Bab 23. Evo
Entah karena serangkaian kejadian yang cepat, atau akibat kebingungan yang tidak tahu harus bertindak bagaimana, aku mematung. Sunyi senyap mengelilingi suasana rumah. Aku baru bergerak ketika matahari menerobos dari celah jendela dan mengenai wajahku. Di tengah kelinglungan itu, aku hanya berputar-putar di ruang makan dengan harapan kalau Evo datang kembali. Tapi setengah jam kemudian, aku sadar sedang melakukan tindakan sia-sia.
Perasaanku sekarang bercampur aduk antara bingung, sedih dan kecewa. Aku tahu kalau Evo pernah berbohong dan berkhianat. Lantas aku memercayai lagi, lalu ia berbohong lagi. Segalanya yang kutahu kini aku ragukan faktanya. Aku memijit kening dan berjalan terhuyung-huyung untuk menarik tirai untuk menutupi jendela. Membalik badan dan menerawang ke langit-langit, memikirkan hal apa yang harus kulakukan tanpa Evo dan mesin waktunya.
Tom masih dipenjara.
Aku harus menjemputnya apa pun yang akan terjadi. Bukan hanya untuk menepati janji. Aku tidak mungkin membiarkannya berlama-lama di penjara. Tapi sekarang aku harus memikirkan langkah yang tepat bukan sekadar tindakan implusif.
Waktu berjalan keluar ruang makan, rasanya tidak menyenangkan berada di rumah orang lain ketika orang itu pergi, entah ke dimensi mana. Tapi berdiam diri tanpa melakukan apa pun bukanlah solusi yang bagus. Aku menelusuri ruang keluarga. Di cat warna pastel menjadikan suasana tentram dan lima foto berbingkai dipajang. Aku mengamati dari dekat. Tiga foto anak kecil yang tertawa, menunjukkan gigi ompong. Ketiganya saling berpelukan.Semua foto menunjukkan tiga anak kecil yang sama. Jika dugaanku benar, tidak ada Evo kecil di sana.
Ruangan keluarga di tata minimalis, dua sofa panjang yang mengelilingi satu meja kaca pendek. Ada televisi di bawah foto-foto yang tergantung. Guci diletakkan di sebelah kanan celah kosong antara meja dengan tembok. Aku beranjak menelusuri gang, kamar-kamar yang pintunya tertutup. Hingga berada di ujung gang. Pintunya sedikit terbuka seolah memanggilku untuk masuk. Aku melangkah mendekat, mendorong pintu itu dan tak terlalu terkejut. Tangga menuju ruang bawah tanah. Meski Evo sedang keluar, aku tetap menoleh ke belakang memastikan kalau-kalau ada yang keberatan aku masuk.
Aku mengijak setiap tangga dengan perasaan gugup. Entah apa yang akan kuhadapi di bawah sana. Kubilang sangat beruntung ketika mencapai lantai dasar dan melihat lampu-lampu menerangi seluruh ruangan. Bagian ini lebih menyerupai ruang kerja. Meja, kursi, lukisan, vas bunga, filing kabinet, folder, laci dan peta. Saat ini aku merasakan atmosfer kurang ajar karena memasuki ruangan seseorang tanpa izin dicampur atmosfer misteri. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyi. Itu firasatku.
Mataku tertuju pada peta garis yang terbuka , aku meraba permukaannya dan merasakan tonjolan. Mengikuti rasa penasaran, aku menggulung peta itu hingga ke puncaknya. Terbelalak melihat dibalik peta. Sebuah papan yang berisi garis-garis penghubung yang berakhir di satu titik dengan bantuan pushpin.
Aku tak mengerti. Mengamati dengan teliti. Foto-foto orang, potongan koran lampau, secarik kertas beberapa alamat, potongan judul penelitian mesin waktu, foto beragam bentuk papan permainan dan berakhir di titik tengah. Foto Nikki.
Membingungkan.
Aku membuka map di atas meja dan tidak terlalu kaget dengan isinya. Rancangan pembuatan papan permainan dan komponennya. Aku merobek salah satu halaman dan memasukkannya ke dalam kantong jaket bagian dalam. Setelah diamati, ternyata setiap permainan yang berbeda bentuk maka berbeda perlengkapannyanya. Begitu halaman selanjutnya dan halaman selanjutnya. Hingga di halaman akhir aku menemukan foto. Evo di depan rumahku. Tertulis dibawahnya, Hadiah pernikahan untuk Nikki. Saat itu aku tersentak. Evo yang memiliki rumah itu dan menggiringku masuk agar bisa memainkan papan permainan itu. Ia sudah merencanakannya. Ia tidak bisa menyelamatkan Nikki yang ahli medis. Itu sebabnya ia ingin aku bersamanya.
