[Ending] Pertemuan Selanjutnya: 12 April untuk Selamanya


12 April 2020

Setahun setelah insiden rebutan cumi-cumi ... 

Naura tersenyum di pelaminan. Meski tangannya lelah menjabat tangan-tangan yang mungkin belum cuci tangan sehabis makan pempek, tetapi hatinya jumpalitan. Setiap memandang ke kaca besar yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Naura tahu bahwa dialah wanita tecantik hari ini. Tidak usah mendebat sayang, anggukan saja. Bukankah di novel-novel romantis selalu begitu.

Kau cantik sekali hari ini Naura ...

Kemudian mengalun lagu, Kau cantik hari ini ... kemarin tidak. Yah, kira-kira begitu kalau lagu itu diputar. Naura mengingat berbagai kejadian yang mengantarkannya ke pelaminan hingga bersanding dengan lelaki tampan idamannya.

***

Setelah tragedi salah beli kado ...

"Naura."

Suara Nick yang terdengar menyentuh nada dasar C membuat Naura sontak menolehkan kepalanya. Nick tampak menggaruk tengkuknya.

"Sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan." Bibir Nick sedikit bergetar, agaknya karena AC yang terlalu dingin, atau serangan gejala stroke ringan, Naura tidak tahu, ia hanya berusaha berpikir serealistis mungkin.

Naura menelan ludah, sedang Zhira dan Okky asik ber-WhatsApp ria. Naura memberanikan diri menatap wajah Nick yang mulai dibanjiri keringat.

"Kamu pernah mendengar bahwa seorang laki-laki yang senang menjahili seorang perempuan menandakan bahwa ia tertarik pada perempuan itu?" Nick terdengar seperti membuka kelas mendongeng.

Naura tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia sendiri tidak yakin dengan kebenaran teori itu. Dulu, ketika TK ia menjabat sebagai ketua geng kecil di kompleknya. Anak buahnya itu suka sekali menjahili seorang anak di kelasnya yang penyendiri dan berambut kribo. Naura benci menjahili anak lain, dia tidak pernah ikut merebut kursi atau menarik-narik rambut anak itu. Naura selalu memilih naik ayunan atau perosotan jika anggota gengnya mulai beraksi. Karena alasan itulah ia tidak percaya bahwa menjahili adalah pertanda ketertarikan dalam arti positif.

Nick yang melihat Naura terdiam kembali berdeham lebih keras. "Saya sudah dewasa, Naura. Ini bukan perasaan anak remaja labil yang besok lusa sudah lupa."

Naura mengerjapkan matanya lalu memberanikan diri menatap Nick yang kembali fokus ke jalanan. "Atas dasar apa, Nick? Kita baru bertemu dua kali, dan tingkahmu sama menyebalkan seperti pertama bertemu. Itu ... sama sekali tidak masuk akal."

Nick tertawa kencang, membagi fokusnya antara jalanan dan Naura. "Apa hal itu mengusikmu?"

Naura mengangguk pelan. Dan Nick tersenyum tulus.

"It sounds great. Berarti ada saya di pikiranmu. Itu yang saya harapkan, Naura. Sebuah pertemuan ganjil yang selalu dikenang."

Naura kesulitan menelan ludah. Apa maksud bule ini? Tentang perasaan itu, apakah dia ... serius? Naura membatin dalam diam.

Nick melanjutkan, "Saya tahu ini terlalu cepat dan sebenarnya saya juga sama terkejutnya denganmu. Ini intuisi, Naura. Naluriah yang dengan spontan menunjukkan bahwa kamu adalah 'orang itu'."

Naura terkejut, benar, tapi entah kenapa terkejut yang nyaman. "Kamu tidak sedang menggodaku kan, Nick?"

Nick menggeleng tegas. "Saya serius akan hal ini, Naura. Maaf jika pertemuan lalu saya membuatmu kesal. Sebenarnya itu memang cara saya untuk memperoleh perhatian darimu."

Naura tak bisa menahan senyumnya ketika ia mengingat pertemuan mereka di pasar ikan 93 hari lalu.

"Kita akan cocok, Naura. Saya bergolongan darah B dan kamu AB. Dengan seluruh rasionalitas yang kamu miliki, dan sifat saya yang santai, saya amat yakin untuk hubungan kita, Naura." Nick sudah seperti sales obat panu kurap yang sering Naura temui di pinggiran pasar.

