23. Kencan?
"Sebelum kita jalan keluar, tolong anterin aku ke kamarku ya," pinta Tesla saat mereka menuruni tangga ke lantai dua.
"Serius kamu minta aku anterin ke kamarmu?" tanya Magenta yang berjalan di belakang Tesla.
"Seriuslah," jawab Tesla singkat.
"Kamu nggak berani ke kamar kamu? Ada hantu ya? Karena itu tadi saat aku jemput kamu di kamar kamu, kamu lari cepat banget kayak dikejar setan," tanya Magenta.
Tesla tidak menyangka Magenta bisa menebak dengan tepat.
"Tadi itu memang aku hampir dikejar hantu penunggu kamarku," katanya.
Magenta terbelalak. "Hah? Kamar kamu ada hantu penunggunya?"
"Yah, begitulah. Hantu itu memang menetap di kamarku. Kalau ada Ara, aku masih bisa tenang. Seenggaknya kalau hantu itu mulai muncul dengan penampilan mengerikan, aku bisa ngumpet di belakang punggung Ara."
Akhirnya Tesla memutuskan menceritakan yang sebenarnya pada Magenta. Tak peduli cowok itu percaya atau tidak.
Alis Magenta terangkat. "Menetap di kamarmu? Jadi, tiap kali kamu di kamarmu, kamu bisa lihat hantu itu?"
Tesla mengangguk.
"Kamu bisa tidur walau lihat dia?"
Tesla menghela napas.
"Awal melihatnya aku memang takut dan aku tidur di belakang Ara. Lama-lama aku mulai bisa pura-pura nggak melihatnya. Walau kadang merinding tiap kali menyadari keberadaannya. Kadang dia hanya diam, aku bisa mengabaikannya. Tapi saat dia mendekat dan maksa aku menolongnya, aku merinding dan ketakutan."
Mata Magenta membelalak. "Dia maksa kamu nolong dia? Nolong apa? Dan cara maksanya gimana? Apa dia bisa nyentuh kamu? Dia nyakar kamu atau ngapain?"
Tesla menoleh. "Pertanyaam kamu banyak amat," ucapnya.
"Sori, aku penasaran banget," sahut Magenta sambil nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku sangat berharap kamu bisa lihat mereka. Supaya kamu nggak menganggap remeh apa yang aku lihat," keluh Tesla.
"Hei, aku nggak nganggap remeh. Aku serius penasaran, gimana cara dia minta tolong ke kamu?"
"Dia cuma bilang segítség. Itu artinya minta tolong, kan?"
"Tapi, dia minta tolong buat apa?"
"Dugaanku, dia mati dibunuh. Dan dia minta tolong aku mengungkap siapa pembunuhnya plus menemukan kerangkanya."
Mata Magenta membelalak dua kali lebih besar daripada tadi.
"Ya ampun! Kok minta tolongnya susah amat dan serem banget. Siapa yang sanggup memenuhi permintaannya?"
"Nah! Kamu juga merasa itu permintaan yang berat, kan?"
"Maksudku, kamu bukan polisi atau detektif. Gimana kamu bisa mengungkap siapa pembunuhnya?"
Tesla mengangkat bahu. "Aku harus bertahan selama tiga bulan tinggal di sini. Setelah itu aku akan pindah kos ke tempat lain. Tapi sekarang baru seminggu, aku udah merasa capek."
Magenta hanya menatap Tesla dengan pandangan prihatin.
Tesla berhenti, Magenta ikut berhenti. Mereka sudah berada di depan pintu kamar Tesla.
"Jadi, begini. Kamu nunggu di ambang pintu, jagain jangan sampai pintunya nutup sendiri. Tadi sebelum kamu jemput aku, pintunya nutup sendiri. Aku masuk cuma mau ngambil jaket, sepatu, dan tas. Setelah itu aku akan langsung keluar dan ngunci pintu." Tesla memberi instruksi.
"Sebentar, pintunya nutup sendiri? Kamu yakin bukan karena kena angin?" tanya Magenta lagi.
