7. lingkaran kehidupan
Saat seseorang lahir, dia membawa sesuatu dalam dirinya yang disebut bakat. Saat dia tumbuh dan berkembang, dia memiliki ketertarikan akan sesuatu, dinamakan minat. Sejatinya, sejauh usiaku sampai yang dua puluh sekian ini, aku baru sadar kalau ternyata bakatku adalah melamun alias menghayal, dan minatku adalah bermimpi.
Miris?
Mau gimana lagi, itu fakta.
Terlahir di keluarga biasa saja bahkan bisa dikatakan kekurangan, aku dulunya sosok yang pendiam. Sejauh yang aku ingat, aku tau laki-laki dalam artian ganjen itu bahkan sebelum aku bisa mengeja. Dulunya aku tinggal di perkebunan, di pondokan yang dinamakan kandista. Di sana, aku biasa bermain dengan anak-anak lain menjelajah seperti bolang. Keliling-keliling di parit yang saat itu kami namakan sungai, menjelajah mencari tanaman apa saja yang bisa dimakan padahal di rumah ibu kami sudah masak. Bahkan, kami terkadang membuat rumah-rumahan di bawah sawit.
Apakah kami tidak takut binatang? Ular, biawak, apa lagi? Tidak! Sudah ditakut-takuti pun kami tidak takut. Apalagi hantu! Yang benar saja! Kami berkeliaran di saat matahari terbit. Memangnya hantu tidak punya jam berkeliaran?
Itu pemikiran saat kami masih anak-anak. Sibuknya orang tua membuat mereka melarang setengah hati. Mungkin mereka juga bersyukur karena kami tidak bermain di rumah. Bayangkan kalau kami bermain di rumah dengan membawa teman-teman serta. Rumah berantakan, barang-barang rusak bahkan hilang, dan lebih parah bisa saja ada anak-anak yang bahkan saat masih mengeluarkan ingus dari hidung pun sudah bisa mencuri. Mungkin bakat.
Saat kecil, aku ingat hal yang membuat aku sangat suka berkumpul di sore hari dengan teman-teman lain adalah adanya adik beradik berwajah tampan diantara kelompok itu. Dulu, yang aku tau, pokoknya mereka yang tertampan. Mereka luar biasa. Dan itu saat aku belum sekolah.
Entah dari mana, terkadang aku sudah memikirkan hal yang tidak pantas. Samar-samar aku mengingat, ada kilasan gambar porno dari vcd porno yang disimpan si ayah. Dari sana, meski tidak pernah bertanya pada siapapun, mungkins aja jin yang mengirimkan bayangan, aku tau. Aku terkadang berimajinasi. Maksudnya membayangkan seandainya seandainya.
Terkadang menurutku teori seorang anak itu berjiwa suci murni, itu semua hoax. Orang dewasa berpikir anak-anak tidak mengerti. Padahal bukannya mereka tidak mengerti. Mereka hanya tau mereka dilarang untuk mengerti dan mereka berakting tidak mengerti. Kalian mengerti maksudku? Kami tinggal di rumah setengah papan yang hanya beton sekitar satu meter dari lantai sisanya papan. Dengan rumah yang terdiri atas 4 ruangan yang sangat sederhana layaknya perumahan dinas kelas karyawan biasa lainnya. Dua buah kamar tidur bersebelahan, ruang tamu dan dapur. Terkadang di malam hari saat orangtua melakukan kegiatan orang dewasa, anak-anak terbangun dan mereka sadar ada yang berbeda. Ada yang sedang dilakukan dan mereka dilarang untuk menyadarkan orangtuanya bahwa ia terbangun. Jadi, sang anak hanya diam. Berusaha tidur tapi semakin dia berusaha lelap semakin matanya terasa segar.
Aku suka membaca sejak kecil, bisa membaca sebelum bersekolah karena dendam. Yes, aku pendiam tapi pendendam. Maksudnya menyimpan kebencian, itu namanya dendam kan? Kalau dilampiaskan kan namanya bar bar, benar kan?
