NK 1

Mohon follow dulu sebelum membaca.
Tengkyuu

Author note.

Cinta.

Apa yang kamu pikirkan tentang kata itu?

Senang?
Sakit hati?
Orang yang kamu suka?
Kamu sayang?
Atau mantan?

Hahahaha.

Buat aku itu bullshit.

Why?

Cinta aku bukan buat dia yang kusayang.

Kok bisa?

Apa yang tidak bisa terjadi di dunia ini? Bahkan satu-satunya hati yang kupunya tak mampu memiliki hati yang kucinta.

Cinta memang tak harus memiliki. Kepemilikan itu sudah tiada arti, kalau berada ditangan yang membeli.

Lalu, bagaimana dengan hidup seseorang dalam rumah tangga jika tak memiliki cinta. Akankah cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu?

Mungkin sebagian orang bicara begitu, karena sudah tak tahu lagi hendak ke mana hatinya berlabuh.

Namun, bagi seseorang yang masih ingin memperjuangkan cintanya. Ia akan mengakhiri semuanya atas nama cinta.

💗💗💗

Langit siang begitu cerah. Dua insan berlainan jenis tengah duduk bersisian di kursi taman. Sang wanita menangis, di tangannya menggenggam sebuah alat tes kehamilan. Hubungannya dengan sang kekasih telah menghasilkan dua garis merah di alat tersebut. Pria yang duduk dengan gelisah itu nyata-nyata tak akan menikahinya. Karena ia telah di jodohkan dengan wanita lain pilihan orang tuanya.

“Maafkan aku, Seruni. Aku tidak bisa menikahimu.”

“Mas lebih memilih janda beranak satu itu ketimbang aku?”

“Bukan begitu, kamu tau kan bagaimana orang tuaku? Mereka sudah menjodohkanku dengan Rahayu. Kalau tidak perusahaan orang tuaku akan bangkrut.”

“Kamu tega, Mas Hanggo. Lalu bagaimana dengan anak kita? Anak yang ada dalam kandunganku?”

“Terserah kamu, kalau kamu mau menggugurkannya. Aku ikhlas. Atau kalau kamu ingin merawatnya. Aku janji, aku akan membiayainya sampai besar nanti.”

Wanita bernama Seruni itu sudah tak ingin lagi mendengar apa pun dari kekasihnya itu. Hati dan masa depannya sudah hancur. Ia tak tahu harus bilang apa pada keluarganya nanti. Anaknya akan lahir tanpa ayah. Gunjingan dan cemoohan warga pasti akan ia dengar setiap saat.

Semua adalah kesalahannya, Cinta telah membuatnya buta. Sampai-sampai ia melakukan hal yang tak seharusnya. Mereka pun akhirnya berpisah.

💗💗

Dua puluh tahun telah berlalu. Hanggono kini menjadi seorang pengusaha sukses, sebagai pemilik perusahaan yang bergerak di bidang properti. Beberapa mol, apartemen bahkan perumahan sebagian besar atas nama perusahaannya.

Pernikahannya dengan Rahayu, dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Sementara anak bawaan dari sang istri juga laki-laki. Rahayu usianya sudah tak muda lagi, Hanggono yang begitu menginginkan anak perempuan itu tak akan ada harapan lagi dari sang istri.

Ia teringat akan mantan kekasihnya yang bernama Seruni. Bukankah waktu itu ia tinggal sang kekasih sedang hamil. Bagaimana dengan anak yang dikandungnya? Ia sama sekali tak pernah menemui Seruni karena kesibukannya.

Hanggono berusaha keras mencari alamat mantan kekasihnya itu. Demi mendapatkan keberadaan anaknya. Sebuah rumah panti asuhan ia datangi. Menurut assisten yang diutus untuk mencari tahu, kalau Seruni terakhir kali tinggal di panti asuhan, menjadi pengasuh di sana. Karena diusir oleh keluarganya.