"Udah deh, jangan kebanyakan nanya. Pokoknya lakukan aja yang tadi aku bilang. Please? Mau kan bantuin aku cuma nunggu aku ngambil barang-barang yang aku butuhin?"
Magenta mengangguk-angguk. "Oke, oke. Lakukan sekarang, supaya kita bisa cepat-cepat menyingkir dari kamar kamu yang angker ini," sahutnya.
Tesla membuka pintu kamarnya perlahan. Dia sengaja tak ingin mengecek apakah sosok gaib itu masih terlihat dalam kamarnya. Dia menunduk dan menarik Magenta hingga berdiri melewati ambang pintu kamarnya. Memastikan tubuh Magenta akan menghalangi pintu jika pintu itu tertutup lagi secara tiba-tiba dengan sendirinya.
Tesla melangkah cepat-cepat mendekati tempat tidurnya. Meraih jaket ber-hoodie yang terlipat di atas kopernya, mengambil sepatu ketsnya, menyambar tasnya yang tergeletak di atas meja.
Dia tak peduli beberapa buku kuliahnya ikut terbawa. Yang utama, semua dokumen dan dompetnya ada dalam tas itu. Untunglah dia telah mengenakan celana katun sepanjang tiga perempat. Masih layak dipakai berjalan-jalam ke luar gedung.
Setelah itu dia bergegas keluar kamar. Magenta ikut keluar, lalu Tesla menutup pintu dan menguncinya.
"Tadi aku melihat ke sekeliling ruang kamar kamu. Aku nggak lihat ada hal aneh. Apa tadi hantunya sedang nggak menampakkan diri?" tanya Magenta sambil berjalan di sisi Tesla yang melangkah cepat menuju ke luar gedung.
"Aku nggak tahu. Tadi aku nunduk aja. Nggak mau lihat dia andai dia menampakkan diri. Untuk saat ini, nggak usah bahas dia dulu. Tapi nanti, kita harus berusaha masuk ke perpustakaan tua yang ada di bawah tangga di pojok ruangan itu. Karena aku pernah lihat hantu yang bercokol di kamarku pernah masuk ke perpustakaan terlarang itu," jawab Tesla.
Mata Magenta membelalak lagi. Menyadari dia terlibat petualangan yang belum pernah dia alami bersama Tesla. Mereka benar-benar sedang menyelidiki sebuah kasus pembunuhan super berat yang telah sekian lama tak terungkap.
Ada rasa ngeri, tapi juga ada sensasi seru yang membuatnya tak keberatan mengikuti rencana Tesla.
"Jadi, kita mau makan siang di mana?" tanya Tesla setelah mereka berada di luar gedung. Dia sudah mengenakan jaketnya dan memakai sepatunya. Tasnya pun sudah terpasang di punggungnya.
"Ada restoran Maroko. Mereka menyediakan nasi. Masakannya pun halal, harganya terjangkau. Mau?" jawab Magenta.
"Boleh," sahut Tesla.
Magenta mengajaknya naik trem.
"Setelah makan, apa ada tempat wisata yang mau kamu kunjungi?"
"Ada saran tempat yang menarik? Tolong jangan ke museum drakula. Aku nggak perlu ke tempat creepy semacam itu untuk melihat hantu."
"Kita ke Heroes Square aja. Itu alun-alun kota yang terbesar di Budapest. Sudah pernah ke sana?"
Tesla menggeleng. "Belum. Aku setuju ke situ. Aku memang lebih suka berada di ruang terbuka luas semacam itu. Apalagi yang banyak orangnya. Supaya aku bisa pura-pura nggak lihat jika tiba-tiba ada hantu menampakkan diri," jawabnya.
"Oke, kita naik trem lagi," kata Magenta. Tesla mengikutinya.
Tak butuh waktu lama untuk mencapai Heroes Square. Tesla merasa lega berada di ruang terbuka luas. Walau konon katanya lapangan ini dibangun sejak tahun 1896 untuk memperingati 1000 tahun sejarah suku Magyar, yang bisa dibilang adalah suku asli Hongaria.
