NK 5


💕💕💕

Tita melangkah ke arah pria itu. Dan berdiri tepat di sebelahnya. "Makasih, kamu sudah melunasi biaya rumah sakit ayahku. Mana nomor rekening kamu, biar aku ganti," ucap Tita.

Daffa menoleh, gadis yang tingginya sejajar dengan bahunya itu terlihat sedang memegangi kartu debet.

"Jadi, ayah kamu yang sakit?" tanyanya.

Tita menoleh, menatap pria yang sejak tadi asyik mengunyah permen karet. "Iya, kamu nggak tahu?"

Daffa menggeleng, "Aku cuma disuruh Papa buat ke sini, bayarin biaya rumah sakit atas nama Surya Dinata. Mana aku tahu kalau itu ayah kamu."

"Makasih."

"Okey, tapi nggak perlu repot-repot buat ganti semuanya. Permisi."

Daffa berjalan ke arah parkiran. Tita mengikutinya dari belakang. Sampai pria itu hendak masuk ke mobilnya. Ia merasa risih, karena gadis itu masih terus mengikutinya.

"Ada apa lagi? Aku kan sudah bilang, nggak perlu diganti. Katanya kan Papa aku yang buat ayah kamu celaka."

"Sorry, semuanya salah paham. Aku boleh bertemu papa kamu? Aku mau minta maaf, dan juga mengembalikan biaya yang sudah papa kamu keluarkan." Tita menatap Daffa dengan wajah memelas.

Daffa menarik napas kasar. "Nggak bisa, aku ada urusan."

"Please … aku mohon, aku janji akan turutin semua permintaan kamu." Tita benar-benar merasa bersalah. Ia tak menyangka kalau orang tua pria di hadapannya itu menanggapinya dengan serius. Sampai menyuruh putranya ke rumah sakit untuk menyelesaikan semua biaya.

Daffa melirik, sebenarnya ia bisa saja mengantar gadis itu bertemu dengan papanya. Namun, apa papanya mau bertemu dengan dia. Karena sejak kejadian penolakan waktu itu, papanya terlihat begitu kecewa. Ia hanya takut kalau sang papa akan menolak, mengusir, atau berbuat kasar pada gadis itu.

"Duh, gimana, ya." Daffa menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Aku cuma mau minta maaf, kok."

"Kalau tiba-tiba papa aku minta kamu tanda tangani perjanjian itu lagi, gimana?"

Tita terdiam. Sejujurnya ia tak keberatan menikah dengan pria itu. Siapa yang tak ingin memiliki suami seorang anak pengusaha kaya, yang tampan dan baik hati. Dambaan semua wanita pastinya. Hanya saja, ia tak lagi bisa mengambil keputusan sendiri. Ia takut dibilang anak durhaka. Padahal sejak kecil ia tahu, kalau kedua orang tua angkatnya itu begitu menyayanginya seperti anak kandung sendiri.

"Aku nggak masalah."

"Orang tua kamu. Bisa ngejamin?"

Tita mengangguk dengan cepat. Dilihatnya Daffa membuka pintu mobil dan memberi isyarat dengan kepala, agar Tita ikut dengannya.

💕💕💕

Di tempat lain. Ami, sahabat Tita sedang sibuk melayani pembeli. Bunga-bunga di kiosnya banyak diminati, karena hari ini bertepatan dengan hari valentine. Tak ayal, para pengunjung pun berdatangan.

"Permisi," sapa seorang pria berkacamata hitam.

"Iya, Mas. Ada yang bisa dibantu? Mau cari bunga apa?" tanya Ami ramah.

"Bunga yang cantiknya tak pernah pudar, dan harumnya tak pernah hilang."

"Waduh, bunga apa itu ya?" Ami pun kebingungan.

"Bunga Citra Lestari."

"Hahaha. Masnya bisa aja. Mau cari bunga buat siapa, Mas?" Ami terkekeh, baru kali ini ada pelanggan yang menurutnya lucu.

"Saya cari yang punya kios ini, eum Tita," ucap Pria itu seraya membuka kacamatanya.

Ami menatap tak berkedip pria di hadapannya itu. Berhidung mancung, alis yang menyatu dan berkulit putih. Sampai-sampai mulutnya terbuka saking takjubnya.

"Hellowww!" Pria itu mengejutkannya.

"Oh, eum, Tita---- hari ini dia nggak datang ke kios, katanya ayahnya kecelakaan." Ami berusaha menjawab meskipun gugup.

"Owh, okey. Makasih."

Pria itu melangkah pergi. Ami tak mengejar, karena pelanggannya sudah mengantri untuk dilayani. Hari ini dia begitu kewalahan, harus melayani pembeli seorang diri.

Ami masih bertanya-tanya, siapa pria yang baru saja datang itu. Tiba-tiba menanyakan sahabatnya, tanpa bilang apa-apa. Datang untuk apa? Nama dia siapa?

💕💕💕

Daffa mengajak Tita ke sebuah hotel berbintang lima. Karena di tempat itu sang papa sedang ada acara. Sebenarnya ia enggan mengantar gadis itu ke tempat di mana papanya berada. Tapi, karena sepanjang jalan Tita selalu berisik untuk cepat-cepat diantar bertemu sang papa, demi memohon maaf atas tuduhannya tadi padi. Ia pun akhirnya mau tidak mau mendatangi tempat tersebut.

"Kamu nggak sedang merencanakan sesuatu, kan?" tanya Tita panik.