Naura merenung sejenak. Dari mana Nick tahu golongan darahnya? Seserius itukah Nick sampai dia mencari tahu tentang dirinya?

"Pseudoscience."

Naura dan Nick yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak lalu melirik ke arah belakang.

Maggy menarik napas pelan, lalu melanjutkan. "Penjabaran sifat dan karakter berdasarkan golongan darah adalah pseudoscience, Om Nick. Sebuah metodologi yang diklaim berlandaskan sains tapi sangat jauh dari kata ilmiah. Ilmu semu penuh praduga tipuan, yang seenaknya saja dicipta lalu disebarluaskan."

Suasana di dalam mobil berubah canggung secepat kilat. Interupsi Maggy membuat Naura bungkam.

Bagaimana kondisi Nick? Is he okay?

Naura pun melihat Nick dari sudut matanya. Ia tak habis pikir, setelah pembantaian oleh Maggy, Nick justru menampilkan cengiran lucu khas anak-anak yang ketahuan mencuri buah mangga tetangga sebelah. Dan ia merasakan jantungnya kembali menabuhkan musik dangdut.

"Uhm, Om. Saya berhenti di klinik depan itu saja." Maggy menunjuk klinik hijau di sisi kiri jalan, di sebelah halte busway. Nick mengangguk dan merapatkan mobil ke bahu jalan.

Maggy keluar setelah mengucapkan terima kasih, disusul Okky dan Zhira yang juga memutuskan turun. Jadilah di dalam mobil hanya tinggal Naura dan Nick berdua saja. Terdiam.

"Sepertinya aku juga harus turun, Nick."

Nick tersentak. "Kenapa? Saya akan mengantarmu sampai ke apartemen. Ini sudah malam, Naura."

"Tidak bisa, Nick. Kita bukan mahram. Tidak boleh berdua saja." Naura bersiap membuka pintu.

Nick menghela napas gusar. "Jadi, apa yang harus saya lakukan agar kita menjadi mahram?"

"NIKAHI AKU, BEGO!" Teriak Naura.

Suasana kembali lengang. Muka Naura sudah semerah kepiting rebus saus pedas manis. Ia dengan cepat berterima kasih lalu keluar mobil dengan degup jantung yang serasa akan meledak.

Bego ... bego ... bego!

Naura menyalahkan diri sendiri. Bagaimana mungkin ia melempar kode dengan cara memalukan seperti itu? Padahal awalnya ia ingin mengulur-ulur, macam perawan ditawari menikah tapi jawabannya mengular kemana-mana, seperti menjawab ingin diperlakukan seperti Siti Khadijah, atau seperti Fatimah dan Ali, atau seperti kisah Habibie dan Ainun, atau bahkan seperti salah satu mahasiswanya yang bernama Azizah, ingin memiliki suami seperti Mas Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta. Naura mendengus, Fahri kan berpoligami, memang sih lelaki baik, tapi pas sudah dimadu nanti pasti nangis kejer.

Naura berjalan ke arah halte dengan kaki menghentak hentak. Di sana ia melihat Okky dan Zhira yang berpisah arah.

"Ky, tunggu!" Naura buru-buru mendekati keduanya sebelum terlampau jauh.

Okky melihat Naura dengan wajah heran. "Kok lo di sini, Nau? Ga bareng Nick?"

Naura menggeleng. "Ayo naik bus."

Zhira menangkupkan tangan. "Gue mau ke toko buku, Nau. Maaf ya."

Naura pun beralih ke Okky yang kini menunjuk percetakan di seberang jalan. "Gue mau nyetak diktat. Hati-hati, Nau. Sekarang rawan copet. Bye." Okky melambaikan tangan lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Zhira.

Naura bengong melihat dua sahabatnya yang sok-ada-urusan itu. Naura mengira mereka turun karena suasana canggung tadi. Naura melempar pandangan pada busway yang baru tiba.

Jadi ia pulang sendiri? Kalau tahu tadi lebih baik ia memilih diantar Nick. Huaaah ... Emak, tolong Naura!

