Aether (Abyss Prince)

"Nii-chan ... apakah keputusan kita untuk meninggalkan nee-chan sudah benar?"

Saat itu, kamu sedang berada di suatu tempat yang jauh di Teyvat. Kamu dan kakakmu berdiri di puncak suatu menara lonceng, tepatnya di puncak markas tempat Abyss Order bernanung. Tempat tersebut tampak sunyi–tiada satupun manusia, atau makhluk lain selain kalian di sana. Sepasang netra kalian memandangi bangunan-bangunan kumuh di bawah sana–yang telah hancur dan terkikis air hujan.

Di tempat kalian berada, suasananya selalu hening dan gelap–bahkan sinar mentari tak dapat menerangi menara itu, sama seperti seluruh wilayah markas Abyss Order. Namun, alih-alih merasa tidak nyaman, kamu dan Aether–kakak lelakimu, menganggap ini adalah tempat terbaik kalian untuk berbincang bersama.

Sudah ratusan tahun lamanya sejak kalian berpisah dengan Lumine–saudari kembar Aether yang merupakan kakak perempuanmu. Ada kalanya kamu merindukannya, tetapi ... Aether dengan sejuta alasannya tidak mengizinkanmu untuk menemui Lumine di luar 'rencana' yang telah ia siapkan.

"Keputusan kita ... atau lebih tepatnya keputusanku, sebab, kau hanya menyetujui rencanaku saja, 'kan." Aether tersenyum tipis ketika mendengar pertanyaanmu barusan. Ia menengadahkan kepalanya ke langit–memandangi bulan dan bintang yang menghiasinya. "Lalu ... soal tepat atau tidaknya, aku tidak tahu–sebab, kita belum mendapatkan hasil dari keputusan ini."

"Entah pada akhirnya Lumine akan sejalan dengan kita, atau ia akan berkehendak lain. Tiada yang mengetahuinya, (Name)."

"Mengapa kita tidak memberitahukan nee-chan saja secara langsung–tujuan kita, kebenaran dunia ini, dan semuanya. Bukankah itu akan lebih mudah? Nee-chan pasti menyetujui nii-chan, 'kan?"

Aether menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian tangan kanannya meraih helaian rambutmu dan mengusap-usapnya lembut. "Tidak semudah itu, (Name). Lumine sudah bertemu dengan mereka, para archon itu. Mereka pasti memberikan kesan baik pada Lumine."

"Berbeda dengan kita .... yang telah menjelajahi dunia ini bersama-sama. Lumine tidak tahu apa-apa. Lebih baik ia mengetahui kenyataan itu dengan mata kepalanya sendiri, bukan mengetahuinya dari cerita kita."

Kamu mengangguk-angguk pelan mendengar jawaban dari Aether. Kakak lelakimu itu kemudian duduk di tempatnya, kemudian menarikmu untuk turut duduk di sampingnya. Kamu memandangnya keheranan ketika duduk di sampingnya, tetapi Aether hanya tersenyum saat memandangmu. "Sudah lama kita tidak memiliki waktu berdua. Maukah kau berbincang sebentar denganku, (Name)?"

"Namun, jika kau ingin melakukan kegiatan lain atau sedang enggan berbicara denganku, tidak apa-apa. Aku–"

Kamu menggelengkan kepalamu cepat, kemudian meletakkan jarimu di depan bibirnya, memotong perkataan kakakmu itu. "Tidak, tidak. Mana mungkin aku tidak ingin berbicara dengan nii-chan? Aku selalu senang jika nii-chan berbicara denganku, kok!"

Aether terkekeh kecil melihat reaksimu yang seperti itu. Ia segera menggenggam lenganmu dan menyingkirkannya dari bibirnya, sementara tangan kirinya mengusap-usap pucuk kepalamu dengan lembut. "Hahaha, kau memang anak yang baik, ya ... (Name)."

"Ahh ... sudah seharusnya aku baik pada nii-chan, 'kan? Kita adalah saudara." Kamu tersenyum manis ketika memandang Aether, membuat kakakmu itu turut mengulas senyuman di wajahnya.

