Siji - Homo
Ketika filosofi kopi dan barang lain dinilai sebagai sebuah seni dalam hidup, upil juga dipandang sebagai salah satu bagian dari sebuah filosofi. Filosofi upil. Banyak arti, tapi orang seolah enggan untuk membahas itu. Katanya jijik. Bentuknya jelek. Tapi mereka lupa tentang makna "Jangan lihat buku dari cover", makanya mereka nggak paham gimana filosofi upil yang sebenarnya. Filosofi kentut saja sudah terkenal, kok! Masa upil nggak? Eh, eh... ini bukan bahas soal upil dan koloninya kok! Sama sekali bukan, bukan! Ini hanya tentang sebuah jargon.
Dan tentu saja tentang upil.
Juga.. homo.
***
Pambudi nyerah. Si tuyul nongol lagi di sebelahnya, dengan gigi geligi putih rapinya. Dia nyengir kuda, tapi mungkin kuda lebih dewasa daripada bocah cadel di sebelahnya ini. Ucil nama tuyul ini. Ucil itu aneh. Namanya mirip pemeran tuyul di serial 90-an "Tuyul dan Mbak Yul" - koreksi kalau salah - itu judulnya.
"Udah berapa lama di sini? Pulang sana!" Pambudi teriak, nyaris putus asa. Dia baru saja pulang dari latihan futsal, dan begitu sampai di kamarnya... ada si tuyul sedang merem-merem menikmati tidur di kasurnya.
"Aku mau nginep sini, ya Bud!"
"Ciilll..." Pambudi menggeram. Kebiasaan buruk tuyul yang paling sering dia lakukan adalah memanggil nama Pambudi seenaknya. Pambudi agak sensitif soal nama. Orang tuanya terlalu semangat dulu hingga memberinya nama panjang. Kalau mereka nggak diingatkan oleh petugas catatan akte kelahiran, mungkin nama Pambudi bisa lebih panjang dari sekarang. Se-RT. Sekarang pun namanya mirip kereta. Itu jadi momok paling besar kalau harus mengisi biodata. Apalagi kalau harus ditambah mewarnai bulatan sesuai huruf. Untuk LJK terutama. Ketika Pambudi isi namanya, yang lain sudah sampai di soal nomor lima.
Pambudi Setia Cahyono Abdi Suhardianto. Dipanggil Pambudi. Atau Cahyo. Lebih keren Abdi. Jangan Suhardianto, itu nama ayahnya!
"Iya, tau! Tau! Aku nginep sini, ya Pam!" Ucil tahu diri, jadi dia revisi nama Pambudi lagi.
"Ciill..."
"Lalu aku harus panggil apa? Ini salah, itu juga salah! Kenapa aku selalu salah?"
"Panggil full, cil!"
"Tapi terlalu panjang, Pam...! Bagusan juga panggil Budi. Ini ibu Budi."
"Pulang sana, Cil!"
"Males, ah! Emak kerja, bapak juga ada rapat. Rumah sepi!" Lagi-lagi Ucil merengut, mengerut, cemberut. Bibir tipisnya manyun-manyun sok imut. Pambudi ingin ngakak. Si Tuyul ini cadel huruf R, L, dan N. Jadi tiap si cadel ngomong, selalu saja harus diulangi dan dipaksa agar jelas.
Ah, Pambudi lupa! Ucil juga anak tunggal. Ibunya – yang disapanya dengan sebutan emak itu adalah seorang wirausahawati. Beliau punya bisnis catering, sedangkan bapaknya adalah seorang pegawai negeri sipil.
"Bud, ntar begadang yuk!"
"Males! Capek!"
"Budi malas. Budi lelah. Budi suka bermain bola." Si tuyul maksa, mulutnya kembali sok mengulang ajaran konvensional membaca di sekolah itu. Kenapa dulu nama Budi ngetrend banget? Padahal ada nama yang lebih keren selain Budi, Ani, Ana, dan nama lainnya. Misalnya Kesya. atau Kinan. atau Milley. Nicky mungkin bisa juga.
