Blind Date
Ah! Lisa mendaratkan pantatnya pada sebuah kursi di kantin pagi itu. Masih sepi! Lalu dia mengeluarkan sebungkus permen Cha-Cha dari tasnya. "Satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh... delapan... sembilan...," gumamnya sambil mengeluarkan satu-persatu butiran permen cha-cha.
Hap! Satu permen berhasil masuk ke dalam mulutnya kemudian dikulumnya. Berlanjut ke permen ke dua dan ke tiga. "Ke mana sih, tuh anak? Masa jam segini belum datang?" gerutunya. Matanya pun mengecek jam digital di ponselnya.
"Lisaaa!!!"
Baru saja Lisa memasukkan permennya yang ke empat, sahabatnya Amelia Respati, mengagetkannya dari belakang. "Etdah, Mel! Untung aja gue enggak keselek!"
"Emangnya lo kaget?" tanya Amel dengan tampang tidak bersalah.
Lisa menatap datar sahabatnya. "Ya kagetlah! Bego!"
Amel menyengir. "Tumben amat, dah, seorang Julisa Cancerita sudah di kampus pagi-pagi? Mau ngapelin siapa, Lo?"
Lisa mendecak. "Lo tuh, ya! Sahabat gue apa bukan, sih?"
"Lah? Ngapa lo nanya gitu, dah?"
"Lagian, yak! Gue datang telat mulu, diomelin! Giliran datang pagi-pagi, malah dicurigain!"
Amelia tertawa. "Siapa juga yang curiga? Gue 'kan nanya Juleha!"
"Apaan sih! Nama gue Julisa! Bukan Juleha!"
"Bodo amat, terserah gue!"
Lisa langung memasang ekspresi marah yang menyeramkan. "Bener-bener deh lo, Mel! Bikin gue tambah bete aja pagi-pagi!"
"Lah maaf, gue enggak tahu kalau lo lagi bete." Amel melirik Lisa. Melihat sahabatnya terlihat badmood membuatnya tidak enak hati. "Lo bete kenapa, sih? Sini cerita sama gue."
Lisa menghembuskan napas kasar. "Nyokap gue," ujarnya, "dia maksa gue buat ikut kencan buta sama anak temennya!"
Bola mata Amel memutar ke atas. "Loh? Enak dong?"
"Kok enak, sih?"
"Ya iya, enak! Lo udah disodorin calon sama nyokap lo!"
"Ih! Bukan gitu, Amel!" Lisa frustrasi, "kencan buta itu berarti gue enggak tahu apa-apa tentang orang yang bakal kencan sama gue! Lo ngerti 'kan maksud gue?"
"Gue ngerti, gue paham. Tapi 'kan dia anak temen nyokap lo! Pasti nyokap lo udah kenal! Enggak mungkin juga nyokap lo bakal kasih lo calon yang buruk rupa baik wajah atau sifatnya!"
"Tau ah!" Lisa mendengus kesal. "Lagian, yak! Gue masih dua puluh tahun! Apa-apaan coba disuruh ikutan kencan buta!?"
Amel mendesah. "Saran gue... lo ikut aja tuh kencan buta. Enggak akan rugi juga buat lo!" Lalu dia bangun dari duduknya. "Udah, yuk! Kita masuk kelas!" ajaknya.
Bibir Lisa mengerucut. Dengan perasaan kesal, dia memasukkan semua sisa permen di genggaman ke dalam mulutnya. Lalu mengikuti Amel ke kelas untuk memulai perkuliahan.
🔼🔽🔼
"Arga, kamu ingat ya! Hari sabtu kamu harus ketemu sama anak temen Mama itu!"
"Mm." Arga mengangguk malas.
Rahajeng melirik putranya yang sedang duduk di depannya. "Namanya, Julisa Cancerita."
"Mm." Sekali lagi Arga mengangguk malas.
Terdengar desahan pelan. "Kamu itu ya, disodorin calon istri, kok, tanggapannya malah ogah-ogahan gitu, sih?"
Arga melirik ibunya. Suapannya jadi terhenti tepat di depan mulutnya yang sudah menganga. Diletakkannya kembali sendok di atas piring. "Mah...."
"Yaudah, kalau kamu enggak mau ketemu sama dia, nanti Mama batalin," ucap Rahajeng kalem. Bukan tanpa maksud dia mengatakannya, karena ucapannya itu adalah senjata ampuh untuk merayu putranya.