Hanggono akhirnya menemui penjaga panti, sayangnya ia tak lagi bisa bertemu dengan Seruni. Mantan kekasihnya itu telah meninggal dunia lima belas tahun yang lalu karena kanker payudara. Dan saat itu Seruni meninggalkan seorang putri bernama Nurlita Septiani.

Namun, Nurlita sudah diangkat anak oleh pasangan suami istri lain. Setahun setelah meninggalnya sang ibu. Hanggono bingung, ia harus bertanggung jawab atas hidup sang anak dari mantan kekasihnya itu. Bagaimana pun juga, Nurlita adalah anak kandungnya yang selama ini ia telantarkan.

Pencarian itu tak berhenti sampai di situ. Hanggono mencari tahu keluarga angkat putrinya. Ternyata tak butuh waktu lama. Nurlita adalah anak yang diangkat oleh pasangan Surya dan Retno, pemilik Kios Bunga di ujung jalan tak jauh dari komplek perumahannya.

Hanggono berpikir, bagaimana caranya agar Nurlita bisa masuk ke dalam rumah dan bersatu dengan keluarganya. Satu-satunya cara hanya menikahkannya dengan Daffa, putra pertama bawaan dari sang istri.

Keluarganya tak akan pernah curiga, karena meski Hanggono adalah ayah kandung Nurlita. Ia tetap tak bisa menikahkannya. Karena anak itu hanya mempunyai nasab dari sang ibu. Sebab ia tak pernah menikahinya. Ia hanya tinggal bilang kalau dirinya pernah berhutang nyawa dengan keluarga Nurlita.

💗💗

Keluarga Hanggono tengah berkumpul di ruang makan. Pagi ini mereka sarapan seperti biasa dengan makanan kesukaan masing-masing.

“Daffa, Papa ingin bicara sama kamu.” Hanggono menatap putranya.

Pria jangkung bernama Daffa itu melirik sekilas pada sang papa. Tangannya sibuk mengolesi roti dengan sekai coklat kesukaannya.

“Papa ingin menjodohkanmu dengan seorang gadis. Dia cantik, baik juga ramah,” sambung Hanggono lagi.

“Pa. Daffa nggak mau dijodohkan. Memang siapa gadis itu?” tanya Daffa.

“Gadis anak pemilik toko bunga di ujung jalan sana.”

“Papa apa-apaan sih? Masa anak kita mau dijodohkan dengan anaknya tukang bunga. Nanti apa kata orang?” Rahayu sang istri bersungut kesal.

“Papa berhutang nyawa dengan keluarga mereka, Ma.” Hanggono mencoba mencari alasan.

“Ya Papa bayar saja hutangnya. Beres. Nggak perlu nikahin Daffa sama anaknya. Ingat, Pa. Nggak selevel sama keluarga kita.”

“Mama mau Papa bayar dengan nyawa Papa?” tanya Hanggono geram.

“Ya, bukan itu maksudnya, Pa.” Rahayu melemahkan suaranya.

“Keputusan Papa tidak bisa diganggu gugat!” ujar Hanggono tegas.

“Tapi, Pa. Aku nggak yakin bisa suka apalagi Cinta sama gadis itu.” Daffa menatap sang papa penuh harap, semoga ia tak jadi dijodohkan.

“Gimana kalau pernikahan kalian Papa kontrak selama satu tahun. Kalau memang kalian tak bisa bersatu, tak saling sayang atau cinta. Setahun itu kontrak kalian habis.” Hanggono memberi syarat. Ia yakin, kalau cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu.

Daffa adalah anak yang baik, sejak kecil ia didik dengan baik. Hingga menjadi sosok yang dewasa dan memiliki kepribadian menyenangkan, meski sedikit lebih pendiam dari pada ketiga adiknya. Sementara Nurlita, yang ia tahu adalaha gadis ceria, supel dan riang seperti mantan kekasihnya Seruni.

“Okey, aku terima tawaran Papa.”

“Good Boy. Ini baru anak Papa.”