"Pulang sana, Cil!" Pambudi masih setia mengusirnya. Ucil itu aneh. Kalau saja dia bukan teman masa kecil, teman sehidup semati, seuntung sesial Pambudi, mungkin Ucil sudah terdampar di pulau terpencil. Nggak ada yang betah dengan si Tuyul cadel itu. Dia bawel banget. Cerewet. Suka kepo. Tukang gosip. Hanya pambudi yang sanggup nampung si Ucil bertahun-tahun. Meskipun Ucil pernah menyentuh "Little Pammy"-nya. Ah, itu nama "anu" milik Pambudi. Ucil yang memberinya nama dulu. Ucil kepo, pernah menyentuhnya. Melongo, karena dulu Pambudi sudah disunat. Ucil belum. Jadi Ucil menggunakan segala macam alasan absurd dan anehnya untuk konfirmasi rasa dan bentuk "anu" setelah disunat. Pambudi sebagai teman yang lebih dulu tahu, waktu itu... dengan tampang polos... hanya menjelaskan saja. Menceritakan rasanya "dipotong". Juga.. membiarkan Ucil menyentuhnya! Kalau ingat itu, Pambudi ingin sekali menjerit gusar.
Meskipun Ucil sudah merusak kenangan indah masa kecilnya, tapi Pambudi sayang Ucil. Ucil sudah jadi bagian dari hidupnya. Pambudi nggak tahu kenapa, tapi kehadiran dan keberadaan Ucil itu agak.. menghibur. Terutama kalau si Tuyul sedang menari. Dia salah satu personil dalam ekskul tari tradisional. Tubuh kecilnya bergerak, lincah seperti kancil. Tubuhnya luwes, lentur, memesona secara bersamaan...
"Jangan tidur dulu, Pam!" Ucil naik ke atas kasurnya, melompat sadis. Memaksa Pambudi untuk ikut acara meleknya itu. "Besok minggu, lho! Kan nggak apa begadang!"
"Diem, Tuyul!" Pambudi marah.
"Tapi aku kesepian, nggak ada temen..."
"Tidur sana!"
"Nggak ngantuk..."
"Karepmu!"
"Pam, pijet-pijetan yuk! Gantian, deh!"
"Najis! Males.."
"Pam..."
"Tidur, Cil!"
"Aku mau cerita..."
"Aku males dengerin!"
"Pam..."
"Apa lagi, sih Cil?" Pambudi membuka matanya paksa, menatap si Ucil dengan raut marah. Kesal. Bete juga.
"Aku suka seseorang. Aku jatuh cinta..."
Nah! Pambudi bangkit dari tidurnya dan menegakkan tubuh. Dia duduk dan siap mendengarkan apapun celotehan si cadel. Dia kaget, si Ucil jatuh cinta? Kok bisa? Bukannya hidupnya hanya demi satu hal : makanan dan nari?
"Siapa orang yang ketiban sial itu?"
Si tuyul cadel itu merengut, lalu nyengir. Dia manggut-manggut lalu duduk manis.
"Namanya... Ferdi."
Mampus! Ucil sekarang sedang menari-nari dalam dunia pelangi. Ucil sepertinya kepo dengan dunia warna-warni yang sekarang sedang jadi trend itu. Dia menelan ludahnya. Harus jawab apa? Pambudi nggak jijik, kok! Ucil sahabatnya. Apapun cover dan bentuk Ucil, dia tetap sahabat Pambudi. Sahabat sejak kecil. Susah dan senang mereka rasakan bersama.
"Feldi?" Pambudi nanya sarkas. Dia tahu si Ucil nggak bisa bilang R dengan baik.
"Bukan pake L, Pam! Pake... Lrr..."
"Ha?" Pambudi punya korban baru untuk dijahili. Dia ngakak setelah itu.
"Pam, ih!!" Ucil merengut. "Dia anggota baru si sanggar..." Ucil tertawa kecil.
Lagipula, Ucil kan sukanya sama si Ferdi. Bukan karena Ucil homo, dia jadi doyan Pambudi dan semua cowok. Pambudi tahu, walau tingkahnya menggelikan begitu Ucil adalah homo yang beradab.
"Kamu pasti jijik..." Ucil mendengus, lalu menempelkan kepalanya di lengan Pambudi. Pambudi menggeleng. Nggak, dia nggak jijik kok! Hanya saja... agak kesal. Kenapa Ucil baru menceritakannya sekarang, kenapa Ucil menutupi semua itu darinya. Juga.. sejak kapan Ucil bisa jatuh cinta dengan sesama jenis. Jenis kelamin, ya bukan jenis spesies!
"Biasa aja, kok!"
Ucil mengerjap. Bingung. Kok Pambudi nggak kaget atau shock gitu, sih? Kan harusnya Pambudi teriak dengan jalang, "Jijik aku melihat mukamu, homo! Kita bubaran!"
Tapi yang Ucil khayalkan nggak terjadi. Itu artinya, dia lagi mujur. Tapi kok respon Pambudi biasa gitu, sih?
"Kok kamu biasa?"
"Hah? Emangnya aku harus apa? Toh, aku nggak ikutan nikahin kamu sama si siapa itu tadi?"