Di tengah-tengah lapangan terdapat pilar-pilar berjajar. Dan paling tengah merupakan pilar paling tinggi dengan patung Gabriel berdiri di ujung atasnya.
"Gimana? Apa aja yang kamu lihat di sini? Orang-orang itu, para wisatawan lokal dan dari luar negeri yang asyik berfoto di tempat ini, mereka semua manusia, kan?" tanya Magenta setelah mereka berdiri tepat di depan pilar utama.
Tesla mendongak, dia mengenakan sunglasses, sedang memandangi patung Gabriel. Lalu menoleh ke Magenta. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Walau banyak wisatawan di lapangan ini, tapi tidak sampai membuat lapangan ini penuh sesak.
"Entahlah. Hantu yang aku lihat di gedung kos kita, kadang penampilannya benar-benar mirip manusia masih hidup. Maksudku, nggak ada luka mengerikan, atau mata melotot, wajah pucat dan lain-lain yang seram-seram."
"Tapi, pasti ada bedanya, kan? Yang bisa bikin kamu langsung tahu bahwa seseorang itu hantu atau manusia nyata?"
Tesla mengernyit, mencoba mengingat-ingat.
"Sepertinya iya, memang ada bedanya. Manusia hidup, semurung apa pun, sedang bad mood berat sekali pun, tapi mereka terlihat hidup. Aku bisa melihat asap halus keluar dari hidung mereka tiap kali mereka mengembuskan napas," jawab Tesla.
Dia menarik napas dan mengembuskannya pelan.
"Tapi jika sudah mati, nggak terlihat gumpalan asap halus keluar dari hidungnya," lanjut Tesla.
"Wow! Kamu benar-benar melihat asapnya? Asap kayak bakaran sate?"
Tesla meninju lengan atas Magenta.
"Yang benar aja asap bakaran sate. Asap yang keluar dari hidung ketika orang bernapas di udara dingin gitu lho!" koreksi Tesla.
"Itu bukan asap."
"Apa dong namanya kalau bukan asap?"
"Itu ... apa ya?" Magenta menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Okelah asap. Tapi serius kamu lihat asap dekat hidung orang yang masih hidup? Berarti sekarang ada asap nih di depan hidungku?" lanjut Magenta.
"Kalau dari dekat gini nggak terlihat asapnya, karena jarak kita dekat. Dalam jarak minimal lima meter, baru terlihat."
"Oh, jadi dengan begitu kamu bisa tau yang terlihat itu masih hidup atau sudah nggak hidup?"
Tesla mengangguk.
"Aku baru sadar beberapa hari lalu. Awalnya dulu aku nggak merhatiin."
"Dan sekarang di sini, apa kamu lihat ada yang napasnya nggak berasap?" tanya Magenta lagi.
Tesla melihat lagi ke selilingnya. Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya perlahan.
"Iya, ada. Dan aku pengin pura-pura nggak lihat mereka," jawab Tesla.
Alis Magenta terangkat. "Mereka? Maksud kamu, ada lebih dari satu?" tanyanya.
"Ada dua," jawab Tesla singkat.
"Ya Tuhan, hidupmu benar-benar merana ya, Tes. Kamu bisa lihat mereka di mana aja," ucap Magenta. Dia ikut memelankan suaranya.
"Ini cuma terjadi sejak aku datang ke sini. Entah ada apa dengan kota ini. Di Indonesia aku nggak lihat yang gaib-gaib. Bahkan saat aku ke negara lain pun juga nggak. Hanya di kota ini."
"Aneh," sahut Magenta bingung.
"Sangat aneh. Dulu, nenekku pernah cerita. Saat aku kecil, aku sering teriak-teriak mengaku lihat mahluk-mahluk seram. Tapi yang lain nggak ada yang bisa lihat. Nenekku bilang, aku nggak usah khawatir. Karena nenek sudah nutup mata batinku. Aku nggak bisa lihat 'mereka' lagi. Nenek bilang, nenek yang jagain aku dari mahluk-mahluk gaib yang mau ganggu."