Nah, aku punya kakak yang jauh sekali dari yang namanya mengayomi. Dia itu iblis berkulit hitam dan berwajah bulat. Hanya dia dan Tuhan, serta waktu yang tau bagaimana dia bisa secantik sekarang mengingat bagaimana uniknya dia dulu. Tuhan sayang dia, mungkin. Dia itu sangat nakal dan membuat orangtuaku suka geleng-geleng kepala. Satu hal yang membuat aku belajar sebagian banyak hal adalah karena hinaannya. Saat aku bertanya apa yang dia baca, dia mengejek bahwa aku harus membacanya sendiri karena dia tidak akan memberi tahu.
Aku anak yang penasaran. Sampai sekarang, aku masih dikuasai perasaan harus tau harus coba. Akhirnya aku meminta belajar membaca. Puji syukur pada Allah SWT yang membuat ibuku dengan sabar mengajarkanku untuk mengingat beberapa kata yang membuat aku merasa bahagia saat itu karena aku merasa aku sudah bisa membaca. Setidaknya aku tidak sebuta sebelumnya. Ingat, di sini aku mengingat kata. Aku tidak mengeja. Kenapa? Karena sekali lagi, ibuku tidak pernah bersekolah. Aku yakin dia juga tidak bisa membaca banyak dan dia mengingat kata. Bukan membaca berdasarkan ejaan dan penyatuan huruf. Aku berterima kasih karena meski di kekurangannya itu dia masih mau mengajarkan dan akhirnya sampai aku sekolah, aku tidak mengerti membaca dengan mengeja. Aku menghafal kata.
Kelas 1 SD, aku pindah tempat ke palapa. Sekitar setengah bahkan sejam dari Kandista. Aku meninggalkan para pria tampan itu. Di tempat baru, jadi anak baru, aku merasa canggung. Dulunya (entah kenapa sekarang berbeda) aku ini pendiam. Diantara anak-anak perkebunan bisa dibilang aku pintar. Di Kandista aku juara berapa ya? 1 atau 2. Lalu di SD baru, aku dimusuhi oleh Febri Yunus. Yes, aku sangat ingat namanya karena dia selalu jadi bayang-bayangku sampai SMP. Maklum itu sekolah untuk karyawan jadi sekolahnya sama terus. Jangan cuit cuit karena nggak pernah ada kasus asmara diantara kami meski aku akui dia tampan. Serius dia tampan. Tapi aku memiliki filter sejenis, yang haram tidak boleh dimakan yang haram tidak boleh ditaksir. Dia seorang nasrani. Kami berbeda keyakinan dan aku tau sejak kelas 2 SD bahwa aku tidak boleh, meski hanya sebentar, merasakan suka sebagai pria ke wanita. Ganjen banget kan pemikiranku saat itu?
Aku terus juara. Paling tidak 3 besar. Satu hal yang membuat aku selalu dipuji sang ayah, dulu. Bahwa aku adalah anak yang tampilan fisik berbeda tapi merupakan cerminan turunan keluarganya karena diantara semua aku yang suka membaca. Saat orangtuaku gajian dan kami mendapat uang untuk berbelanja di pasar kaget, biasanya aku beli buku. Bobo, tiga atau lima sekawan, dan petruk gareng. Selain itu aku juga biasa bergadang di ruang tamu bersama ayah untuk menonton film barat.
Dan satu lagi, bawaan dari kecil, aku lebih cepat suka dengan musik barat. Sampai sekarang aku jarang menyimpan lagu indonesia di HP. Mungkin bukannya tidak suka hanya saja tidak merasa terikat. Pertama kali aku mendengar musik asing, itu tata young. Tau? Doom doom yang lagunya disadur untuk film India si Khritik Roshan berjudul boom booom? Itukan lagu aslinya versi bahasa inggris tapi dinyanyikan oleh penyanyi Thailand.
