10. Jiwa-Jiwa yang Sakit


Aku tertarik dengan kejiwaan, yang kerennya selalu dikaitkan dengan psikologi. Waktu menulis, aku selalu ingin membuat tokoh yang karakternya terganggu. Egois, kekanakan, narsis, lemah, intinya yang mentalnya tidak stabil. Kenapa? Entahlah. Semua hal yang berkaitan dengan kejiwaan manusia di mataku indah. Menarik. Bagaimana manusia dengan karakternya yang berbeda-beda membaur satu sama lain dan memiliki kisah yang berbeda-beda.

Membahas karakter, kejiwaan, tidak bisa dihubungkan dengan baik dan buruk. Ada manusia yang di sisi a dia adalah orang yang tidak baik, tetapi di hal lain dia baik. Hal itu yang membuat 1 manusia tidak pernah mendapat cap buruk secara total, pun sebaliknya.

Contohnya dalam berteman, kita akan menemui orang yang karakternya keras, pengatur, pembangkang, narsis, egois, cuek, dll. Semua akan menyenangkan dan menyebalkan di waktu-waktu tertentu. 

Jiwaku sendiri mungkin tidak terlalu sehat. Sedari dulu aku adalah pemikir yang rumit, suka berpikiran negatif dan terlalu jauh, serta tidak bisa bergaul terlalu banyak. Maksudnya, aku tidak akan pernah merasa dekat, benar-benar dekat, dengan orang meski kami hampir setiap hari bersama. Seperti menamai pertemanan yang berlangsung sudah sekain tahun dengan 'sahabat' saja, aku tidak mampu. Bagiku, itu terlalu menggelikan, berbasa-basi.

Dan ... amat sangat mudah membuat aku terganggu. Secara kejiwaan, mungkin, aku adalah tipe yang mudah sekali dikonfrontasi. Berikan satu atau dua hal yang membuatku merasa kamu berbohong, kamu merendahkan, atau kamu sedang mempermainkan, emosi akan langsung terpancing. Itu kenapa setiap berbicara pada orang, terkadang jawabanku bisa panjang lebar dan terkesan sinis. Aku tidak akan puas sampai apa yang menurutku benar terungkapkan dengan baik. Dan menjadi tumpukan sampah di kepalaku saat segala ucapanku itu diabaikan.

Beberapa waktu lalu, aku berbincang dengan salah seorang teman yang suka membahas psikologi. Aku membahas aku dan membahas karakter yang kubenci. Intinya, aku benci kaum narsistik, meski mungkin aku sendiri narsis. Lalu, si teman itu mengatakan itu memang sudah lumrah. Orang yang seperti aku mudah sekali terpancing pada ucapan yang seolah merendah untuk meroket. Dan jika kepuasanku ada di berhasil mematahkan pandangan negatif orang lain kepadaku, orang narsistik akan puas saat di balik ucapannya yang merendah itu, orang akan kagum padanya. Sedangkan, saat kita berusaha mengungkapkan hal yang sebaliknya, secara otomatis mereka akan mengabaikannya. Mencari pendengar baru yang akan memberikan respon sesuai yang mereka mau. 

Kupikir, ada benarnya. Selama ini setiap aku membantah ucapan orang yang menurutku sedang bermain peran 'aku yang biasa ini ternyata adalah orang yang luar biasa', mereka akan menghilang, bahkan terkadang seolah mengalihkan pembicaraa, membahas hal-hal yang bisa membuat orang lain tertarik. Beberapa orang terpancing, beberapa mungkin sudah sadar tapi tidak mau memperkeruh suasana. Intinya, hal itu sudah terpetakan sebagai salah satu karakter si narsis. Ini menurut temanku. Bukan kajian psikologi yang mendalam dan dikukuhkan di dalam buku-buku kejiwaan. Entah dia mengutip dari sana, entah mungkin tebakannya saja. Tapi, itu semua terasa tepat.

Aku ingin melabeli diriku sebagai orang yang ansos, anti sosial, karena malas bergaul. Namun, faktanya, ansos tidak sesimpel itu. Ansos lebih dalam dan berbahaya. Maka, katakan saja aku intovert dengan kadar 'b ajah'. Soalnya, aku tipe ramah, jika orang lain ramah. Meski memang, aku akan diam kalau tidak diajak bicara. Aku lebih nyaman dengan kesendirian, berhadapan dengan tembok. Bahkan ada masanya aku merasa suara manusia terasa mengganggu. Aku bermasalah dengan panggilan suara dan sering kali mengabaikan panggilan yang kuanggap tidak begitu penting. Entahlah, nada dering saja sudah bisa membuat aku merasa tertekan, belum lagi jika nama kontak yang muncul adalah nama yang tidak kuharapkan.

