Part 6 - I miss you like crazy
Hari ini, jantung aku bekerja keras, akibat nulis adegan klimaks di lapak sebelah 😥
Baca yang seneng2 dulu aja yah,
Kasih aku semangat dong 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Dua minggu.
Sudah dua minggu, Somi mengabaikan Sehun dengan terus menghindari pertemuan, baik secara disengaja atau pun tidak.
Hanya untuk berpapasan saja, Somi seakan tidak sudi. Bahkan, berbagai ajakan perdamaian yang diajukan Sehun, seolah tidak bisa mematahkan sikap keras kepala Somi. Dia yakin jika wanita itu, juga merindukannya, namun terus berusaha menolak dengan melakukan aksi mogok bicara.
Jika Somi selalu beralasan bahwa dirinya masih marah, kenapa harus sampai selama itu? Bukankah memendam kemarahan akan membuat hati dan jiwa seseorang, yang tadinya baik, akan menjadi berburuk sangka dan tidak bisa berpikir positif? Lantas, hal positif apa yang bisa dipetik dari sikap diam yang selalu menghindar seperti itu? Sehun tidak mengerti.
Kini, Sehun sedang menunggu Somi yang belum keluar dari gedung kantor, tempat wanita itu sedang menjalani proses magang. Katanya Somi sedang ada acara kantor yang membuatnya harus pulang malam. Meski Somi tidak meminta, tapi Sehun memutuskan untuk datang menjemput. Sebab, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Sehun tidak ingin Somi pulang sendiri.
Udara Seoul mulai menurun, karena pergantian musim yang akan segera memasuki musim dingin. Sehun merasa bodoh tidak membawa jaket, dirinya masih memakai setelan kerja tanpa jas. Setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor sekitar pukul tujuh, Sehun mengabaikan jam makan malam, dan langsung menuju ke tempat Somi.
Somi masih membalas pesan singkat selama masa vakum, setidaknya ada balasan berupa kabar, demi supaya tidak saling kuatir diantara mereka. Inilah yang perlu disyukuri Sehun, bahwa Somi melakukan upaya yang sangat baik, untuk menjaga hubungan yang sudah semakin dingin saja.
Hatchi! Sehun mulai bersin dan menyilangkan tangan, seolah itu bisa menghangatkan diri. Dia sudah berada di dalam mobil, setelah menunggu di luar selama dua jam lebih. Kopi panas yang sempat dibeli, ketika menuju ke kantor Somi pun sudah habis, namun hal itu menyisakan rasa tidak nyaman pada perutnya. Sebab dia belum makan malam.
Sekitar 20 menit kemudian, Sehun segera bergerak untuk keluar dari mobil, ketika bisa melihat sekumpulan orang-orang sedang keluar dari lobby. Sepertinya Somi sudah selesai dan senyum Sehun mengembang, ketika bisa mendapati sosok istrinya berada di posisi paling belakang. Tapi, senyumnya seketika lenyap, ketika melihat Somi didampingi seorang pria muda yang tersenyum lembut dan menatap Somi dengan penuh arti.
Somi berbicara padanya, dan pria itu membalas ucapan sambil membungkuk, dengan tatapan yang memuja. Sial! Sehun tidak suka pemandangan itu. Sebagai sesama pria, Sehun tahu betul, jika pria itu menyukai Somi.
Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, Sehun berdiri tegap sambil menatap Somi yang sudah berada tidak jauh darinya. Somi menoleh dan matanya melebar kaget melihat Sehun yang ada di situ. Pria yang mengobrol bersamanya pun ikut menoleh ke arah Sehun.
Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada teman-teman yang lain, lalu membubarkan diri, Somi berjalan menghampiri Sehun, bersama dengan pria itu.
“Oppa, kenapa kau datang?” tanya Somi heran.
“Menjemputmu,” jawab Sehun sambil melirik ke arah pria yang sedang tersenyum padanya.
“Perkenalkan, ini Daniel, rekan kerja di Divisi Perencanaan,” ujar Somi, memperkenalkan pria yang bernama Daniel, seolah tahu tatapan tidak suka dari Sehun.
“Annyeong, Hyeong-nim,” sapa Daniel ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah Sehun untuk berjabat. “Senang berkenalan denganmu.”
“Sama-sama,” balas Sehun sambil menjabat tangan Daniel dengan singkat.
Somi menoleh pada Daniel, lalu tersenyum hangat. “Aku pulang dulu, sudah ada yang menjemputku. Terima kasih untuk tawarannya.”
“Sama-sama. Jika kau membutuhkan bantuan, aku akan dengan senang hati untuk membantu,” balas Daniel hangat.
Sehun mengusap hidungnya yang memerah dengan perasaan jengkel. Tapi kembali lagi, dirinya yang pernah melakukan kesalahan, harus tahu diri bahwa hal yang terjadi di depannya, bukanlah apa-apa. Namun jika didiamkan, itu akan menjadi masalah.
Daniel pun berlalu dan hanya menyisakan Somi yang berdua saja dengan Sehun. Wanita itu tampak memperhatikannya selama beberapa saat, lalu mendekat untuk menaruh kedua tangan di pipi Sehun.