Kebohongan. Seluruhnya tentang keinginan dan keegoisannya. Aku membuka map yang lain dan menemukan foto asing. Membalik foto tersebut dan melihat tulisannya; Target, lantility human. Kemampuan; profesional menghentikan waktu.
Jantungku berdetak kencang selagi aku terhenyak. Evo tidak akan pernah menolong Tom. Kenyataan pahit itu membuatku mencari papan Lantern Saga. Berhasil ditemukan di laci terbawah. Aku mengambilnya dengan cepat dan segera meninggalkan ruang bawah tanah itu. Menutup pintunya. Duduk di lantai dengan kepala bersandar pada dinding.
Aku bisa membawa papan ini ke Tom, ia bisa memutar jam pasir dan kita akan terbebas dari situasi ini. Ide yang menarik dan berisiko. Tapi jika risiko tidak diambil maka selamanya akan terjebak di situasi yang sama. Aku berdiri dan mengontrol perasaanku. Bergegas keluar rumah, dan aku memandang rumah Evo sekali lagi sebelum bergerak menjauh. Rumah ini tidak bisa lagi dijadikan tempat diskusi mesin waktu. Aku membiarkan pintunya terbanting menutup dan berjalan menuju keramaian.
Dua jalur yang ramai dengan belokan tajam di setiap ujung jalan, pertokoan nyaris menghiasi seluruh pinggir jalan. Aku membutuhkan waktu lebih lama untuk ke Perserikatan Polisi Waktu, terlebih tidak ada yang pernah mendengar namanya. Tentu saja mereka tidak tahu. Pasti tempat itu berada di lahan kosong yang ditutupi kabut tak kasat mata. Aku mencari dengan bertanya-tanya pada orang di mana letak lahan kosong yang mungkin tidak ada peradaban.
Dan di sinilah aku, berdiri di ujung jalan dengan perasaan bercampur aduk. Jika tidak kasat mata, bagaimana aku masuk gedung ini? Diselimuti kebingungan, aku berjalan bolak-balik memikirkan caranya.
"Nikki?"
Aku menoleh dan mendapati wajah Threen dan Ivy. Keduanya berpakaian hitam dengan topi, tapi aku masih mengenali wajah jenaka Threen. Aku berjalan mendekat dan merunduk di tembok mengikuti cara mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Harusnya aku harusnya bertanya hal yang sama," sahut Ivy.
Threen mengibaskan tangan. "Kami perlu masuk ke Perserikatan Polisi Waktu untuk menjemput teman kami. Ia tidak bersalah tapi ditangkap."
"Bagaimana bisa tidak bersalah lalu ditangkap begitu saja?" tanyaku heran.
Ivy memutar kedua bola mata. "Bukan urusanmu."
Threen melotot untuk mengingatkan Ivy. Aku menggaruk kepala karena tampaknya Ivy masih kesal karena Threen begitu mudah terbuka kepadaku dibanding dengannya. Ivy menatap Threen dengan wajah polos yang dibuat-buat, "Apa?" tanyanya.
"Itu ceritanya panjang. Sebenarnya, kau ke sini untuk apa? Memata-matai seseorang?" Threen mengalihkan topik pembicaraan. "Kita punya urusan dengan bangunan tak kasat mata di sini. Oh, jangan-jang kau tahu juga kalau ada bagunan di sini. Hebat. Siapa yang mau kau temui?"
"Aku harus menjemput Tom. Ia akan diadili. Aku tidak tahu ia masih ada di sana atau sudah..." Aku tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Oke, kita bisa membawamu masuk. Kebetulan aku dan Ivy juga harus masuk untuk menjemput teman di dalam sel. Tapi, kita tidak bisa membawamu keluar. Aku dan Ivy akan langsung pergi begitu berhasil menjemput teman kita."
Aku mengangguk. "Bukan masalah besar. Bagaimana cara kita masuk?"
"Serahkan pada ahlinya," kata Threen.
Ia sibuk mengutak-atik tablet, begitu juga dengan Ivy. Aku tak mengerti apa yang akan ia lakukan, jadi aku menunggu sambil berjongkok di dekat mereka. Mengamati gedung di tanah luas itu yang perlahan-lahan mulai terlihat. Tersingkap dari balik kabut.
"Teknologi yang luar biasa," sahut Ivy sambil menyiapkan senjatanya di balik jaket. "Kita akan masuk melewati sayap kanan, sisi itu hanya ada dua penjaga. Ayo."
Semakin mendekat, bangunan itu terlihat kokoh. Tak tertandingi. Tapi melihat gelagat Ivy dan Threen yang sama sekali tidak takut membuatku percaya diri. Aspalnya keras dengan daun-daun yang berguguran dari pohon. Jalan ke sisi kanan bangunan ternyata mudah, dihiasi pot tanaman yang disusun seperti prajurit. Perkataan Ivy benar, ada dua penjaga dan dengan mudahnya, Ivy membuat mereka pingsan. Dengan peluru bius, katanya. Kami berlindung di pohon-pohon yang tidak terkena terpaan sinar matahari sehingga bayang-bayang membuat kami tak terlihat saat ada empat orang yang keluar gedung dari pintu sayap kanan.
