Bab 11. Penjaga Waktu Awal Mimpi Buruk

Pada umumnya, orang percaya bahwa waktu bisa menyembuhkan rasa sakit. Waktu terus berubah untuk menunjukkan eksistensinya. Berputar tanpa memberi kesempatan untuk berhenti sejenak. Menggulung hal yang tak mau berubah. Menciptakan pembaharuan. Era modern berjaya. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Serangkaian kejadian tersebut kini mengubah persepsiku. Waktu membuat seseorang terluka. Memberikan rasa sakit yang teramat pedih. Kadang menghunusnya dengan kenyataan yang memporak-poranda relung hati. Membuat hidup orang kacau balau. Dan orang itu aku.

Lima menit lalu, aku melakukan permainan lagi. Beranjak dari masa ini. Berpisah dengan mereka yang lebih tahu masa depan dibanding aku. Masa depan selalu menjadi momok. Aku pikir, dibanding mengkhawatirkan masa depan, lebih baik menjalani hari sebaik-baiknya. Tapi, ternyata tidak begitu. Masa depan sudah ditentukan dari apa yang kita lakukan sekarang. Rasanya masa depanku sekarang sulit terbaca. Aku dikejar orang yang mau menghapusku dari sejarah umat manusia. Tidak tahu cara berhenti dari permainan menyebalkan tersebut. Seandainya aku seorang watcher winder pasti bisa menyuruh diriku di masa lampau untuk tidak melakukan permainan itu. Tidak pindah rumah. Tidak membiarkan orangtua kami pergi begitu saja. Tapi, aku juga ragu bagaimana efeknya.

Aku mengamati setiap petak permainan tersebut. Pion masih menempel, tidak terguling meski sudah diguncang-guncang. Sekarang keseluruhan kalimat memudar. Tidak seperti awal mula. Akhirnya aku menyadari betapa bodohnya membuang kesempatan untuk melihat tulisan yang jelas sewaktu awal mula bermain. Aku tidak tahu apa lagi yang akan terjadi, yang pasti Tom masih berada di sisiku. Itu saja sudah menjadi fakta yang bagus untuk saat ini.

Jika Nikki di planet tersebut membuat realitas baru. Lalu, memutuskan menjalani kehidupan normal di sana. Cukup jelas bagiku memahami bahwa secara garis besar masalah kami sama. Aku juga sedang meloncat-loncat dari satu lingkaran ke lingkaran waktu lain. Mengajak Tom pula.

Aku mengikuti saran Ivy untuk mencari surat kabar, potongan informasi jenis apa pun yang berhubungan dengan papan permainan. Menurutnya, papan itu bisa saja buatan. Dan jika aku tahu siapa pembuatnya, mungkin aku bisa mengetahui bagaimana persisnya cara mengakhiri. Masalahnya, ketika aku mencari koran di kamar dengan bantuan Tom, mama memanggil di lantai bawah. Menyuruh sarapan. Tapi, suaranya berbeda. Agak serak dan melengking. Mungkin ia habis menyanyi. Atau sariawan di tenggorokan. Dari segala hal tersebut, jujur saja, dipanggil oleh "orangtua" di waktu orangtua yang asli pergi adalah sebuah keganjilan.

Awalnya aku menolak turun, tapi Tom bersikeras bahwa kita turun saja. Makan. Pergi ke sekolah. Mencari informasi di perpustakaan sekolah yang lebih lengkap. Aku setuju dengan ide tersebut. Akhirnya, aku turun juga.

Ini rumah yang lama. Sebelum kami pindah. Syukurlah.

"Halooo anak-anak." Ia serius mengucapkan huruf o lebih banyak dari huruf lainnya.

Suara ceria itu sudah terbukti mencurigakan di awal. Mereka bukan orangtuaku. Wajahnya saja tidak ada mirip-miripnya. Aku tidak kaget. Tapi, Tom kaget. Rahang bawahnya terbuka turun ke bawah, hanya saja tidak mengeluarkan suara apa pun. Tidak ada lagi yang mengangetkanku dari segala hal yang tampak berantakan ini.