"Mah... Arga, kan, udah bilang iya. Kenapa ditanya lagi, sih?"
"Habisnya kamu keliatan enggak niat, gitu."
Arga terdiam sejenak. Mengontrol emosinya agar tak meledak. Walau bagaimana pun dia tak boleh marah-marah pada ibunya. "Mah, Arga setuju ketemu sama anak teman Mama itu, tapi bukan berarti Arga mau sama dia."
"Iya, Mama tahu. Mangkanya kamu juga jangan ogah-ogahan gitu dong mau ketemu sama dia."
"Yah, Mama juga harus ngertiin posisi Arga dong?"
"Memangnya kenapa sama posisi kamu?"
"Mah! Arga, tuh, masih dua puluh lima tahun! Arga bahkan baru diterima bekerja tiga bulan ini dan Mama langsung nyuruh Arga buat menikah?"
"Arga!" Rahajeng mulai terlihat emosi. "Mama enggak nyuruh kamu untuk menikah! Lagipula, apa yang salah dengan menikah? Toh, kamu juga tetap harus bekerja kalau sudah menikah!"
Arga mendecak frustasi. "Mah..."
"Mama cuma minta kamu ketemu sama dia! Siapa tahu kamu malah tertarik?"
Arga tertawa sinis. Yah, itu sih liat nanti aja. Lalu dia mengembuskan napas perlahan, mencoba untuk tidak melanjutkan perdebatan dengan Ibunya. "Tadi, siapa namanya?"
"Julisa. Julisa Cancerita." Arga mengangguk pelan. Dia mencoba untuk mengingat nama itu. Kan, enggak lucu juga kalau dia lupa. "Oh ya, ini kamu pake aja." Rahajeng menyerahkan sebuah kartu kredit miliknya. "Nanti ajak dia makan malam romantis gitu ke restoran, jangan kamu ajak makan pecel lele di pinggir jalan."
Arga menelan ludah. Baginya, haram jannah memakai uang orangtua apalagi dia sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Yah, walaupun sebenarnya enggak masalah juga dia terima kartu kredit itu, tapi prinsip membuatnya gengsi.
"Enggak usah, Mah. Arga punya pegangan, kok."
"Bener, nih, kamu enggak mau pake?"
"Enggak, Mah. Enggak." Sedetik kemudian Arga buru-buru meninggalkan Ibunya, sebelum hasrat untuk mengambil kartu kredit itu muncul.
🔼🔽🔼
Lisa baru saja sampai di sebuah restoran yang diberitahukan Ibunya di mana dia akan bertemu dengan teman kencan butanya. Jujur saja, dia merasa takjub! Restoran itu terlihat mewah! Lalu seorang pelayan mengantarnya ke sebuah meja yang sudah dipesan. Lagi dan lagi, dia takjub dengan dekorasi indah di meja itu yang penuh dengan bunga mawar dan sangat romantis. Dia pun tersenyum dengan senang.
Duh, kok gini amat ya? Lisa jadi merasa canggung karena dia pikir, ini hanya kencan buta biasa.
Lisa melihat sekelilingnya saat sedang duduk menunggu teman kencannya yang belum datang. Apa ini bukan kencan buta biasa? Atau jangan-jangan teman kencannya yang bukan orang biasa?
"Sorry, sudah nunggu lama ya?" tanya seseorang dengan suara berat nan seksi.
Kontan, Lisa menoleh. "Eh? Enggak, kok! Ehem," dehamnya. Entah kenapa tiba-tiba suaranya terdengar seperti suara kucing kejepit. "Lagi batuk," ucapnya menyengir sambil meraba tenggorokannya lalu berpura-pura batuk.
Lisa memperhatikan pria di depannya itu. Ini yang namanya Raden Bhatara Argaskara? Dia meneguk salivanya.
Jelas Lisa tidak lupa dengan namanya, karena Ibunya sudah mengingatkannya berkali-kali nama cowok yang akan menjadi kencan butanya sampai-sampai Lisa bosan setengah mati mendengarnya.
Penampilan Arga cukup membuat Lisa terpesona. Wajahnya tampan, hidungnya cukup mancung, alis dan bibirnya tebal, rambutnya tetap terlihat ikal meski menurut Lisa, sudah disisir rapih. Terlepas dari itu semua, suara berat nan seksi juga kulit sawo matang laki-laki itulah yang menarik perhatiannya.
Raden Bhatara Argaskara
"Lo... Julisa Cancerita, kan?" tanya Arga hati-hati. Kali aja, kan, dia salah orang?