***

Naura bangun dengan hati tak menentu. Ia merasa hari ini terasa aneh. Bagaimana tidak, baru bangun tidur saja ia langsung mengecek ponselnya, namun yang ditemukannya hanyalah sms provider yang menyatakan bahwa pulsanya habis. Ingin Naura melempar ponselnya agar mencium dinding dan berubah menjadi kepingan. Tapi diurungkannya karena ia akan merugi, lah iya kalau sudah dilempar ponselnya masih mulus lalu ada pesan dari ... Ini tidak baik. Jelas saja ini bukan kebiasaannya. Mengapa ia menunggu pesan dari lelaki yang menjejali hatinya sejak 94 hari lalu? Yang sudah memporak-porandakan jantungnya dalam waktu semalam, lalu mengakui perasaan, dan berakhir dengan kode keras gadis pertengahan dua puluhan yang sudah ditagih calon menantu di rumah.

Apa yang ia harapkan? Asap merah jambu serta bunga-bunga beraroma semerbak melatarbelakangi dirinya kini? Naura kembali menghempaskan diri ke kasur. Memandangi langit-langit yang bertabur tempelan lumba-lumba glow in the dark. Mengapa semuanya jadi rumit? Ia harus segera melupakan bule itu lalu hidup dengan aman seperti sediakala. Tunggu ... Naura meraba dadanya yang kini berdenyut cepat. Mengapa sekarang ia justru merindukan lelaki murah senyum itu?

***

Sudah hampir satu minggu sejak terakhir ia bertemu lelaki itu. Bukannya melupa, malah sosok Nick terpatri jelas di setiap jengkal pikirannya, seakan meracuni sistem limbiknya. Naura melangkah ke meja makan dengan gontai. Sambil sesering mungkin mengecek ponselnya yang masih setia tidak menampilkan satu pun pesan dari lelaki yang ditunggunya. Naura menghela napas.

"Lo kenapa Nau, uring-uringan terus?" Zhira menghampiri Naura dengan dua piring nasi goreng di tangan, memberikannya pada Naura sepiring.

Naura menatap nasinya tanpa selera.

Okky menarik kursi dan duduk di seberang Naura sambil menyeruput kopi dari mug kelabu besar bertuliskan Maggy's Desintoxicante. "Paling dilanda rindu si bule salah teori itu."

Mendengar pernyataan Okky, Zhira yang sedang minum air langsung menyembur dan tertawa terbahak-bahak. "Gue sakit perut, gila emang Maggy. Tapi gue salut, dia kayak ga merasa bersalah."

Naura masih mengaduk-aduk nasinya tanpa berniat untuk menyuap barang sesendok. Ia kacau. Mau diletakkan di mana mukanya kalau orang-orang tahu ia kini rindu lelaki itu. Rindu yang ganjil, karena setelah teriakan bodohnya, Naura enggan sekali berjumpa lagi dengan lelaki itu.

Namun, separuh hatinya malah memberontak ingin bertemu, sedang seperempat lainnya ingin pergi ke Tohuku untuk mengubur diri, dan seperempatnya lagi bimbang, mau ikut ke Tohuku atau justru bertemu haru.

Tiba-tiba lamunannya buyar karena rasa nyeri di perut bagian kanannya. Ia mencengkeram pinggiran meja dan mengaduh.

"Nau, lo kenapa. Nau?" Zhira menggenggam tangan Naura yang sudah sedingin es. Naura yang kesakitan hanya bisa mengaduh dan menekan perutnya yang amat pedih.

"Maggy mana, Zhir?" Okky membantu Zhira membopong Naura menuju sofa.

"Dia kan ujian radiologi apa itu," Zhira menjawab cepat lalu mengambil kotak P3K dan mengoleskan minyak angin pada perut Naura yang tidak berefek apa-apa."Cepet lo telpon ambulans, Ky!"

Di sela kerusuhan pagi itu, Naura merasa seluruhnya gelap.

***

Gatal.

Hal pertama yang Naura rasakan adalah tangan kirinya gatal dan seperti ada yang tersangkut. Ia menganggat tangan kirinya dan menemukan sebuah jarum dan selang menusuk kulitnya. Ia merinding. Baru pertama kali dalam eksistensinya, seorang Naura diinfus. Apa yang terjadi padanya?

"Appendicitis, Kak." Maggy datang sambil membawa sebuah mangkuk berisi bubur.

Apa? Naura menatap Maggy tak mengerti.