"Di mana orangtuaku?" Tom bertanya kepada mereka. Bukan jenis pertanyaan yang harusnya dilontarkan.

"Apa maksudmu, honey?"

Mama tidak pernah memanggil honey.

"Orangtuaku. Mama. Papa." Tom menjawab dengan sesabar mungkin. Seakan masalah di sini adalah pendengaran lawan bicara.

"Mungkin Tom sedang ikut kelas drama," ujar lelaki di pojok meja sambil menyeruput kopi.

Aku yakin ia sebagai papa.

"Aku tidak sedang ikut kelas drama." Tom menyahut tak sabaran.

Aku beranjak ke kulkas. Mendengarkan percakapan mereka sambil memilih minuman dingin. Isi lemari ini cocok untuk sepuluh orang yang selesai berperang. Kuambil coca cola dua botol. Menyerahkan satu botol untuk Tom. "Tom memang sedang ikut kelas drama. Kelasnya di mulai pagi ini di sekolah. Papa mau mengantar ke sana, kan?"

"Ini kan hari Kamis."

Siapa yang peduli pada hari ketika berada di antara hidup dan mati? "Ini drama untuk pementasan," aku berdusta.

"Itu benar," timpal Tom spontan meski keningnya berkerut-kerut meminta penjelasan.

"Kalian bisa belajar hari lain di sekolah."

Masalahnya aku tidak tahu di mana sekolahku. Orangtuaku saja sudah beda. Bagaimana wujud sekolahku.

"Kumohon." Aku merajuk. Tom ikut-ikutan. Akting kami bagus juga.

"Nilai pelajaranmmu sudah bagus, Tom," perempuan bersuara melengking yang menyebut dirinya "Mama" menambahkan, "tak perlulah membuang waktu untuk belajar drama."

"Kasihan Tom, ia sudah berlatih bertahun-tahun. Ini ajang sekali seumur hidup," aku mencoba berkata selembut mungkin seperti suara psikolog.

"Baiklah. Baiklah." Papa luluh juga.

***

Kami sampai di sekolah tiga puluh menit. Waktu yang ditunjukkan oleh jam digital di dasbor mobil. Aku dan Tom langsung melompat sebelum mendapat "ciuman selamat belajar". Papa baru pergi tiga menit setelah kami masuk pagar. Di rumah, mama nyaris mencium keningku, untung tidak kena. Begitu juga dengan papa. Tom lebih dulu mendapat hadiah tersebut dari mama. Aku tidak suka dicium oleh orangtua yang tidak kukenal.

Sama sekali tidak memusingkan bentuk sekolah yang berbeda. Aku dan Tom menuju perpustakaan lewat petunjuk di papan denah yang tertempel di dalam majalah dinding. Beberapa anak menyapa kami. Ada juga yang mengajak masuk kelas. Aku hanya membalas dengan lambaian tangan. Ketika berbelok di koridor kiri, aku nyaris menabrak seseorang.

"Maaf." Ia duluan berkata.

Aku melihatnya dan terbelalak. Evo! Bagaimana bisa ia di sini? Lagi pula ini realitas berbeda. Aku agak tergelitik mengatakan, "Hai Evo, ini aku Nikki. Yang pernah bertabrakan denganmu sebelumnya." Tapi, tampaknya ia tak mengenaliku. Jadi, aku mengatakan maaf juga, bergegas pergi. Tom melihat kelakuanku. Bertanya apa aku mengenalnya. Aku menjawab apa adanya. Dan semburat wajahnya memancarkan kegelisahan.

Bertanya lebih masuk akal. Tapi, aku lebih dulu melihat plang perpustakaan. Jadi, aku memutuskan untuk masuk ke sana. Buku yang menggunung tampaknya menjadi ucapan selamat datang bagi orang yang berkunjung ke perpustakaan. Aroma kayu usia muda, manis, apak samar dan pengharum ruangan rose bersatu padu saat aku menyeruak masuk. Aku selalu menyukai wangi ruang yang hanya berisi buku ini. Sayup-sayup terdengar lagu pop tahun 1990an. Ada juga gemericik plastik yang bergesekan di sampul kertas. Pastilah sekarang jam masuk kelas. Buktinya perpustakaan sepi sekali. Tapi, sepi selalu sama artinya dengan perpustakaan di zamanku. Aku jadi rindu abad 21. Aku rindu orangtuaku. Aku rindu merengek pada mereka.

