Part 11

Otou-san naik pitam!

Menyadari sang calon menantu sama sekali tak menemuinya setelah berita pertunangan diumumkan, membuat pria paruh baya itu geram. Sontak dia memaksa putrinya mengantar ke tempat tinggal Jeremy.

Dan Ayumi panik. Sampai detik itu, dia masih belum berhasil menemukan Jeremy. Telepon-teleponnya selalu ditolak, seluruh pesannya dibiarkan tak terbaca. Beberapa kali mencari Jeremy ke kampus dan apato, lelaki itu masih juga belum ketemu.

Mobil yang mereka tumpangi hampir mendekati gedung apato saat Otou-san memintanya menelepon Jeremy. Harap-harap cemas gadis itu menghubungi nomor lelaki Indonesia itu. Sungguh, Ayumi nyaris jungkir balik gembira saat suara bariton Jeremy terdengar di seberang. Panggilannya akhirnya terjawab.

Namun, Ayumi menyembunyikan fakta dari orang tuanya bahwa yang didapatnya dari telepon singkat itu adalah suara sedingin es dan perintah tegas untuk tidak datang ke apato. Orang tuanya tak boleh tahu bahwa Jeremy menolak kedatangan mereka.

Mobil sudah tiba di depan gedung. Banyak wartawan berkerumun. Berita tentang keluarga Kitajima akan menemui sang calon menantu sudah menyebar. Selain awak media yang penasaran pada absennya lelaki itu di konferensi pers pertunangan, Ayumi juga sengaja menghembuskan isu ke mereka. Wartawan bisa menghalangi langkah Jeremy untuk kabur.

Kilatan lampu blitz menyambut keluarnya keluarga kecil itu dari mobil. Pihak keamanan gedung yang sudah mengenal Ayumi segera mengamankan ketiga orang itu dari serbuan awak media. Mereka langsung diboyong ke lantai tiga tempat Jeremy tinggal.

Namun, hunian itu sesunyi kuburan. Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia di dalamnya. Ayumi berkali-kali menekan bel namun tak seorangpun yang membukakan pintu.

"Ke mana anak itu?" Otou-san mulai tak sabar.

"Mungkin sedang mencari makanan untuk menjamu kita, Otou-san?" Ayumi berusaha menenangkan meski hatinya gelisah tak karuan. Jika sampai Jeremy tak ada di apato, kedua orang tuanya pasti marah besar dan mulai mencurigai hubungan mereka.

Sekali lagi Ayumi menekan bel. Harap-harap cemas semoga keajaiban terjadi. Tuhan mendengar doanya karena saat itu terdengar suara yang sangat dikenal gadis itu.

"Ayumi?"

Gadis itu menoleh cepat. Senyumnya terkembang lebar. Akhirnya yang ditunggu tiba. Namun, senyumnya seketika menghilang saat melihat sang pujaan hati menggandeng tangan wanita lain.


Butuh perjuangan untuk memasuki apato. Halaman depan gedung sudah dipadati oleh para kuli tinta yang haus informasi. Saat berhasil masuk, Jeremy dan Sonya dikagetkan oleh kehadiran Ayumi dan kedua orang tuanya yang sudah berdiri di depan pintu.

"Ayumi?" sapa Jeremy keras.

Gadis yang dipanggil Ayumi langsung menoleh. Senyumnya terkembang lebar namun seketika lenyap tak berbekas saat melihat Sonya. Jeremy menarik istrinya mendekati tiga orang yang berdiri mematung di depan pintu.

"Shitsurei shimashita, Kitajima-sama, (1) kami datang terlambat." Jeremy membungkukkan tubuh dalam-dalam, diikuti Sonya.

Hiroshi Kitajima menatap tajam lelaki muda di depannya. Tangan yang saling menggenggam itu tak luput dari perhatian. Tercipta kernyitan dalam di dahi yang mulai keriput itu. Instingnya mencium sesuatu yang tak beres. Tapi dia masih menahan diri.

"Mari, silakan masuk!" Jeremy membuka pintu.

Tak ada kursi di dalam selain sebuah sofa bed yang sudah dipinggirkan oleh Jeremy. Akhirnya mereka duduk lesehan di atas karpet. Sonya segera ke dapur menyiapkan minuman hangat. Tak ada kudapan untuk mencairkan suasana karena kulkas Jeremy kosong melompong setelah berhari-hari ditinggal penghuninya.