“Pa, tapi Daffa baru selesai kuliah. Kerja juga belum. Bagaimana ia bisa menghidupi istrinya nanti?” Rahayu tetap tak menyetujui keputusan suaminya.

“Mama tenang saja. Gadis itu akan tinggal di rumah kita nanti. Semua kebutuhannya akan Papa penuhi. Daffa juga bisa langsung kerja di perusahaan Papa.”

“Apa? Enak sekali gadis itu. Tapi, Pa. Daffa juga mau Mama jodohkan dengan anak teman Mama. Suami teman Mama itu anggota DPR, belum lagi yang suaminya Polisi. Mereka lebih selevel dengan keluarga kita, Pa.”

“Sudah, ya, Ma. Ini sudah menjadi keputusan Papa. Daffa juga mau kok.”

Perdebatan antara Hanggono dengan sang istri pun berakhir. Meski kesal, Rahayu menyembunyikan kekesalannya.

💗💗

Siang sepulang dari kampus, setelah selesai menyelesaikan administrasi untuk wisuda. Daffa menyambangi toko bunga yang dimaksud sang ayah.

Mobil BMW X5 warna putih, terparkir di depan kios. Sang pemilik keluar dari mobil lalu melangkah menuju kios. Dilihatnya seorang gadis berkulit putih sedang asyik menyirami tanaman bunga miliknya.

"Ehem." Suara deheman mengejutkan gadis itu.

Sang gadis menoleh, matanya membulat mengetahui siapa yang ada di hadapannya itu. Seorang putra pengusaha sukses di kotanya. Tak ada yang tak mengenal pria itu.

"Eum, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang gadis gugup.

Ia tak menyangka, akan ada pria tampan yang mampir ke kiosnya. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan berdandan terlebih dahulu untuk menyambut kedatangannya.

"Apa benar kamu yang bernama Nurlita Septiani?" Suara itu berat terdengar dari pria di depannya.

"Be-benar, Tuan."

"Apa kamu memiliki kekasih?"

Nurlita atau biasa ia dipanggil dengan Tita, mengernyit. Ia tak tahu apa maksud pertanyaan pria itu.

"Ti-tidak, Tuan. Memang ada apa, ya?"

"Bagus."

"Bagus? Maksudnya apa, Tuan?"

"Apa kamu mau menjadi istriku selama satu tahun? Aku akan bayar kamu bulanan, seperti seorang karyawan. Pekerjaanmu mudah. Hanya menuruti semua perintahku. Kamu nggak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Gaji kamu besar, bahkan semua kebutuhan hidupmu dan keluargamu akan ku tanggung."

Tita menelan saliva. Hatinya bertanya-tanya. Apakah benar yang diucapkan pria di hadapannya itu?

Seorang putra konglomerat, anak pemilik perusahaan property yang tengah digandrungi oleh para wanita. Melamarnya dengan tiba-tiba. Tak ada angin atau pun hujan.

Tita tak masalah dengan status pernikahannya nanti. Yang hanya nikah kontrak selama satu tahun. Paling tidak, ia sudah cukup bahagia bisa tinggal bersama pria pujaan hatinya. Di rumahnya yang besar, dengan segala fasilitas yang ada. Kapan lagi Tita? Hatinya menyemangati.

"Hey, apa kau mendengarku? Penjelasanku tak kau pahami?" Ia menatap tajam seraya menundukkan wajah tepat di depan gadis itu.

Tita mengangguk cepat sebelum pria itu berubah pikiran.

"Okey, wahai gadis penjual bunga. Ini alamatku. Datang ke rumahku tepat pukul lima sore hari ini. Aku akan beritahu semua tugasmu. Dan alasan kenapa aku memilihmu sebagai calon istri bayaranku."

Pria itu menyodorkan sebuah kertas, dengan senang hati Tita menerimanya. Membaca sekilas nama dan alamat dalam kertas kartu nama itu.

Daffa Prayudha Army.
Jl. Kemuning No 69. E-City Commercial Jakarta.
0822.3344.5566.