Aku sejak itu suka beli kaset 5000an ya? Kaset bajakan. Kalau sore dipasang dengan suara kuat. Dulu tetangga malah suka. Kan tetangga namanya doang orang kampung, tapi sukanya musik dugem. Di SD atau SMP itu aku kenap Britney Spears dan saat menonton video klipnya, si toxic, uh, aku semakin tercemar.
Sejujurnya untuk kisah mesum aku sudah terbiasa mendengar sejak SD karena percayalah. Bocah SD dengan pemikiran murni itu hanya ada di negeri dongeng. Kebanyakan, di daerah terpencil, dimana anak dibesarkan oleh orangtua yang sibuk dan kurangnya pemahaman cara mendidik anak, mereka suka lalai dan lelah. Akhirnya anak mereka menyerap dengan cepat hal-hal yang harusnya dilarang dan saat orangtua tau, sudah sangat terlambat untuk berkata tidak.
Tapi, yang mereka ceritakan kan dia dengan Bambang, Slamet, pokoknya yang nggak ada keren-kerennya. Jadi masuk ke adegan yang buat mereka nggak bisa ikut Ujian akhir karena mual-mual ya aku biasa aja. Tapi do Toxic itu loh, itu kan uhhhh cowok banget. Apalah si Bambang dibandingkan model cowok yang di grepe Britney di video itu.
Sejak itu aku menjadi tidak tau diri. Seleraku tidak sesuai dengan tampilan fisikku. Aku hanya mencintai, mungkin lebih pantas menyukai, pria yang tampan dan gagah. Bukan bocah. Aku suka pada lelaki yang nakal dan membuat aku merasa oh ya ampun.
Aku pertama kali pacaran itu dengan orang yang sudah putus sekolah. Dulu aku tidak pernah sama sekali mendapat larangan keluar rumah. Aku bisa keluar sampai jam 12 malam dan hanya ditanya kemana. Orangtuaku terlalu percaya sama aku.
Mungkin karena beberapa pemuda tau kalau aku masih anak baru gede, juga termasuk orang yang dikenal karena prestasi, juga karena aku termasuk cepat pertumbuhannya sebagai wanita, beberapa orang suka mengekori aku kalau aku pulang dari rumah teman yang waktu itu aku jalan kaki. Dulu nggak takut meski gelap karena Cuma beberapa menit bukan kayak sekarang yang takut kunti, begal dll.
Beberapa pernah nembak tapi aku nggak mau. Kenapa aku mau dengan si ini? Karena dia kurus, putih, tinggi dan nakal. Dia putus sekolah, pemain sepakbola dan ganteng. Pokoknya jenis yang disukai perempuan. Jadian seminggu ketemuan dua kali jadian dan putus. Aku rasa dia juga nembak karena taruhan atau sekedar pamer doang. Aku memang nggak terbiasa pacaran. Nerima dia karena geer dan kepo doang seperti apa sih rasanya pacaran.
Nggak ada yang tau kecuali temannya karena aku nggak menceritakan ke siapapun. Bagiku itu memalukan. Entah kenapa aku merasa tabu.
Jangan bayangkan apa-apa karena aku waktu itu terlalu gugup bahkan sekedar untuk bicara. Taunya bilang iya, dan putus.
Yang lucunya, dia menikah dengan teman kakakku, dan saat aku dulu kuliah, berobat ke klinik yang disediakan kebun, aku ketemu dia. Statusnya dia sudah menikah dan memiliki anak. Di klinik aku papasan mata, senyum gugup dan dalam hati ngejek. Ya Allah mungkin dulu aku bilang dia ganteng karena aku kurang cuci mata. Maklum, waktu SMA aku udah tau banyak cowok ganteng. Aku kan anak SMA 9 hahahha, kumpulan para wanita dan pria berbibit bebet bobot bagus. Hanya spesies seperti aku dan beberapa sejenisku yang mencemari selebihnya di sana udah kayak anak sekolah di sinetron SCTV.
