NK 4

💗💗💗

Motor yang dikendarai Tommy menuju rumah sakit. Jalanan pagi itu begitu padat, karena berbarengan dengan para pekerja juga anak sekolah.

Tita tampak gelisah, wajahnya terlihat pucat. Tommy sesekali mengklakson motornya, agar pengendara di depannya mempercepat laju.

"Di rumah sakit mana, Tom?" tanya Tita.

"Rumah Sakit Harapan, Ta. Mana macet banget lagi."

"Iya, duh gue takut nih bokap gue kenapa-napa."

"Udah, loe tenang aja. Kalo udah di rumah sakit mah aman. Udah ada dokter sama suster yang ngobatin."

Tita sedikit lega mendengar ucapan sepupunya barusan. Laju motor Tommy pun semakin cepat saat mulai memasuki jalan besar. Karena di jalan itu kendaraan mulai terbagi. Ada yang ke Selatan, Utara, Barat dan Timur. Sementara mereka berdua menuju arah Selatan.

Saat hendak berbelok ke sebelah kiri, tiba-tiba saja sebuah mobil berkecepatan tinggi hampir menyenggol motor mereka. Tita tak terima, karena Tommy hilang kendali dan mereka nyaris celaka.

"Kejar, Tom! Gila tuh orang bawa mobil kaya kesetanan." Tita menunjuk mobil silver yang baru saja melintas, terlihat mobil tersebut masuk ke pom bensin.

Motor Tommy behenti tepat di depan mobil tersebut. Lalu mereka turun, dan Tita mengetuk jendela di samping kemudi.

"Woy, keluar loe!"

Kaca mobil terbuka setengah, seorang pria berkepala plontos menatap tajam. "Kenapa, kau? Ada masalah?" tanyanya dengan logat Medan.

"Mobil anda hampir nabrak kita."

"Hampir, kan?"

"Iya, tapi tetap saja kau orang bawa mobil membahayakan," sambung Tommy kesal.

Pria di kursi penumpang pun akhrinya turun menemui keduanya. Tita tampak terkejut melihat siapa yang naik di dalamnya. Hanggono, ayah dari pria yang ingin menikahinya kemarin.

"Om?" Kedua mata Tita membulat. Mulutnya seketika mengatup tak percaya.

"Oh, kebetulan sekali. Om tega ya! Setelah menyelakai ayah saya, sekarang Om suruh sopir Om buat celakai saya?" tanya Tita di depan Hanggono. Dugaannya langsung menuju pada Hanggono, penyebab sang ayah masuk rumah sakit. Karena ia tahu betapa sakit hatinya pria itu saat kemarin ayahnya menghancurkan surat perjanjian mereka.

"Maksud kamu apa? Maaf, kalau sopir saya hampir mencelakai kalian."

Tita memukuli pria paruh baya di hadapannya. Yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Sambil berteriak-teriak, dengan air mata berurai. Ia kesal karena Hanggono seolah tak tahu apa-apa atas kejadian yang menimpa ayahnya.

"Om jahat!  Om tega sudah berusaha mencelakai Ayah saya. Kalau Om mau saya jadi menantu Om. Bukan begini caranya. Menyewa preman untuk memukuli Ayah saya." Tita akhirnya menghentikan tangannya yang sejak tadi memukul dada Hanggono.

Gadis itu mengusap wajahnya yang basah. Air matanya ia tahan agar tak lagi tumpah. Menatap pria paruh baya di depannya yang tampak diam.

Dada Hanggono terasa sesak, bukan karena sakit oleh pukulan gadis itu, melainkan karena wajah Tita saat menangis, mengingatkannya pada wajah mantan sang kekasih, Seruni, Ibu kandung Tita yang selama ini ia telantarkan.

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Ayah saya, Om harus bertanggung jawab," ucap Tita lirih sambil naik kembali ke atas motor.

"Ayo, Tom!  Nggak ada gunanya kita di sini. Orang-orang kaya mereka memang tak pernah punya hati," ucap Tita lirih.

Hanggono menatap kepergian keduanya dengan pandangan sendu. Ia sama sekali tak tahu apa yang telah terjadi pada ayah gadis itu. Bahkan ia belum sempat memikirkan rencana apa yang akan ia lakukan agar keluarga Tita mau menerima putranya menjadi menantu.

Pria berbadan tegap itu pun masuk kembali ke mobil. "Sapto, kita ikuti motor tadi!" titahnya pada sang sopir.

"Buat apa, Tuan? Kita sudah telat meeting."

"Saya bilang ikuti, jangan membantah!"

"Siap, Tuan!"

💗💗💗

Di tempat lain, dua orang pria kakak beradik duduk di sebuah coffee shop. Sang kakak sejak tadi serius di depan laptopnya mencari lowongan kerja. Sementara sang adik asyik bermain game di ponselnya.

"Mas, cewek itu siapa, sih?" tanya pria dengan codie abu-abu sambil menyesap es kopi miliknya.

"Yang mana?"

"Yang mau dijodohin sama Mas Daffa."

Daffa menghentikan aktivitasnya, menoleh dan menatap sang adik. Lalu tersenyum kecil. "Kenapa?"

"Penasaran aja, secantik apa sih dia? Kok Papa ngotot banget mau jodohin kalian?"

"Biaja aja, punya kios bunga. Aku juga nggak ngerti kenapa Papa begitu pengen banget dia ada di rumah kita. Kesannya kan gitu."

"Bener, tuh. Apa karena Papa nggak punya anak cewek kali, ya."

"Maybe. Nih orangnya!" Daffa memutar laptop mengarahkan pada sang adik.

Sebuah akun facebook atas nama "Tita Flowers". Tak hanya nama akun, bahkan foto-foto gadis itu pun banyak di sana, beserta bunga yang ia jual dikiosnya.