Daffa terus berjalan di depan. Langkah panjangnya membuat Tita harus sedikit berlari agar bisa berjalan sejajar dengan pria itu.

"Daffa, tunggu aku dong!"

"Tadi kan kamu yang buru-buru biar cepat ketemu papa aku kan?"

"Ya tapi jalannya pelan-pelan aja. Kamu kebelet?"

"Nggak usah bercanda. Ayo!" Tiba-tiba saja tangan Daffa langsung meraih tangan Tita, agar gadis itu tak ketinggalan di belakang lagi.

Wajah Tita bersemu merah, ia menunduk malu. Jantungnya pun berdebar-debar. Baru kali ini tangannya disentuh oleh seorang pria tampan seperti Daffa. Ia berharap waktu berjalan dengan lambat saat berduaan seperti itu.

Kamar 209.

"Kita ke kamar? Kamu----" Tita menarik tangannya dari genggaman Daffa.

"Haduuuh. Jangan piktor!" Daffa menyentuh kening Tita dengan jarinya.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka lebar, setelah Daffa menempelkan kartu di dekat pintu. Tita mengekor pria itu sampai ke dalam.

Sepi, tak ada orang sama sekali.

Klik.

Pintu kamar tertutup dengan sendirinya. Daffa masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Tita masih berdiri di depan pintu. Menatap isi di dalam kamar tersebut. Tak ada yang aneh memang, sama seperti kamar hotel lainnya.

Ada sofa, meja, kasur, lemari, vas bunga, beserta barang elektronik lainnya. Tita merasa ada yang tidak beres. Atau jangan-jangan Daffa ingin mengerjainya?

"Daffa!" panggil Tita sambil menggedor pintu kamar mandi.

"Daffa! Kamu mau ngerjain aku, ya?" Tita mulai panik. Pintu kamar terkunci. Sementar ia berjalan ke arah jendela. Kakinya gemetar melihat ke bawah. Ia takut dengan ketinggian, bagaimana tidak tinggi. Mereka saat ini berada di lantai dua puluh.

Klek.

"Kenapa sih teriak-teriak?" tanya Daffa yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Tita melihat Daffa sudah berganti pakaian. Kemeja lengan panjang, dan celana bahan panjang yang tadi ia kenakan sudah berganti dengan celana pendek dan kaus oblong.

Daffa langsung berbaring di atas ranjang. Meletakkan satu tangannya di bawah kepala, sementara tangan satunya menekan remote TV.

"Daffa! Apa-apaan sih? Kenapa kamu ngajak aku ke sini? Aku mau ketemu papa kamu." Tita melempar bantal ke arah pria yang asyik menonton acara gosip di televisi.

"Hey, sabar. Papa meeting sampai jam lima sore. Sekarang masih jam dua. Aku kan udah bilang tadi nggak bisa. Tapi, kamu maksa. Dan aku nggak bisa bawa kamu pulang juga. Kamu tahu sendiri mama aku kaya gimana. Biar aman, ya kamu aku ajak ke sini. Tenang aja, Papa ada di lantai bawah kok. Aku juga udah wa dia. Jadi, aku pastiin kalian nanti bisa ketemu." Dengan santainya Daffa menjawab.

"Ya, tapi kamu jangan sekap aku di sini, dong!"

"Siapa yang sekap kamu? Kalo kamu mau pulang, ya pulang aja. Ayo!" Daffa beringsut dari ranjang.

Tita pun serba salah, kalau pulang, berarti tak bisa meminta maaf pada papanya Daffa. Kalau tetap di situ, ia takut Daffa akan berbuat macam-macam padanya.

Kruuuk.

Suara perut Tita memecah keheningan. Daffa melirik dan tersenyum kecil. "Bilang aja lapar. Nggak usah ngomel-ngomel. Udah duduk situ, aku pesenin makanan. Mau makan apa?"

"Apa aja," jawab Tita malu-malu.

"Nasi goreng?"

Tita menggeleng.

"Pizza?"

Tita masih menggeleng.

"Bakso?"

Tita kembali menggeleng.

"Spageti?"

Lagi-lagi Tita menggeleng.

Daffa berdecak kesal. "Katanya apa aja, tapi----"

"Nasi padang pakai rendang."

Daffa menahan tawa sambil menggeleng. Lalu memesan pesanan Tita menggunakan aplikasi.

"Kecil-kecil makannya banyak juga," gumam Daffa heran.

Satu jam berlalu. Selesai makan Tita tertidur di sofa, sementara Daffa masih asyik menonton televisi. Matanya tertuju pada gadis dengan rambut kuncir kuda itu. Ia pun melangkah mendekat. Merasa kasihan karena sudah mengerjai gadis itu, ia pun ingin membopong tubuh mungil Tita ke atas ranjang.

Perlahan Daffa mulai menyentuh bahu Tita, meletakkan kepala di lengannya. Lalu tangan satunya mengangkat kaki mungil itu. Tubuh Tita pun kini sudah berada di gendongan Daffa.

Daffa dengan sangat hati-hati membaringkan tubuh itu. Tita sama sekali tak terbangun, ia begitu pulas tertidur, karena memang kelelahan. Ia pun menyelimuti gadis itu. Lalu mematikan televisi, dan ikut tidur di sebelah Tita dengan guling sebagai pembatas.

💕💕💕

Bersambung.

Vote komennya jangan lupaaa yaaa.

Bakalan terjadi sesuatu nggak ya???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top