Apalagi kalau aku ingat mukanya panuan karena kerja di panas-panasan. Duh, jauhlah dibanding abang Ardan tersayang. Hahaha.
SMP aku juara umum kedua. Sekali lagi bukannya karena pintar tapi karena memang sebagian besar dari para siswa di sana malas belajar. Mereka lebih suka cari uang dan menjalankan kehidupan layaknya orang dewasa. Yang aku salut, kebanyakan orang batak yang sangat tegas sama pendidikan anaknya. Yunus juga orang batak itu kenapa meski ada saingan lain aku hanya menganggap dia saingan. Karena aku tau orangtuanya dan orangtuaku memiliki rencana yang panjang sama pendidikan kami.
Sayang, terakhir aku dengan Yunus kena kelainan syaraf padahal dia sudah kuliah di Yogyakarta dengan beasiswa dari PT. Mungkin itulah cara Tuhan menegur aku supaya selalu bersyukur, aku ingat dulu aku pernah mengeluh, kenapa sih beasiswanya hanya untuk laki-laki? Enak banget si Yunus!
Layaknya orang batak lainnya yang suka merantau, kakakku SMA di Duri (nama kota, bukannya yang sering menusuk masuk ke dalam kulit) dan aku mau SMA di Pekanbaru. Kalian tau rasanya masuk ke kota setelah terbiasa dengan aroma sawit?
Saat itu rasanya suara mobil lewat di depan rumah itu sudah terdengar menakjubkan. Aku maunya masuk SMA 1 karena katanya itu salah satu SMA favorit tapi kata tante di sekolah itu mata duitan. Satu hal yang aku tau tanteku itu bohong karena malas bantu urus doang. Aku dimasukkan ke SMA 9 sehingga tercemarnya aku menjadi semakin tercemar.
Beberapa bulan tinggal bersama tante, layaknya di sinetron indosiar, dipenuhi dengan adegan nangis di belakang pintu kamar mandi dan isak setiap menelepon rumah, akhirnya aku pindah mengekos dengan teman yang baru aku kenal. Kami berbeda kelas dan disatukan karena diskon kamar. Kalau kamar sendiri kan lebih mahal dari kamar berdua.
Namanya sebut saja Ara. Ara ini lebih pendiam dari aku tapi aduhai, kulitnya hitam manis, pinggangnya berlekuk, wajahnya manis, alisnya tebal dan dadanya jumbo. Sangat pendiam. Saat itu aku tau dia berpacaran dengan seseorang yang juragan travel satu kampungnya. Menurut gosip ibu kos (aku punya bakat gaul sama emak-emak, dianggap cocok untuk teman bercerita), pergaulan mereka sudah luas. Aku tidak percaya. Ara pendiam kok. Hingga suatu malam, saat dia kembali dengan wajah kusut dan rambut basah, dia bercerita sambil menangis. Saat aku mendengar semuanya, bahwa dia memang tidak sebaik tampilannya, buta karena sesuatu yang dianggapnya cinta, aku akhirnya tau bahwa utuhnya selaput daranya hanya karena situasi yang menundanya. Kurangnya teori membuat bocah yang ingin mengeluarkan ingus dari tempat lain itu tidak kuasa menunggu sang adik bisa masuk ke dalam gua.
Sejak itu, kami lebih akrab. Kalau Ara sedang kelayapan aku sama ibu kos, kalau ada Ara aku sama Ara. Padahal ibu kos punya anak yang SMA juga. Tapi bakatnya aku emang gaul sama emak-emak.
Di SMA, cowok tampan itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Ibaratnya lihat kanan, kelihat si A, lihat kiri lihat si B, lihat belakang lihat si C, lihat depan........ kalau ini kuranglah. Depan artinya guru kan? Arah papan tulis? Guru kami nggak ada yang ganteng jadi cerita bertema, guruku pujaan hatiku itu tidak akan pernah ada. Yang ada Cuma guru mesum berwajah bopeng yang diam-diam suka memvideokan siswa-siswanya. Untuk bukan video kamar mandi, Cuma video di kelas.