Arga juga memperhatikan Lisa yang menurutnya cukup manis. Wajahnya berbentuk oval, tapi sedikit lonjong, hidungnya cukup mancung, alisnya tebal diikuti mata yang bulat sempurna, rambutnya lurus sebahu dengan poni di dahinya. Tapi yang benar-benar menarik perhatian Arga adalah kulit Lisa yang putih bening dan bibir tebalnya yang seksi. Ok, Ga! Jangan menatap bibirnya terus!
Julisa Cancerita
"I-iya, gue Lisa. Julisa Cancerita." Hening sejenak. Lisa meraba tenggorokannya. Tiba-tiba saja suaranya kembali normal.
Arga terkekeh. "Batuknya sudah sembuh?"
Ditanya seperti itu membuat Lisa malu bukan kepalang, diambilnya gelas berisi air putih di atas meja lalu diteguknya hingga tandas.
"Kayaknya lo haus banget? Kita langsung pesan makan malam aja, gimana?" tanya Arga lalu dia memanggil seorang pelayan.
Dengan cepat Lisa membuka buku menu lalu matanya langsung tertuju ke menu di nomor sembilan. Steak! Lalu memeriksa harganya. Seratus lima puluh ribu per porsi? Dia melongo, tapi kemudian ekspresinya berubah santai. Ada kartu kredit Mamah ini.
"Mau pesan apa?" tanya si pelayan.
"Ini Mas, saya pesan menu nomor sembilan, ya, sembilan porsi! Satu porsi dimakan di sini, sisanya dibungkus," ucap Lisa.
Si pelayan terhenyak. Arga pun ikut terdiam sambil menatap Lisa dengan buku menu yang terbuka di tangannya. Enggak salah, nih cewek? Pesan sembilan porsi?
"Jadi, mbaknya ini mau pesan sembilan porsi steak?"
"Iya Mas," jawab Lisa semringah.
Kalau Amel, dia enggak akan kaget melihat Lisa memesan makanan di menu nomor sembilan hingga sembilan porsi. Dia tahu betul, Lisa itu tergila-gila dengan angka sembilan dan hal-hal yang menyangkut dengan nomor sembilan.
Lain lagi kalau itu Arga, yang baru pertama kali ini bertemu Lisa. Tentu saja dia kaget bukan main.
"Minumnya apa, mbak?" tanya si pelayan lagi.
"Ini... minuman di nomor sem-"
"Minumnya air putih aja, Mas!" Buru-buru Arga menyelak, "dan saya pesan yang sama kayak dia." Arga melirik Lisa yang terdiam. "Tapi satu porsi aja."
Sekali lagi Arga mengecek harga makanan yang dipesan Lisa. Gila! Seratus lima puluh ribu per porsi! decaknya, harusnya gue ambil aja kartu kredit Mamah! batinnya menyesal.
Lisa menyadari Arga yang mendecak sebal, tapi dia diam saja. Toh, dia memang berniat untuk membayar sendiri, kok, makanannya. Dia punya prinsip, untuk tidak bergantung pada cowok apalagi kalau soal uang.
Habis sudah kesan pertama Arga yang menurutnya, Lisa cukup manis. Yang benar saja? Ada cewek manis tapi makannya sembilan porsi kayak kuli bangunan?
Arga merasa, Lisa sengaja melakukan hal itu. Memesan makanan sampai sembilan porsi untuk membuatnya kesal, begitukah?
"Kayaknya, ini bakal jadi kencan buta pertama dan terakhir kita," ucap Arga pelan.
"Hmm, baguslah," balas Lisa santai.
Lisa sendiri mulai kehilangan rasa pesonanya pada Arga karena dia menyela ucapannya yang sedang memesan minuman. Yang benar saja! Masa ada cowok pesan minumannya air putih doang? Ngirit atau pelit?
Mendengar balasan Lisa yang sangat santai membuat Arga tertawa sarkastik. Nah! Benar, kan? Nih cewek sengaja bikin gue kesal! Lalu terdengar dehaman. "Gue belum selesai ngomong."
"Hah? Maksudnya?" tanya Lisa tidak paham.
Arga mencondongkan tubuhnya ke depan. "Setelah malam ini, kita enggak akan lagi kencan buta." Dia menatap Lisa tajam sambil menyeringai. "Karena selanjutnya, kita akan bertunangan."
🔼🔽🔼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top