"Sepertinya ada di bagian sana." Suara Tom memecah suasana.

Aku merayap mengikuti Tom. Jika ada pustakawan yang melihat kami, pasti ia akan berceramah untuk tidak bolos di jam pelajaran. Pikiran itu baru saja terlintas, dan seorang lelaki berdiri di depan kami saat lima detik berbelok ke lorong kanan. Tom terperanjat. Aku apalagi. Kami berdiri berhadapan. Dua bola mata mengamati kami seakan melihat sesuatu yang menyenangkan. Aku tidak begitu yakin apa yang dipikirkannya, tapi memang bola matanya tampak terkejut namun senang.

Pustakawan normal seharusnya berkata, "Hai, kau Nikki dan Tom yang menjelajah waktu hanya dengan melakukan permainan, kan? Tampaknya kalian harus segera pergi karena Polisi Waktu baru saja mencari kalian ke sini. Enyahlah!"

Tapi pustakawan itu justru berkata, "Halo anak-anak, ada yang bisa kubantu? Ah, sangat luar biasa ada anak muda yang mau ke sini. Perpustakaan sekolah sekarang hanya berisi buku-buku. Tanpa terisi orang yang mau membaca buku. Ini semua karena buah pemikiran kuno kalau membaca di perpustakaan harus diam. Padahal aturan itu tidak relevan," ia mengoceh, "tapi di sini tidak begitu, kau bisa membaca di sini dengan membawa makanan, tidur-tiduran, duduk, atau apa pun asal bertanggung jawab. Jadi, dengan begitu semua senang. Ya, kan?" ia menepuk tangan. "Jadi, buku apa yang kalian butuhkan?"

Hatiku tidak berhenti bertanya. Makhluk jenis apa yang berbicara begitu cepat tanpa menarik napas. Seolah kata "hai" atau "hello" tidak berlaku untuk menyapa orang yang baru ditemui. Rasa lega memenuhi paru-paruku lebih dulu. Untung organ satu ini tidak berhenti beroperasi ketika terkejut. Firasatku mengatakan bahwa bertanya apa saja tampaknya tidak akan membuatnya marah. Justru bahagia.

Fakta bahwa lelaki berambut putih dengan senyum cemerlang, mata hitam memikat, hidung mancung gemuk yang nyaris menarik lemak di muka dan kulitnya berkeriput, ternyata adalah orang ramah. Ia menarik kerah kemeja birunya dengan kedua tangan. Masih menunggu jawaban.

"Kami mencari tentang fisika,"aku memberi tahu, "permainan-permainan yang berhubungan dengan fisika, waktu, gerak dan percepatan."

"Hmm, aku punya buku seperti itu." Ia beranjak pergi. Kami mengikuti.

Aku tidak terlalu yakin bahwa ia mengerti maksudku. Namun aku sangat berharap ia memiliki petunjuk sejenis itu. Ia berjalan ke rak-rak tinggi dengan percaya diri. Bergumam dengan kata-kata yang hanya dipahaminya sendiri. Bergegas ke lorong keempat dari tempat kami berdiri, menjelajahi buku-buku ilmu sains. Merasa tidak ketemu, ia berbalik ke meja dengan menjentikkan jari lebih dulu. Tom tidak mengikuti. Ia malah asik menjelajahi buku sains tadi. Dasar tidak fokus.

"Buku tentang ini?"

Ia menunjukkan buku berisi potongan tahap permainan pembuktian di sains. Dengan peralatan papan, karton, senter dan paku. Ya ampun. Sudah kuduga. Ia tidak tahu. Ini sih permainan bayi. Pembuktian cahaya memiliki sifat gelombang yang merambat lurus.

