Bab 24. Kesempatan Kedua

Evo muncul di saat yang tepat. Ia menjentikkan jari. Menghentikan pergerakan petugas keamanan. Meminimalisir musuh. Mata Evo berkilat. ia bilang bisa menyetarakan, atau lebih cepat larinya dari Penjaga Waktu. Aku hanya mengikuti langkahnya. Penjaga Waktu kali ini terlihat lebih murka. Marah karena dipermainkan.

Kami berlari sampai keluar gedung. Hingga Penjaga Waktu tak lagi mengikuti. Mungkin punya cara lebih elegan untuk mengejar nantinya.

"Bagaimana kau bisa bebas dari polisi waktu dari dimensi lain?" tanyaku di tengah pelarian kami.

"Aku melarikan diri. Kabur. Seperti sekarang." Ia terengah-engah saat berbicara. Aku tak banyak bertanya lagi.

Hari sudah petang, kami melaju menuju kota kecil. Melewati toko roti, perumahan berjajar, pom bensin, warung, lampu jalan yang berkedip-kedip dan berakhir di salah satu rumah yang akan ambruk. Evo menarik tanganku untuk masuk. Aku tak berani menutup pintu, takut kalau langit-langit roboh. Tapi Evo melakukannya. Bau apak menyengat. Tempat ini kotor dan berduli. Udara lembap, pengap dan berat.

Evo benar-benar menghindari jalan kota besar, bukan mengambil tikungan acak. Ini sudah terencana. Aku berjalan di belakangnya persis. Jejak kakiku terbentuk di lantai yang berdebu tebal. Ia berbelok ke kanan dan berakhir di halaman luas. Pekarangan yang tak lagi dipakai. Hanya tempat ini yang tampak lebih bersih dari yang lainnya. Mungin karena Evo sudah membersihkannya. Samar-samar wangi lemon tercium.

Kami duduk di pekarangan itu dalam diam. Keheningan mengambang di antara kami. Tidak ada yang berusaha mengobrol. Antara terlalu lelah berlari. Atau sama-sama jenuh dengan kondisi ini. Hanya deru napas kami yang terdengar.

Sejak kecil, semua orang mengajarkan kalau mitos itu tidak benar. Hanya kepercayaan dari leluhur yang disampaikan ke generasi selanjutnya. Tapi tampaknya aku mematahkan persepsi itu. Penjaga Waktu yang berkeliaran sudah cukup menjadi bukti.

Aku menoleh ke arah Evo yang ternyata sedang menoleh ke arahku juga. Kami bertatapan sedetik. Detik berikutnya sama-sama membuang muka. Aku mengalihkan pandangan ke pekarangan yang tandus.

"Apa yang akan kita lakukan di sini?" tanyaku.

"Menunggu," jawab Evo.

"Menunggu apa?"

"Menunggu malam."

Hening lagi. Aku tak mengerti. Tapi lidahku terasa pahit untuk bertanya.

Evo bangkit berdiri. Ketika aku ikut berdiri, Evo menyuruhku untuk duduk. Berjanji akan kembali. Maka aku duduk lagi. Menunggu. Ia beranjak pergi, terdengar pintu terbanting menutup. Sunyi terganti suara jangkrik yang mengerik. Hari semakin larut dan ketika aku ingin masuk saja, Evo muncul. Kami nyaris bertubrukan. Ia tersenyum dan menyerahkan cemilan dan air.

Kami duduk kembali di pekarangan. Lagi-lagi tidak ada yang bicara. Evo makan dengan nikmat sebagian besar cemilannya. Aku tidak terlalu nafsu makan setelah serentetan kejadian ini, tapi tubuhku memberi sinyal membutuhkan energi. Mau tak mau, aku mengunyah makanan dan banyak minum air. Memasukkan satu kantong keripik ke dalam jaket. Aku memberitahu Evo kalau makanan itu untuk Tom. Selama di penjara, aku tak yakin kalau mereka memberikan makanan layak untuk Tom. Terlebih aku kabur dan datang kepada Tom untuk mengajaknya pulang.