Ia lalu melangkah keluar dari toko bunga milik sang gadis. Masuk ke dalam mobil mewahnya. Dan melaju menembus jalan raya. Sementara Tita tersenyum kecil, akan ada kejutan manis yang akan dibawa untuk orang tuanya. Anak mereka akan segera menikah dengan pria tampan nan kaya raya.

Hosh hosh hosh.
Seorang gadis dengan kulit sawo matang, datang tergesa-gesa. Ia membawa beberapa pupuk yang baru saja ia beli. Motornya terparkir di samping kios.

"Ta, itu tadi si Daffa kan? Anaknya yang punya mol, sama apartemen Green House?  Ngapain dia ke sini?" tanya seorang gadis dengan rambut dikuncir ekor kuda.

"Iya, Ami. Itu si Daffa."

"Iya, dia ngapain ke sini? Beli bunga? Pesan bunga?" tanyanya seraya menata pupuk itu di bagian depan kios.

Gadis di depan Tita bertanya penuh semangat. Sementara sohibnya yang ia tanya hanya senyum-senyum. Lalu melangkah masuk. Ami mengikutinya dari belakang. Menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor karena tanah.

"Ye,  Tita. Gue nanya sama loe. Itu dia ngapain ke sini?"

Tita duduk di kursi kayu dalam ruangan, lalu memandangi kartu nama yang masih dipegangnya itu. Karena penasaran, pertanyaannya tak dijawab. Ami merebut kartu nama itu dari tangan sohibnya.

Setelah membaca sekilas, Ami memberikannya kembali pada Tita.

"Ah cuma kartu nama, apa istimewanya," celetuk Ami. Ia lalu bangkit dari duduknya.

"Dia ngelamar gue, Mi," ucap Tita membuat sohibnya memutar badan menghadap ke arahnya.

"Becanda, loe."

"Gue serius, nanti sore gue disuruh datang ke rumahnya. Dan dia akan jelasin kenapa dia pilih gue buat jadi istrinya."

"Jangan-jangan, loe buat taruhan lagi. Dia terpaksa nikahin loe karena kalah taruhan. Orang-orang kaya dia kan bisa aja berbuat kaya gitu. Merendahkan orang kaya kita. Yang nggak punya apa-apa. Saran gue mending loe nggak usah datang."

"Dia sih bilang, nikah kontrak selama satu tahun, Mi."

"Nah, apalagi itu. Loe harus pikirin matang-matang. Emang sih dia kaya, ganteng, tapi ini semua buat masa depan loe, Ta."

Ucapan Ami membuat Tita merasa ragu. Tapi, kalau ia melihat dari wajah Daffa tadi, sepertinya pria itu bukan tipe yang suka mempermainkan wanita. Karena dari berita gembar gembor para aktor atau anak pengusaha yang sering gonta ganti pacar. Daffa termasuk anak pengusaha yang terkenal cuek, dan dingin. Bahkan katanya ia tak pernah pacaran selama kuliah.

"Tapi gue penasaran, Mi. Kenapa dia pilih gue di antara ribuan bunga yang cantik dan harum." Tita menghela napas pelan.

"Ya terserah loe sih, Ta. Jangan aja habis nikah loe mewek nangis-nangis depan gue. Trus bilang, gue nyesel, Ami. Tau gitu gue nggak terima itu permintaan dia. Gue disiksa di rumahnya, gue cuma dijadiin pembantu." Ami memperagakan dengan wajah memelas.

"Hahaha ... sumpah, muka loe jelek banget barusan."

"Sialan, loe."

Mereka pun tertawa bersama. Lalu kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Kios bunga itu diberi nama Tita Flowers. Kios yang diberikan oleh orang tua angkat Tita. Sementara ayah angkatnya bekerja sebagai PNS di sebuah kantor walikota sebagai staff administrasi. Dan ibu angkatnya sebagai guru taman kanak-kanak.