"Akut," Tambah seseorang dari belakang Maggy, "radang apendiks akut, jadi sudah dioperasi." Seorang dokter mengulas sebuah senyum ramah. Rasanya Naura pernah bertemu dengan dokter itu.

"Kak Nau, ini dokter Maulana. Masih ingat?" Maggy meletakkan mangkuk lalu mengecek infus Naura.

Maulana ... Maulana ... Naura baru ingat. Dokter yang tidak sengaja ditumburnya ketika di ruangan Mba Izzati.

"Sudah kentut belum, Kak?" Maggy bertanya sembari menulis di note-nya.

Kentut? Naura membatin bingung.

"Kamu boleh mulai minum air setelah kamu kentut. Tandanya gerak peristaltik usus untuk mendorong gas telah berfungsi seperti semula." Dokter Maulana menjelaskan secara singkat. Naura hanya mengangguk paham.

"Kalau sudah kentut, minumkan air sedikit demi sedikit, ya, Mag. Lanjutkan kalau tidak mual."

Maggy mengangguk. "Baik, dokter."

Dokter Maulana tersenyum sekali lagi, lalu berjalan keluar. Belum dua langkah Dokter Maulana berjalan, suara kentut terdengar. Nyaring dengan nada yang naik-turun. Aroma khas kentut pun seketika memenuhi ruang. Dokter Maulana menelan ludah dan membalikkan badannya. Didapatinya wajah Naura yang merah padam menahan malu. Kentut di depan lelaki tampan walaupun ia dokternya sungguh hal yang tidak pernah diimpikan Naura.

"Nah, sekarang kamu boleh minum Naura. Maggy, tolong bantu Naura ya!"

Maggy mengangguk dan Dokter Maulana kembali berjalan meninggalkan mereka. Begitu Dokter Maulana menutup pintu Maggy terkikik geli.

"Dih, apaan sih lo. Senang banget liat gue malu. Sial terus gue dekat-dekat lo," ujar Naura memasang wajah pura-pura kesal.

"Yang tadi memang lucu banget kok, Kak Nau. Kak Nau masih marah soal celetukan di mobil Nick itu ya? Maaf deh. Maaf ya, ya, ya?"

"Udah cepetan mana airnya, gue haus."

Naura meneguk air di gelas berdiameter 10 cm dengan tinggi 25 cm itu hingga tandas. Setelah meletakkan gelas ke nakas, Naura memejamkan matanya. Berharap tidur. Sayang, tawa Nick berselancar di kepalanya. Disusul senyum dokter Maulana. Astaga, kayak dua-duanya mau sama gue aja.

***

Beberapa hari setelah kentut pertama pasca operasi, akhirnya Naura bisa pulang ke flatnya. Ibunya sempat menyuruh Naura untuk pulang ke rumah saja, tetapi Naura bersikeras bahwa ini hanyalah sakit biasa seperti flu, batuk, dan panu. Namun, bukan itu yang dipikirkan Naura, perihal celetukan ibunya lah yang membuatnya sesorean ini menatap jendela berserta langit dan segala gedung-gedung tinggi yang mengepung apartemennya.

"Kamu sudah berumur Nduk. Kapan menikah, rahimmu itu sebentar lagi kadaluarsa. Dini saja sudah beranak tiga."

"Okky, Zhira sama Maggy juga masih single, Bu."

"Ya, enggak usah nungguin temanmu itu. Mereka terlihat menikmati kesendirian. Lagi pula Maggy masih bau kencur."

"Lah, aku?"

"Kamu kelihatan kesepian dan butuh laki-laki, Nduk."

Naura mendesah. Kadangkala ia memang membutuhkan laki-laki. Meski Okky dan Zhira bisa memperbaiki pipa air, membunuh kecoa, memperbaiki kabel setrika, tetapi Naura yakin ia tidak bisa selamanya menandalkan dua temannya itu. Naura mengamini bahwa ia terkadang merasa kesepian dalam arti berbeda.

Naura memiliki sedikit harapan terhadap Nick. Lelaki itu berhasil memporak-porandakan hati dan otaknya. Tetapi, Naura mempertanyakan keseriusan Nick. Jika ia memiliki hati pada Naura, mengapa ia tak pernah muncul lagi? Bahkan pesan pun tidak ada. Ya, ya, Naura tidak memiliki nomor Nick dan begitu pula sebaliknya. Tetapi kenapa Nick tidak usaha dengan minta ke Mbak Izzati?