Evo melirik ke arahku ketika aku meremas beberapa plastik pembungkus yang sudah habis. Menggepengkan kotak susu. Aku tahu itu tidak penting, mengingat tidak ada yang keberatan kalau membuang sampah sembarangan. Tapi aku melakukan kebiasaan ini untuk membuatku tetap waras, bahwa aku masih hidup dan memiliki hak untuk pulang.

"Kita harus menjemput Tom," kataku.

Evo menghela napas. "Tidak bisa. Terlalu berisiko."

"Aku akan mengambil risiko itu," jawabku yakin.

Evo tak menjawab, memilih bangkit dan masuk ke dalam. Aku mengikutinya. Ia beranjak ke ruang tamu. Hanya ruang itu yang Evo nyalakan lampunya. Atau yang lampunya menyala. Ia duduk bersila di lantai. Mengamati mesin waktu yang telah ia rakit susah payah. Aku duduk di sisinya. Jam beker berada di depan kami. Jarumnya bergerak perlahan.

"Kau sudah melengkapi komponennya?" tanyaku.

Evo mengangguk.

Mataku melayang mengamati sekitar. Desain interiornya tak lagi bisa dinilai. Dinding bercat putih kini terlihat kusam dan mengelupas. Peralatan ditutupi oleh sarang laba-laba. Keramik di lantai ada yang retak dan ada yang hilang. Meninggalkan bolong hitam, menonjolkan semen. Lantainya di sapu Evo, karena gundukan debu kini berpindah ke sisi kanan daun pintu.

Lukisan manusia menaiki kuda berada di sisi kiri dinding. Ujung-ujungnya bergerigi seolah sesuatu sudah menggigitnya. Topi aneka bentuk menghiasi dinding. Baju-baju lusuh tergeletak di sofa bolong yang busanya keluar.

Evo bergerak. Mengubah posisi duduk menjadi meringkuk, lututnya menempel ke dada. "Kita akan selamat."

"Dengan Tom," tambahku.

Ia mengembuskan napas panjang. "Kita tak bisa—"

"Harus bisa!" aku memotong, "aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja."

Ia berkata. "Aku hanya tak ingin kehilanganmu."

"Aku juga tak ingin kehilangan Tom," sahutku.

Ia terdiam beberapa saat.

Tiba-tiba mengalihkan topik begitu saja, menceritakan rencananya dengan mesin waktu. Saat malam hari, kemungkinan orang-orang menggunakan listrik semakin rendah. Jadi ia bisa menggunakan seluruh sumber daya listrik di kota ini tanpa mencurigakan.

Hingga akhirnya ia membisu. Begitu juga denganku.

"Bagaimana Nikki-mu itu? Apa ia tidur dengan televisi menyala?" aku terheran-heran sendiri dengan pertanyaanku. Menanyakan orang yang sudah meninggal.

Mata Evo meredup, bibirnya melengkungkan senyum tipis dan ia berkata, "Ia suka membiarkan rambut hitam sepinggangnya terurai. Kadang rambut itu membentuk tirai saat aku berbicara dengannya dari samping. Ia juga suka melakukan hal kecil yang kelihatannya remeh, tapi itu kebiasaannya." Evo menerawang. "Ia sepertimu. Aku tidak terlalu terkejut saat kau akan membuat kotak susu tadi penyok. Nikki-ku juga melakukan hal yang sama."

"Apa Nikki yang lain juga seperti itu?"

"Hanya kau yang nyaris mirip dengannya," jawab Evo. ia menatapku. "Nikki yang lain memiliki kehidupan dan pilihan yang berbeda."

Aku tersenyum. "Setiap orang membuat pilihannya sendiri."

"Ya. Tapi saat pertama kali bertemu denganmu, waktu seolah diputar ulang. Seakan aku pertama kali bertemu dengan Nikki. Kau membiarkan rambutmu terurai, memakai kaos dan celana panjang dengan gaya tomboy, dan kau begitu teguh pendirian." Evo tersenyum.