"Jeremy-kun, siapa dia?" ketus Ayumi saat Sonya kembali sambil membawa senampan teh hangat.

Jeremy tersenyum. Matanya tak lepas mengikuti gerak Sonya yang duduk pelan di sampingnya. Ayumi melihat dengan rasa jengkel luar biasa. Belum pernah dia melihat Jeremy tersenyum sebahagia itu.

Dia cemburu....

"Perkenalkan, ini Sonya Arthawijaya," Jeremy menggenggam lembut tangan Sonya.

Ayumi tertegun. Gadis itu mengepalkan tangan kuat-kuat. Dia merasakan kuku-kukunya menusuk keras telapak tangan. Arthawijaya? Apa lelaki ini baru saja menyebut nama belakangnya di belakang nama wanita ini?

"Dia istriku." Jeremy memperkenalkan Sonya pada keluarga Kitajima.

Hening. Tak ada seorang pun yang bersuara, bahkan mungkin tak ada seorang pun yang ingat bernafas saat itu. Jantung Sonya berdegup kencang tak karuan, begitu pun Jeremy. Namun mereka saling mendukung, saling berbagi kekuatan melalui genggaman tangan.

Netra Ayumi seketika menyipit. Bibirnya terkatup rapat-rapat. Dadanya bergemuruh dengan emosi luar biasa. Kepalan tangannya kian kuat hingga buku-buku jari memutih, tapi gadis itu tak sadar dengan tindakannya. Hanya retina yang bergerak liar, mengamati sangat tajam wajah Jeremy dan Sonya bergantian.

Sementara Hiroshi terdiam membisu, sibuk dengan pikiran sendiri. Di sampingnya Naomi, sang istri, menahan napas. Dia tahu hari itu akan tiba juga, hari di mana kehendak suaminya tak akan selalu terwujud. Hari di mana Tuhan akan menegur kesombongan suaminya dengan cara yang menyakitkan.

Hiroshi yang selalu menuntut putrinya untuk mengikuti semua kemauannya. Seorang ayah yang sangat takut akan kehancuran silsilah keluarga, hingga terus memaksa sang putri semata wayang untuk segera menikah.

"Apa-apaan ini?" Suara Hiroshi menggelegar, "Ayumi adalah calon istrimu. Apa yang kau katakan, lelaki bodoh?!"

Jeremy mengertakkan gigi. Berusaha bersabar. Dia sangat lelah. Satu-satunya yang dia inginkan saat itu adalah merebahkan diri di ranjang dan menikmati malam pengantin bersama istri barunya, "Jangan berteriak di depan saya, Tuan Kitajima. Saya menghormati Anda sebagai orang yang lebih tua dari saya." Suara Jeremy sangat dingin.

Berhasil. Hiroshi terperanjat, begitu pun Naomi dan Sonya. Hanya Ayumi yang masih memasang muka marah. Dua lelaki beda usia itu saling adu tatap.

"Dulu Anda tidak pernah memberi saya kesempatan untuk bicara, sekarang saya memaksa Anda untuk mendengarkan saya." Jeremy tanpa tedeng aling-aling meminta pada Hiroshi.

Harga diri Hiroshi sangat tinggi untuk mengakui rasa malu. Dia hanya menganggukkan kepala sembari duduk dengan sikap sempurna. Jeremy menarik napas panjang.

"Saya bukan kekasih putri Anda, dari awal sampai sekarang kami bukanlah sepasang kekasih."

Naomi terkesiap. Ayumi tersentak kaget. Dia tak menyangka Jeremy akhirnya tega mengungkap kenyataan itu. Jeremy sangat baik hati, itu yang Ayumi pegang teguh selama ini. Kebaikan hati Jeremy yang berusaha dia manfaatkan sebaik mungkin, dengan keyakinan penuh bahwa lelaki itu pasti tak akan tega membuat hati Otou-san terluka.

"Ini Sonya, istri saya. Kami saling mencintai bahkan sejak masih berada di Indonesia. Hari ini adalah hari pernikahan kami. Sekarang kami sudah resmi menjadi suami-istri. Jadi sudah jelas saya tak akan pernah bertunangan dengan putri Anda.”

"Kau anggap anakku apa, hah?!" damprat Hiroshi. Dia berteriak sangat keras memekakkan telinga. Sonya sampai terlonjak kaget. Jeremy memberikan tatapan peringatan  pada Hiroshi.