So come on, let it go

Just let it be

Suara James Bay terdengar dari radio yang diputar Naura. Apakah Naura harus melepaskan Nick? Tetapi, kapan Nick 'mengikat' Naura hingga ia perlu melepas?

Kini, bayangan Dokter Maulana menggantikan posisi Nick. Ah, sungguh Naura bukan jelalatan atau murahan hingga mau keduanya. Tetapi, selama belum ada ikatan, ia boleh dong melemparkan umpan-umpan sambil menilai mangsanya. Bagaimana otak, agama, kesopanan dan cara tersenyum adalah hal yang selalu Naura pertimbangkan. Kalau wajahnya menggemaskan atau charming, itu bonus bagi Naura.

Seulas senyum tersungging dari bibir Naura tatkala memorinya memutar setiap kata yang keluar dari dokter muda itu.

"Obatnya sudah diminum Naura? Harus teratur ya!"

"Bagaimana perutmu? Ada keluhan?"

"Kamu terlihat cerah hari ini, apa yang kamu rasakan?"

"Oh, tentu saja kamu boleh menghubungi saya. Ini kartu nama saya kalau ada hal-hal yang kamu tanyakan."

Mengingat ucapan terakhir itu, sebuah bohlam hijau terang menyala di kepalanya. Sebagai salah satu kandidat most wanted man dengan husband materials yang mumpuni, Naura harus melakukan pergerakan menuju Dokter Maulana. Ini merupakan antisipasi kalau-kalau Nick benar-benar hilang. Setidaknya Naura tidak akan terlalu patah hati sampai membuat video Nick dan patah hati terbaikku kalau ia sudah memiliki Dokter Maulana sebagai cadangan.

Dengan cekatan Naura mengetikkan pesan via WhatsApp kepada Dokter Maulana.

10 menit.

1 jam 20 menit.

2 jam 34 menit.

Dokter Maulana tidak kunjung membalas. Okky dan Zhira sudah pulang membawa makanan. Maggy pun datang tak lama kemudian.

"Lo kenapa Nau, kayak orang patah hati?" tanya Zhira.

"Kayaknya lebih cocok jatuh cinta deh Zhi," Okky menimpali.

"Kak Nau patah hati atau jatuh cinta?" Maggy memilih langsung bertanya.

Naura mengangkat bahunya. Menatap ketiga temannya kemudian berujar,"dua-duanya."

"Gimana bisa dua-duanya Ky?" Zhira mengerutkan dahi.

"Kali aja Nau jatuh cinta sama Dokter Maulana tapi patah hati sama Nick. Atau... dia jatuh cinta sama bapak-bapak beranak beristri," seloroh Okky. Zhira mengangguk. Dan Maggy menyaksikan perdebatan itu sambil mengunyah kentang goreng kesukaannya.

"Udah enggak usah banyak omong kalian. Mana makanan gue?" tandas Naura.

***

Beker di nakas Naura menunjukkan pukul 9:22 ketika ponselnya bergetar dan memunculkan pop up pesan dari orang yang sejak tadi dinantikannya. Lalu tenggelamlah ia dalam obrolan itu.



Naura menutup ponselnya dan menghela napas.

Apakah tadi terlalu lebay?

Apakah tadi terlalu antusias?

Apakah tadi tampak terlalu bahagia?

Apakah Maulana tidak kesal diganggu waktunya? Dan kenapa ia kini sudah menyebut dokter muda itu langsung dengan namanya? Seperti sudah akrab saja.

Naura berguling-guling di atas kasur. Antara senang, gugup, malu bercampur jadi satu. Ia terlihat seperti gadis remaja yang girang karena ber-sms ria dengan gebetan. Padahal jika menatap akta lahir ia pasti akan memilih untuk dilempar ke Tartarus karena bertingkah macam anak remaja labil. 

Hati Naura mulai menghangat. Namun, rasanya hangat yang sedikit hambar. Mengapa di saat seperti ini, anggaplah quality time bersama dokter muda lagi tampan yang peduli padanya, ia malah teringat bayang-bayang Nick dan senyumnya yang sungguh, amat sangat tulus dan semringah. Seakan senyum itu menular, mengajak setiap orang untuk ikut tersenyum. Lalu terputarlah momen-momen yang meski singkat dan mengesalkan, tapi‒benar kata Nick‒ selalu dikenang.

