Part 7 - Reconciliation
Somi merasa kehamilannya semakin tidak nyaman. Mual yang dirasakan semakin bertambah sering, juga rasa nyeri yang menyebar ke seluruh sendi tulang. Kepalanya sering pusing dan tidak nafsu makan. Sesuatu yang menjadi kesukaan, berbalik menjadi sesuatu yang dibencinya.
Somi menarik napas setelah mengeluarkan isi perut untuk ketiga kalinya di pagi itu. Dia pun tidak bisa mengerjakan pekerjaan dengan baik dan tugas skripsinya sedikit tersendat.
Somi memejamkan mata sambil bersandar lemah. Dia berpikir untuk segera pulang dan merebahkan diri di ranjang, karena rasa mual dan nyeri yang dirasakan tak tertahankan.
Tanpa perlu membuang waktu lama, Somi segera meminta ijin untuk pulang lebih awal, dan segera meninggalkan pekerjaannya. Daniel tampak begitu cemas melihat keadaannya dan menawarkan diri untuk mengantar pulang, tapi langsung ditolak Somi.
Mengingat ekspresi Sehun ketika melihat Daniel, Somi tahu jika Sehun tidak menyukai pria itu, dalam pengertian seperti tidak mau Daniel mendekatinya. Somi menolak bukan karena tidak ingin membuat Sehun cemburu, namun karena status dirinya yang sudah menjadi istri orang, sehingga tidak etis jika bersama dengan pria lain.
Somi berpikir untuk mampir ke kafe langganan, membeli segelas coklat hangat, guna mengisi perutnya yang kosong. Dia merasa tidak bertenaga dan kondisi tubuhnya semakin lemah.
“Annyeong,” sapa seseorang dari belakang, diikuti sebuah tepukan ringan di bahu.
Somi spontan menoleh. Tampak di depannya adalah seorang wanita cantik yang pernah ditemui sekitar beberapa minggu lalu. Dia adalah mantan kekasih Sehun.
Somi hanya menghela napas pelan, ketika melihat sosok wanita itu dari dekat. Pikirannya teringat dengan kebohongan yang dilakukan Sehun, demi untuk bersamanya.
“Perkenalkan, namaku Joo-Hyun. Aku adalah teman Sehun-ssi. Kau pasti adalah Somi-ssi, bukan?” sapanya dengan ramah.
Somi mengangguk dan memberikan senyum seadanya. Dia tidak merasa harus bersikap lebih dari itu, hanya karena berpapasan secara tidak sengaja kepada mantan kekasih suami. Terlebih lagi, masalah itu masih menjadi sensitif baginya.
“Apakah aku bisa berbicara denganmu sebentar saja, Somi-ssi?” tanya Joo-Hyun, ketika tidak mendapat respon lebih dari Somi.
“Untuk?” tanya Somi spontan.
Joo-Hyun mengerjap pelan, lalu tersenyum ramah. “Tidak akan lama. Hanya lima menit saja.”
Somi dengan enggan mengangguk dan mengikuti Joo-Hyun yang mengarahkan untuk menempati meja yang tidak jauh dari posisi mereka.
“Aku tidak akan lama dan membuatmu tidak nyaman di sini,” ucap Joo-Hyun, memulai pembicaraan, ketika mereka sudah duduk berhadapan. “Aku ingin meminta maaf padamu secara langsung, dan aku bersyukur jika bisa berpapasan denganmu di sini. Sejak malam itu, aku selalu ingin menyampaikan maaf secara personal padamu.”
Somi menatap kesungguhan dari ekspresi wajah Joo-Hyun. “Untuk apa?”
“Untuk kekacauan yang sudah kubuat. Maafkan aku. Sungguh. Aku yang mendatangi Sehun sekitar sebulan lalu, dan memberitahukan bahwa aku akan bercerai dengan suamiku. Aku tidak tahu jika Sehun sudah menikah, sama sekali tidak menyangka jika akhirnya dia bisa menemukan pasangan.”
Dan seterusnya, Joo-Hyun menceritakan apapun kepada Somi. Tentang hubungannya dengan Sehun, tentang Joo-Hyun yang mengkhianati Sehun sekitar lima tahun lalu, tentang bagaimana Sehun mengalami patah hati yang cukup lama, dan tentang Sehun yang dengan bangga menceritakan Somi di depan Joo-Hyun.