Aku mengerutkan alis. Tersadar. "Orang yang membiusku di kamar itu kau?"

"Ya. Dengan bantuan teknologi buatan untuk menduplikatku. Hanya bekerja satu setengah jam. Itu alasan pada akhirnya kau hanya melihat satu orang bertopeng di kamar."

Aku melengkungkan punggung. "Segalanya aneh. Aku tak menyangka."

"Aku juga tak menyangka akan bertemu denganmu. Setiap hari, aku selalu mencari jejak Nikki di kehidupan mana pun. Ada yang Nikki terjangkit virus hingga saat aku menemukannya, ia sekarat. Di lain hari, aku menemukan Nikki ingin bunuh diri karena depresi. Sampai aku bertemu denganmu lagi, kau sedang berlari dengan Tom dari kejaran Polisi Waktu." Mata Evo teralihkan. "Listrik warga sudah banyak yang padam. Ayo, kita pulang."

"Evo, aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena aku bukan Nikki yang kau cari. Juga bukan yang kau harapkan," kataku berusaha tegar. "Aku memang Nikki. Tapi sangat berbeda dengan sang ahli medis itu. Dan aku tidak akan pernah menjadi bagian dari perempuan tersebut."

Evo melakukan kontak mata dengan intens. "Aku tahu. Aku tidak mencari penggantinya. Hati ini memilihmu. Kita bisa terbebas dari ini semua."

"Kau memang tidak mencari pengganti Nikki. Tapi kau mencari seseorang yang bisa menjadi Nikki-mu," kataku.

Ia menghela napas. "Kita... kau punya kesempatan kedua untuk selamat. Kau bisa bertemu dengan Tom lainnya yang juga saudaramu di multisemesta."

Aku menggeleng, bergetar. "Aku ingin Tom yang ada di sini. Sekarang aku harus menjemputnya, jika kau ingin pergi, pergi saja."

Mimiknya tegang terlihat mencurigakan. "Kau harus ikut denganku!"

"Bagaimana jika aku tidak ingin ikut denganmu?"

"Maka selamanya kau akan terjebak di sini. Papan permainanmu?" Ia menunjukkan papan permainan dengan seringai mengerikan.

Sayangnya aku tidak memiliki gerak refleks cepat seperti Evo. Ia memindahkan dari satu tangan ke tangannya yang lain. Aku menggeram. Ia tersenyum. Sebelum ia sempat menjentikkan jari, derap suara samar terdengar. Lalu detik berikutnya, Polisi Waktu datang. Melingkari tempat kami berdiri. Mereka mengarahkan senjata ke arahku dan Evo. Tidak seperti petugas keamanan, Polisi Waktu tidak terkena efek ketika Evo menjentikkan jari. Seakan sudah memiliki antisipasi untuk hal tersebut.

Seorang perempuan dengan bandana merah berjalan mendekat, menyeruak dari barisan polisi waktu. Matanya tajam dan gelap. Keemasan di sekeliling. Mirip melihat mata kucing hitam. "Evo, kau mengkhianati Perserikatan Polisi Waktu," katanya. Ia mencondongkan tubuh mendekat pada Evo dan mengarahkan pisau ke lehernya. "Sekarang lempar papan itu. Jangan berpikir melakukan hal bodoh, karena sekarang riwayat kau sudah tamat."

Evo melempar asal papan permainan tersebut. Aku hanya melihat benda mati itu mendarat rendah dan jatuh tersungkur di lantai. Polisi waktu siap siaga dengan senjata masing-masing. Salah satu dari mereka menyuruhku mengangkat tangan. Jadi aku melakukannya. Kepalaku mulai berdenyut. Telingaku berdenging. Benakku melayang. Sudah banyak hal-hal terjadi dalam satu waktu. Kini ia akan tidur selama-lamanya. Tertangkap dan diadili.

