Zayn Malik : Boy Meets the Parents

"Semuanya akan baik-baik saja, Zayn," kataku begitu indra pengelihatanku menangkap kekasihku yang satu itu tengah memainkan jemarinya, sebuah tanda bahwa dia tengah merasa gugup.

"Uhh yeah," bisik Zayn, aku hampir tak mendengarnya.

Tubuhku bergerak mendekati laki-laki yang satu itu. Kusentuh pundaknya dengan tangan kananku dan memberikannya sedikit pijatan, berharap hal itu dapat mentransfer hal positif pada dirinya.

Zayn mendongak, ditatapnya aku dengan kedua maniknya. "Bagaimana jika kedua orang tuamu tidak menyukaiku?"

Aku mengecup keningnya. "Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."

"Bagaimana jika tidak?"

Aku menghela napas sembari mengusap pelan keningnya yang sudah membuat sebuah kerutan dalam. "Hapus semua pemikiran negatifmu itu."

"Bagaimana jika mereka tidak suka dengan--"

"Mereka bukan orang-orang dengan pemikiran tertutup, Zayn," kataku dengan nada yang menunjukkan bahwa aku tak ingin mendengar pertanyaan-pertanyaan bernada keraguan lagi.

Aku mencintai Zayn. Sangat mencintainya bahkan, namun di saat yang bersamaan, aku juga tidak suka dengan caranya terus menerus merasa khawatir.

"Lagi pula bukankah kau sangat percaya diri?"

Zayn adalah seseorang yang paling percaya diri yang pernah aku tahu. Tak pernah sekalipun aku melihatnya begitu khawatir terhadap suatu hal. Dia juga selalu berpikir positif terhadap berbagai hal, sehingga melihatnya mempertanyakan hal-hal negatif adalah hal baru bagiku.

"Aku mencintaimu," katanya.

Aku mengangguk. "Aku juga mencintaimu."

"Aku tidak ingin aku membuat kesalahan dan pada akhirnya aku dan kau--"

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, aku segera menghantam bibirnya menggunakan bibirku, merendam semua ucapan yang hendak keluar dari katup bibirnya. Di sela-sela ciuman kami, aku bisa merasakan senyuman Zayn, membuatku secara otomatis juga ikut mengembangkan senyumanku.

---

Setelah beberapa ketukan, pintu kayu di hadapanku dan Zayn terbuka, menampilkan sosok mum dan dad yang sudah hampir tiga bulan ini tak pernah kulihat sosoknya karena pekerjaan yang semakin menumpuk. Mereka berdua tersenyum lebar, mum memelukku dengan erat sembari mengatakan betapa senangnya dia atas kehadiranku kemudian selepas mum melepas pelukannya, dad menggerakkan tangannya untuk mengusap kepalaku--caranya untuk menyambut kedatanganku mengingat dia bukanlah orang yang sangat menyukai pelukan.

"Umm Mum, Dad, ini Zayn. Zayn, Mum dan Dad," aku memperkenalkan setelah kutangkap dad melirik Zayn.

"Ma'am, Sir, senang bertemu dengan kalian berdua," kata Zayn dengan senyum malu-malunya, dari postur tubuhnya saat ini aku tahu bahwa dia sedang merasa gugup.

"Yeah," kata dad sembari menepuk pundak Zayn sebanyak dua kali sebelum kembali menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.

"Honey, ayo bantu aku di dapur, makanannya sudah hampir siap" kata mum.

Aku melirik ke arah Zayn dan mendapati tubuhnya yang menegang semakin menegang. Aku hanya memberikannya senyuman kecil sebelum memasuki rumah bersama mum.

"Aku berbohong," kata mum begitu kami sudah memasuku rumah.

"Huh?"

"Makanannya sudah selesai, ayahmu mewawancarai Zayn. Aku pikir akan jauh menyenangkan jika kita melihatnya."

Mendengar itu, mataku seketika membulat. Aku tidak menyangka dad maupun mum melakukan hal itu, meski demikian, aku tetap duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu. Aku tak dapat melihat dad maupun Zayn dengan jelas dari tempatku duduk, namun aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.

"Jadi, kau kekasih anakku?" tanya dad dengan suaranya yang menunjukkan bahwa dia serius.

"Uhhh yeah?" jawab Zayn yang berakhir terdengar seperti sebuah pertanyaan, jelas sekali dia tidak merasa nyaman. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak berdiri dan menarik keluar Zayn dari situasi yang tengah ia hadapi.

"Kenapa kau menjadi kekasihnya?"

"Aku mencintainya, Sir," jawab Zayn, serta merta membuatku tersenyum.

"Kau yakin?"

"Yeah."

"Apa pekerjaanmu?"

Mereka kemudian mulai membicarakan banyak hal mengenai pekerjaan, tempat tinggal, dan sejenisnya. Zayn mulai terlihat nyaman berbincang dengan dad meski tubuhnya masih tampak menegang.

"Dengar," kata dad, "jangan pernah berharap aku menyukaimu atau menganggapmu sebagai anakku sendiri. Jangan pernah berharap, itu hanya ada di dalam mimpimu, tapi selama kau masih menjadi kekasih anakku, aku akan berusaha untuk mentolerirmu. Jika aku mendapatimu menyakitinya--"

"Makananya sudah siap!" mum berteriak, ia bangkit dari posisi duduknya menuju ke arah dapur.

Tak lama, Zayn dan dad memasuki rumah. Aku bangkit berdiri menuju Zayn yang masih terlihat tegang. Kuberi kekasihku itu sebuah senyuman lebar dan ketika kupastikan dad sudah pergi ke ruang makan, aku memberikan kecupan kecil di bibir Zayn.

"Dad tidak seburuh itu 'kan?"

"Dia baru saja

[-][-][-]

Not my best,I know.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top