"Jangan berteriak, Tuan Kitajima," geram Jeremy. Dia masih berusaha menahan amarah dan bersikap sopan pada tamunya.

"Anda bisa bertanya pada putri Anda sendiri untuk penjelasan detailnya. Tapi, sebelum itu, Anda harus mendengarkan penjelasan dari saya." Jeremy melirik Ayumi.

Ayumi balas menatap tajam. Jeremy menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan kekeras-kepalaan gadis itu. Gadis delusional yang sangat obsesif.

"Saya tidak tahu apakah Ayumi tulus mencintai saya atau tidak, yang saya ketahui hanyalah dia gencar mendekati saya. Tempo hari di Sapporo, dia meminta saya untuk menjadi kekasihnya."

"Jeremy-kun..." Ayumi menyela panik.

Jeremy mengibaskan tangan pada Ayumi. Tak menggubris kekalutan gadis itu. Di meneruskan cerita, " Ayahmu harus tahu kenyataannya, Ayumi. Tuan Kitajima, putri Anda memang meminta saya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Tapi, terpaksa saya tolak karena sudah ada Sonya di hati saya. Saya tak mungkin mengkhianatinya meski itu hanya sekedar kepura-puraan belaka."

Jeremy menarik napas dalam. Sorot matanya lelah, "Sepulang dari Sapporo saya sudah berkali-kali menjelaskan pada Ayumi bahwa kami tak mungkin bersama. Tapi, dia masih nekat. Pada pertemuan kita terakhir kali kemarin, saya sudah berusaha menjelaskan pada Anda tentang hal ini. Namun, Ayumi selalu mencegah saya melakukannya."

Jeremy merujuk pada pertemuan mereka di kediaman Kitajima beberapa minggu sebelumnya. Sepulang dari Sapporo, Hiroshi memang mengundang Jeremy secara khusus untuk makan malam bersama. Dia masih ingat jelas bagaimana dirinya sangat menyukai sosok Jeremy Arthawijaya. Di matanya kala itu, Jeremy adalah lelaki muda yang baik dan bertanggung jawab. Namun, penilaian itu runtuh seketika begitu mengetahui fakta yang sebenarnya.

"Aku sudah mengumumkan pertunangan kalian ke media." Hiroshi berkata tajam.

Jeremy mengangguk, "Saya mengetahui itu. Dan, saya menyesal karena tidak bisa menggagalkannya padahal saya punya kesempatan untuk melakukan hal itu."

Alis Hiroshi terangkat naik, "Menggagalkannya?"

"Dua hari sebelum konferensi pers itu diadakan, Ayumi sudah memberitahu saya. Tapi, saya hanya menganggapnya sebagai lelucon biasa. Esoknya saya baru sadar jika ucapan Ayumi bukan sekedar lelucon."

"Perasaan anakku juga bukan sekedar lelucon,” bentak Hiroshi.

"Ayumi harus belajar bersikap dewasa, Tuan." Jeremy membalas Hiroshi.

"Jadi kau menuduh anakku tidak dewasa?"

"Belum dewasa," ralat Jeremy, "Memaksakan kehendak pada orang lain adalah salah satu bentuk ketidak-dewasaan yang nyata, Tuan."

Air mula Hiroshi berubah. Wajahnya mulai memerah. Pria itu mengertakkan gigi, "Aku tak mungkin menarik berita pertunangan itu.”

"Saya dan Ayumi tidak pernah bertunangan, tidak ada kewajiban bagi saya untuk melanjutkan rencana konyol ini." Jeremy menyindir halus pemberitaan sepihak tentang pertunangannya dan Ayumi.

Semua terdiam. Dari tempatnya duduk, Hiroshi melirik Sonya Arthawijaya. Diam-diam lelaki itu mengakui kecantikan Sonya yang unik, dari wajahnya Hiroshi tahu jika wanita itu memiliki karakter yang kuat. Kesan cerdas tertangkap dari sepasang mata kelam milik Sonya. Hiroshi terpaksa mengakui jika Sonya memang sepadan bersanding dengan Jeremy.

Sungguh berbeda dengan putrinya, Ayumi Kitajima. Gadis manja yang sedang duduk menekuk muka. Ayumi masih belum mengeluarkan sepatah kata pun, tapi Hiroshi tahu anaknya itu sedang marah besar. Dalam hati dia bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang lebih pantas marah?

Ayumi putrinya yang pertunangannya telah gagal.