"Bukan ini." Aku berpikir sejenak untuk mengemukakan apa yang tepatnya kumaksud. Mataku menggembara melihat-lihat sekeliling meja kerjanya. Lalu menemukan jawabannya ketika melihat jam weker besi. "Mesin waktu, Pak. Kau percaya bahwa seseorang bisa menjelajah waktu? Ya, aku membutuhkan informasi tentang permainan yang bisa membawa seseorang melintas waktu. Bukan berarti aku akan melakukan... Aku hanya sedang mencari tahu."

Lelaki itu tampaknya cukup puas mendengar kata-kataku. Ia mengambil kacamata plus. Membuka tasnya dan mengeluarkan buku bersampul tebal. "Aku pernah melakukan hal yang sama dengamu. Mencari tahu tentang permainan mesin waktu itu," ia menghela napas. "Apa kau memainkannya, Nak?"

"Tidak. Ya, siapa yang percaya permainan itu ada di dunia nyata kalau kita sendiri tidak melihatnya," aku tertawa kering, mencoba menutupi kebohongan sekali lagi.

"Baguslah. Bagus kalau kau tak melakukan perjalanan waktu dari permainan."

Aku tersenyum gugup. "Memang apa yang terjadi kalau seseorang memainkannya?"

"Ia akan membangunkan Penjaga Waktu."

"Siapa Penjaga Waktu?"

"Makhluk yang akan merampas seluruh waktumu."

Otakku langsung terbagi antara ngeri dan khawatir saat ia terus berbicara. Pustakawan itu sama sekali tidak memberikan waktu untuk berpikir. Untuk merespons ucapannya saja lidahku sudah kaku. Lelaki itu berjalan ke lorong kedelepan sambil menggiringku sekalian. Terletak di pojok ruangan membuat buku-buku tertimbun, berdebu dan desiran angin masuk lewat lubang langit-langit. Beberapa daun kering membuat perbedaan nyata di lorong ini. Sempit dan muram membuat suasana percakapan kami mencekam. Atau lebih tepatnya pustakawan itu yang bermonolog sendiri. Aku mendengarkan meski merasa muak.

Penjaga Waktu adalah makhluk mistis yang hidup ribuan tahun, pustakawan itu berucap lagi meski aku enggan mendengarnya. Ia tidak memiliki sifat baik atau jahat. Ia selalu hadir saat sesuatu yang membangunkannya. Seringnya sesuatu itu orang yang mengubah tatanan waktu. Saat aku ingin bertanya tentang watcher winder yang mungin saja mengubah waktu, pustakawan itu membuka buku di depan hidungku. Proyeksi sebuah gambar di mana kabut hitam mampu merenggut seluruh waktu seseorang tanpa diketahui orang tersebut. Kehilangan berjam-jam waktu dalam hidup membuat orang itu hanya hidup dalam kekosongan tanpa makna, aku kehilangan kata-kata. Tidak ada pengecualian. Berperilaku baik atau buruk, ia akan kehilangan seluruh waktu. Tidak ada yang mampu mengalahkan Penjaga Waktu. Ia tidak memiliki hati untuk melakukan dispensasi. Tidak memiliki otak untuk melakukan penawaran. Ia ada untuk menjaga waktu berjalan semestinya. Keadilan adalah hukumannya. Tidak ada yang bisa melihat Penjaga Waktu kecuali pelaku penyelewangan waktu sendiri. Permainan melintas waktu yang membuat seseorang bisa melintas waktu itu diciptakan oleh seseorang yang begitu egois. Keinginan manusia untuk memiliki apa yang telah tiada.

Apa yang bisa menyelamatkan seseorang dari permainan itu? Kalimat terpanjang yang mampu kukatakan saja membuat lidah terasa pahit.

Lelaki itu terkikik, seolah baru saja mendengar hal lucu. Padahal tidak ada yang lucu dari kekacauan ini. Madness.

Tidur selama-lamanya adalah pilihan terbaik dari pada hidup dalam kekosongan ruang waktu. Ia menjawab serius, nadanya menyiratkan agar aku tak membuat kelakuan yang konyol. Tidak ada satu pun yang selamat ketika Penjaga Waktu datang.

Ketakutan menyelimuti seluruh permukaan tubuhku.

Jangan pernah mengacaukan tatanan waktu. Atau Penjaga Waktu yang akan mengacaukan hidupmu. Seutuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top