Seburuk itulah aku.

Berbanding terbalik dengan pesan teks. Aku bisa membalas dengan panjang lebar, meski agak sulit jika pesan itu ada di tempat yang berbeda-beda dan banyak. 

Aku malas bergaul, bukan berarti aku tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang. Bahkan, ada pembaca yang sampai saat ini aku merasa dekat dengan mereka karena pernah berinteraksi dengan rutin pada zaman dahulu. Kusadari, sekarang mereka mungkin sungkan. Pun, aku sudah tidak terlalu aktif menulis. 

Dari mereka dan sebagian teman dari tempat lainlah aku menyadari, kebanyakan dari kita, sakit secara mental/kejiwaan meski belum sampai di tahap mengkhawatirkan. Misal, tanpa kita sadari kita seolah ingin menggemakan apa saja yang bisa menjadi motivasi bagi orang lain, padahal seringkali jatuhnya kita malah memuji diri kita sendiri. Atau, kita sering memberi nasihat pada orang lain, padahal kita sendiri tidak menjalankan sesuai dengan nasihat kita itu. Semacam orang yang menghakimi di sosial media atau dicerita jika mereka menganggap hal itu salah pun ... semacam penyakit bukan? Menjadikan kehidupan dan pemikiran mereka menjadi patokan atas pemikiran dan kehidupan orang lain?

Sama sakitnya dengan orang yang beribadah secara rutin tetapi gagal merasakan nikmatnya keimanan. Sakit ... karena gagal merasa, mungkin? Yang melakukan hanya demi kewajiban, sehingga tidak ada rasa cinta di sana. Tapi, ini mungkin ya.... hehe. Soalnya, seringkali aku menemui orang bisa membicarakan Tuhan dan kemaksiatan sekaligus, dalam satu waktu, seolah tidak ada garis batas antara kedua hal itu. Mungkin ya itu tadi, mereka memaknai apa yang mereka lakukan sebagai rutinitas, kewajiban, ritual.

Dan kenapa mendadak aku membahas ini? Karena aku sedang terganggu dengan kejiwaan seseorang yang menurutku bisa mengganggu kejiwaanku. Haha. Aku bukan orang yang tipe memblokir seseorang saat aku tidak nyaman berbicara dengan dia, tanpa alasan yang jelas. Jadi, sampai saat ini, aku masih berkomunikasi dengan dia. Katakanlah ... dia teman asing yang dekat. Semacam pembaca wattpad yang kemudian bertukar kisah di whatsap, maka dia adalah teman kenal melalui aplikasi yang juga masuk ke tahap bertukar kisah di whatsap. 

Awalnya, ada kekaguman tersendiri di aku, mengenai dia yang suka menjalin pertemanan dengan orang-orang dari segala kalangan. Dia adalah orang yang ramah dan suka menyisihkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah orang lain. Katanya, dia adalah orang yang dulunya berkecimpung di dunia kejiwaan. Aku tidak bertanya karena memang bagiku beberapa hal detail tidak perlu ditanyakan, kecuali orang tersebut yang mengatakannya sendiri. Dia pernah bertemu dan 'menangani' orang dengan kasus yang berbeda-beda. Dia juga pernah mensurvei beberapa orang terkait dengan 'kejiwaan' ini. Itulah mengapa dia menyediakan waktunya, memberikan bantuan bagi orang yang merasa butuh teman bicara maupun saran.

Oh ... di sini aku merasa tertarik. Selain dia, memang ada orang lain yang suka kuajak diskusi tentang isu yang menarik ini. Hanya saja, dengan dia memang lebih sering. 

Dan ... pada dua orang inilah aku bersedia membahas kejiwaanku, masalah hidup dan pemikiranku. Yang satu, mendengarkan dengan baik meski tidak memberikan penilaian apa pun. Dia hanya semacam menuntun aku untuk mengenali diriku sendiri. Dan si dia ini, si teman yang lebih intens ini, mendengarkan sekitar 80% omonganku lalu kemudian memotong, cukup membuat aku diam meski caranya menghentikan ucapan tidak setegas najwa. Lalu, dia akan memberikan beberapa tanggapan, dan berakhir dengan kisah hidupnya.

Awalnya, aku merasa tertarik. Oh ... bersama orang lain dia menjadi pendengar, dan dengan aku, dia membicarakan dirinya. Bukankah ini artinya dia memercayai aku seperti aku memercayai dia? Tandanya, mungkin kedekatan kami tidak sedingin kedekatanku dengan orang lain. Sepertinya, dia mulai terasa seperti teman-temanku yang sudah ada sekian lama sehingga tau semua bobrokku.