Jeremy Arthawijaya yang merasa dijebak oleh kelakuan putrinya.

Ataukah Sonya Arthawijaya yang suaminya sendiri coba direbut oleh wanita lain dengan cara yang licik?

"Oyurushi kudasai , Kitajima-sama." (2) Jeremy membungkukkan tubuh dalam-dalam, "Tapi saya tak mungkin menikahi putri Anda. Saya sangat mencintai Sonya dan tak ingin membuat hatinya terluka."

Hiroshi masih membisu. Di sebelah, Naomi menitikkan air mata. Hatinya mengucapkan doa pengharapan agar dua orang kesayangannya yang sama-sama yang keras kepala bisa luluh oleh ketulusan Jeremy. Sejak awal Naomi sudah memiliki firasat buruk tentang hubungan cinta sang putri yang terasa janggal.

"Jeremy-kun harus menikahiku!"

Semua terlonjak kaget. Ayumi berkata datar dan menatap semua orang di ruangan tanpa ekspresi. Sonya mengerutkan dahi meneliti diri Ayumi.

"Aku tak mengijinkannya, Nona Kitajima." Sonya berucap dalam bahasa Jepang yang lancar.

Ayumi melirik datar, "Kau tak punya hak melarang Jeremy-kun menikah denganku."

"Tentu saja aku punya hak. Because-I-am-his-beloved-wife!" Sonya sengaja mengeja satu persatu kata-katanya dalam bahasa Inggris. Menekankan kata per kata agar Ayumi dapat memahami dengan jelas.

Ucapannya sukses memancing emosi Ayumi. Beringas gadis itu tiba-tiba berdiri dan menampar Sonya. Matanya memerah marah.

"AYUMI?!" teriak Jeremy kaget. Segera dilindunginya Sonya dari amukan Ayumi yang membabi-buta. Sementara gadis itu meronta-ronta di pelukan sang ibu.

"Kau tunanganku, Jeremy-kun! Aku mencintaimu! Kau harus menikah denganku!" Ayumi menjerit histeris.

Naomi sekuat tenaga menahan tubuh Ayumi. Mata Hiroshi berkaca-kaca. Tangannya terulur hendak menyentuh sang putri, tapi rasa sakit hebat mengoyak dadanya. Tak ada yang menyadari kesakitannya. Semua orang masih terfokus pada Ayumi yang terus mengamuk. Hingga Hiroshi ambruk berdebum di lantai berkarpet.

"Tuan Kitajima?!" Jeremy yang pertama kali menyadari jatuhnya Hiroshi.

Semua orang terpaku. Lalu, bagai ombak yang menerjang pantai, semua orang mengerubungi Hiroshi. Memanggil-manggil namanya dan berusaha menyadarkannya dari pingsan. Hanya Sonya yang cukup tenang untuk segera menelepon ambulans.


Dini hari itu adalah dini hari yang panjang. Masih mengenakan gaun resepsi pernikahan, Sonya berdiri mematung di koridor Tokyo Medical University Hospital. Matanya tak berkedip memandang dokter yang tengah menjelaskan suatu hal pada keluarga Kitajima. Lalu telinganya menangkap suara raungan keras yang memecah keheningan rumah sakit.

Seolah kaleidoskop yang diputar dalam tempo lambat, Sonya hanya mampu terkesima saat Ayumi berderap mendatangi. Ekspresi gadis itu begitu mengerikan. Wajah cantiknya tercabik kedukaan yang teramat dalam. Sorot matanya penuh kebencian, menghunjam tepat ke nurani Sonya.

“Karena kau, Otou-san meninggal dunia!” pekik Ayumi histeris.

Sonya menjerit saat tangan Ayumi terulur menjambak rambutnya. Dia berusaha keras melepaskan diri dari amukan gadis itu. Namun, Ayumi tak berniat melepaskan jambakannya di kepala Sonya. Tangannya yang lain terangkat. Bersiap menampar wanita itu saat Jeremy menahan.

“Lepaskan Sonya, Ayumi!” Jeremy berusaha menembus kesadaran gadis itu.

Tapi Ayumi tak mendengar. Kemarahannya makin menjadi. Ditariknya kuat-kuat rambut Sonya hingga wanita itu menjerit kesakitan.