Begitu melihat mereka sudah menjauh, kami keluar tempat persembunyian dan memasuki gedung. Berhati-hati. Sisi tivi sudah dimatikan beberapa detik sesaat kami melintas ruangan. Aku memeluk papan rapat-rapat ke dada dan merapatkan punggung ke dinding. Mengikuti gaya Ivy dan Threen yang profesional dalam hal menerobos masuk tanpa permisi.
Begitu sampai di ujung lorong yang bercabang, Ivy dan Threen berhenti, memandangku lekat-lekat. Ivy menoleh kiri-kanan untuk memeriksa. Threen menepuk pundakku. "Aku akan ke lorong kanan, kau ke arah mana? Mengikuti kami?"
Aku tidak terlalu yakin. "Terima kasih Threen, Ivy. Mungkin Tom ada di lorong kiri, aku tidak mungkin mengikuti kalian. Sampai jumpa."
"Jaga diri, Nikki. Kau akan sendirian begitu kami pergi," ujar Threen sambil mengusap punggung untuk meyakinkan. "Semoga berhasil."
Aku mengangguk. Mereka mengendap-endap ke lorong kanan, aku segera melakukan hal yang sama ke arah berlawanan. Hanya terdengar suara detak jantungku yang memompa cepat, dan derap langkah kakiku. Rasanya seperti terjebak dalam adegan mata-mata. Begitu berjalan dua meter, aku mulai mengenali lorongnya. Tidak salah jalan. Mengikuti ingatanku untuk ke penjara Tom.
Bahuku merosot saat mengecek penjara di sebelah yang ternyata kosong. Berharap cemas kalau Tom baik-baik saja. Aku merapatkan tubuh dan membuka pintu dengan hati-hati. Bersyukur saat melihat Tom meringkuk di pinggir penjara sambil menatap penjara yang dulunya ada aku.
"Tom," bisikku memanggil.
Tom mendongak, matanya berkilat dan tersenyum lebar. Aku merapatkan jari telunjuk ke bibir, menyuruhnya tidak bersuara.
"Maaf," ujarku memulai. Melangkah mendekat. "Aku mengambil papan ini. Kita akan selamat. Kau harus memutar jam pasirnya, sekarang giliranmu."
Begitu berjarak tiga puluh sentimeter dari jeruji, Tom memekik. "Jangan! Jangan mendekat."
Aku bergeming. "Ada apa?"
"Setelah kau kabur begitu saja. Penjaga menambahkan keamanan di penjaraku. Mereka membuat aliran listrik di seluruh jeruji. Jangan mencoba menyentuhnya, atau kau akan meninggal seketika. Listrik itu akan menyakitimu. Itulah perkataan mereka," jelas Tom. Wajahnya berubah muram.
Aku menggeleng. "Kau akan selamat. Kita harus cari jalan lain agar bebas dari sini."
"Tidak ada, Nikki. Kamera pengawas masih menyala, kan?"
"Threen sempat mematikannya sebentar. Tapi mungkin sekarang sudah berfungsi lagi. Kupikir bisa membebaskanmu dengan mudah," kataku menyesal. "Aku keluar karena Evo menolong. Ia menjanjikan kebebasan untukmu. Sekarang... keadaan makin rumit saja. Aku tak tahu cara untuk mengeluarkanmu tanpa menyentuh jeruji."
Tom menghela napas panjang. "Kalau begitu, kau saja yang memutar jam pasir itu."
"Tapi, sekarang bukan giliranku. Bagaimana kalau semakin memperburuk keadaan kita?"
"Setiap pilihan membuat konsekuensi, kan?" Suaranya lebih mirip meyakinkan diri sendiri dibanding meyakinkanku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Hendak memutar jam pasir, namun jeritan yang amat kukenal menghentikan gerak tanganku. Penjaga Waktu. Ia datang. Aku menoleh ke belakang dan kabut abu-abu itu terbang di depan pintu.
"Itu Penjaga Waktu?" tanya Tom. Suaranya gemetar.
Aku menoleh ke Tom, "Aku akan menjemputmu nanti."
Penjaga Waktu menjerit gusar berusaha menghampiri, aku buru-buru berlari menjauh. Mengelak, berlari keluar dari pintu dan sekuat tenaga menggerahkannya untuk menjauh dari Penjaga Waktu. Sesuai dugaanku, beberapa petugas keamanan menunggu di ujung lorong.
Kini aku benar-benar terjebak di tengah Penjaga Waktu dan petugas.
Tidak lama lagi Polisi Waktu pasti datang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top