Ucil nyengir sempurna. Pambudi itu tipe cuek. Tipe santai. Tipe golongan darah B. Agak blak-blakan. Nggak agak, tapi super frontal. Sedangkan Ucil goldar O. Jadi agak alay. Ucil harus kepo ke akun line golongan darah biar tahu spesifikasi sifat Pambudi. Jadi begitu tahu kalau sifat golongan darah B begini dan begitu, Ucil akhirnya memutuskan untuk ngaku kalau dia homo. Dan ternyata benar, Pambudi nggak benci dia hanya karena Ucil homo. Ucil suka Ferdi. Dia nggak suka cewek, tapi juga nggak suka cowok lain. Kecuali Ferdi. Mungkin.
"Ini rahasia kita, ya Pam!"
"Iya! Iya! Sana tidur!"
"Tapi aku mau cerita. Gimana pertemuan pertama kami, lalu gimana aku bisa suka sama dia, lalu..."
Pambudi sudah cukup lelah dengar celotehan si tuyul, lantas meraih buku di atas meja. Dia melemparkan buku itu ke pangkuan Ucil.
"Pake itu, Cil! Tulis aja sesukamu. Besok aku baca."
Lalu setelah itu Pambudi siap-siap bercinta dengan guling dan bantalnya. Ucil nurut. Sepertinya dia juga nggak sabar ingin nulis diary dari Pambudi itu. Ucil mulai melanjutkan catatannya. Bercerita banyak hal. Mbulet. Dia begitu semangat untuk menceritakan semuanya, biar besok pambudi yang baca. Ah, kalau ucil ingat.. dia juga menuliskan inisial Ferdi dengan huruf F. Biar gokil, pikirnya. Biar gaul, anggapnya. Biar rahasia, faktanya. Kan nggak lucu kalau nanti ada yang baca dan ngira Ucil homoan. Walau memang itu faktanya!
Ucil benar-benar begadang. Dia semalam suntuk nggak tidur hanya untuk nulis diary! Pambudi punya cara sendiri untuk membuat Ucil sibuk dengan dunianya tanpa mengganggu orang lain.
***
Koreksi ya kalau Pambudi salah. Sejak tadi si Ucil itu sudah malu-malu cabe kering paprika pedes begitu. Ucil sudah pose dengan selendang di pinggang, tapi bibirnya manyun-manyun terpesona. Alasannya jelas, karena dia sedang ngintip Ferdi. Pambudi tahu karena saat ini dia sedang nunggu si Ucil latihan. Ibunya yang request jemput Ucil tadi di sanggar. Sebagai anak kandung ibunya, Pambudi sempat nanya kenapa. Tapi karena sudah biasa dia jemput si Ucil, dia pasrah saja. Nurut. Ingat, surga di telapak kaki ibu!
"Jadi tipe si Tuyul cadel yang kayak gitu!" Pambudi mengawasi, meneliti, dan mengobservasi cowok yang ditaksir si Ucil. Ucil jadi lebih pendiam sekarang. Dia hanya mengikuti lagu gamelan yang mengalun pelan. Pikirannya nggak fokus hingga menginjak kaki penari lainnya.
"Fokus, Cil! Fokus!" Mbak Yus, pelatih tari di sana mengomeli si Ucil. Ucil itu sudah jadi icon di sanggarnya. Semua penonton selalu tertarik dengan tarian Ucil. Itu karena si Ucil lebih luwes dalam menari meskipun dia cowok. Tapi kali ini si Ucil berbeda dari hari-hari sebelumnya. Iya, lah! Ucil kan sedang jatuh cinta!
"Maaf, mbak..." Ucil minta maaf, meskipun Pambudi tahu kalau si Ucil masih suka melirik ke arah penari baru itu. Siapa ya namanya? Ah, Ferdi ya? Tadi Pambudi sempat mengintip catatan yang dibuat Ucil. Catatan yang semalam suntuk dibuat Ucil sampai rela nggak tidur. Catatan ruwet yang sama sekali nggak Pambudi ngerti. Bahasa Ucil terlalu alay. Hiperbolis. Lebay. Sok dramatis. Masa si Ucil bilang kalau rambut Ferdi itu sehalus sutra? Pambudi nggak cukup gila untuk percaya diksi-diksi si Ucil itu.
"Latihan hari ini sampe sini dulu, ya! Jangan lupa pelajari gerakan yang baru, waktu kita cuma sebulan!" Mbak Yus mengingatkan lagi. Mereka bubar, sementara si Ucil masih terpaku di tempatnya. Sementara itu, Ferdi – cowok yang Ucil suka itu – hanya acuh dan sibuk dengan urusannya sendiri.