Orang tua angkat Tita tak memiliki anak. Karena Retno sang istri telah diangkat rahimnya. Penyebabnya adalah adanya kista yang ukurannya sudah besar dan terlambat diketahui keberadaannya. Akhirnya pasangan Surya dan Retno memilih untuk mengangkat anak dari panti asuhan.

Tita menyukai bunga sejak kecil. Bahkan sejak ia masih di panti asuhan. Usia empat tahun ia selalu membantu sang bunda bercocok tanam, dan memiliki cita-cita mempunyai toko bunga. Ia tak pernah meminta pada orang tua angkatnya. Namun, karena setiap seminggu sekali Tita selalu mengajak sang ayah untuk membeli tanaman. Maka rumahnya pun penuh dengan tanaman koleksi sang putri. Hingga akhirnya, Surya mencari tempat yang cocok untuk membuka usaha tersebut.

Setelah lulus sekolah menengah atas, Tita tak lagi melanjutkan kuliah. Ia hanya ingin fokus usaha. Sebenarnya sang ayah begitu ingin putrinya itu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi, mau apa. Tita tak bisa dipaksa, ia pun merasa tak enak jika meminta macam-macam pada orang tua angkatnya itu.

Dalam hatinya, Tita ingin kuliah dengan hasil jerih payahnya sendiri. Ia sudah cukup bersyukur, ada yang mau menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri.

💗💗

Hari pun kian sore, tepat pukul setengah lima. Kios Tita sudah tutup, Ami juga sudah pulang.

Tita bingung, apakah ia akan bicara dengan orang tuanya terlebih dahulu atau langsung datang ke rumah Daffa?

Melihat waktunya sangat mepet, ia putuskan untuk langsung datang ke rumah Daffa. Ia mengambil kunci motor dari dalam tasnya. Dan melaju membelah jalan menuju rumah pria idamannya itu.

Tibalah Tita di depan gerbang berwarna putih. Bangunan tiga lantai itu menjulang tinggi. Pagar dan dindingnya yang tinggi membuat ia kesusahan mencari di mana letak bel rumah itu.

Tita turun dari motor, lalu menuju lubang kunci pagar. Karena hanya itu yang bisa digunakan untuk mengintip ke dalam.

"Permisi, Assalamualaikum," teriak Tita dengan keras.

"Heh, berisik. Maaf aja. Nggak terima sumbangan!" ujar seorang pria dari dalam pagar. Pria berbadan tegap dengan pakaian security dengan kesal mengusir Tita.

"Ye, Pak. Saya bukam mau minta sumbangan. Saya mau ketemu Daffa. Anak majikan Bapak. Buruan buka!" Tita pun ikutan kesal dibilang tukang minta-minta.

"Wah, nih anak ngelindur. Nggak mungkin Tuan Daffa mau ketemu sama gadis macam kamu."

"Kalau nggak percaya, panggil aja sana. Biar tahu rasa nanti Bapak dipecat!" gertak Tita.

Karena takut akan ancaman gadis yang masih berada di luar pagar itu. Akhirnya si bapak security tadi masuk menemui majikannya.

Tak lama kemudian, pintu gerbang dibuka lebar. Bak seorang putri yang dinanti kedatangannya. Tita melangkah masuk dengan menegakkan kepalanya. si Bapak security menunduk malu.

"Mau dipecat?" ledek Tita.

"Ampun, Non. Ampun!"

Tita tersenyum miring. Ia pun melangkah menuju pintu depan. Di sana seorang wanita paruh baya tengah menunggunya.

"Mari, Non. Saya antar!" ucap wanita itu yang ternyata adalah assisten rumah tangga di kediaman Daffa.

Tita melangkah masuk, baru menginjakkan kaki di ruang tamu, ia sudah takjub dengan benda-benda yang berada di buffet kanan dan kiri. Penuh dengan kristal. Koleksi si tuan rumah. Belum lagi guci mewah  yang diletakkan di setiap sudut ruangan.

