah, bego gue!”
“Emang!” Amel mendorong dahi Lisa dengan telunjuknya karena gemas. “Lo tuh, ya! Kelewat megang prinsip!” decaknya lalu merebahkan kembali tubuhnya di atas kasur.
Amel tahu betul prinsip Lisa yang enggak mau bergantung sama cowok apalagi kalau menyangkut soal uang. Tapi please, jangan habisin duit orangtua juga kali!
Melihat Amel tiduran membuat Lisa jadi ikut-ikutan merebahkan tubuh tepat di sampingnya.
“Lis, lo ngapain tidur sini? Balik sana ke rumah!”
“Gue mau nginap malam ini,” jawabnya santai dengan mata terpejam. Lagipula besok hari minggu tidak ada perkuliahan. “Males gue pulang ke rumah pasti ditanyain soal kencan butanya.”
“Ah elah, lo bikin sempit kasur gue aja!” Amel mendorong tubuh Lisa hingga ke bibir tempat tidur.
Menyadari dirinya diusir membuat Lisa ingin mengganggu sahabatnya itu. Dirapatkan tubuhnya mendekati Amel kemudian dipeluk tubuh sahabatnya itu bagaikan guling.
“Lisaaa!!! Sonoaaan!!!”
∆∇∆∇∆
“Gimana sama kencan butanya?”
Arga tak menjawab pertanyaan Ibunya. Dengan malas dia langsung menuju ke kamarnya.
Melihat dirinya diacuhkan begitu saja, Rahajeng pun melancarkan aksinya merajuk. “Yauda, kalau kamu enggak mau cerita, ya, enggak apa-apa….”
Bukan tanpa maksud Rahajeng bersikap seperti itu. Dia tahu betul putranya itu paling tidak tahan melihat dirinya merajuk. Dan sikapnya ini hampir selalu berhasil membuat Arga luluh.
Mendengar ucapan Ibunya membuat Arga berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Perlahan dia berjalan mendekati Ibunya kemudian memeluknya dari belakang. “Kencan butanya berjalan lancar, kok, Mah… semuanya aman terkendali.”
“Jadi…” Rahajeng memutar tubuhnya menghadap Arga. “Kamu mau sama dia?”
Arga terdiam sejenak. Memang pada saat kencan buta dia memutuskan akan bertunangan denga Lisa, tapi awalnya dia hanya ingin mengerjai Lisa karena dia pikir Lisa sengaja memesan sembilan porsi untuk membuatnya kesal dan bangkrut seketika.
Namun, tanpa diduga ternyata Lisa membayar sendiri semua makanan yang dipesannya.
Baru saja Arga ingin menjawab tidak mau, tapi begitu melihat wajah Ibunya yang berbinar-binar senang membuatnya tidak ingin mengecewakan hati wanita yang sudah melahirkannya itu. Dia pun mengangguk pelan. “Iya, Mah… Arga mau sama dia.”
Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, antara dirinya dengan Lisa, Arga sendiri tak memikirkannya. Dia hanya tak ingin mengecewakan Ibunya. Arga mencoba untuk tak terlalu ambil pusing. Lagipula, belum tentu juga Lisa akan menerima lamarannya.
“Cewek aneh,” gumamnya, “pesan makanan hingga sembilan porsi.” Arga masih penasaran dengan kelakuan Lisa itu, tanpa dia sadari, hal itulah yang membuatnya pertama kali ingin mengenal Lisa lebih dekat.
∆∇∆∇∆
Amelia Respati
Amel yang sudah berpakaian rapih dan baru saja selesai berdandan hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan tangan bersidekap melihat sahabatnya, Lisa, masih berbalut selimut bagai kepompong di atas tempat tidur.
Paras ayu Amel dengan sapuan make up natural yang didominasi khas cewek sunda, dengan alis tebal, hidung tidak terlalu mancung dan bibir yang sedikit penuh, tapi terlihat tipis memperlihatkan kesan manis, langsung berubah menjadi raut menyebalkan.
“Lisa! Bangun!” Amel menyibak selimut yang digunakan Lisa lalu menggoyangkan tubuhnya.
Lisa pun menggeliat. “Apaan sih, Mel. Ini, kan, hari minggu.”
“Lo harus temenin gue hari ini!” Amel menarik tangan Lisa hingga terduduk.
“Temenin ke mana?” tanya Lisa yang masih setengah nyawa dengan mata terpejam.
“Ke acara meet and greet penulis kesukaan gue!"
Lisa menguap. “Ah! Males!” Lalu merebahkan lagi tubuhnya.
“Lisa!” Amel menarik lagi tangan Lisa hingga terduduk untuk yang kedua kalinya. “Gue enggak mau tahu, ya! Karena lo udah nginep di kamar gue semalem, jadi sekarang lo harus temenin gue!”
“Tapi gue males, Mel!” Bibir Lisa pun mengerucut.
“Gue ngajak lo, tuh, biar lo kenal sama penulisnya!”
“Ih, ngapain juga gue kenal sama penulisnya?”
“Karena gue yakin lo pasti mau banget kenal dekat sama penulisnya!”
Kedua alis Lisa mengkerut. “Gimana maksudnya, dah? Ngapain juga gue—”
“Nih…” Amel menyodorkan sebuah novel yang sudah terbuka di bagian paling belakang buku. “Baca deh,” pintanya.