Lima menit berubah menjadi hampir setengah jam. Tidak ada tanya jawab. Hanya penjelasan dari Joo-Hyun tentang Sehun. Herannya, Somi mampu duduk mendengarkan, tanpa sekalipun menyela ucapan Joo-Hyun.
“Untuk apa kau menjelaskan semua ini padaku?” tanya Somi akhirnya.
“Karena Sehun sudah mengalami kesakitan begitu lama. Aku sudah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya, sampai mengabaikan diri sendiri untuk hidup normal. Dia terlalu banyak bekerja dan tidak pernah bahagia. Semua karena aku, yang sudah meremehkan kesetiaan dan cintanya, hingga aku merasa menyesal,” jawab Joo-Hyun lirih.
Somi tersenyum hambar. “Kau bisa menghancurkan hubungan kami, kau tahu?”
“Aku tahu. Maafkan aku,” ujarnya lagi.
Somi sudah lelah mendengar kata maaf, dan itu semua karena salahnya yang terus mengeraskan diri. Maaf akan terus terucap, jika pengampunan belum diberikan. Semua orang pernah berbuat salah, lalu bertobat dan memperbaiki diri, bukan?
“Kau tidak perlu meminta maaf padaku, karena kau tidak salah. Yang tidak jujur adalah Oppa, dan emosiku yang labil. Namun, perlu kuingatkan padamu, sekalipun Sehun belum menikah, tidak sepantasnya kau mendatanginya dan masih mempunyai muka untuk bertemu dengannya,” ujar Somi dengan alis terangkat menantang. “Dan aku tidak heran jika wanita sepertimu akan mengalami akhir kisah yang menyedihkan, sebab awal kisahmu dimulai dengan pengkhianatan.”
Joo-Hyun menatap Somi dengan mata berkaca-kaca, lalu menunduk seolah mengakui perbuatannya. “Sehun membenciku. Dia tidak ingin mengenalku dan menghapus nomorku dari ponsel. Aku...,”
“Bersyukurlah jika kau sudah tidak bisa menghubunginya dan masih diberi kesempatan untuk berkaca diri, bahwa kau sudah tidak layak bagi Sehun, sekalipun hanya sekedar berpapasan!” sela Somi tajam.
Somi segera beranjak dari kursi, menatap Joo-Hyun dengan tatapan dingin, lalu menggelengkan kepala. “Kali ini, kau kumaafkan. Dan terima kasih untuk penjelasanmu, yang tidak sengaja sudah menyadarkanku, bahwa aku sudah membuang banyak waktu, hanya karena wanita yang memalukan sepertimu.”
Tanpa berkata apa pun lagi, Somi mengurungkan niat untuk memesan minuman, dan segera keluar dari kafe itu. Dia mengeluarkan ponsel sambil memasuki taksi yang terparkir di depan kafe.
“Bisakah kau mengantarku ke gedung Ryeung Holdings?” tanya Somi pada supir taksi, ketika sudah duduk di kursi belakang.
Supir itu mengangguk dan segera melajukan taksi menuju ke gedung kantor Sehun. Saatnya melakukan rekonsiliasi karena perasaan yang sudah semakin tidak karuan. Penjelasan Joo-Hyun membuat Somi merasa tidak adil, jika dia terus mendiamkan Sehun yang sudah lama merasakan kesendirian dalam hidup, hanya karena seorang wanita.
Bisa jadi, pria itu merasa bersalah karena sudah menjadi Joo-Hyun yang menyakiti Somi. No! Somi menggeram pelan ketika pikiran itu muncul. Sehun tidak seperti Joo-Hyun. Dia adalah setia dan lembut. Seperti yang pernah Sehun katakan bahwa, dia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Somi tentang keberadaan Joo-Hyun.
“Yeoboseyo,” suara Sehun terdengar di sebrang sana, ketika telepon sudah tersambung.
“Oppa,” panggil Somi dengan suara tercekat.
“Yeobo, ada apa? Kenapa kau terdengar seperti...,”
“Apa kau bisa pulang cepat? Aku kurang sehat dan ingin kau menemaniku ke dokter,” sela Somi cepat.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Sehun untuk menjawab. “Baiklah. Aku akan menjemputmu sekarang.”