Ruang tamunya begitu luas, hampir setengah lapangan bola mungkin. Sofa berwarna putih mendominasi ruangan.

Tita menelan saliva. Hatinya bersorak. Seandainya saja ia bisa mengajak Ami sohibnya, pasti akan lebih seru mengomentari rumah besar milik Daffa.

"Silakan duduk, Non!"
Wanita paruh baya itu mempersilakan Tita untuk duduk. Ia lalu melangkah ke belakang.

Tita duduk, ia menaik turunkan bokongnya di atas sofa empuk itu. Sambil menepuk-nepuk sofanya, norak. Ia terkekeh geli.

Tak lama kemudian, pria yang tadi siang menemuinya sudah berada di depannya. Gugup, Tita berdiri dan menunduk.

Daffa tanpa basa basi langsung menyerahkan sebuah map berwarna merah di hadapan Tita. Untuk dibaca dan ditanda tangani.

"Kamu baca dulu klausal yang ada di dalamnya. Jangan sampai kamu menyesal nanti," ujar Daffa memperingati.

Tita membaca seluruh klausal itu, tak ada yang aneh. Hanya satu yang membuatnya janggal. Ia tak diperbolehkan keluar dari rumah tanpa pengawal. Tapi, ia tetap setuju sih. Mungkin saja Daffa memang begitu melindunginya, sampai keluar saja harua dikawal. Karena ia kelak adalah istri Daffa.

Tita menyetujui seluruh isi perjanjian tersebut. Dan mengembalikan map itu pada Daffa.

"Lalu, apa alasan kamu ingin menikah denganku?" tanya Tita pada akhirnya.

"Karena permintaan dari papaku. Jadi, kamu jangan pernah berharap kalau aku akan menyukaimu. Kamar kita nanti dipisah. Aku harap kamu akan mengerti."

Tita menelan saliva. Tak menyangka semua yang dilakukan Daffa adalah demi sang ayah. Ia semakin salut dengan pria di depannya itu.

"Tapi, kenapa harus saya? Sementara saya tak pernah bertemu atau mengenal papa kamu."

"Papa hanya bilang, kalau dia pernah berhutang nyawa dengan orang tuamu."

Tita mengernyit. Hutang nyawa? Entah apa maksudnya.

"Boleh saya minta salinannya. Orang tua saya harus tahu."

"Minggu keluargaku akan datang ke rumahmu untuk melamar secara resmi. Kamu tunggu saja. Kami juga akan menjelaskan semuanya kontrak yang sudah kamu setujui ini."

Tita seperti dijebak. Bagaimana kalau orang tuanya tak mengizinkan. Ia merasa bodoh karena dengan begitu saja menandatangani kontrak itu, tanpa persetujuan ayah dan ibunya.

"Ingat! Kalau kontrak ini batal. Kami akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Karena kontrak ini tanda tanganmu di atas materai."

Seolah tahu keraguan hati Tita, Daffa tersenyum miring.

Tak
Tok
Tak
Tok

Suara derap sepatu menyentuh lantai, mendekati mereka. Seorang wanita paruh baya, berkulit putih dan bertubuh tinggi. Berdiri di sebelah Tita.

"Jadi, ini calon kamu, Daffa? Papa kamu benar-benar nggak punya selera. Payah!" ujarnya mencibir Tita.

Tita yang duduk langsung berdiri hendak menyalami calon ibu mertunya. Sayang, uluran tangannya tak ditanggapi.

"Jangn harap kamu akan menjadi Putri di rumah ini!" ancam Rahayu pada Tita.

Rahayu lalu melangkah meninggalkan calon menantunya dengan wajah tak suka. Sementara hati Tita terasa sesak. Ia sudah masuk ke dalam permainan Daffa dan papanya nanti. Dan, permainan itu baru saja akan dimulai.

Apakah Tita akan bahagia nantinya? Atau justru sebaliknya. Ia akan terkurung di sangkar emas.

💗💗💗

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top