Di SMA aku suka sama banyak laki-laki, maksudnya tau kan suka-suka kagum. Soalnya tau diri juga. Aku itu debu dalam mutiara. Gadis lebih dari biasa di sekeliling gadis yang uh uh, menurut gosip itu gadis ehem ehem. Makanya harus cantik dan bisa belanja banyak. Soalnya, kalau pacar take and givenya kuat. You take, you have to give. Adil kan? Ckckckck....
Tapi, diantara mereka, aku sangat sangat sangat sangat sangat sangat suka sama senior yang namanya Ardan. Riski Wardana. Kalau dia baca, maafkan aku, Bang, perasan suka itu kan hak asasi manusia. Aku sangat suka. Dia orangnya unik. Kurus, tinggi, putih, dan sangat seperti Wu. Suka ketus, gokil, dan nakal. Terlihat nakal tapi bukan ke arah seksual. Kalau kami bilangnya, slenge'an.
Tamat SMA, dengan tidak bermasalah dengan siapapun, karena mungkin mereka takut dengan wajah petakku, atau komedo di hidungku, atau minyak di wajahku, atau karena mitos senggol bacok yang beredar sebagai moto orang batak, aku memutuskan aku ingin kembali ke habitat orang batak. Aku sudah gagal di SNMPTN ke pulau jawa jadi untuk yang tes tertulis, aku mau ke habitat kami, sumatera utara. Bukan USUnya. Sekarang aku agak marah sih, sedikit. Aku itu dulunya mau masuk jurusan manajemen, HI, hukum, atau psikologi. Semua dicoret dengan alasan ketersediaan lapangan kerja yang minim dan jurusan yang prospeknya suram. Aku tidak bisa marah 'sekali' karena memang pemahaman orangtuaku yang kurang. Mereka hanya mendengarkan saran dari orang dan menelannya sebagai kebenaran karena yang berbicara itu terlihat paham.
Semua jurusan yang ku ambil, diawali dengan kata pendidikan. Ya, aku dianjurkan jadi guru setelah aku menolak mentah-mentah untuk mengikuti kakakku, menjadi seorang bidan. Aku Cuma takut kalau aku tertidur saat membantu orang melahirkan atau lupa mendadak urutan perbantuan persalinan karena gugup. Aku takut saat menarik kepala bayi, terlalu kuat sampai anggota tubuhnya terputus-putus.
Katanya waktu itu, jadi guru itu prospeknya, mantaplah. Pokonya T.O.P B.G.T. sesuatu yang aku sadari sekarang juga termasuk salah satu hoax karena menjadi PNS sekarang sangatlah sulit sedang menjadi honorer kalian tidak akan mendapatkan penghasilan yang cukup juga keterjaminan kelangsungan pekerjaan karena sebagai tenaga pendidik non PNS kalian bisa dipecat kapan saja.
Kalian tau rasanya otak yang sudah kelamaan dipakai untuk bersenang-senang bahkan bisa menyelesaikan UN hanya 10 menit itupun karena keterbatasanku yang suka tremor kalau kelelahan, padahal tugas tinggal melingkari saja karena kunci sudah di tangan dari soal 1-habis?
Aku merasa telanjang diantara orang-orang Medan yang.... kalian lihat ajalah bang Hotman sama Ruhut. Pokoknya semester pertama, aku sama sekali tidak bisa mengerti apa yang dikatakan dosen. Aku merasa mengantuk dan di depan, dosen hanya mendongeng. Kalian tau rasanya seperti apa? Memalukan. Ipku sangat jelek. Saat itu aku sadar, aku seorang Surbakti. Ya, nggak ada pengaruhnya sih tapi, harusnya seorang Surbakti itu pemberani, cerewet dan ligat. Aku memutuskan saatnya berubah. Gagal diawal tidak masalah yang penting kurva nilai harus naik.