“Kau kedinginan, Oppa. Hidungmu memerah, pipimu dingin, dan kau terlihat lelah. Kau bisa flu, jika tetap berdiri di malam yang dingin seperti ini,” ujar Somi dengan lugas.
“Aku tidak ingin kau pulang sendirian,” sahut Sehun sambil menarik Somi, lalu memeluknya untuk mencari kehangatan.
“Kau tidak perlu menjemputku, karena aku bisa pulang sendiri.”
Sehun menegang. Dia menarik diri dan menatap Somi dengan alis berkerut. “Maksudmu pulang sendiri adalah pulang bersama pria tadi?”
Somi mengangguk tanpa ragu. “Dia tinggal tidak jauh dari rumah, dan memang melewati jalan yang sama.”
“Apa kau pernah ke tempatnya?”
“Tidak. Dia bilang apartemennya di Hongdae.”
“Dan kau percaya begitu saja? Tidakkah kau berpikir, jika itu hanya alasan, demi untuk mengenalmu lebih dekat dan mencari perhatianmu?”
Alis Somi terangkat. “Dia tahu aku adalah wanita bersuami, kurasa kami sama-sama tahu batasan dan sama sekali tidak memiliki pemikiran sampai sejauh itu.”
“Kau tidak tahu pemikiran seorang pria yang tertarik dengan seorang wanita, Yeobo.”
“Aku tahu betul dan karena itulah aku menjadi ragu untuk percaya padamu. Bukankah itu sama saja dengan dirimu yang pergi dengan mantan kekasih, membohongiku, lalu merayakan ulang tahun bersama? Aku hanya diantar pulang dan kau sudah berpikir macam-macam. Bagaimana dengan dirimu yang pulang tengah malam, di saat aku tahunya kau sedang lembur?” balas Somi tanpa ragu.
Sehun bungkam. Inilah yang dia cemaskan ketika membawa topik sensitif seperti ini. Sehun hanya berniat untuk Somi waspada, bukan menuduh, lalu berbalik dirinya dihakimi.
Dia menghela napas lelah dan mengerjap tidak nyaman. Kembali dia mengusap hidung, lalu bersin setelahnya. Tanpa berkata apa-apa, Sehun mengarahkan Somi untuk masuk ke dalam mobil, dan dia segera duduk di bangku kemudi.
Mobil sudah melaju dan Sehun tidak berminat untuk memulai pembicaraan, karena sepertinya akan bertengkar seperti tadi. Sehun sudah berupaya untuk berdamai dengan memulai obrolan apa saja, tapi selalu ditanggapi serius dan dingin oleh Somi. Mungkin benar, jika wanita itu masih emosi dan tidak ingin diusik, atau hal seperti itulah yang akan didapati Sehun.
“Bisakah kau menepi di kedai Hera-Ahjumma?” tanya Somi tiba-tiba.
Sehun mengangguk, dan menuruti keinginan Somi untuk menepi. Somi tidak mengajak keluar dan hanya menyuruhnya menunggu. Dia heran dengan Somi yang masih ingin membeli makanan, karena setahunya, bukankah sebuah acara akan menyajikan makanan?
Tidak lama kemudian, Somi kembali dengan sekantong plastik yang cukup besar dan memintanya jalan kembali. Aroma makanan yang tercium sedap, menyerbu indera penciuman Sehun, sehingga perutnya kembali bergemuruh. Seharusnya dia merasa lapar, tapi tidak. Dia merasa kurang nyaman dengan kondisi tubuhnya saat ini, dan mulai menggigil pelan.
Sehun segera keluar dari mobil, setelah memarkirkan mobil di garasi rumah. Somi pun tampak bergegas untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu, kembali menghindar seperti biasa. Sedih, itu yang dirasakan Sehun.
Tentu saja dia sangat menyesal dengan kejadian yang seharusnya tidak terjadi. Joo-Hyun pun meminta maaf padanya dengan menitipkan sebuah surat di resepsionis, dan memberitahu jika dia akan segera kembali ke Busan, guna bertemu dengan suaminya untuk membahas perceraian mereka.
Dengan langkah gontai, Sehun masuk ke dalam rumah, melepaskan sepatu, dan segera menuju ke kamar untuk beristirahat. Sementara Somi sedang melakukan apa pun yang dia kerjakan di dapur, Sehun tidak berminat untuk bertanya.
Tapi ketika dia hendak memutar kenop pintu kamar, Somi memanggilnya.
Sehun menoleh dan mendapati Somi sedang berjalan ke arahnya. “Ada apa?”
Somi melingkari lengan Sehun dengan kedua tangan, lalu mengarahkan jalan menuju ke ruang makan. “Aku membeli Samgyetang untukmu. Ayo makan.”
Sehun tertegun. Tidak menyangka jika Somi akan memikirkan dirinya yang belum makan malam. Dia takjub dengan perhatian dari Somi, yang bergegas menyiapkan makan malam untuknya, meski sempat disangka Sehun untuk menghindarinya.
“Terima kasih, Yeobo,” ucap Sehun tulus, sambil menerima sepasang sumpit dan sendok dari Somi.
