Bab 25. Pagi Hari
Awalnya putih terang, bercahaya. Lama-lama pola warna semakin padat, membentuk benda yang terlihat di depan mata. Aku mengedipkan mata beberapa kali. Hingga pengelihatanku berfokus pada wajah mama dengan jarak sepuluh senti. Aku mengedipkan mata lagi, memundurkan sedikit kepala dan mulai mengamati sekitarku. Rumahku yang lama. Di dapur. Peralatan memasak tergantung, kabin, piring, gelas, botol sambal, dan wastafel.
Aku membuka dan menutup mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Pundakku bersandar pada pintu dapur. Keheranan, aku berdiri tegak dan mengamati sekitarku. Setengah meter dari dapur adalah kamar mandi. Aku berlari ke sana, melihat bayanganku dalam cermin. Masih aku; Nikki. Hidup. Melihat kotak sikat gigi, berisi empat sikat gigi. Kembali aku berlari ke dapur. Mama masih kebingungan melihat kelakuanku.
"Nikki, kau kenapa? Kami sedang mengobrol, coba perhatikan Papa kalau sedang bicara. Ini penting," kata Mama.
"A...aku..." kata-kata tertelan di mulutku.
Papa menyela, mengangkat selembar kertas. "Saudara Nenekku, Paul memberikan rumahnya kepadaku, lengkap dengan surat-suratnya," kata Papa. Ia memainkan lipatan kertas, "tempatnya di Lantern Black."
Oh tidak! Ini tidak mungkin terulang lagi. Aku tidak mungkin pindah ke sana setelah serangkaian kejadian yang sudah terjadi.
Sebelum aku sanggup menjawab, suara perempuan terdengar seperti menganalisis. "Kayaknya bukan tempat yang baik dari namanya."
Aku menoleh ke arahnya. Lalu menoleh ke arah kedua orangtuaku yang tampaknya tidak keberatan dengan keberadaan orang asing. Bahkan perempuan itu masuk ke dapur, membuka kulkas dan mengambil susu kotak. Aku mengamati gesturnya yang luwes. Pandanganku teralihkan ke kedua orang tuaku lagi yang asyik berbincang.
"Nikki. Jangan memandangi adikmu seperti itu," tegur Mama. Tangannya memegang kertas dari Papa. Sementara Papa membaca kertas yang lainnya.
Aku menelan ludah susah payah. "Ia apa? Adikku? Siapa namanya?"
Kening mama mengernyit tak suka. "Nikki, jangan bercanda. Kau sudah hidup lima belas tahun dengan Cyntia Ladyna."
Mendengar nama itu mulutku terbuka, kehilangan kata-kata. Perempuan yang bernama Cyntia Ladyna itu balas mengamatiku. "Aku mencintaimu, Kak." Ia mengecup pipiku. "Tapi kita semua tahu kalau tidak ada yang boleh menyebut nama lengkapku. Cukup Lady saja."
Aku mengucapkan setiap kata dengan susah payah, "Di mana Tom?"
Alis papa bertaut, "Siapa Tom? Kekasihmu? Nikki, Papa sudah bilang supaya kamu berfokus belajar bukan memikirkan hal seperti itu."
Aku tidak mendengar nasihat papa selanjutnya. Kalimatnya menguap. Kudengar ia memanggil namaku dengan gusar. Tapi terlambat aku sudah mencapai lantai dua dengan melompat dua anak tangga sekaligus. Aku masih kebingungan. Membuka kamar Tom, hanya tumpukan kardus dan buku-buku. Dengan hati gamang, aku masuk ke kamar dan mengempaskan diri ke kasur.
Tom tidak ada.
Lady ada.
Ini tidak benar.
Aku meraba jaket dan menemukan buku catatan Nikki dari dimensi lain, keripik yang belum sempat aku berikan pada Tom dan lipatan kertas dalam kantong. Aku membuka lipatan itu, cara membuat papan permainan. Rancangan, bahan dan alat dijabarkan lengkap. Tanganku menyingkirkan keripik. Membuka buku catatan Nikki dari dimensi lain, memakai metode skimming dan melewatkan nyaris seluruh tulisan. Empat halaman kosong di akhir.
Aku mencari pulpen.
Begitu ketemu, aku mulai menuliskan kata-kata pada catatan itu. Kalimat yang kupikir tidak akan pernah kutuliskan. Aksara yang bahkan tidak pernah aku pikirkan. Ada banyak hal yang ingin kutuliskan tapi kecepatan otakku saat memikirkannya lebih cepat dibanding tanganku. Aku sendiri bahkan ketakutan saat menulisnya. Takut kalau aku akan menulis catatan untuk kehidupan lain yang mungkin akan kutempuh. Pada hal-hal yang selalu di luar jalur dan tak disangka. Pada hal yang terlihat baik-baik saja, tunggal dan nyata. Kini aku menguatkan seluruh tenaga untuk mengatakan isi hati yang kini harus kuubah bentuknya menjadi lisan.