Aku mulai mengikuti pola belajar mereka. Terima kasih Tuhan aku bisa mencerna dengan cepat. Diskusi menyenangkan dan perdebatan yang sudah menjadi makanan sehari-hari saat presentasi, aku bisa mengejar ketinggalanku. Sampai akhirnya di Tahun kedua aku dijadikan Komisaris Tinggi, Komisaris Kelas, Ketua Kelas atau apapun namanya itu. Suatu kebanggaan yang tidak aku pamerkan karena meski itu sepele, tapi bagiku mengemban kepercayaan orang-orang dan menjadi sosok yang dikenal dosen, terasa sangat membanggakan.
Menjadi komisaris aku semakin rajin kuliah. Sebenarnya kan kunci mengerti bukan karena banyak membaca saja, tapi banyak berpikir, berdiskusi dll. Pola pikir dan isi otak berubah drastis. Dulu SMP dikelilingi bocah mesum, SMA simanjakan kebebasan dan bersenang-senang, kuliah aku benar-benar belajar sadar umur kalau sudah saatnya memikirkan masa depan. Memiliki teman sekelas yang kondusif saat belajar, teman segeng yang menganggap tugas sebagai 'tugas', dan teman sekamar yang cerdas, membuat aku menjadi sosok yang berbeda. Aku merasa seperti tokoh di film-film yang sudah saatnya menjadi sosok berguna, bermanfaat dan bernilai jual.
Ya, memang kami tidak sebegitunya. Kami masih kurang jika dibandingkan dengan anak-anak penerima bidik misi yang sepertinya kehausan ilmu dan nilai itu, tapi memang terasa sekali berbedanya dengan pola belajar di Riau, di SMAku.
Sayang, saat itu negara api menyerang. Terjadi musibah yang membuat aku menghentikan perjuanganku di UNIMED. Seseorang akan kembali ke jodohnya sejauh apapun ia melangkah dan Riau lah jodohku, bukan Sumatera Utara. Aku pindah dari UNIMED ke UNRI. Tidak ada perpisahan tidak ada pamitan resmi. Aku mengurus kepindahan saat semua orang sedang berlibur panjang, libur semester dua bulan.
Di Riau, aku kembali menjadi sosok terkontaminasi. Semangat menggebu saat bertanya dan menjawab dalam sesi perkuliahan, surut. Kenapa? Karena saat aku menjawab pertanyaan dan bertanya setelah dosen mempersilahkan karena dia telah selesai menjelaskan, mata mahasiswanya menatap aku seolah, 'apa sih? Cari muka banget!'
Apalagi ada teman sekampung alias dari perkebunan dulu yang bilang sehari saja aku sudah jadi buah bibir dianggap sok pintar. Oke, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Karena aku tau mereka tidak suka aku mengurangi semangatku. Tapi aku dikenal karena selain pindahan, aku dianggap lumayan pintar. Lumayan ya bukan sangat. Masih bisa menjadi bahan contekan dan tipe tidak mengkhawatirkan IP. Wong dapat IP 3.0 saja saat itu aku bersyukur yang penting cepat tamat cepat kerja cepat menghasilkan uang.
Sehabis tamat, aku kembali dipusingkan dengan pemikiran 'jadi apakah aku?' dalam konteks pekerjaan. Aku seorang sarjana pendidikan. Layakkah aku melamar pekerjaan ke sekolah swasta elit yang bahkan belajar matematikanya saja ada yang menggunakan bahasa inggris itu padahal berbicara menggunakan bahasa inggris dengan anak orang China yang masih TK saja aku masih kalah?
Lalu, jadi guru honorer di sekolah negeri yang jamnya berebut dengan guru sertifikasi karena jika mereka tidak mencukupi tuntutan jam dana tunjangan sertifikasi mereka tidak cair?
Atau, ke sekolah swasta biasa yang gaji dihitung berdasarkan jam mengajar yang belum tentu bisa mendapatkan gaji tetap bulanan l,5 ke atas?
