Part 5
Merasa menjadi orang paling beruntung sedunia.
Itu yang dirasakan Jeremy saat berhasil mendapat tiket Hokkaido Shinkansen. Kereta peluru super cepat yang menghubungkan Pulau Hokkaido dan Pulau Honshu melalui Selat Tsugaru itu adalah bakal juru selamat perasaan Jeremy. Setelah dia kehabisan seluruh tiket penerbangan ke Tokyo untuk hari itu.
Begitu shinkansen mendekati Stasiun Tokyo, Jeremy bersiap meloncat keluar. Hatinya diselimuti euforia yang menenangkan. Berharap waktu berjalan lebih cepat lagi, lelaki itu memutuskan naik taksi ke apato. Tak peduli jika argo akan menghanguskan separuh isi dompet. Setidaknya kendaraan itu bisa menghemat waktu dan tenaga karena Jeremy butuh itu semua untuk bertemu Sonya.
Beberapa kali dia mengecek surel dan pesan percakapan. Masih belum ada satupun notifikasi dari wanita yang pernah menjadi dosen kuliahnya di Indonesia. Pikirannya begitu terpusat pada sosok sang sahabat hingga tak menyadari bahwa Ayumi juga tidak menghubungi Jeremy sama sekali.
Setiba di apato lelaki itu tak membuang waktu. Hanya membilas tubuh ala kadarnya, tanpa membongkar tas, Jeremy kembali melesat keluar. Tujuannya jelas. Bandara Internasional Narita.
Ia bertekat tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Senyumnya kembali terkembang menyadari hanya tinggal hitungan jam dia akan berjumpa dengan sang kekasih. Sudah waktunya menjadi berani.
Sonya terseok-seok mendorong troli. Dua koper raksasa ditambah tas tenteng penuh muatan laptop dan aneka perintilan khas perempuan harus dibawanya keluar bandara. Wajahnya kuyu dan berminyak. Tubuhnya remuk redam. Diam-diam menyesal mengapa saat di pesawat dia justru menghabiskan waktu dengan bekerja alih-alih istirahat.
Sonya baru saja melangkah ke deretan taksi yang terparkir saat sepasang lengan kukuh tiba-tiba memeluk dari belakang. Kaget, wanita itu spontan membuka mulut hendak berteriak minta tolong. Tapi, belum juga dia melakukannya suara familiar berbisik lembut di telinga.
“Sstt ... Tenanglah, ini aku Jer.” Kecupan lembut mendarat di puncak kepala Sonya.
Sonya terperangah. Dia menoleh dan mendapati sesosok tampan yang jauh lebih tinggi darinya tengah menatapnya lembut.
“Jeremy?!” Sonya kaget, “Elo udah gila, ya?”
Alis Jeremy terangkat tinggi, “Aku? Gila? Sejak kapan?”
“Mana gue tahu,” sahut Sonya, “Sejak kapan kita jadi aku dan kau?” Dia balik menuntut jawaban.
Jeremy tertawa renyah. Diangkatnya tubuh ramping itu dan memutarnya di udara. Sonya memekik kaget.
“Astaga, Jer, turunin gue!”
“Tidak!”
“Malu, Jer ....”
“Biar saja!”
“Jeremy?!” Sonya berseru kaget saat Jeremy tiba-tiba menurunkannya ... Dan menariknya masuk ke dalam pelukan.
“Apa ini?” Sonya syok berat. Tindakan romantis itu sama sekali tak mencerminkan kewarasan seorang Jeremy, juga berpotensi merusak keselamatan jantungnya.
“Aku sudah memutuskan ...,” bisik Jeremy.
“Memutuskan apa?”
“Bahwa aku tak akan pernah berbohong lagi.”
“Elo berbohong?” Sonya kaget, “Pada siapa?”
“Pertama, jangan gunakan elo-gue lagi.”
“Tapi ....”
