Part 5 - All I want is you

Mendapatkan mood ala aku tuh mudah,
Contohnya kayak sekarang,
Cuma gara-gara Somi debut, aku langsung bisa lancar nulisnya.
Receh banget ye?

Part ini ditulis, nggak sampe satu jam.
Jadi, bisa dibayangin kalo para visual update IG atau kasih sesuatu yang baru?
Otakku overload micin 😣



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Somi menatap sebuah alat yang menunjukkan dua garis, dengan tatapan kosong. Cukup lama dia terdiam. Entah semenit, dua menit, atau bahkan lebih. Saat ini, Somi tidak bisa memikirkan apa pun.

Tubuhnya terasa tidak nyaman dengan nyeri pada pinggang yang berkepanjangan, mudah lelah, dan pusing kepala. Tadinya, dia berpikir jika dia mengalami gejala akan datang bulan, namun sudah hampir satu bulan, dia tak kunjung mendapat ritual bulanannya.

Meski Somi ragu, dia tetap membeli alat tes kehamilan setelah pulang magang kemarin. Membaca petunjuk penggunaan, Somi baru memakai alat tes itu sekarang, atau ketika dia bangun pagi dan membuang air kecil pertama di hari itu.

Seharusnya, hal itu bisa membawa sukacita bagi Somi. Tapi sekarang? Somi tidak tahu apa yang dirasakannya, sebab dia masih bimbang, bahkan sudah mendekati mati rasa.

Dalam hidupnya, Somi hanya membenci satu hal. Kebohongan. Sebab dari kebohongan, muncul ketidakjujuran, kecemburuan, hilangnya rasa percaya, dan hal-hal negatif lain yang mengikuti. Berbohong seperti penyakit yang sulit untuk diobati. Sekali dilakukan, maka akan ada kali kedua, ketiga, dan seterusnya. Ironisnya, hal itu didapati dari pria yang sudah dicintainya dengan begitu dalam.

Sudah seminggu, Somi menempati kamar tamu dan Sehun tetap pada kamar utama. Somi enggan bertemu muka, atau sekedar bertegur sapa, dengan berangkat lebih awal, dan pulang lebih cepat, demi untuk menghindari Sehun.

Perasaannya yang masih labil, dengan kadar kepercayaan yang sudah tidak ada sama sekali, membuat Somi mengabaikan Sehun. Dia tidak lagi membuat sarapan, membersihkan rumah, atau pun membuat makan malam. Seringkali, Somi sudah mengisi perut di kedai terdekat atau membeli makanan siap saji.

Somi menghela napas sambil memejamkan mata. Untuk sementara, Somi tidak berniat memberitahukan kehamilannya. Dia akan menyembunyikan hal ini, dan berencana untuk mengunjungi dokter kandungan sendiri. Kemudian, Somi meraih ponsel untuk meminta ijin karena kurang sehat. Memang itulah yang dirasakannya selama beberapa minggu terakhir. Selain labil, dia menjadi sensitif, mudah lelah, mual di pagi hari, dan nyeri di waktu malam.

Dia menoleh pada jam dinding dan melihat sudah pukul delapan pagi. Itu berarti Sehun sudah berangkat dan Somi yakin jika hanya dirinya yang berada di rumah.

Dengan segera, Somi beranjak dan menaruh alat tes kehamilan itu ke dalam kotak, lalu memasukkan ke dalam tas. Dia akan segera mengunjungi dokter nanti siang, setelah menikmati sarapan dan membersihkan diri.

Somi membuka pintu kamar dan langsung tersentak kaget, ketika melihat sosok Sehun berdiri menjulang tinggi, tepat di depan kamarnya. Dia mengerjap bingung sambil kembali menoleh pada jam dinding, untuk memastikan jika dirinya tidak salah. Jam delapan pagi. Tapi kenapa Oppa masih di sini? Batin Somi heran.

“Apa kau sakit?” tanya Sehun dengan tatapan menilai. “Kau pucat sekali, Yeobo.”

Deg! Degup jantung Somi bergemuruh kencang ketika mendengar panggilan Sehun padanya. Jika saja Sehun tidak mengecewakan, Somi akan merasa sangat bahagia. Tapi sekarang, yang dirasakannya adalah sedih dan hampa.

“Aku baik-baik saja,” jawab Somi pelan, lalu bergeser untuk keluar kamar.

Somi berjalan menuju ke dapur dan Sehun mengikuti di belakang. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ketika berhadapan dengan Sehun, karena merasa belum mampu untuk menahan gejolak amarah dalam hati.