"Cantik, manis," ucap David lirih.

"Jangan macem-macem. Cukup dilihat aja. Kamu kan gitu nggak bisa lihat cewek bening dikit."

"Ya kalo Mas Daffa nggak mau buat aku ajah. Coba lihat, di mana alamatnya." David mengambil gambar dengan kamera ponselnya untuk memoto alamat tersebut. Lalu ia bangkit dari duduk mengambil tas ransel di kursi.

"Aku cabut dulu, Mas. Tengkyu."

Daffa melongo melihat kepergian sang adik begitu saja. "Anak itu kebiasaan," gumamnya kesal. Kedua matanya sontak beralih ke benda pipih di samping laptop. Ponselnya berdering, sang papa menghubunginya.

"Ya, Pa."

"Kamu di mana? Cepat ke sini, Rumah Sakit Harapan, sekarang juga. Papa tunggu di depan ATM."

Tut tut.

Belum sempat Daffa bertanya ada apa, dan siapa yang sakit, sang papa sudah lebih dulu menutup panggilan teleponnya. Persis sama kebiasaan itu dengan sang adik. Entah ia merasa hanya dirinya yang tak memilik kebiasaan yang sama dengan papanya itu.

Adik ketiganya, Dimas sama-sama penyuka seafood, adik bungsunya sama-sama pecinta binatang, adik keduanya David, hobi gonta-ganti cewek. Semua sifat itu kata sang mama menurun dari sang papa. Hanya dirinya yang hidupnya datar. Apa saja suka, tak ada pantangan, atau pobhia.

Ia pun bergegas merapikan laptop dan barang-barang yang berserak di meja. Memasukkannya dalam ransel hitam miliknya. Menyeruput sisa kopi hitam yang sudah dingin terkena angin. Lalu melangkah keluar dari coffee shop itu menuju parkiran.

💗💗💗

Tita bersama keluarganya sudah berada di ruang rawat inap. Ia bersyukur ayahnya tak mengalami luka yang berat. Hanya memar saja di bagian wajah dan perut.

"Sebenarnya Ayah kenapa bisa sampai dipukuli preman sih?" tanya Retno pada suaminya.

"Pasti orang suruhannya papanya Daffa, kan Yah?" potong Tita geram.

"Ssst … kita nggak boleh nuduh orang sembarangan tanpa bukti, Ta."

"Udah jelas, loh Bu. Pasti keluarga mereka." Tita melipat kedua tangannya di depan dada. Masih geram saja dengan ulah keluarga Daffa. Ia tak menyangka kalau cowok itu akan berbuat nekat.

"Bukan, Ta. Ayah memang punya hutang sama Pak Ramdan. Minggu kemarin sudah jatuh tempo, makanya preman itu dibayar buat mukulin Ayah," ujar Surya lirih.

Kedua perempuan di depannya saling pandang. Tita dan sang Ibu menatap kesal ke arah pria yang berbaring itu.

"Jadi, Ayah selama ini ngutang sama rentenir? Buat apa, Yah? Astaghfirullah …." Retno mengelus dadanya dan menarik napas dalam-dalam.

Kedua kaki Tita seketika lemas, ia sudah salah sangka dengan papanya Daffa. Bahkan ia sudah mempermalukan pria paruh baya itu di depan umum, dengan memukulinya. Ia tak tahu lagi gimana caranya meminta maaf atas perlakuannya tadi. Ia terduduk di sebuah kursi plastik.

"Maafin Ayah, Ta," ucap Surya menatap putrinya.

"Tita malu, Yah. Tita udah nuduh Pak Hanggono yang melakukan semua ini." Tita menunduk dengan wajah merah padam.

Kedua orang tua Tita hanya terdiam. Mereka juga tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Surya pikir preman itu tak akan datang pagi-pagi, apalagi mencegatnya yang hendak bekerja. Karena biasanya mereka akan datang menagih ke kantor sepulang kerja.

"Tommy mana, Ta?" tanya Retno.

"Tadi pamit mau kerja, Bu."

"Untung ada Pakde sama Budemu, kalau enggak, Ayahmu bisa telat ditangani."

Tita tersenyum kecil. Orang tua Tommy memang penolong pertama. Dan kini mereka sudah kembali sejam yang lalu karena harus bekerja. Benar, tanpa mereka mungkin ayahnya akan banyak kehabisan darah di pelipisnya yang sobek.

Tiba-tiba seorang suster masuk ke ruangan, menghampiri Surya dan Retno. "Pak Surya kata dokter sudah diperbolehkan pulang, tapi sebelumnya harus menyelesaikan administrasi terlebih dahulu."

"Baik, Sus. Terima kasih," ucap Retno.

Suster itu pun lalu kembali ke luar ruangan.

"Ta, kamu yang urus, ya. Nih ATM Ayah." Retno memberikan kartu ATM pada putrinya.

"Tita ada kok uang, Bu. Pakai uang Tita aja." Tita bergegas ke luar ruangan menuju loket administrasi.

Sesampainya ia langsung menyebutkan nama sang ayah.

"Total lima juta, Mbak."

"Sebentar, pakai debet bisa?" tanya Tita seraya menyodorkan kartu debetnya.

"Maaf, Mbak. Sudah lunas."

"Apa? Si-siapa yang bayar, Mbak?"

"Itu, tadi cowok yang berdiri di situ." Suster tersebut menunjuk ke arah pintu masuk.

Pria jangkung dengan tas ransel berdiri  di samping pintu masuk dengan menghapad ke jalan. Tita tahu persis itu siapa, dilihat dari postur tubuh dan penampilan serta rambutnya. Daffa.

💗💗💗

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top