“Sstt ... Mulai hari ini aku tak akan berbohong pada diriku lagi. Aku mencintaimu, Sonya.”
Sonya langsung tersedak air liur. Dia terbatuk hebat. Jeremy menepuk-nepuk punggungnya prihatin.
“Sebegitu kagetnya, ya?” goda Jeremy.
“Elo apaan, sih?” Pipi Sonya sudah semerah kepiting rebus.
“Eits ... Sudah kubilang aku-kau. Nggak ada lagi elo-gue.”
“Elo kesambet setan mana, sih?”
“Sonya, aku-kau!” perintah Jeremy.
Tersipu malu Sonya memanggil lelaki jangkung itu, “Kau ....”
“Nah, begitu dong!” Jeremy tersenyum puas.
“Jer, kau tahu apa artinya ini, kan?” tanya Sonya. Lidahnya masih kagok setelah berbulan-bulan lamanya menyapa Jeremy dengan elo dan gue.
Lelaki itu mengangguk kuat-kuat, “Aku tahu ....” Telunjuknya menjawil puncak hidung Sonya, “... Sudah kubilang aku mencintaimu, kan?”
Saat itu dunia Sonya terasa jungkir balik. Berminggu-minggu Jeremy menghindarinya. Sejak lelaki itu meneruskan kuliah ke Jepang, praktis komunikasi mereka terputus. Sonya terlalu malu untuk menghubungi lebih dulu. Hanya pada ketiga sahabatnya – yang juga sahabat Jeremy – dia mau berbagi perasaan.
“Aku tak sedang bermimpi, kan?” bisik Sonya. Suaranya penuh ketidakpercayaan.
Jeremy menundukkan kepala. Mengecup lembut bibir mungil Sonya. Jantung wanita itu serasa meledak.
“Tidak, ini sangat nyata,” jawab Jeremy, “Ayo pergi?”
Sonya masih mematung. Ciuman Jeremy terasa dahsyat. Melelehkan seluruh cadangan kewarasan. Otak jeniusnya langsung turun tingkat jadi imbisil. Hingga memproses sebuah permintaan saja tak bisa.
“Son, ayo?” Jeremy menggamit tangan Sonya.
Sonya masih terdiam. Tatapan matanya kosong. Lelaki itu tersenyum geli. Dia tak bertepuk sebelah tangan rupanya. Sonya juga memiliki perasaan yang sama. Jeremy yakin itu.
Perlahan kesadaran Sonya pulih. Wajahnya bersemu merah, teringat betapa konyolnya dia setelah dicium Jeremy. Itu ciuman pertama mereka sekaligus jawaban untuk semua hal membingungkan yang terjadi di antara keduanya.
Sonya mantap mengikuti langkah lebar Jeremy yang lebih dulu meninggalkannya. Troli berisi koper sudah masuk ke mobil berjenis Alphard putih metalik.
“Eh, tak naik taksi saja?” Sonya heran.
Jeremy menggeleng, “Kau harus mulai beradaptasi dengan kehidupan Jepang. Taksi itu opsi terakhir, Sayang, di manapun kau berada.”
Sonya tersipu malu mendengar panggilan romantis Jeremy. Namun lelaki itu terlalu sibuk mengurus bagasi hingga tak menyadari perubahan rona wajah Sonya.
“Dari Narita ke Tokyo bisa dua juta one way. Bokek kau nanti,” nasehat Jeremy.
“Ini mobilmu sendiri?” Sonya sedikit heran melihat kendaraan Jeremy.
Lelaki itu menggeleng, “Aku pinjam temanku. Lumayan menghemat kalau punya akses kendaraan sendiri dari Narita. Yuk, naik?”
Satu jam kemudian mobil memasuki sebuah gedung bertingkat lima. Sonya membaca ulang alamat di gawai.
“Jer, ini bukan apartemenku.” Sonya kebingungan. Kepalanya celingukan membaca papan nama gedung. Berbeda drastis dengan nama apartemen yang sudah disediakan pihak pemberi besiswa.