"KAU JALANG PENGACAU! GARA-GARA KAU, AKU KEHILANGAN OTOU-SAN DAN JEREMY-KUN! DASAR WANITA BRENGSEK! KEMBALIKAN OTOU-SAN PADAKU! KEMBALIKAN OTOU-SAN!"

Ayumi menangis keras. Air mata mengalir semakin deras. Tubuh Sonya limbung. Dia jatuh terduduk di lantai rumah sakit. Jeremy kaget.

"Sonya?!" Jeremy melepaskan pegangannya pada Ayumi dan berlutut memeriksa istrinya. Tindakan yang salah besar. Karena Ayumi yang bebas mulai berlari ke meja perawatan dan menyambar gunting.

Membabi-buta gadis itu berderap ke arah Sonya. Gunting di tangannya terangkat tinggi. Dia sudah berada cukup dekat dengan wanita itu. Ayumi bersiap menghunjamkan gunting kuat-kuat ke tubuh wanita yang dibencinya. Namun, belum sampai niatnya terlaksana gunting itu sudah memakan korban yang lain.

"Jeremy?!" Sonya memekik keras.

Ayumi tertegun. Seketika dia langsung melepaskan genggamannya. Matanya nanar memelototi gunting yang tertancap di punggung Jeremy. Tak mengira lelaki itu bisa memprediksi niatnya dan segera melindungi sang istri. Mengorbankan diri menjadi tameng agar Sonya tak terluka.

"Jeremy-kun ..." Ayumi bergumam pilu.

Beberapa perawat segera meringkus Ayumi dan membawanya menjauh dari tempat itu. Ayumi yang masih syok sama sekali tak melawan. Dia hanya patuh saat perawat-perawat itu menggiringnya entah ke mana. Matanya masih tak lepas menatap Jeremy yang terlihat kian jauh. Punggung lelaki itu memerah pekat oleh rembesan darah.

"Jeremy-kun..." Ayumi sekali lagi bergumam pilu.


Empat sekawan langsung datang ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari Sonya. Minus orang tua pengantin baru itu karena mereka langsung pulang ke Indonesia begitu makan malam pernikahan selesai dihelat. Dini hari hampir usai saat mereka mendapati Sonya berdiri cemas di depan pintu ruang gawat darurat.

“Bagaimana Jeremy?” Nadine memberondong pertanyaan.

Sonya menjawab lemah, “Masih di dalam. Dokter sedang menanganinya.”

Theo memijat puncak hidung. Wajahnya kusut. Renata, kekasihnya, tengah memeluk Sonya yang tampak kacau-balau. Gaun wanita itu berantakan. Rambutnya tak beraturan, terlihat jelas sudah dianiaya oleh seseorang. Lelaki itu menggeram marah. Namun, Aryan menepuk bahunya menenangkan.

“Marah tak menyelesaikan masalah, Bro,” kata lelaki itu bijak.

Leo menghembuskan napas panjang. Mengatur emosi. Seharusnya ini adalah hari bulan madu sahabatnya. Tapi belum genap sehari menikah, pasangan itu sudah mendapat banyak cobaan. Dari telepon Sonya yang panik – dan Theo tahu kontrol diri Sonya tengah hilang sebab wanita itu belum pernah mengalami serangan panik sebelumnya – dia tahu Ayumi pelaku utama tindak kerusuhan itu. Ayahnya memang baru saja meninggal tapi itu tak membenarkan tindak penusukan yang dilakukan model papan atas Jepang itu.

Pintu UGD mendadak terbuka. Serempak lima kepala yang tengah menunggu di sana menoleh. Seorang dokter mendekati mereka berlima. Senyum tersungging di wajah kuyu itu.

"Siapa di sini yang anggota keluarga Tuan Jeremy Arthawijaya?" Dokter itu bertanya ramah. Perawat di sampingnya mengambil clipboard dan memeriksa sesuatu.

Serempak lima tangan terangkat ke atas. Dokter itu melongo, "Kalian berlima keluarganya?"

"Eh, itu, Jeremy memang keluarga kami, Dok," jawab Theo, "Tapi ini istrinya. Dokter bisa bicara dengannya." Theo mendorong Sonya maju.

Dokter muda itu tersenyum ramah, "Jadi Anda Nyonya Arthawijaya?"

Sonya mengangguk. Dokter dan perawat di depannya saling melempar pandang geli, membuat Sonya keheranan.

"Ada yang aneh, Dok?" Sonya tak tahan lagi untuk bertanya.