Tidak. Terima kasih banyak. Aku memilih untuk menjadi manusia sombong dengan hanya mengajar privat. Toh gajinya kurang lebih sama. Saat itu aku mengajar anak D3 Akuntansi yang Alhamdulillah membuatku merasa pintar sebagai guru karena mereka membedakan mana debit mana kreditpun sulit, jadi masih perlu banyak belajar dengan bantuanku yang memang sangat dibutuhkan mereka untuk mengerjakan tugas, dan anak Sd yang memiliki keistimewaan memiliki perbedaan dengan kita. Saat aku bertanya 1 ditambah 1 maka dia akan tersenyum dan menjawab dengan polos, 'satu, bu Mia'.
Ya, dia istimewa karena dalam nalar dia kurang tapi mengingatnya, nilai seninya, lebih unggul. Jadi untuk mengajari dia aku suka membawa pewarna, menyuruhnya mewarnai lalu menghitung benda yang diwarnainya dan menghapal perhitungan. Mungkin dia bisa seperti aku dulu, mengingat dalam belajar.
Di situ, aku merasa aku tidak akan mau menjadi guru. Aku tidak akan kuat, biar Dylan saja. Bayangkan, seberapa berat beban di pundak karena pengetahuan dan keinginan anak-anak jaman sekarang untuk belajar lebih rendah sedang peraturan pemerintah tentang dunia pendidikan semakin ketat.
Coba bayangkan, sebagai seorang guru kalian bertugas mendidik dan mengajar. Para siswa nakal dan kalian hanya bisa menegur dengan lisan yang terkadang mereka jadikan bahan tertawaan. Kalau dibilang guru tidak menguasai dunia jiwa para siswa, aku rasa memang benar. Mengertipun, guru tidak bisa memperlakukan mereka satu persatu sesuai yang mereka butuhkan. Bayangkan dalam satu kelas ada berapa siswa dan berapa kelas yang harus diajar. Selain itu belum lagi tuntutan yang lainnya yang harus dikerjakan. Tidak ada sanksi disiplin, ramedialpun nanti akan dituntaskan saja asal siswa mau mengurus nilainya karena tidak mungkin nilai terus tidak tuntas sampai dia akan ujian nasional. Banyak siswa yang tidak tuntas dianggap guru yang tidak becus padahal kalau dilihat keaslian lembar jawaban ujian, aduh, sangat memalukan. Peraturan lebih mengunggulkan nilai tugas sangat membantu menutupi. Apalagi guru tidak mau bermasalah dengan kepala sekolah, tentu mereka memuluskan saja nilai anak-anak muridnya. Saat UN pun guru mengemban tugas untuk membuat semua siswanya lulus.
Selain memikirkan masa depan siswa, mereka juga mempertaruhkan nama sekolah. Tidak seperti universitas yang berani tega dengan mahasiswa, sekolah cenderung memanjakan. Soalnya, semakin banyak yang tidak lulus maka nama sekolah semakin jelek. Maka sebagian sekolah bahkan berbuat licik demi meluluskan siswanya. Itulah kenapa aku bisa menyelesaikan soal UN matematika, fisika dan biologi tanpa membaca soaln. Eh, baca kok. Ya, baru ingat. Membaca untuk mencocokkan dengan urutan soal milik teman yang paketnya berbeda dan mencocokkan jawaban.
Pokoknya, udara pagi saat UN masih terasa segar. Bukan jenis udara yang membuat deg-degan.
Seperti pepatah, jika sudah rejeki tidak akan lari kemana. Akhirnya, aku mendapat celah untuk menjadi honorer di Universitas tempat aku kuliah. Honorer ini lebih menjamin dari honorer sekolah karena gaji sudah UMK dan biasanya tidak ada pemecatan tanpa kesalahan fatal.