“Tidak. Aku sedang menuju ke kantormu. Mungkin 10 menit lagi, aku sudah tiba.”
“Tunggu aku. Aku akan segera membereskan pekerjaanku.”
Telepon dimatikan. Somi pun menarik napas dengan dalam, sambil bersandar lemah di kursi. Dia melumat bibirnya yang kering, mencoba menahan gejolak mual yang kembali mendera. Perutnya bergemuruh lapar, namun dia tidak memiliki keinginan untuk menikmati makanan apa pun.
Tidak sampai 10 menit, Somi tiba di gedung kantor Sehun, membayar argo, dan keluar dari taksi itu. Sehun sudah menunggu di lobby, dan segera menghampiri dengan ekspresi yang tampak begitu cemas.
“Yeobo, ada apa?” tanya Sehun sambil menangkup wajah Somi untuk memperhatikan dengan seksama.
Mendapati perhatian yang lembut seperti itu, Somi spontan terisak dengan luapan emosi labilnya. Dia memeluk Sehun sambil terisak, merasakan kehangatan tubuh pria yang sudah tidak dipeluknya selama sebulan ini.
“Ada apa?” tanya Sehun dengan nada heran, lalu perlahan membawa Somi ke dalam mobil, karena mereka sudah menjadi pusat perhatian.
Setelah memastikan Somi duduk di kursi, memasangkan sabuk pengaman, dan Somi sudah cukup tenang, Sehun melajukan kemudinya.
“Apa yang terjadi denganmu, Yeobo? Kau membuatku ketakutan, kukira kau sudah mengalami kecelakaan sampai harus mendatangiku secara tiba-tiba,” tanya Sehun sambil meraih satu tangan Somi, dan menggenggamnya erat.
“Aku mual, tidak bisa makan apa pun, dan tubuhku sakit,” jawab Somi jujur.
Sehun melebarkan mata dengan ekspresi kaget. Spontan, dia menaikkan kecepatan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat.
“Sudah berapa lama kau mengalami hal seperti ini? Kenapa kau tidak bilang padaku, jika kau kurang sehat? Kita bisa pergi ke dokter lebih awal,” ujar Sehun cemas.
Somi melumat bibirnya dengan mata terpejam. Rekonsiliasi yang diinginkan adalah memberi kabar kehamilan pada Sehun, namun dia sendiri kebingungan. Dia sudah mengunjungi dokter kandungan beberapa minggu yang lalu seorang diri, dan kali ini, dia ingin Sehun menemani.
“Cukup lama, sampai aku tidak tahan lagi,” ucap Somi pelan.
Sehun menggertakkan gigi dan tidak berkomentar. Dia menyetir dengan kecepatan tinggi, seolah takut jika Somi akan merasakan kesakitan yang lebih lama. Melihat hal itu, membuat perasaan Somi melambung tinggi.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di rumah sakit. Ketika Sehun hendak mendaftarnya ke bagian internis, namun Somi menariknya ke bagian kandungan.
“A-Apa maksudmu? Kenapa kau ingin aku.... Aigoo! Apa kau hamil?” seru Sehun dengan mata terbelalak kaget.
Somi menggigit bibir dengan ekspresi waspada. Dia memperhatikan tatapan hampa dari Sehun selama beberapa detik, ketika Somi mengangguk sebagai jawaban.
“K-Kau hamil?” tanya Sehun dengan suara yang nyaris berbisik.
Somi melangkah maju ke arah Sehun dan berjinjit untuk memberi kecupan di pipi. “Kita impas. Kau sudah membohongiku, dan aku yang sudah menyembunyikan hal ini darimu. Jadi, berhenti merasa bersalah.”
“Kau membuatku gila,” gumam Sehun dengan lirih, lalu memeluk Somi erat. “Tapi aku sangat mencintaimu. Ya Tuhan, aku akan menjadi ayah. Terima kasih, Yeobo. Terima kasih.”
Somi tersenyum sambil menarik diri dan mengajak Sehun untuk segera memeriksakan kandungan. Pria itu terlihat gugup tapi antusias. Dia gelisah dan berkali-kali keluar masuk toilet, saat menunggu antrian dokter. Begitu giliran mereka, dengan cepat Sehun beranjak, mendampingi Somi dan tampak tidak sabar untuk segera melihat calon anak mereka, melalui USG dan menanyakan banyak hal pada dokter.