Somi memberikan senyuman tipis sebagai balasan, lalu duduk di sampingnya untuk menikmati Bibimbap-nya.
“Apa kau juga belum makan malam?” tanya Sehun dan memulai aktifitas makannya. Ya Lord, ini enak sekali, batinnya lega.
“Sudah, tapi aku masih lapar,” jawab Somi dengan mulut penuh.
Sehun melihat Somi yang makan begitu lahap, bahkan lebih lahap darinya. Wanita itu sepertinya memang benar-benar lapar. Sehun pun mengerutkan alis melihat porsi makan Somi yang berubah. Setahunya, porsi makan Somi begitu sedikit, tapi sekarang menjadi dua kali lipat lebih banyak.
Sehun menikmati makan malamnya sambil berpikir, apakah mungkin jika Somi sedang... berbadan dua? Memikirkan kemungkinan itu, Sehun melirik Somi dan memperhatikan bentuk tubuh Somi dari samping.
Tidak ada yang berbeda dari postur tubuh wanita itu, masih berlekuk di tempat yang seharusnya. Hanya saja, wajah Somi menjadi lebih cantik dan segar. Memperhatikannya dengan seksama seperti ini, membuat Sehun merindukan Somi dan ingin memeluknya.
“Ada apa, Oppa? Kau ingin mencoba makananku?” tanya Somi, yang ternyata sudah memergoki Sehun yang sedang menatapnya.
Sehun menggeleng lalu tersenyum. “Lebih tepatnya, aku ingin memakanmu.”
“Huh? Apa maksudmu?” tanya Somi heran.
Sehun terkekeh lalu kembali pada makanannya, dan menghabiskan semua yang tersaji dengan cepat. Perut yang sudah terisi membuatnya merasa lebih baik.
“Aku senang bisa menikmati makan malam bersama denganmu seperti ini, Yeobo,” ucap Sehun kemudian.
Somi terdiam saja. Dia sudah menghabiskan Bibimbap-nya, mengusap mulut dengan serbet, dan meneguk air putih. Sehun cukup takjub melihat Somi yang sanggup menghabiskan makanan sebanyak itu sendiri.
Karena merasa diabaikan, Sehun segera bangkit berdiri, lalu mengangkat piring dan mangkuk kotornya ke sink. Dia hendak mencuci, tapi Somi sudah melarang. Sehun pun menurut saja dan tidak ingin berdebat.
Kemudian, Sehun kembali pada Somi yang sedang beranjak dari kursi. Dengan lembut, Sehun memberikan sebuah kecupan ringan di atas kepala Somi dan mengusapnya.
“Sehabis mencuci, segera beristirahat. Jangan tidur malam-malam,” bisik Sehun hangat.
Somi mengangkat wajah dan menatap Sehun dengan sepasang mata bulatnya yang begitu indah. Hal itu membuat Sehun menyentuh wajah Somi secara spontan, dia menyukai betapa lembut kulit Somi dalam sentuhannya.
“Aku merindukanmu,” kembali Sehun berucap dalam nada lirih, lalu menarik napas untuk menahan gejolak dalam diri.
Dia harus menahan diri selama mungkin, atau sampai Somi siap untuk menerima dirinya kembali. Sehun menegakkan tubuh, lalu mengundurkan diri untuk menuju ke kamar.
Selama dua minggu terakhir, Sehun tidak mendapati jam tidur yang cukup. Dia lelah, sangat lelah, tapi tidak bisa terlelap. Pengaruh Somi dalam hidupnya begitu kuat, meski perrnikahan mereka baru berjalan enam bulan. Dia yang biasa sendiri, menjadi orang yang tidak bisa tidur tanpa memeluk Somi. Dia yang mandiri, menjadi orang yang tidak becus dalam mengurus diri, termasuk pola makannya yang berantakan.
Tanpa berpikir untuk membersihkan diri, Sehun bersandar di kepala ranjang, dengan posisi tubuh yang masih terduduk di tepi ranjang. Kelelahan membuatnya segera memejamkan mata, dan terlelap begitu saja.
Sampai pada akhirnya, Somi masuk ke dalam kamar untuk memperhatikannya. Dia membetulkan posisi tidur Sehun dengan sekuat tenaga, merebahkannya ke ranjang, melepaskan kemeja, lalu menyelimuti.
Somi menatap Sehun dengan sayu, mengusap kepala dengan lembut, mencium pipi Sehun dengan dalam, dan berbisik lirih, “Aku juga merindukanmu, Oppa.”
Setelah mematikan lampu, Somi pun keluar dari kamar dan menutup pintu, tanpa mengetahui, jika sedari Somi masuk ke dalam kamar, di situ Sehun sudah terjaga dan mengetahui semua yang dilakukannya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Marah boleh,
Ngambek boleh,
Tapi jangan sampe nggak kasih perhatian.
Hubungan yang sehat kayak gitu.
Mau dibilang konyol, gpp.
Terkadang, kudu sesekali bersitegang, supaya hubungan gak terlalu monoton.
Ckckck,
Ngomong apa sih aku?
Serasa uda kek wife expert aja di sini 😏
20.06.19 (16.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top