“Memang tidak. Malam ini kau menginap tempatku. Besok baru ke apartemenmu.”
“Tapi ....”
“Tak ada tapi-tapian, Sayang. Hari ini tidur di tempatku, besok baru kita ke tempatmu. Titik!”
Hanya begitu saja. Sejak awal wanita cantik itu memang sudah lemah pada Jeremy. Tanpa protes dia mengekor naik ke lantai tiga tempat hunian lelaki itu berada.
Malam sudah larut tapi Jeremy tak jua memejamkan mata. Bersandar di daun pintu, dia menikmati menatap Sonya yang tertidur pulas. Apatonya bermodel studio dengan satu kamar. Jeremy merelakan wanita cantik itu tidur di satu-satunya ranjang sementara dia di sofa. Alih-alih ikut tidur, Jeremy justru sulit memejamkan mata.
Mencintai wanita itu sangat mudah. Jeremy mendesah pelan. Usia mereka tak berjarak terlalu jauh. Hanya berselisih setahun lebih tua darinya. Namun wanita itu sangat cerdas. Di usia yang masih dua puluh tiga tahun, Sonya sudah menjadi dosen di almamater.
Itulah perkenalan pertama mereka. Keakraban mulai terjalin setelah Nadine, sahabatnya sekaligus kroni satu geng bersama Theo, menjalin pertemanan dengan Sonya. Hubungan yang cepat beralih ke persahabatan tak terpisahkan antara Nadine dan Sonya juga berimbas pada frekuensi pertemuannya dengan dosen cantik itu.
Diam-diam satu perasaan khusus tumbuh di hati Jeremy. Lelaki itu terpesona pada kecantikan sang dosen yang berkelas. Klasik elegan adalah karakteristik seorang Sonya. Penampilannya selalu berbalut barang-barang premium. Meski begitu, Sonya tetap pribadi yang membumi.
Lebih dari itu. Kecerdasan dan kepedulian Sonya yang tinggi pada orang lain adalah dua hal yang menjatuhkan Jeremy ke kubangan cinta terdalam. Wanita itu sangat galak pada mahasiswanya, namun juga memiliki empati yang tinggi. Sifat kontradiktif yang membuat seorang Sonya menjadi unik.
Meski begitu, Jeremy belum memiliki keberanian mengungkapkan perasaannya. Takut ditolak adalah alasan utama, apalagi rekam jejak para lelaki yang mendekati wanita itu jauh di atas dirinya. Banyak dosen lelaki, junior maupun senior, yang berusaha mendekati Sonya. Belum ditambah deretan mahasiswa yang terang-terangan menyatakan kekaguman mereka pada wanita semampai itu. Pada akhirnya Jeremy hanya mampu memendam cinta. Hingga dia dinyatakan lolos tes beasiswa ke Jepang, lelaki jangkung itu masih mengubur perasaannya. Rasa tak percaya diri, kesibukan kuliah, dan perbedaa waktu antar negara perlahan menutup komunikasi di antara mereka.
Hingga hari itu, seminggu sebelum Sonya tiba di Jepang. Rindu yang sangat menyakitkan membuat Jeremy menetapkan hati. Dia harus menyatakan cinta apapun jawaban Sonya kelak. Lebih baik ditolak daripada wanita itu tak tahu jika dia dicintai.
Jeremy mengulum senyum. Mengajak Sonya menginap di apatonya sama sekali di luar rencana. Lelaki itu bersikap spontan karena tak ingin terpisah lagi. Sudah terlalu lama mereka tak bertemu, tak seperti kala di Indonesia yang nyaris setiap hari bersua. Kerinduan itu sudah terlalu memuncak.