Pambudi jadi kasihan dengan si cadel.
"Kalian mau ada pagelaran?" Pambudi mendekat. Ucil tersadar dan menoleh. Wajahnya merah malu-malu begitu. Kepalanya mengangguk cepat. "Masih lama? Sana ganti baju!" Pambudi mengisyaratkan Ucil untuk pergi. Lagipula, dia nggak mau menunggu makin lama. Nunggu Ucil menatap si Ferdi maksudnya. Kan bisa lama! Maklum, orang jatuh cinta!
Ucil nurut. Dia berbalik dan segera mengganti bajunya. Begitu Ucil selesai mengganti bajunya, dia segera menyusul Pambudi yang sudah stand by di atas motor. Ucil duduk manis di boncengannya, lalu berbisik pelan.
"Tadi itu yang namanya Ferdi... Cakep, ya?"
Pambudi tersentak kaget.
"Jadi kamu naksir karena dia cakep? Lalu kamu nggak naksir aku yang lebih cakep daripada dia?" Pambudi iseng. Ucil terkekeh.
"Dia satu-satunya cowok yang paling cakep di mataku!"
"Bapak kamu gimana? Kalah?"
"Bapakku sih nggak ada apa-apanya..."
"Dasar anak durhaka! Cinta membutakan segalanya!"
Ucil ngakak. Pambudi merengut sambil terkekeh. Baginya, Ucil begini sudah cukup. Meskipun sahabat kecilnya itu punya selera yang berbeda dalam cinta, tapi Pambudi masih tetap bersikap biasa. Ucil tetap sahabatnya! Sampai kapanpun!
"Pam... Ferdi jijik nggak ya ke aku?" Ucil jadi lebih pemikir sekarang. Dia jadi enggan untuk jahil dan merepet. Pambudi ngakak nista dalam hati. Dia nggak boleh kalah hanya karena Tuyul ini lebih sensitif sekarang. Pambudi kan agak jahil. Nggak agak, tapi lumayan iseng. Jahil. Nakal. Labil juga.
"Hayo, gimana kalo Feldi ntar menjauh?"
Ucil mingkem.
"Namanya bukan pake L..."
"Kamu sebutnya gitu!"
"Tau, ah!" Cielah, Ucil ngambek sekarang. Pambudi ngakak saja dalam hati. Dia nggak berani mengusik Ucil yang sedang dalam tahap marah. Dia melirik spion motornya, ngintip wajah Ucil yang sudah terlipat mirip kertas origami.
"Kapan pagelarannya?" Pambudi nggak betah buat diem. Ucil juga nggak cocok dalam mode foto close up begitu. Kaku.
"Sebulan lagi! Ntar Pam datang, ya!"
"Nggak janji!"
"Tuh, kaaaann...!" Lagi-lagi Ucil merepet ke arahnya. Pambudi ngakak lagi. Baginya, menjahili si Ucil itu punya sensasi luar biasa. Dia nggak bisa ngomong panjang lebar, hanya sanggup ngakak.
"Emang kamu jadi apaan, Cil? Jadi properti panggung?"
Ucil menjitak helm Pambudi dengan sadis. Pambudi ngakak saja. Mengingat si Ucil itu agak alay. Bagaimanapun sahabat kecilnya ini agak berisik. Juga.. berbakat.
"Ntar di sana aku jadi anak tiri raja. Aku dibuang ke hutan..." Ucil masih sibuk bercerita tentang perannya di sendratari itu. Pambudi diam. Mendengarkan.
"Lalu Ucil diasuh sama binatang?," tanya Pambudi cepat. Kepo. Ucil mengangguk semangat.
"Kayak ceritanya tarzan, ya?"
"Nggak ada tarzan cebol!"
Ucil makin ngambek. Dia bete. Pambudi suka sekali meledeknya. Juga suka memarahinya. Pambudi yang dia sapa dengan nama Pam itu agak menyebalkan. Pambudi mirip ayahnya. Tukang bully. Tukang jahilin Ucil. Ayahnya juga sama. Jadi kalau Ucil sedang dalam mode ngambek, dia nggak akan tinggal di rumah ataupun nginap di tempat Pambudi. Dia pasti akan dijahili kedua lelaki itu.
"Diem, raksasa!"
"Nggak ada tarzan cadel juga!"
"Paaaaammmm....!!"
"Ntar kalo pas di hutan teriak 'Auooo.. uooo.. uoooo...., aku Talzan si laja hutan!' Mana paham coba hewan-hewan di sana. Laja itu apa?"
"Diem, buku tulis!"