Selain itu, terima kasih wattpad yang akhirnya menjadi tempat aku membaca gratis karya-karya oang lain, yang membuat aku mendendam karena lamanya update dan memutuskan melanjutkan hobiku saat belia, menulis. Tulisan pertama bertema remaja. Aku merasa tabu menulis tulisan dewasa. Tapi saat melihat bahwa Wattpad adalah wadah yang menadah semua jenis tulisan termasuk yang bertema dewasa, aku menulis karya dewasa yang ternyata berhasil mengundang beberapa pembaca. Dulunya euforia dibaca oleh orang lain itu membuat aku rajin sekali update. Semangatku mengimbangi semangat pahlawan yang berperang melawan penjajah. Apalagi pekerjaan masih sedikit. Tekanan hidup membuat aku lebih giat. Waktu itu aku taunya menulis hanya untuk bersenang-senang. Aku menganggap tidak akan ada yang namanya menjual hasil tulisan. Siapa sih yang mau membeli? Mana mungkin!
Saat orang menyarankan cetak, aku bilang, nanti di print aja pakai kertas hvs. Aku menanggapinya sebagai candaan. Sayang seribu sayang, terima kasih pada akun rese yang melaporkan karyaku ke pihak wattpad sehingga aku mendapat teguran dan akhirnya memutuskan menarik karyaku demi keamanan bersama.
Waktu itu, aku dihubungi beberapa orang yang masih ingin membaca dengan kalimat, kalau tidak dicetak saja. Aku masih menolak. Tapi, lama kelamaan akhirnya aku mendapat pencerahan kalau cetak tidak harus banyak dan tidak harus berizin. Maklum, aku malu dengan karyaku. Dengan malu malu juga aku buka po dan waktu itu aku sangat tidak bisa percaya ternyata ada yang memesan. Astaga, lebih dari satu.
Itu rasanya.... luar biasa. Sama dengan aku mendapatkan ijazah dibidang kepenulisan. Mungkin berlebihan tapi ada nilai pengakuan di sana saat seseorang menarifkan hasil karyaku. Itu namanya menghargai. Itu namanya mereka menganggap itu bernilai jual.
Sekarang ini, berkat perjalan hidup yang berliku seperti jalan ke berastagi dan berkelok seperti kelok 9 dan 45 dengan tanjakan yang semaut tanjakan emen membuat aku merasa terus haus akan mencoba ini dan itu. Aku merasa, kalau perjalanan dari sd sampai bisa kerja saja sudah seppanjang itu perjalanannya, yang membuat aku merasakan yang namanya tinggal dengan saudara yang cerewet, mengekos paket hemat, tinggal dengan teman berdua dalam satu kontrakan padahal keduanya anak sma perempuan, ke kampus naik angkot dan menjadikan kangkung lauk pagi siang sore malam karena ingin menghemat, menjadi anak angkat orang lain agar bisa melanjutkan kuliah, kuliah dengan mata kuliah yang bentrok karena berbeda-beda kelas bahkan mengambil mata kuliah umum yaitu pancasila, bahasa indonesia dan kewarganegaraan di fakultas lain karena tidak disediakan saat semester itu sedang aku sedang mengejar target selesai kuliah sesegera mungkin agar bisa segera bekerja.
Bekerja ke sana sini untuk mengajar disambi menjadi pembantu, menyambi lagi menjadi tukang parkir, menjadi wasit pertandingan badminton antar karyawan, hingga akhirnya baru bisa duduk tenang setelah mendapatkan rumah dan motor sendiri meski kredit dan pekerjaan yang memberikan gaji yang cukup dan penghasilan dari menulis sebagai tambahan, apalagi perjalanan dari aku bekerja sampai aku mati nanti. Pasti lebih panjang, lebih banyak tantangan dan perjuangan. Jadi, mana boleh aku duduk santai menunggu hari berganti waktu berlalu tanpa mendapatkan apa-apa. Aku tidak jera mencoba karena aku tau gagal hanya membuat kecewa, rugi dan rendah diri tapi tidak membuat hidup berakhir. Jadi seribu kali gagal tidak masalah, hadapi saja, coba lagi sampai akhirnya berhasil. Toh tolak ukur keberhasilannya ada di tangan masing-masing kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top