Antara ketidaktahuan dan minimnya pengetahuanku. Multisemesta itu ternyata nyata. Tidak terbantahkan. Sekarang aku harus pada percaya pada beberapa mitos yang terbukti di depan mata. Misalnya keberadaan makhluk Penjaga Waktu ketika kau berusaha membuat deviasi waktu. Benar. Bagaimana bisa memercayai sesuatu jika tidak melihat secara langsung? Karena aku sudah mengalaminya, melakukannya dan bertahan hidup untuk itu, aku rasa perlu seseorang melanjutkan catatan yang belum terselesaikan ini. Aku bukan akan menyelesaikannya. Tapi berusaha memasang kepingan cerita agar utuh.
Aku menulis bagianku:
Waktu itu suci. Ia meliuk, berubah dan memiliki banyak kemungkinan. Tidak terbatas hanya pada masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Waktu lebih dari itu. Aku bahkan belum mampu mendeskripsikannya dengan kata-kata. Kupikir segalanya hanya bagian dari mimpi buruk. Namun benang-benang waktu membelitku, menunjukkan eksistensinya. Ia merangkapku pada multisemesta. Aku bertemu dengan Nikki dari dimensi lain. Ia lebih keren dan lebih dewasa dari sekadar remaja umur enam belas tahun sepertiku. Mengajarkanku hal baru.
Jika kau membaca ini, mungkin kau salah satu dari sekian miliar orang yang mengalaminya. Setiap orang itu unik. Meski memiliki kembaran dari dimensi lain. Aku tetap mempunyai identitas sendiri. Memang terdengar seperti lagu kemanusiaan omong kosong. Tapi kalimat itu benar adanya. Aku membuktikannya.
Manusia berbeda karena memilih jalan hidup yang berbeda. Bahkan jika ada yang mengambil jalur yang sama, belum tentu akan bertemu di titik yang sama. Semuanya hanya alur-alur padat. Tidak ada manusia yang mengetahui di mana titik itu akan berakhir. Tapi waktu tahu. Ia bergerak sendiri ketika orang-orang membuat pilihan. Selalu ada konsekuensi dibalik pilihan.
Aku mengacaukan segalanya ketika pindah rumah. Orang tuaku mengacau karena berangkat keluar kota tanpa mengajak kami. Tom mengacau karena menyugesti papa untuk memiliki anak perempuan tanpa kuketahui pasti kapan waktunya. Hal-hal yang berantakkan kini harus kami ambil konsekuensinya. Orang tuaku mungkin tidak menyadarinya. Tapi pasti alam sadarnya tahu. Kami semua bertanggung jawab pada pilihan kami.
Ketika aku menyadari itu, seluruhnya sudah terlambat. Karena aku melupakan tentang Tom. Saudaraku yang justru tidak pernah dilahirkan. Aku tahu bahwa semakin banyak deviasi yang terjadi. Semakin banyak kemungkinan kami harus bertanggung jawab. Tapi lagi-lagi waktu sudah keluar jalur. Ia memberikan dua pilihan sulit. Bahkan sebelum aku menulis ini, aku sudah mengetahuinya.
Awalnya aku pikir menjalani hidup dan berpura-pura tak terjadi apa-apa adalah tindakan paling bijak. Lalu aku sadar bahwa ingatanku tentang Tom mungkin akan menguap dan terkikis waktu. Aku tak ingin kehilangan orang yang bahkan tidak lagi kumiliki. Aku menyayangi Tom sebagai saudaraku. Jika Tom tidak bisa kugapai lalu ingatan tentangnya menghilang. Apa lagi yang tersisa dari kami?
Pertanyaan itu terus membawaku pada pertanyaan lain. Kemudian aku sadar bahwa fase kehidupan sama seperti rangkaian pertanyaan. Misteri terpecahkan ketika mereka bergerak maju. Saat orang bilang, "Lupakan saja apa yang sudah lewat," dengan senyum menenangkan. Kata-katanya nyaris benar. Dan bagian yang salah adalah hal yang sudah terjadi harusnya tidak dilupakan, tapi dipelajari.
Dari pengalamanku, aku memahami hal penting yang sering luput dihargai. Bahwa semesta lebih luas dari perkiraan kita. Rencana bisa disusun sedemikian rupa. Tapi waktu punya caranya sendiri untuk membuat agenda kehidupan yang lebih besar dari yang pernah kita pikir. Waktu sudah mempersiapkan kita. Seseorang bisa mencurangi periode, membuat perjalanan waktu dan mengubah segalanya. Tetapi kehidupan bukan tentang keinginan satu orang, akan ada orang lain yang dirugikan. Dan aku akan memilih kenyataan yang pahit dibanding mimpi menyenangkan. Semesta sudah mentakdirkan hal seperti itu.
Aku berhenti menulis.
Mengambil kertas yang berisi instruksi untuk membuat papan permainan.
Aku akan menjemput Tom.
Suatu saat.
Nanti.
Pasti.
BUKU SATU TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top