Lelaki itu lekat menatap wajah pujaannya yang damai. Hanya di hadapan Sonya gelar pendiam seorang Jeremy langsung tanggal. Pada Theo dan Nadine, dia juga menjadi pribadi yang banyak bicara, tapi Sonya berbeda. Wanita itu membuatnya sangat nyaman dan merasa lebih bebas berekspresi.
Jeremy melangkah mendekati ranjang. Tangannya terulur merapikan rambut yang berantakan menutupi wajah cantik Sonya. Jemarinya mengusap pipi yang lembut. Bulu mata wanita itu sangat lentik. Lelaki itu tak tahan menelusuri garis wajah yang sempurna, merekam kelembutan kulit di sana.
Perlahan jemari itu turun ke bawah. Menyentuh lekuk hidung yang mancung, berhenti di bibir merah muda yang terkatup rapat, dan berlama-lama memandang bibir mungil nan lembut itu.
Jemarinya tak henti mengusap pelan, sangat pelan agar Sonya tak terbangun. Perlahan dia menunduk dan memagut bibir merah muda itu. Hanya ciuman singkat tapi efeknya sungguh luar biasa. Tubuh Jeremy menggelenyar hebat, menuntut sesuatu yang lebih dari sekedar pagutan lembut. Susah-payah lelaki itu mengangkat wajah. Napasnya memburu.
Sial, kenapa kegiatan mencium bisa sangat menguras pengendalian diri seperti ini? Dia merutuk dalam hati.
Sonya membeku. Otaknya kosong. Dia nyaris tak bisa berpikir. Telinganya bahkan bisa menangkap suara degup kencang jantung miliknya.
“Ya Tuhan ... Ya Tuhan ... Apa itu tadi? Aku tak sedang bermimpi, kan? Itu benar-benar nyata, kan?”
Tangannya terangkat ke bibir. Mengusap berkali-kali. Kepalanya terasa pening tapi bukan karena jet lag. Tidak, itu lebih dari sekedar kelelahan pasca penerbangan lintas zona waktu. Pening itu lebih karena tindakan Jeremy yang mulai abnormal.
Sonya mencubit pipi keras-keras. Dia mengaduh kesakitan. Bekas cubitan memerah. Kesadarannya kembali saat itu juga.
“Astaga ... Ya Tuhan ... Itu tadi beneran bukan mimpi?!” Sonya terperanjat kaget.
Detik itu juga Sonya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi dia sadar tindakan konyolnya akan berakibat protes tetangga apato. Sebagai gantinya, dia menarik selimut ke atas, menutup seluruh wajah, dan berteriak tanpa suara.
Dua ciuman dalam sehari. Sonya menahan napas. Tak percaya pada kejadian yang sudah terjadi. Apa Jeremy sebegitu mencintainya hingga gerak cepat menciumnya berkali-kali? Atau dia sudah terjebak pergaulan bebas di Negeri Matahari Terbit?
Sonya menggetok kepala, “Sadar, Sonya! Jer itu sama konservatifnya dengan biarawati biara terpencil.”
Itu benar. Selama perkenalan mereka, tak pernah sekalipun Jeremy berani menyentuhnya. Jangankan menyentuh, berkata ala-ala romantis saja lelaki itu tak pernah. Lantas, bagaimana tindakannya hari itu harus dijelaskan?
Mata Sonya kembali terpejam. Mengingat lagi sensasi kedekatannya dengan Jeremy yang baru saja terjadi. Selama itu dia terus memejamkan mata, berpura-pura tertidur. Baru setelah lelaki itu beranjak keluar kamar, dia berani buka mata.
“Sialan!” maki Sonya lirih. Dihempasnya selimut dan duduk menatap keremangan kamar.
Jeremy Leonard Arthawijaya. Sahabat sekaligus mahasiswa favoritnya. Entah sejak kapan Sonya mulai jatuh cinta pada lelaki tampan itu. Yang jelas, ketertarikan awal wanita itu pada Jeremy terletak pada sikap pendiamnya yang manis dan kerelaannya dirundung oleh dua sahabatnya, Theo dan Nadine.