Dia hendak meraih gelas, namun Sehun sudah mengambil alih dan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas itu. Somi hanya bisa menikmati jus jeruk dan sereal sebagai sarapan. Dan Somi bisa melihat ada semangkuk sereal yang tersaji di meja makan, itu sudah pasti Sehun yang menyiapkan.

Somi menerima segelas jus jeruk dari Sehun, dan meneguknya pelan. Ketika dia sedang minum, Sehun mendekat dan menaruh tangan besarnya pada kening Somi.

“Badanmu hangat. Ayo kita ke dokter, sepertinya kau sakit,” ucap Sehun dengan ekspresi cemas.

Somi tetap meneguk jus jeruk sampai habis, lalu mengusap mulutnya dengan punggung tangan. Dia tidak menggubris kehadiran Sehun, setidaknya hal itu adalah satu-satunya cara agar pria itu segera menyingkir.

“Aku baik-baik saja, Oppa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan,” ujar Somi sambil menaruh gelas kosong di sink.

“Tidak. Kau tidak baik-baik saja,” balas Sehun dengan suara tegas. “Kau sedang kurang sehat dan harus segera memeriksakan diri ke dokter.”

“Kalaupun begitu, aku bisa pergi sendiri,” sahut Somi datar.

Somi memberanikan diri untuk menatap Sehun dari jarak sedekat itu. Keduanya berdiri berhadapan dan terdiam selama beberapa saat. Somi menahan diri untuk tidak membiarkan rasa cemas menguasai, ketika melihat kelelahan yang terlihat di wajah Sehun.

Pria itu seperti kurang tidur dengan kantung mata yang begitu kentara, ekspresinya lelah, dan wajahnya sedikit tirus. Ada raut penyesalan dan kerinduan dari sorot mata Sehun, namun Somi tidak ingin menilai lebih jauh. Untuk sekali saja, Somi ingin bersikap egois, demi menguji hati dan perasaannya.

“Kau pernah bilang kalau kau adalah istri yang harus bertanggung jawab atas dirinya, karena tidak ingin membuatku cemas, bukan?” tanya Sehun lirih.

“Aku sudah bertanggung jawab untuk itu, Oppa. Tentunya kau sudah paham soal keinginanku untuk membutuhkan ketenangan,” jawab Somi dengan alis terangkat lantang.

Sehun menghela napas lelah. “Aku tahu. Tapi tidak untuk sekarang. Kau sedang sakit dan aku kuatir. Aku akan membawamu ke dokter, dan setelah itu, aku tidak akan mengganggumu. Kau bisa kembali ke kamarmu dan mengurung diri di situ tanpa gangguan.”

“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Sungguh,” kembali Somi menolak tawaran Sehun.

“Tolong jangan bersikap keras kepala,” ujar Sehun dengan nada memohon. “Sudah satu minggu, kita seperti orang asing yang tinggal dalam satu rumah, Yeobo. Aku sudah sangat ingin menjelaskannya padamu, dan berusaha untuk memperbaiki, meski aku sudah tidak mendapat ruang maaf darimu.”

“Aku masih marah padamu. Karena itulah, aku tidak mau berurusan denganmu.”

“Apakah sudah tidak ada harapan untukku?”

“Ada, tapi nanti. Aku masih belum...,”

Suara Somi terhenti, ketika Sehun tiba-tiba mencium bibirnya. Aroma mint yang menyenangkan, terasa di mulut Somi. Lumatan lembut yang dilakukan Sehun, membuat Somi hilang akal dalam sepersekian detik. Ciuman yang dilakukan dengan sangat hati-hati itu, membuat degup jantung berpacu lebih kencang, seiring dengan kerinduan yang meluap.

Somi bahkan tidak mampu untuk menolak ciuman Sehun, dan membiarkan pria itu menarik tubuhnya untuk lebih maju, merapat pada tubuh Sehun, dan mengunci tubuh dalam pelukan yang begitu erat. Ciuman lembut pun, berubah menjadi ciuman yang liar, dalam ritme yang dinaikkan lebih tinggi, dan semakin cepat.

Ah,” sebuah desahan keluar begitu saja dari bibir Somi.

Dia bahkan memejamkan mata untuk menikmati cumbuan Sehun yang begitu bernafsu. Kini, Somi membalas ciuman, dan membuka mulut untuk membiarkan lidah Sehun mengeksplorasi rongga mulut dalam liukan yang terlatih.

