2. Teman Sekamar

"Hei! Why do you scream?

Suara hardikan itu menyadarkan Tesla. Dia berhenti berteriak, lalu mengucek-ucek matanya.

Masih tak percaya dengan yang dia lihat, dia mengerjap beberapa kali. Di hadapannya berdiri seorang perempuan muda, kemungkinan sebaya dengannya. Mengenakan kerudung dan berkacamata. Keningnya berkernyit.

Tesla tampak kebingungan. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mengapa tadi terlihat olehnya perempuan pirang berkepang dengan darah mengalir dari pelipisnya? Apa tadi dia bermimpi? Tapi rasanya bagai nyata.

"I am sorry. I had a bad dream."

Tesla mengangkat tubuhnya, dia duduk di tepi tempat tidurnya. Gadis berkerudung itu duduk juga di tempat tidurnya sendiri. Mereka berhadap-hadapan.

"Are you my roomate?" tanya Tesla, menebak-nebak kira-kira teman sekamarnya ini berasal dari mana. Kulitnya kuning langsat, hidung tidak terlalu mancung, mata kecil tertutup kacamata berbingkai hitam. Wajah khas Asia Tenggara. Apakah orang Malaysia? Atau jangan-jangan Indonesia?

"I think so."

"Where do you come from?"

"Indonesia."

Tesla melotot. "Ya ampun. Benar dugaanku, kamu orang Indonesia juga. Alhamdulillah, jauh-jauh ke sini sekamar sama orang Indonesia," sahutnya antusias.

Dia mengulurkan tangannya. "Tesla Briliantia. Panggil aja Tesla."

Gadis itu membalas uluran tangan Tesla.

"Nama kamu ngingetin aku sama-"

"Penemu listrik arus bolak-balik?" potong Tesla.

Gadis itu mengangguk. "Nikola Tesla."

"Ayahku memang pengagumnya," jawab Tesla sambil tersenyum bangga.

"Kalau kamu, siapa namamu?" lanjutnya.

"Oh, aku Amara. Panggil saja Ara."

"Kamu di Indonesia dari kota apa?" tanya Tesla lagi.

"Palembang. Kamu?"

"Solo. Sudah pernah ke sini? Maksudku ke Budapest."

"Belum. Malah ini pertama kalinya aku ke luar negeri."

"Aku juga baru pertama kali ke Eropa. Btw, maaf ya, tadi aku teriak kencang banget ya?"

"Banget. Aku sempat panik, aku kirain kamu kenapa. Aku goncang-goncang bahu kamu tetap aja kamu teriak kayak nggak sadar."

"Aku ...." Tesla mengurungkan niatnya menceritakan apa yang telah dia lihat. Dia tak ingin membuat malam pertama mereka di sini menjadi tidak nyaman. Lagipula, Amara belum tentu percaya.

"Mm ... kamu benar-benar baru sampai ya?" Tesla menggantinya dengan pertanyaan itu.

"Iya. Tadi aku agak susah nemu tempat ini. Rencana mau hemat naik kereta dan trem, ternyata malah nyasar beberapa kali."

"Kamu nggak takut tadi pertama kali masuk ke gedung ini sendirian? Maksudku, di gedung ini nggak ada penjaga di lobi, kita harus ke sini sendiri. Sepi banget dari depan pintu sampai sini."

Tesla benar-benar penasaran, apakah Amara tidak melihat penampakan horor yang tadi dia lihat. Wajah Amara tidak menunjukkan tanda-tanda trauma.

"Sempet merasa seram sih. Mana cahayanya remang-remang, sepi banget. Aku baca segala macam doa aja. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke sini."

"Mm ... kamu nggak lihat yang aneh-aneh?"

Amara menggeleng. "Memangnya kamu lihat yang aneh-aneh?"

"Cuma terbawa suasana."

"Nggak usah takut. Ada Tuhan yang melindungi kita. Yang penting, jangan lupa berdoa. Eh, aku mandi dulu ya. Udah nggak betah nih, hampir seharian perjalanan."

Tesla mengangguk. Amara berdiri, membongkar kopernya. Mengambil beberapa barang, lalu ke kamar mandi.