Bicara tentang mereka berdua, Nadine adalah jalan pembuka bagi Sonya berkenalan dengan Jeremy. Trio yang beda karakter bak langit dan bumi itu jadi kombinasi unik yang memicu keingin tahuan Sonya. Mereka bertiga sangat populer di kampus. Theo dengan sifat humorisnya yang jadi kesayangan banyak orang. Nadine dengan kemampuan bela dirinya yang handal hingga mendapat julukan Ratu Preman. Dan Jeremy, si pendiam dan Einstein-nya geng itu berkat otaknya yang luar biasa cemerlang.
Jeremy ... Sonya mendesah panjang. Lelaki itu memang bukan individu sembarangan. Orang tuanya praktisi akademisi tulen dengan segudang talenta. Ayah Jeremy seorang profesor di bidang ilmu politik. Ibu Jeremy sendiri adalah profesor di bidang kelautan sekaligus penggiat lingkungan yang namanya cukup disegani. Berbekal otak encer dan wajah di atas rata-rata, Jeremy termasuk lelaki yang banyak diincar mahasiswi kampus.
Sonya mencintainya. Itu sudah jelas. Namun dia terlalu pemalu untuk menunjukkan perasaannya. Hanya pada Theo dan Nadine, wanita itu berani blak-blakan. Itu pun dengan sejumlah ancaman bagi mereka agar tak membocorkan rahasia itu ke Jeremy.
Dan hari itu ... Setelah berbulan-bulan mereka saling berdiam diri pasca kepergian Jeremy ke Jepang, lelaki itu menyatakan cinta. Hati Sonya membuncah oleh kebahagiaan. Perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Mereka saling mencintai
Pagi datang. Setelah menyantap sarapan sederhana buatan sendiri – setangkup roti bakar, kopi kental, dan potongan buah segar – Jeremy mengajak Sonya berjalan-jalan.
Shinjuku di pagi hari mulai menggeliat. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berangkat kerja dan para pelajar yang hendak ke sekolah. Toko-toko mulai membuka pintu. Suara riuh penjual berpadu harmonis dengan denting lonceng kuil. Akulturasi budaya nan indah nyata terlihat di sepanjang pedestrian Shinjuku.
“Lain kali aku akan mengajakmu masuk Shinjuku-gyoen,” kata Jeremy saat mereka melewati Taman Nasional Shinjuku.
“Kenapa tidak sekarang?”
“Karena setelah ini kau harus pergi ke apatomu,” jelas Jeremy.
Sonya mengangguk. Menutupi sedikit rasa kecewa. Dia hanya puas melirik deretan pohon maple dan ranting sakura yang terlihat dari luar.
“Bulan November nanti akan ada pameran bunga krisan di sini. Kita bisa pergi menonton pameran.”
Sekali lagi Sonya mengangguk. Dia masih terdiam tak membalas tawaran Jeremy. Seolah mengerti kekecewaan kekasihnya, Jeremy berbisik di telinga Sonya.
“Setelah datang ke pameran kita bisa pergi kencan.”
Sonya refleks menghentikan langkah. Jeremy ikut berhenti. Pandangan Sonya nanar memelototi trotoar.
"Sonya, ada apa?" Jeremy cemas.
Pelan Sonya mendongak memandang Jeremy dengan mata bulatnya.
"Apa yang terjadi denganmu?" Sonya memandang lekat-lekat lelaki di sampingnya.
"Aku? Ada apa denganku?" Jeremy bingung.
"Kau berubah!" tuding Sonya.
"Aku?" Ekspresi Jeremy benar-benar bingung, "Berubah di bagian mananya, Son?"
"Banyak, di mana kau yang selama ini sangat menjaga jarak denganku?"