Sehun melakukan peran sebagai suami dengan baik di dalam ruang praktek itu. Sorot matanya melembut ketika melihat monitor USG, tangan yang terus mengusap kepala Somi dengan penuh rasa sayang, dan mendengarkan penjelasan dokter dengan serius.
“Kau harus mengonsumsi makanan yang sehat dan cukup beristirahat, Yeobo,” ujar Sehun, ketika mereka sudah selesai, dan sudah duduk berdampingan di mobil.
“Aku lapar,” rengek Somi sambil menangkup perut.
Sehun menaruh tangan besarnya pada perut rata Somi, lalu mengelus dengan lembut. “Apa yang kau inginkan? Aku akan membawamu untuk menikmatinya.”
“Aku tidak tahu,” jawab Somi.
Sehun mengangguk lalu tersenyum hangat, sambil melajukan kemudi dengan hati-hati. “Bagaimana dengan Tteobbokki dan Bubble Tea?”
“Itu cemilan.”
“Kita mulai dari kesukaanku, sebab apa yang menjadi kesukaanmu, malah kau hindari, bukan?”
“Tapi itu bukan makanan berat.”
“Setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kau tampak begitu pucat, Yeobo. Pantas saja aku melihat wajahmu lebih tirus dan selalu tidak bersemangat. Ternyata kau hamil dan aku begitu bodoh sampai tidak menyadari.”
“Tidak apa-apa. Semua orang tidak akan mengira jika aku hamil dalam postur tubuhku yang belum berubah.”
“Aku sudah yakin jika kau akan hamil setelah bulan madu kita. Aku tidak bermain aman, dan ragu jika aku bertanya padamu, karena kau masih marah padaku.”
Somi tersenyum saja.
“Bisa kau jelaskan padaku, kenapa tiba-tiba seperti ini?” tanya Sehun kemudian, sambil melirik Somi. “Kau mendatangiku, memberitahukan kondisimu, dan mengajakku untuk berkonsultasi. Apa kau sudah tidak marah padaku?”
“Seperti yang tadi kubilang, bahwa kita impas dan kau tidak perlu merasa bersalah lagi.”
Sehun menoleh padanya dengan alis berkerut bingung. “Maksudmu?”
Somi hanya memberikan senyuman lembut padanya. “Ada hal yang tidak harus dijelaskan, namun harus dimengerti. Aku tidak membencimu, namun kecewa, dan itulah yang menjauhkan kita.”
Sehun terdiam sambil memperhatikan Somi, dan kembali mengarahkan kemudi dengan tatapan menerawang. “Apakah ini sudah berarti kita berdamai? Apakah hubungan kita kembali seperti semula? Dan kita bisa berbagi ranjang yang sama?”
“Yes, Oppa,” jawab Somi sambil mengangguk. “Forgiveness is not something we do for other people, we do it for ourselves, to get well and move on.”
Tujuan dari sebuah pernikahan adalah mematahkan ego dan menjadi dewasa. Meski usianya masih muda, namun tidak menjadi alasan dirinya untuk terus bersikap egois dan kekanakan. Apalagi, usia pernikahannya yang masih seumur jagung, terlalu dini untuk membuatnya menyerah. Masalah muncul untuk menguatkan, bukan untuk menghancurkan.
Ketika dirinya mampu memaafkan, maka Somi sudah berhasil mematahkan konflik batin untuk dirinya sendiri. Hal itupun, sudah membuatnya menjadi lebih kuat dalam mempertahankan sesuatu yang jauh lebih pantas untuk diperjuangkan. Yaitu cinta, yang sudah pasti, disertai dengan adanya pengorbanan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Ciyeee... yang udah baekan 🙄
Rekonsiliasi udah.
Seperti suami istri pada umumnya, kalo udah baekan, biasanya pasti kangen-kangenan, sayang-sayangan.
Ye ga?
Sebelum aku lanjut, coba absen umur dulu di kolom komen.
Biar aku gak ngegas kayak di lapak laen.
Yang pasti, nggak akan ada Babang di sini 😂
21.06.19 (10.12 AM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top