Tesla tercenung setelah Amara tak terlihat lagi. Perasaan aman yang tadi sempat dirasakannya hilang lagi. Berganti rasa was-was dan tak nyaman. Bahkan dia pun belum mandi karena tadi tak berani ke kamar mandi saat masih sendirian. Andaikan bisa, rasanya dia pengin ikut mandi bersama Amara supaya ada temannya.

Dia kembali merebahkan tubuh dan menutup matanya. Dia tak ingin melihat penampakan yang aneh-aneh lagi.

Hingga terdengar suara berdenting dari pantri. Tesla memicingkan mata.

Ya Tuhan. Si Ara tadi manusia sungguhan, kan? Bukan cuma halusinasiku?

Suara itu, seperti suara sendok yang dipukulkan ke piring keramik.

Ting ... ting ... ting.

Sudah pasti Tesla belum mengeluarkan peralatan makan dari kopernya.

Mungkin Ara udah naruh sendok dan piringnya di bak cuci piring, terus kena air netes.

Tesla berusaha tetap berpikir positif. Tapi suara berdenting itu semakin keras.

"Araaa! Kamu belum selesai mandinya?!" teriak Tesla sekeras-kerasnya. Tapi Amara yang masih berada di kamar mandi tidak mendengar suaranya.

Harusnya, Tesla tak usah peduli pada bunyi berdenting itu. Harusnya dia tetap berbaring dan menutup seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut.

Tapi yang dia lakukan malah bangun dari tempat tidur, berdiri menghadap pantri. Dan matanya membelalak. Lututnya mendadak gemetar.

Di depan pantri, sosok yang tadi membuatnya berteriak tampak lagi. Rambutnya pirang dikepang satu. Namun belum ada darah di pelipisnya. Sosok itu memandanginya.

Ingin sekali Tesla berteriak. Tapi kali ini dia bisa menahan diri. Dia hanya merasa kakinya kaku tak bisa digerakkan.

Untunglah, satu menit kemudian, pintu kamar mandi yang tepat berada di samping pantri terbuka.

Muncul Amara dengan balutan handuk di kepalanya. Pakaiannya sudah berganti piama.

"Tesla, kamu kenapa? Kok bengong gitu?" Amara dengan santai melewati sosok pirang berkepang itu seolah dia tak melihatnya.

"Hei!" Amara menepuk pundak Tesla.

Tesla tersentak. Dia mengerjap beberapa kali.

"Kamu ini kebiasaan keseringan bengong. Hati-hati lho, keadaan bengong itu bisa dimanfaatin setan buat masuk mempengaruhi kamu," kata Amara.

"Kamu percaya setan ada?"

"Mahluk gaib kan memang ada. Tapi, kodratnya manusia, nggak bisa lihat yang gaib."

"Kalau ada orang yang bisa lihat mahluk gaib?"

"Itu cuma gangguan jin. Udah ah, nggak usah ngomongin yang gaib-gaib deh. Tadi aku cuma ngingetin kamu supaya jangan terlalu sering bengong."

Amara mengusap-usap rambutnya yang ternyata keriting dan panjangnya sebahu dengan handuk.

"Aku salat dulu ya," katanya setelah air di rambutnya berkurang.

Dia mengecek arah kiblat lewat aplikasi di ponselnya.

Tesla hanya memperhatikan semua yang dilakukan Amara. Dia semakin yakin memang hanya dia yang bisa melihat sosok berambut pirang berkepang itu. Amara sepertinya tidak melihat apa yang dia lihat.

Dia melirik ke arah pantri. Tersentak halus melihat sosok pirang berkepang tadi tak ada lagi.

Ke mana sosok tadi? Apa dia takut lihat orang salat? Tesla bertanya-tanya dalam hati.

Tesla memutar kepala melihat sekeliling. Sosok tadi benar-benar tak terlihat lagi. Dia menghela napas lega.

Sekarang aja aku ke kamar mandi. Mumpung lagi aman, batinnya.