Jeremy tertegun. Euforia karena bisa melihat Sonya setelah berbulan-bulan memendam rindu membuatnya melupakan banyak hal. Jeremy begitu bahagia bisa menyentuh wanita itu, memeluknya, mencium aroma tubuhnya, mendengar suaranya yang merdu.
Sesuatu yang tak bisa dilakukannya di Indonesia. Sesuatu yang selalu dihindarinya selama persahabatan mereka. Namun, melihat sosok Sonya saat itu membuat Jeremy lupa segala-galanya.
"Emm ... Kau tak suka?" bisik Jeremy lirih. Suaranya terlalu pelan hingga Sonya tak yakin pada pendengarannya.
"Apa?" Sonya berusaha mendengar lagi apa yang dikatakan Jeremy.
Jeremy menunduk. Rona merah mewarnai pipi, “Aku tahu kau pasti heran dengan sikapku. Kurasa ini terlalu cepat. Apa kita perlu pelan-pelan dulu?”
Kening Sonya berkerut. Memahami dan menerima adalah dua hal yang berlawanan. Dia bisa memahami perasaan Jeremy yang seolah ingin menebus waktu mereka yang terbuang. Tapi Sonya juga takut, bahwa apa yang dialaminya saat itu adalah sebuah ilusi. Saat dia tersadar kelak, sikap Jeremy akan berubah kembali ke awal. Menjaga jarak dengannya.
“Sejak kapan, Jer?” Sonya was-was. Dia masih takut ilusi itu akan menghilang secepat uap panas di musim dingin.
Jeremy paham pertanyaan Sonya. Digenggamnya tangan ramping wanita itu. Netra bertemu netra.
“Sejak pertama bertemu aku sudah tertarik. Semakin lama ketertarikan itu semakin dalam. Aku tak tahu kapan pastinya ketertarikan itu berubah jadi cinta. Selama ini aku terlalu takut menyatakannya padamu.”
Sonya terperangah, “Beneran elo suka gue sejak lama?”
“Sonya, tolong, aku dan kau?” ingat Jeremy dengan nada kesal.
“Sori Jer, kebiasaan.” Sonya tertawa.
“Aku bakal jadi sate jika Theo dan Nadine tahu kita pacaran,” gumam Jeremy.
“Kau takut pada mereka?” selidik Sonya.
Jeremy menggeleng, “Tidak. Tapi mereka pasti tak akan membiarkanku dengan mulus mencintaimu. Tahu sendiri bagaimana mereka kalau sudah bersatu?” Tak sadar Jeremy mengeluh.
Sonya terbahak keras. Poor Jeremy. Dia sangat tahu bagaimana watak lelaki itu yang serba tak bisaan pada dua sahabatnya. Itulah yang menjadikan Jeremy sangat mudah dirisak oleh Theo dan Nadine.
“Jangan salah! Mereka itu pendukung utama kita, Jer.”
Otak jenius Jeremy bekerja cepat. Suaranya penuh harap.
“Jadi maksudmu ... Kau ....”
Sonya berjinjit. Secepat kilat mengecup pipi Jeremy, “Ayo kita coba!”
Jeremy terperangah tak percaya. Sonya memalingkan muka namun suara halusnya masih jelas terdengar.
“Kita bisa jalani hubungan ini cepat atau pelan. Itu terserah kau. Tapi untukku, lebih cepat lebih baik.”
Mata Jeremy membulat. Senyumnya terkembang sangat lebar, seolah matahari negara tropis pindah ke wajahnya. Lengannya terjulur ke depan tapi Sonya buru-buru mundur ke belakang.
“Sayang?” panggil Jeremy manja.
Sonya geleng-geleng kepala cepat. Pipinya merona, “Tidak boleh peluk! Ini di tempat umum.”
“Oh, kalau di tempat tertutup boleh?”
Detik itu juga Jeremy memekik kesakitan seiring tas tangan Sonya yang melayang ke kepalanya. Wanita itu makin memerah.
“In your dream, Mr. Pervert!”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top