Aku ingat bahwa kewajibanku harusnya membawa papan permainan itu ke penjara Tom. Ia bisa selamat dengan Tom jika jam pasir itu diputar. Perempuan berbandana merah menatapku. Ia bungkam tapi gerak matanya melihatku dari atas sampai bawah, menilai.

"Nikki, kau juga harus dihukum. Tom akan diadili setelah kau. Tidak akan sakit. Kau bahkan hampir tidak merasakan apa-apa," katanya. Memberikan isyarat ke dua polisi waktu lain untuk memegang tanganku.

Aku tak mencoba meronta. Percuma. Mereka memblokade pergerakan. Salah satunya mengeluarkan jarum suntik. Bahkan mereka tidak perlu repot-repot membersihkan tanganku dulu dengan alkohol. "Aku sudah merangkap sebagai dokter dan polisi, sangat profesional dalam hal ini. Kau tidak akan kesakitan. Kau akan meninggal dengan damai," katanya. "Namaku Dokter Lavia. Kau akan baik-baik saja."

Ketika jarum itu menyentuh kulitku, jeritan terdengar lagi. Penjaga Waktu. Aku tahu itu. Polisi Waktu tampak pucat pasi. Dokter Lavia mundur dari tubuhku. Mereka yang terlalu berfokus pada kedatangan makhluk itu kini lengah dengan Evo. Lelaki tersebut melepaskan diri dari cengkraman. Pergulatan terjadi. Kesempatan yang tidak aku sia-siakan. Dengan tubuh gemetar yang berusaha tegar, aku merangka ke lantai, mengambil papan permainan yang dilempar Evo ke lantai.

Kegelapan menggetarkan ruangan. Kabut kehitaman menguasai atmosfer membuat suasana menjadi menekan berat. Ketika kabut itu memadat, sosok abu-abu yang sudah kuprediksi. Ia terbang mendekat, kali ini aku melihat kalau Penjaga Waktu itu benar seperti tengkorak melayang. Aku memejamkan mata, siap jika ia mau mengambil seluruh waktuku. Tapi ternyata tidak. Aku membuka mata dan Penjaga Waktu lebih dulu menghampiri Evo. Lelaki itu tampaknya syok sehingga ia diam tak berdaya saat Penjaga Waktu mencekiknya. Aku tahu bahwa giliranku akan tiba.

Aku memeluk erat papan permainan dan menerobos Polisi Waktu yang sibuk memperhatikan tawannannya ditangkap makhluk yang lebih kuat. Aku berlari melintas ruangan hingga sampai pintu keluar. Udara dingin dan lembab menyambutku. Sesaat menoleh ke belakang, asap tebal abu-abu menutupi sebagian rumah. Tidak ingin membuang waktu, kakiku terpacu untuk berlari.

Embusan angin kencang menerpa punggungku saat berlari. Jantungku berdebar. Hingga sampai di lapangan yang kosong, untunglah gedung tidak diselimuti kabut kasat mata. Aku mengikuti cara Threen dan Ivy. Melewati pintu sayap kanan yang minim penjagaan. Berhati-hati saat di lorong. Membiarkan kamera pengintai merekamku. Aku akan bebas. Dadaku berpacu sesaat membuka pintu tempat penjara Tom berada.

Tom masih meringkuk. Kepalanya mendongak sesaat aku membanting pintu dengan keras. Matanya berbinar penuh harap.

"Kita akan selamat. Sekarang giliranmu, Tom. Aku akan memutar jam pasir ini untukmu," kataku sambil mengeluarkan jam pasir dari sisi penyimpanan papan. Membiarkan papan tergeletak.

Tom menunjuk belakang tubuhku dengan tatapan ngeri. Aku menoleh. Mendapati sesosok tengkorak berkabut yang berkobar. Mengangkat tubuhku dengan mudah. Aku melayang-layang di udara. Bisa kurasakan sebagian ingatanku terkikis. Napasku tercekik. Genggaman tanganku pada jam pasir nyaris mengendur. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku memutar jam pasir. Melirik Tom sekilas. Hingga kesadaranku semakin menipis.

Selamat tinggal , Tom.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top