"Tidak, (Name). Tidak seperti itu ... kau benar-benar anak yang baik," kata Aether seraya memandangimu dengan tatapan intens, netranya memandang lurus ke wajahmu. "Kau anak yang baik, bahkan bisa aku bilang terlalu baik."

"Karena itu ... aku punya satu pertanyaan untukmu."

Kamu memiringkan kepalamu dan memandang Aether dengan heran. "Pertanyaan?"

Aether kemudian menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia memandang langit malam yang membentang, dan mulutnya terbuka untuk bersuara, "Di hari itu, ketika aku berselisih dengan Dain karena idealisme kami yang berbeda. Mengapa kau memutuskan untuk ikut denganku, alih-alih mengikuti Dain?"

"Heh?" Kedua alismu bertaut, sepasang netramu memandang Aether dengan keheranan. "Memangnya aku harus mengikuti Dain? Apa nii-chan tidak suka aku ikut nii-chan?"

"Ti-tidak! Justru aku senang kalau (Name) ikut denganku." Aether menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan cepat ia menyangkal perkataanmu. "Namun, aku hanya penasaran. Kau adalah adikku, dan tentunya aku mengetahui sifatmu dengan jelas ...."

"Jadi, antara idealismeku dan idealisme Dain. Bukankah ... kau lebih menyetujui pandangan Dain daripada aku?"

Kamu tertegun mendengar perkataan kakakmu barusan. Netramu yang sedari tadi terarahkan padanya, kini berganti memandang ke bawah. Aether hanya menghela napas dan kemudian tersenyum getir.

"Benar, 'kan? Sama halnya dengan aku dan Lumine. Saat itu, seharusnya kau ikut dengan Lumine dan Dain. Dengan begitu, kau tak akan semakin jatuh ke dasar 'kegelapan'–denganku." Aether tertawa pahit sembari memandang langit.

"Lalu, apa nii-chan pikir aku akan membiarkan nii-chan mengemban semuanya sendirian?" Kamu seketika meninggikan nada bicaramu, ada rasa emosi dalam hatimu–ketika Aether berpikir kamu sebaiknya meninggalkannya. "Tidak ... aku takkan pernah meninggalkanmu seorang diri, nii-chan ...!"

Aether tersentak ketika kamu meninggikan suaramu. Ia memandangmu dengan tatapan ragu-ragu, dan kamu menyadari keraguannya. Sedetik kemudian kamu menghambur ke dalam pelukannya, memeluk kakak tertuamu itu erat-erat.

"Apa nii-chan tidak percaya padaku? Aku ... takkan pernah meninggalkan nii-chan." Jantungmu berdebar-debar dengan keras, seluruh emosimu menyampur menjadi satu. Napasmu semakin berat, hatimu terasa sakit ketika melihat wajah Aether yang tampak sedih seperti tadi. "Meski nii-chan bilang jalan yang nii-chan tempuh ini adalah sebuah kegelapan ... atau bahkan orang-orang lain mengecam nii-chan dan mengatakan perbuatan nii-chan adalah suatu kesalahan ... pendirianku takkan berubah."

"Selamanya, aku akan selalu berada di pihak nii-chan."

Perlahan-lahan, kakakmu pun membalas pelukanmu, ia mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di bahumu. Aether tidak bilang apa-apa, hanya saja–kamu merasakan kalau ia menangis dalam pelukanmu.

Sekuat apapun Aether, ada kalanya ia berada di titik terendah–seperti ini. Pikirannya frustrasi, terutama sejak ia bertemu kembali dengan saudari kembarnya dan mereka terpaksa harus tetap berpisah.

Dan kamu, sebagai adiknya tentu ingin menghibur kakakmu. Sebab, kamu menyayanginya–keluargamu adalah segalanya bagimu. Kamu menyayangi Aether.

"(Name) ...." Aether menengadahkan kepalanya dan berbisik pelan di telingamu. Kamu menyadari suaranya terkesan lirih oleh sebab ia baru saja menangis. "Saat ini, aku cuma memiliki kau di sisiku."