Lisa mengucek matanya lalu membaca tulisan yang ditunjukkan. “Damian Alexander, penulis kelahiran Munich, Jerman pada tanggal 9 Juli… What???” Mata Lisa langsung terbelalak.
“Jadi… lo mau, kan, temenin gue hari ini?” tanya Amel dengan senyum penuh kemenangan.
Selain prinsip Lisa soal pria, Amel tahu hal lainnya tentang Lisa soal cinta yang menurutnya sangat menggelikan. Lisa percaya, dia akan jatuh cinta pada pria yang lahir di tanggal sembilan. Ya! Tanggal sembilan! Angka favoritnya Lisa sekaligus tanggal lahirnya!
Tentu saja Lisa langsung mau menemani Amel, begitu tahu penulis kesukaan sahabatnya itu lahir di tanggal yang sama dengan dirinya. Lisa sudah membayangkan dia akan jatuh cinta pada penulis itu.
“Eh, tunggu dulu… si Damian ini orang Jerman? Gue baca tadi dia kelahiran Munich?”
Amel menggeleng. “No! Dia keturunan Jerman dan lahir di sana, tapi dia orang Indonesia asli, kok.”
“Gue pikir orang Jerman.” Lisa menghela napas lega. “Nanti gimana gue ngobrol sama dia coba? Gue, kan, enggak bisa bahasa Jerman.”
Amel tertawa geli sambil terus melajukan mobilnya ke sebuah toko buku di mana acara meet and greetnya diadakan.
Sesampainya di sana, tempat itu sudah ramai dengan penggemar Damian yang hampir seluruhnya adalah cewek. Enggak beberapa lama kemudian, acaranya pun dimulai.
Lisa cukup terpesona dengan wajah tampan seorang Damian Alexander yang keturunan indo. Wajah Damian sangat macho sekali dengan garis rahang yang kuat. Hidungnya cukup mancung, alisnya tebal dan ada sedikit brewok tipis di sekitar dagu dan kumis tipis di atas bibirnya yang penuh membuatnya semakin terlihat jantan. Namun, rasa terpesonanya tidak sampai pada tahap yang membuatnya berdebar-debar seperti saat pertama kali mendengar suara berat nan seksinya Arga. Oke, Lis! Fokus di Damian!
Damian Alexander
Setelah hampir satu jam acara berlangsung yang diisi dengan perkenalan dan sesi tanya jawab, kini giliran para penggemar mengantri untuk mendapat tandatangan dan foto bareng.
“Lis, lo enggak mau beli buku Damian?”
“Lah? Buat apaan?”
“Ya buat minta tandatangannya sekalian foto barenglah! Lo enggak mau emang?”
“Ya maulah! Yaudah tunggu bentar gue beli bukunya!” Secepat kilat Lisa membeli buku Damian dan begitu kembali langsung membuat Amel kaget setengah mati.
“Astaga, Lis! Lo jangan gila, deh, please!”
“Siapa yang gila? Gue masih waras!”
“Itu lo beli sembilan buku! Apa coba namanya kalau enggak gila?”
Lisa menyengir. “Udah, ah, yuk! Kita minta tandatangannya!” Dia lalu mengapit lengan Amel. Namun, baru beberapa langkah, ayunan kaki Lisa terhenti. Dia mematung dengan wajah pias.
“Lis? Lo kenapa?”
“Itu… itu, kan, si Arga,” tunjuknya ke arah seorang cowok yang sedang berpelukan akrab dengan Damian seakan mereka sudah saling mengenal.
“Hah? Lo serius?”
“Serius!” Lisa pun menahan Amel. “Kayaknya lo aja, deh, yang minta tandatangan dan foto bareng Damian.”
“Eh, Enggak bisa Lis! Nanti siapa yang fotoin gue?”
“Tapi, Mel…” Dengan terpaksa Lisa mengikuti sahabatnya. Dia melihat Arga belum menyadari kehadirannya.
“Maaf, Kak Damian. Boleh minta tandatangannya?”
“Oh, boleh, boleh,” ucap Damian ramah.
Lalu, Amel meminta Lisa untuk mengambil gambar dirinya dengan Damian. “Terima kasih, Kak,” ucapnya, “oh ya, Kak. Temanku juga ada yang mau minta tandatangannya, nih!”
Amel langsung menyeret Lisa menghadap Damian yang kontan saja membuat Lisa salah tingkah. “Eh, iya Kak. Ini…” Dia menyodorkan sembilan buku yang dibelinya.
Damian cukup kaget melihat sembilan buku dihadapannya yang harus ditandatangani. Namun, tetap pada profesionalitasnya sebagai penulis, dengan ramah dan kesabaran tinggi dia meninggalkan jejak satu persatu di buku-buku itu.
Pada saat itu, Lisa tahu kalau Arga sudah menyadari dirinya. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak melirik laki-laki itu, tapi tetap saja dia tak bisa menahannya.
Arga terkekeh melihat Lisa diam-diam meliriknya. “Lo Julisa Cancerita, kan?”
“Eh?” Lisa kaget.
Damian pun tak kalah kaget. Dia melirik Lisa dan Arga bergantian. “Lo kenal sama cewek ini, Ga?” tanyanya.
“M-mm.” Arga mengangguk. “Dia… calon istri gue.”
∆∇∆∇∆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top