Berdekatan dengan Sehun seperti ini, selalu membuat Somi merasa terhanyut dalam buaian kelembutan yang diberikan pria itu. Dia menyukai bagaimana Sehun mampu membuatnya lupa akan segala hal, seperti lupa untuk sekedar bernafas dan kewalahan dalam mengimbangi ciuman liar Sehun.

Sehun mengisap keras bibir bawah Somi, sambil menarik lembut, hingga bibirnya tertarik, lalu sentuhan itu menghilang. Sehun menyudahi ciuman penuh hasrat itu, sambil bernafas terengah dan menatap Somi dengan sayu.

“Aku merindukanmu. Sangat,” ucap Sehun dengan nada memohon. “Maafkan aku, Yeobo. Kau boleh membenciku, tapi tolong jangan mengabaikanku. Aku tidak sanggup. Aku memang pendosa, tapi bantu aku untuk menuju ke jalan yang benar, agar aku tidak tersesat.”

Somi menahan diri untuk tidak larut dalam emosinya yang labil. Dia menggigit bibir bawahnya sendiri kuat-kuat, seolah menahan gejolak hebat yang hendak menguar dalam dirinya.

“Aku sudah berbohong, maafkan aku. Aku pergi dengan wanita lain yang adalah mantan kekasihku, ampuni aku. Tidak ada yang terjadi selama aku bertemu dengannya. Aku hanya menghiburnya yang sedang dalam masa duka sebagai seorang teman. Seharusnya aku jujur padamu, tapi tidak kulakukan karena aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku belum begitu mengenalmu, dan mencoba mencari waktu untuk mengatakannya, tapi pikiranku salah. Maafkan aku, Yeobo. Maafkan aku yang sudah menyakiti perasaanmu,” ucap Sehun lirih, kali ini dengan ekspresi sendu.

Roboh sudah. Somi sudah terisak dengan tangisan yang terdengar pilu. Dia memukul bahu Sehun. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Lalu berkali-kali, untuk meluapkan amarah yang terpendam dan rasa kecewa yang begitu besar.

Sehun menerima pukulannya tanpa memberontak, seolah membiarkan Somi mengeluarkan seluruh perasaannya hingga puas. Dia terlihat meringis namun tidak menjauh, justru Sehun semakin mendekatkan diri agar Somi bisa mencapainya. Di wajah, tubuh, perut, atau dimanapun Somi ingin mendaratkan semua pukulan yang sanggup dilakukan.

Pukulan Somi melemah, dan berganti usapan penuh perhatian pada tanda merah yang ada di leher, wajah, tangan, yang merupakan jejak pukulan yang dilakukannya.

Dia benci harus kalah dalam menerima seseorang yang sudah mengecewakan. Dia kesal karena tidak mampu bertahan lebih lama. Semua karena satu hal, yaitu janji suci yang sudah diucapkan, serta kemantapan hati untuk menerima pria itu apa adanya.

“Ketika kau sudah mengecewakanku, perasaanku tak lagi sama, Oppa. Aku tidak akan mudah percaya padamu,” ucap Somi dengan serak.

Sehun mengangguk mengerti. “Aku akan berusaha keras untuk membuatmu mempercayaiku, setidaknya mendengarkan alasanku.”

“Tidak semudah itu. Aku bukanlah wanita penurut yang memiliki kelembutan. Aku hanya wanita biasa yang menyimpan dendam dalam hati, dan memiliki kecurigaan yang tidak terbendung, ketika sudah mendapati pria-nya membohongi.”

“Apakah kau ingin berpisah dariku?”

Deg! Pertanyaan Sehun barusan, jelas sudah membuat Somi kaget.

“A-Apa?”

Sehun menatapnya sedih. “Aku bertanya apakah kau ingin berpisah dariku?”

“Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Karena aku merasa sudah memberikan tekanan hidup dan membuatmu menjadi wanita yang tidak bahagia.”

Somi mengerjap bingung. “A-Apa kau ingin berpisah dariku?”

Sehun menggeleng dengan tegas. “Aku sudah memilihmu. Tidak ada kata kembali, atau berhenti di tengah jalan, ketika aku sudah memutuskan untuk melakukan perjalanan. Sekalipun ada jalan pintas, namun aku tidak ingin seperti itu. Yang kuinginkan hanyalah berjalan bersamamu, Nyonya Oh Somi.”



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Jangan terbuai sama adegan kissing ye?
Sengaja bikin, biar ada penyegaran 🤣

Cerita ini tuh beneran kayak sinetron.
Bumbu rumah tangga ala-ala gitu.
Meski Somi hamil, nggak jamin bakalan happy ending 😏
Kecuali kalau ada yang dinistakan 😂




19.06.19 (13.54 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top