"Cie.. cari ledekan yang nggak pake huruf R..."
"Ini ibu Budi, ini bapak Budi, ini kakak Budi. Nama Budi panjang sekali."
Pambudi sukses makin histeris. Ngakak. Motornya oleng ke sana ke mari karena kebanyakan ngakak. Ucil memukul punggungnya.
"Hati-hati dalam berkendara, Pam! Aku nggak mau mati sebelum pagelaran..."
"Pam akan berkendala dengan baik, tuan puteli..."
Ucil mendengus. Ini seru, sumpah! Pambudi suka kalau Ucil sedang dalam mode ngambek begini. Artinya, Ucil jadi mingkem dan nggak merepet seperti biasa. Tapi agak sepi juga, sih! Pambudi menggeleng, dia nggak boleh membuat Ucil ngomel sebelum sampai di rumah dengan selamat. Mereka sampai di rumah mereka. Mereka tetangga. Rumahnya juga nempel-nempel ala perumahan gitu.
Ucil menyerahkan helmnya tanpa bicara apapun. Mulutnya masih manyun-manyun.
"Nggak ngomong apa-apa?" Pambudi masih setia dan bernafsu menggodanya. Ucil berhenti, menoleh ke arah Pambudi dengan raut kesal.
"Makasih!"
"Mana ada bilang makasih kayak gitu!"
"Thank you so much!"
"Aku nggak paham bahasa inggris, Cil!"
"Masa gitu aja nggak tahu!"
"Bilang yang bener, coba! Aku kan udah rela nungguin kamu latihan, jemput kamu juga. Tapi buat bilang terimakasih aja kamu nggak mau! Kamu gitu amat, dah Cil!" Pambudi sok sedih dan terluka. Tunggu saja, cowok mungil nan ceriwis ini harus mengerti maksud Pambudi sebenarnya.
"Kamu niatan ngeledekin aku!"
"Aku nggak bermaksud gitu!"
"Kalo kamu ketawa, kamu harus dihukum!" Ucil semangat.
"Idih, kayak yang bisa hukum aja! Emang mau dihukum suruh ngapain? Ngerjai PR kamu? Tulisan kita kan beda, pasti guru curiga..."
"Kamu harus kepoin gebetanku dan kasih tahu aku!"
"Ah iya, gebetan kamu itu siapa ya namanya?"
"Niatan kamu dari awal emang buat aku ngomong Rlll...!!"
Pambudi ngakak. Ucil makin gemes. Dia melangkah sok galak ke arah Pambudi, lalu melayangkan tinjunya di perut Pambudi. Pambudi tertohok, batuk-batuk setelah itu. Tonjok-tonjokan bagi mereka sudah biasa, kok! Sebelum Pambudi membalas, Ucil sudah melompat-lompat cantik masuk ke dalam rumahnya dan melambai sambil nyengir.
"Cil.. bilang terimakasihnya belom selesai! Ngutang, ya!"
Setelah itu pun, Pambudi masih ngakak dan kembali ke rumahnya sendiri. Nggak tahu, ya... Ucil itu sudah seperti adiknya sendiri. Meskipun Pambudi sudah punya adik. Cowok juga. Masih SMP. Tapi adik Pambudi itu dingin, cuek, jahat. Makanya, Pambudi nggak bisa akrab dengan adiknya. Untung ada Ucil...! Lalalalalala... Jadi Pambudi masih bisa menikmati bagaimana rasanya punya adik yang manis.
Pambudi sudah selesai mandi dan mendapati ada sebuah kertas di atas kasurnya. Dia celingukan, mencari sosok yang menulis kertas itu. Pasti si Tuyul melemparkan kertas itu dari jendela rumahnya. Kekanakan banget, deh si Ucil! Dengan wajah penasaran, Pambudi membuka kertas itu perlahan.
"TeRRRRRRRRRRRRimakasih!"
Pambudi ngakak makin kencang, sampai bergulung di lantai kamarnya.
TBC
Hanya sebagai pengingat. Cerita ini hanya sebagai pertanda kalau aku pernah punya ide ini.... J Kalau ada yang nanya kenapa judulnya ginian, aku nggak paham juga kok... Jadi sebagai orang yang sama-sama nggak paham, marilah kita saling memahami...! Chanbaek Shipper, menarilah... :v
Ngomong-ngomong soal karakter Ucil.. dia nggak mirip Zain. Nggak mirip Nata. Dia malah jadi mirip... Lu. Ingat? Itu, tuh... bocah tengil alay di series Gaachan yang judulnya "Love In The Jungle". *modus promo tersirat*
Lanjut napa mboten? *naikin alis
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top