"Oh, tidak, tidak. Kami hanya kagum, jika Nyonya Arthawijaya secantik ini, kami jadi paham mengapa Tuan Jeremy begitu mencintai Anda."

Dokter dan perawat tertawa keras. Sonya melongo, juga Theo, Aryan, Nadine, dan Renata. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam sana hingga dokter dan perawat itu terlihat begitu geli?

"Bagaimana suami saya, Dok?" Sonya tak sabar.

"Suami anda orang yang romantis." Jawaban sang dokter tak merujuk pada kondisi pasien. Sonya makin dibuat tak sabar.

"Dokter, jangan bercanda! Bagaimana keadaan suami saya?!" bentak Sonya kesal.

“Maaf ... Maaf ... Saya masih terpukau dengan cerita suami Anda, Nyonya."

Sonya bingung. Cerita Jeremy? Wanita itu sudah gatal ingin mencekik si dokter yang masih senyum-senyum tak jelas.

"Tuan Arthawijaya baik-baik saja. Kondisinya sudah mulai stabil. Tusukannya tadi hampir mengenai jantung namun kami berhasil mengatasinya. Kami sudah menghentikan pendarahan dan menjahit lukanya."

Sonya menghembuskan napas lega, "Ya Tuhan, terima kasih."

Dokter itu kembali berkata, "Sekarang Tuan Arthawijaya sedang di bawah pengaruh obat bius. Kami akan memindahkannya ke kamar inap. Silakan anda mengurus administrasinya dulu di depan."

Aryan dan Nadine segera berdiri, "Biar kami saja, Son. Elo tunggu aja di sini."

Sonya mengangguk letih. Dia merasa sangat lelah jiwa dan raga. Yang dia inginkan hanyalah segera bertemu dengan suami barunya.

"Kami sangat senang mengenal suami Anda, Nyonya," dokter itu menepuk lembut bahu Sonya.

"Maksud dokter?" Sonya tak mengerti.

"Selama di dalam, Tuan Arthawijaya terus memuji Anda. Dia menceritakan pada kami bagaimana menyesalnya dia yang terlambat menyatakan rasa cinta, hingga membuat Anda menunggu. Dia terus menghalangi kami untuk membiusnya, yang sejujurnya, membuat pendarahannya malah makin parah."

"Dokter?" Perawat di sampingnya menegur.

"Ah ... Maaf ... Maksud saya, kami semua di dalam begitu terpukau dengan cerita suami Anda. Hingga sedikit melupakan proses anestesi."

Sonya memicingkan mata mendengar nada suara tersamarkan sang dokter saat menyatakan kata 'sedikit melupakan'. Seolah tahu apa yang ada dalam benak Sonya, dokter itu terkekeh pelan dan melanjutkan cerita.

"Yah, untunglah ada seorang perawat baik hati yang berhasil membujuk Tuan Arthawijaya untuk menghentikan ceritanya. Karena ... Yah ... Tak menyenangkan melihat pasangan kekasih harus terpisah karena maut di hari pernikahan mereka."

“Dokter?!” Perawat dan Sonya memekik kaget.

Tawa sang dokter membahana. Sonya dan Renata syok berat mendengar cerita sang dokter hingga tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Dokter itu kembali melanjutkan, "Baru kali ini kami melihat ketulusan cinta yang luar biasa dari seorang suami pada istrinya. Benar-benar membuat iri. Aku yakin para perawat di sini pasti akan menjadikan suami Anda sebagai pasien idola yang baru."

Sonya makin bengong, "Pangeran idola?"

"Yah, suami anda tampan dan luar biasa romantis. Seluruh kriteria suami idaman ada dalam diri Tuan Jeremy, Nyonya. Ngomong-ngomong, selamat untuk pernikahannya. Sebelum tertidur karena bius, suami Anda sempat bersyukur karena pagi ini berhasil mempersunting Anda. Dia benar-benar lelaki yang beruntung."

Senyum Sonya terkembang. Dia menatap wajah sang dokter dalam-dalam, "Anda salah, Dokter. Justru sayalah yang beruntung karena bisa mendapatkan suami sebaik dia."

-----------------------------------------------------------

(1) Permohonan maaf saat melakukan kesalahan.

(2) Permohonan maaf yang tulus dan sedalam-dalamnya pada seseorang.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hai readers sayang... Sudah sampai part 11. Semoga kalian tak bosan mengikuti Jeremy dan Sonya.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di sini. Love you all... ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top