Lalu, aku merasa setiap pembicaraan didominasi oleh dia dan dia. Tentang masa lalunya. Keluarganya. Kisah cintanya. Harapannya yang tidak terkabul. Keunggulan-keunggulannya. Cerita berulang yang 'awalnya' mampu membuat aku berhasil kehilangan kantuk saking merasa antusias, 'menjadi' membuatku menguap di kalimat pertama. 

Lahirlah tanya di kepalaku. Tidakkah ada yang salah di sini. Aku mengaku sakit, mengaku ada yang salah dengan diriku, dengan kestabilan emosi dan penerimaan akan masa laluku. Jadi, wajar rasanya jika aku mendadak bersikap tidak menyenangkan karena sisi temperamenku dipancing. Wajar rasanya jika aku ingin membahas hal-hal yang belum kuterima dengan baik, agar rasanya lega dan perlahan hal itu memudar.

Lalu, mengapa dia malah jadi lebih sering membahas dirinya tanpa mendengarkan ceritaku?

Apa gunanya pembicaraan itu?

Bukankah, komunikasi yang normal saja, itu si a mendengarkan si b lalu sebaliknya. Bergantian. lalu mengapa dia yang telah memasang citra sebagai seorang 'semi' terapist tidak mau mendengarkan dan malah ingin terus berbicara?

Terasa konyol bagiku saat si dia ini berulang kali menceritakan hal-hal yang dulunya menyakitinya tetapi dia telah ikhlas dan menerima semua dengan baik. Saat sudah diterima dengan baik, kenapa terus dibahas? Seolah dia menjadikan ironi kehidupannya sebagai hal yang menjadi candaan biasa, tetapi diiringi dengan tawa khas orang yang sedang merasa miris. Sekali dua kali, ucapannya seakan biasa saja tetapi bermakna merendahkan. Mengejek. Bernada bully. 

Contoh, ada sebuah komunitas pembaca puisi dan sajak. Mereka memiliki rules yang memang aku sendiri kurang menyukainya. Sama seperti aku kurang menyukai tulisan dengan prosa ungu. Namun, apa lantas aku menjadikan tulisan prosa ungu sebagai bahan candaan dengan merujuk pada penulis penulisnya? Mungkin, jika aku adalah seorang pelucu yang sedang me-roasting seseoang, itu jadi wajar. Namun dalam keadaan normal, bukankah patut dipertanyakan ada apa aku dengan tulisan itu? Kenapa aku seterganggu itu? 

Sekali dua kali aku tertawa dengan candaan itu. Lama-lama, aku merasa itu tidak lucu. 

Terbentuk sudut pandang di kepalaku bahwa beliau ini, adalah orang yang menolak apa yang sebenarnya dia rasakan. Memaksa diri berdamai dengan luka, tetapi masih belum melupakan rasanya. Mencari kepuasan dengan menjadi sesuatu, sehingga tidak pernah puas dengan dirinya sendiri. Selalu berkubang dengan kegagalan dan menjadikan 'ketidak-ambisiusan' sebagai kambing hitam.

Ya, dia ingin menjadi sesuatu tetapi gagal. Dan kemudian sibuk mencari pengalihan. 

Kuputuskan mengurangi kontak karena mendadak, di kepalaku, dia terasa seperti seorang yang narsis. Lagi pula, mengapa aku harus berkomunikasi dengan orang yang tidak mau mendengarkan ucapanku? Mungkin ... mungkin ... hanya karena aku mengakui nyaman membicarakan masalahku dan sering meminta saran, dia merasa seolah aku adalah pihak si butuh. Padahal, sebenarnya, ada banyak kenalanku dengan latar belakang yang mengagumkan. Bisa kutanyai segala hal. 

Berteman dengan dia beberapa saat belakangan ini, kurasakan, membuat jiwaku semakin sakit dengan jiwanya yang juga sakit. Salahnya adalah, temanku yang lain memang jiwanya sakit, tetapi mereka mengakui sehingga kami bisa berbicara dengan lepas. Sedangkan dia, dia adalah manusia bertopeng yang menampilkan 'aku baik-baik saja', tetapi menularkan ketidakwarasan di setiap percakapan. 

Well, aku hanya berharap kalian, siapa pun yang membaca ini, tidak termasuk orang yang jiwanya sakit dan telah berdamai dengan kehidupan. Tidak seperti aku yang mudah terganggu.

Dan ... menerima semua luka tidak harus dengan berkata 'aku sudah lupa' dan 'ikhlas'. Mengakui kalau kamu belum lupa dan belum bisa ikhlas, menurutku juga adalah salah satu cara kamu berdamai dengan kehidupan yang memang belakangan suka bercanda dengan cara yang menyakitkan. 


Salam


Nindy


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top