Naura tahu, Nick memang pandai membuat dirinya sulit dilupa. Dan Naura baru tersadar bahwa Nick dengan ringan dan woles-nya bertandang lalu menetap di hatinya.

Naura menghela napas panjang, dan mengecek ponselnya.

Eh? Dengan cepat Naura kembali membuka aplikasi WhatsApp-nya dan termenung.

Apakah emoticon senyum tadi terlalu berlebihan?

***

"KAK NAU! KOTAK PULPENKU DI MANA?" Maggy berteriak kalut memanggil Naura yang mengeringkan rambut.

Dengan santai Naura yang masih memakai handuk kepala itu menyodorkan sekotak pulpen pada Maggy yang sudah seperti induk ayam kehilangan anaknya. Maggy menyambar kotak pulpen itu lalu memeluknya dengan hiperbola.

Naura memutar bola matanya. "Lau kenapa lagi, Mag. Cuma pena, loh."

Maggy memasukkan kotak pulpen itu ke dalam ransel, lalu menyisipkan dua pulpen di saku jasnya. "Pulpen ibarat nyawa, Kak. Bayangin kalau satu pasien aja statusnya bisa lima sampe enam lembar, kalikan sama pasien yang kupegang. Mana sudah masuk stase obgyn. Stase mayor, 9 minggu, Kak. Bisa kurus dengan cepat awak."

Naura terbahak keras. "Ternyata gue ga perlu usaha, kelakuan lau sudah dibalas Tuhan, Mag." Naura berakting menyeka ujung matanya lalu menepuk-nepuk kepala Maggy, "puk-puk Maggy, yang serius ya, Nak."

Maggy melengos dan mulai mengoles selai nanas di rotinya.

"Oh iya, Mag. Dokter Maulana pernah nanyain gue ga?"

Mendengar pertanyaan Naura, Okky sontak menyikut Zhira, membisikkan sesuatu dan tampak sedikit khawatir.

Maggy mengunyah sambil berpikir. Naura menunggu dengan sabar. "Ghasanya pegnah," jawab Maggy tetap sambil mengunyah.

Zhira bergidik. "Ish ... telen dulu kenapa sih, Mag."

Maggy mencibir, lalu meneguk segelas susu putih di dekatnya. Padahal itu milik Naura, tapi Naura sudah tidak menghiraukannya karena ia lebih tertarik dengan pertanyaan dari dokter Maulana.

Maggy mengambil roti lagi, lalu merobeknya dan mencelupkannya ke gelas susu yang masih berisi setengahnya. "Dia nanya, Kak Nau makan apa pra operasi sampe kentut sebauk itu."

Okky dan Zhira kompak tertawa mengejek, menyisakan Naura yang sudah akan mengeluarkan api dari lidahnya.

"Kampret lau, Mag."

***

Okky memakai kacamata hitam dan jaket abu-abu, duduk di sebelah Zhira yang bersetelan serba cokelat, bersebrangan dengan seorang laki-laki berkemeja biru tua lengan pendek.

"Jadi, dia dekat dengan dokter itu?"

Okky menggeleng. "Belum pasti, tapi agaknya dia sudah mulai menebar jala dengan cara saling berkirim pesan."

Lelaki di hadapan Okky mengangguk-angguk sambil memainkan dagunya yang berjambang halus.

"Apa langkah selanjutnya? Kita terlalu lama menonton tanpa beraksi. Aku takut, dia sudah pudar rasanya padamu." Cerocos Zhira.

Lelaki itu hanya tersenyum, pandai sekali menyembunyikan emosi yang sebenarnya. "Sepertinya sudah usai. Biarkan saya yang menyelesaikan ini. Saya yang memulai, maka saya pula lah yang harus mengakhiri. Terima kasih ya, Okky, Zhira." Ucap lelaki itu sembari menawarkan jabat tangan pada mereka berdua.

Okky dan Zhira bergantian membalas jabat tangan itu.

"Jika butuh bantuan lagi, kau tahu harus menghubungi siapa," seloroh Okky tulus.