"Berjanjilah ... selamanya kau akan ada di sisiku, (Name)."

Aether melepas pelukannya, begitu juga denganmu. Ia meletakkan tangannya di atas kedua bahumu, dan netra emas milik Aether memandangmu dengan tatapan berkaca-kaca. "Janji, ya? (Name) ...."

Aether mengangkat jari kelingkingnya dan menghadapkannya padamu. Dengan senyuman manis di wajahmu, kamu pun mengaitkan jari kelingkingmu pada jari Aether. "Aku berjanji, nii-chan."

"Selama-lamanya, aku akan terus berada di sisi nii-chan!"

.

.

.

.

Sepasang netra Aether memandang pemandangan di depannya yang bagai ilusi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, napasnya sesak ketika ia memeluk tubuhmu yang sudah dipenuhi luka-luka dan darah.

"Nii-chan ... maaf." Kamu tersenyum pahit seiring air matamu mengalir. Dengan sisa tenagamu yang terakhir, kamu mengulurkan tanganmu ke wajah Aether–keadaanmu sudah sampai pada batasannya. "Aku ... tidak bisa memenuhi janjiku ...."

"Jangan berkata seperti itu! Ka-kau pasti bisa selamat ... percaya padaku ... (Name)!" seru Aether dengan nada gemetar, sebisa mungkin ia memasang senyuman di wajahnya. Tangan kanannya menggenggam erat tanganmu yang menyentuh pipinya. "Aku bisa menyembuhkanmu. Tolong ... bertahanlah sebentar lagi."

"Hehe ... tidak perlu melakukan perbuatan yang sia-sia, nii-chan. Titel Dain sebagai Twilight Sword bukanlah julukan biasa ...." Kamu terkekeh pelan ketika mengingat serangan terakhir Dainsleif sebelum kamu berhasil mundur ke portal dan sampai di tempat ini. "Jangan dendam pada Dain ... aku mengerti alasannya–toh ... aku juga menyerangnya, 'kan? Wajar dia mau membunuhku ...."

"Ah ... pandanganku semakin kabur." Kamu tertawa getir, tangismu semakin pecah. Kamu tak sanggup melihat Aether yang tampak bersedih seperti itu. "Andai aku bisa hidup lebih lama ... aku ... aku pasti–"

"(Name)! Bertahanlah, jangan bicara apa-apa dulu! Kau itu kuat, kau adikku! Bertahanlah–"

Aether menyerukan namamu, memanggilmu dengan derai air mata yang mengalir. Kamu sudah nyaris tidak bisa mendengar ucapan Aether. Kelopak matamu semakin berat–ini adalah perpisahan.

"Terima kasih ... atas segalanya."

Tepat setelah kamu mengucapkan itu, hanya tersisa jeritan Aether yang menggema di tempat itu, tempat kalian mengikat janji di bawah sinar rembulan.

"Kau bohong ... (Name), bukankah kau berjanji ... takkan pergi dari sisiku?"

End of Aether's Part

Halo! Maaf baru update lagi, sebab minggu kemarin Rashi ada banyak urusan :( Sebagai gantinya, part kali ini Rashi buat lebih panjang! Kerasa gak kalo yang ini lebih panjang?

Gimana buat part Aether Abyss? Lebih suka yang ini, atau Aether Traveler? Atau gak suka keduanya karena dua-duanya gak happy ending? Ayo ayo komentar~

JANGAN PUKULIN RASHI KARENA UDAH BIKIN SAD ENDING :( PLS RASHI TAKUT–

Makasih banyak udah mampir ke book Rashi! Jangan lupa tinggalkan jejak yaa, vote atau komen~ :D Dua-duanya lebih bagus hehee. Biar Rashi lebih semangat updatenya!

Kalau ada request buat part selanjutnya, boleh banget komen di sini.

Btw nanti malem streaming versi 2.2 ya? Jangan lupa kode redeemnya diambil, lumayan primogem hehee

See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top