"Mungkin karena sekarang kamu jauh dari nenekmu, dia nggak bisa melindungi kamu lagi."
Tesla menggeleng. "Yang melindungi manusia itu Allah. Bukan orang yang sudah meninggal,"katanya.
Magenta terbelalak. "Nenek kamu sudah meninggal?" tanyanya.
Tesla mengangguk. "Seminggu sebelum aku berangkat ke sini. Dan aku melihat penampakan nenekku saat aku mengepak koper."
"Itu sebabnya!" Magenta menjentikkan jarinya.
"Sebab apa?" Kening Tesla berkernyit.
"Sebabnya kamu sekarang bisa lihat mahluk gaib lagi. Karena nenek kamu yang biasanya jagain kamu sudah meninggal."
"Aku kan sudah bilang, yang melindungi manusia itu Allah."
"Mungkin ketika nenekmu masih hidup, nenekmu doain kamu setiap hari. Dan doanya itu yang bikin kamu terlindung. Sekarang nggak ada lagi yang doain kamu. Apa nenekmu nggak pernah ngasih tau doa apa yang dia baca untuk melindungi kamu dari gangguan mahluk-mahluk itu?"
Tesla menggeleng. "Dulu aku nggak kepikiran kayak gitu."
"Mungkin ibumu tau, doa apa yang dulu dibaca nenekmu?" Magenta memberikan ide lagi.
Tesla baru saja membuka mulut hendak menyahut, tapi urung karena ponselnya berbunyi.
Nama Amara muncul di layar ponselnya.
"Halo, Ra. Ada apa?" tanya Tesla.
Suara Amara terdengar panik.
"Tes, kamu di mana?" tanya Amara.
"Lagi di Heroes Square. Kenapa?" jawab Tesla.
"Balik ke kos sekarang juga, Tes!" ucap Amara dengan suara tegas cenderung memerintah.
"Kenapa harus sekarang juga? Ini baru jam setengah lima. Jam limaan deh baru aku balik," sahut Tesla masih menanggapi santai nada suara Amara yang masih terdengar panik.
"Please, Tes. Kamu balik ke sini sekarang juga. Kamar kita, Tes. Kamar kita."
Perasaan Tesla berubah karena akhirnya Amara tidak lupa menyisipkan kata "please" pada kalimatnya, hingga menghilangkan kesan memerintah.
"Kamar kita kenapa?" tanya Tesla mulai menunjukkan kepedulian.
"Kamar kita ada yang berantakin. Dan yang berantakin nggak kelihatan. Maksudku, aku nggak lihat apa-apa. Barang-barang berjatuhan dengan sendirinya," jawab Amara. Suaranya kini terdengar lebih pelan dan dia menghela napas panjang.
Tesla terbelalak. Mulutnya membuka sejenak. Hingga akhirnya dia sadar harus segera bergerak.
"Oke, Ra. Aku pulang sekarang!" sahut Tesla. Dia memutuskan sambungan telepon. Lalu menoleh ke Magenta.
"Aku balik ke kosan sekarang."
"Ada apa, Tes?" tanya Magenta yang sejak tadi penasaran melihat raut wajah Tesla yang semula santai berubah menjadi panik.
"Hantu di kamarku. Sepertinya dia ngamuk," jawab Tesla.
Magenta ternganga. Lalu bergegas mengejar Tesla yang sudah berlari menuju halte trem.
Tbc
**===========**
Haaai, teman-teman.
Maaf ya, lama nungguin lanjutan cerita ini. Karena ada aja tugas lain yang mesti didahuluin. Jadi mikir dan ngetik lanjutan cerita ini mesti nunggu ada waktu longgar.
Sabar aja ya nunggunya. Semoga aja update part selanjutnya nggak lama.
Komen yang banyak yaaa. Supaya aku semangat ngetik lanjutan NiB ini. Makasih semuanya 😘
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top