Buru-buru Tesla membongkar kopernya. Mengeluarkan baju tidur dan peralatan mandi. Lalu bergegas ke kamar mandi.

Gorden shower yang berwarna putih membuatnya malah merasa ngeri. Dia membayangkan yang tidak-tidak. Sengaja dia tidak menutup gorden itu. Pintu pun tidak dia kunci dan tidak dia tutup rapat. Dari sedikit celah tipis dia bisa mengintip Amara.

Secepatnya Tesla mandi. Tersedia shower dengan air hangat. Walau pun saat ini menjelang musim semi, tetap saja di malam hari seperti ini dingin sekali jika mandi tanpa air hangat.

Dia sudah hampir selesai saat tiba-tiba saja terdengar suara keras.

Ceklek.

Dia bagai tercekat. Pintu itu menutup rapat sendiri.

Buru-buru dia meraih handuk, mengenakannya dan membuka pintu. Dia berjalan cepat ke tempat tidurnya sambil membawa pakaian yang belum sempat dipakainya.

Amara heran melihat raut wajah Tesla yang tampak cemas.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa," sahut Tesla sambil mengenakan pakaian tidurnya.

"Kamu dari tadi belum mandi?"

"Tadi itu sepi, aku sendirian. Serem ke kamar mandi sendiri."

Amara tergelak pelan. "Masa ke kamar mandi aja takut. Nggak ada apa-apa kok."

Tesla tak menyahut.

"Aku tidur duluan ya. Udah capek banget nih. Badan pegel-pegel," kata Amara lagi. Dia merebahkan tubuhnya dan menarik selimut.

"Eh, tunggu. Tungguin aku salat dulu," cegah Tesla yang baru selesai berpakaian.

"Salat aja mesti ditungguin?" Amara mengernyit.

"Sebentar aja kok. Sepi banget kalau kamu tidur."

"Ya udah buruan mulai," ucap Amara akhirnya.

Tesla bergegas mencari sajadah dan mukena di kopernya. Lalu segera memulai salat. Seusai salat, dia berdoa. Berharap apa pun yang tadi dilihatnya tidak muncul lagi.

Dia terburu-buru melipat sajadah dan mukena, lalu melompat ke tempat tidur ketika dilihatnya Amara sudah terlelap.

Tesla menutup matanya, berharap bisa segera tidur juga. Namun dia belum bisa terlelap. Tubuhnya miring ke arah Amara. Dia ingin tiap matanya memicing yang dilihatnya adalah sosok Amara.

Entah berapa lama dia masih terjaga. Hingga kemudian dia merasakan hawa dingin di belakangnya. Dia tersentak, bulu kuduknya berdiri. Lalu terasa seperti ada sesuatu yang sangat dingin meraba lengannya.

Sontak Tesla meloncat dari tempat tidurnya. Tanpa menoleh ke belakang, dia mengguncang tubuh Amara.

"Ra! Ra!"

Amara mendengus. Lalu perlahan membuka matanya satu per satu.

"Apaan sih?" Amara terlihat sangat terganggu.

"Geser dikit ya, aku numpang tidur di tempat tidur kamu," kata Tesla.

"Hah?" sahut Amara terkejut.

Tanpa menunggu jawaban, dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur Amara, membuat Amara terpaksa menggeser tubuhnya. Tempat tidur yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang itu terasa sangat penuh.

"Eh, kamu kenapa sih? Ngapain begini?" protes Amara.

Tapi Tesla tak peduli. Dia sudah tak menjawab lagi. Bahkan kemudian dalam sekejap dia sudah terlelap.

Amara memandang curiga pada Tesla.

Nih cewek kenapa sih? Aneh banget maksa tidur bareng.

Amara terbelalak dengan praduganya sendiri.

Jangan-jangan dia ....

**========**
Halo ... ada yang nungguin lanjutan cerita ini nggak?

Oh iya, lihat foto kamar mandi dan pantri itu? Itu yang ada di kamar tempat aku menginap di Budapest. Kata temanku yang bisa 'lihat', di atas pantri itu nongkrong hantu penjaga kamar.

Semangat ya bacanya.

Salam,

Arumi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top