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, lalu melenggang pergi keluar pintu kafe.

"Ribet bener dah. Gue tambah males cinta-cintaan, Zhir," ucap Okky gamblang lalu menghempaskan dirinya di kursi.

Zhira memainkan sedotan sodanya, "gue ... juga."

Okky mengangkat alisnya." Masa? Yang di Timbuktu itu? Lo kemanain?"

Zhira mendengus,"Sabodo lah, sudah gue buang ke jurang."

Okky hanya menggeleng dalam hati. Urusan perasaan memang sangat tidak penting. Urusan kesejahteraan manusia dan kucing-kucing jauh lebih penting.

***

Naura yang sedang asik berselonjor sambil mengecek beberapa proposal mahasiswanya dikejutkan oleh bunyi intercom dari arah ruang depan. Buru-buru ia mengenakan jilbab lalu mengecek layar intercom itu. Jantung Naura serasa jatuh sampai ke empedu. Berdetak bertalu-talu seakan memberontak keluar dari rongga dadanya. Naura menelan ludah.

Ada Nick di luar.

***

Okky tidak tahu Nick akan bertindak secepat ini. Ketika pulang tadi, ia menemukan Nick dan Naura sedang duduk di sofa ruang tamu dengan menjaga jarak seperti takut ketularan cacar.

Nick membawa banyak barang. Sebuket besar mawar putih, dua kotak pizza, satu paket jumbo ayam goreng, sekaleng biskuit Regal, lima kotak susu UHT rasa stoberi, dan tiga kaleng Nescafe Black. Ya Tuhan, itu biskuit kesukaan Okky. Harus cepat-cepat ia ungsikan sebelum saingannya , Maggy, menandaskan hingga tak bersisa.

Dengan hati-hati Okky menguping pembicaraan dua sejoli itu.

"Apa maksudmu Nick? Kamu datang mengacaukan pikiranku dengan pengakuanmu itu, kemudian lenyap tanpa pesan, lalu kamu muncul lagi di sini untuk bilang bahwa kamu akan pergi?" Naura protes tidak terima.

"Apa yang ada di otakmu, Nick? Lucu mempermainkan perasaan perempuan? Seharusnya aku tahu kamu tidak pernah serius dengan perkataanmu!" tandas Naura sambil menatap Nick murka.

Nick membuka suara, "Saya tidak pernah mempermainkan perempuan, Naura. Dan sudah saya tegaskan bahwa saya serius denganmu."

"Lalu, aku harus percaya dengan kata-katamu, Mister? Kamu pikir aku perempuan bodoh yang dengan mudahnya dipermainkan lelaki sepertimu? Huh, enak saja," ujar Naura. Ia melipat tangannya.

"Kalau sampai sakit kemarin sih sudah jelas kamu bodoh, Nau," suara Zhira terdengar, rupanya ia sudah ikut menguping di belakang Okky.

"Sssst," bisik Okky. Zhira mengangguk dan melanjutkan aksi menguping mereka.

"Saya tidak mempermainkanmu Naura. Cobalah dengarkan penjelasan saya sebentar."

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi Nick. Segalanya sudah jelas!"

"Belum. Masih ada yang belum kamu tahu."

"APA?"

Dan bukannya menjawab, Nick malah mengunci mulutnya dan menunduk. Memandangi mawar putih, pizza, sekaleng biskuit Regal dan botol-botol kopi dan susu di meja.

"Kenapa dipandangi begitu? Mau dibawa pulang? Tidak ikhlas?" celetuk Naura. Mendengarnya Nick ingin mencubit gemas pipi bulat bersemu merah milik Naura itu. Tetapi tentu saja ia harus menahan semua itu.

"Begini Naura ... kamu tentu tahu filosofi mawar putih kan?"

Naura mendengus. Ia teringat kejadian salah memberi bunga untuk Mbak Izzati dulu. Kemudian jari lentiknya mengambil mawar putih itu dan mendekatkan ke hidung. Wangi mawar putih itu menjalar ke hidungnya, sedikit menentramkan meski ia tak begitu suka mawar. Tangannya memegang beberapa kelopak memastikan mawar-mawar itu asli.

"Tentu saja aku tidak tahu filosofi mawar putih selayak aku tak tahu filosofi mawar kuning. Ah ya, kutahu filosofi mawar hitam. Artinya perpisahan, bukan? Mengapa tidak kamu beri saja mawar hitam untukku? Toh, setelah ini batang hidungmu tak nampak di hadapanku kan?"

"Jadi kamu tidak tahu filosofi mawar putih?"

Naura mengangkat bahu. Kemudian mengambil ponselnya, mengetikkan 'arti mawar putih' dan keluarnya hasil pencarian.


Setelah membaca artikel perihal mawar putih, Naura menatap Nick. Lelaki itu membalas tatapannya. Mereka bersitatap, jika saja adegan ini adalah adegan kartun, pastilah sudah keluar balon-balon cinta dari pelupuk mata kedua sejoli itu. Disusul cupid yang menembakkan api asmara.

"Kalau kamu memang apalah-apalah denganku sampai ngasih mawar putih begini, kenapa kamu malah pergi? Kamu mau memastikan mantan kamu di Kanada sana masih mau balikan denganmu atau tidak, begitu? Jadi ... aku cuma cadangan aja. Gitu kan?"

"Saya tidak mengerti jalan pikiran kamu Naura. Bisa tidak kamu diam dan dengarkan saya bicara barang sejenak? Dengar ya Naura, saya kemarin pergi untuk memastikan perasaan saya, takut-takut saya cuma kagum dan ternyata setelah saya berjauhan dengan kamu, saya yakin saya tidak sekadar kagum, saya apalah-apalah dengan kamu seperti yang kamu sebut tadi. Saya tersiksa karena kadang saya pengin nyamperin kamu sekadar lihat muka cemberut atau omongan kamu yang enggak ada manis-manisnya itu. Saya benar-benar punya afeksi sama kamu Naura. Bahkan imajinasi terliar saya sekarang adalah naik sampan bambu di Kalimantan sama kamu," cerocos Nick. Ia kemudian mengembuskan napas dan membiarkan Naura melongo.

"Astaga Nick ... ckckck. Kayak nonton drama, gue," komentar Okky.

"Imajinasi naik sampan bambu itu lucu juga. Naura Cuma pakai jarik gitu, hihihi," sahut Zhira. Okky yang mendengarnya ikut terkikik geli.

"Terus kenapa kamu malah mau ke Kanada?" Suara Naura terdengar lemah. Jantungnya tadi sempat melompat-lompat mendengar segala ucapan Nick tetapi mendapati kenyataan Nick akan pergi ia menjadi pusing, sepusing penulis memutar-mutar adegan ini.

Nick menatap Naura yang tengah menunduk memperhatikan entah karpet atau jempol kaki. "Saya mau bicara sama orangtua saya kalau saya mau melamar dan menikahi kamu. Melihat pertanyaanmu barusan, saya yakin kalau saya melamar kamu sekarang pun jawaban kamu pasti 'ya'."

Pipi Naura kembali bersemu, otak dan pikirannya kini terisi penuh oleh Nick. Mengingat Nick adalah bule tulen, Naura membayangkan wajah anak-anaknya kelak. Campuran kaukasoid dan mongoloid, pasti akan sangat menggemaskan.

Astaga ... Naura menepuk-nepuk pipinya. Pikiran macam apa itu. Seharusnya ia berlagak jual mahal kini, di hadapan Nick. Baru saja akan menjawab pernyataan Nick yang luar biasa kepedean itu, pintu flatnya terjeblak keras dan menampilkan Maggy menyeret tas ranselnya dengan wajah kusam dan tampak kelelahan.

Maggy sedikit terkejut tatkala melihat Nick sedang tersenyum padanya. Kemudian terputarlah kejadian di mobil dulu di otaknya, Maggy pun cengengesan. "Eh, ada Om Nick. Sehat kan Om? Hehehe." Maggy bergegas masuk ke ruang tengah, tetapi tiba-tiba matanya bertabrakan dengan box jumbo ayam goreng dengan brand kakek tua berjanggut yang tergeletak manja di atas meja. Langkahnya terhenti dan ia mendekati meja itu.

Maggy menyentuh box dengan hati-hati. "Ini ... Om Nick yang bawa?"

Nick mengangguk dan mata Maggy seketika berbinar-binar. "Fix, Kak Nau, kalau begini Om Nick harus segera menjadi bagian dari keluarga ini. Cepat nikahi Kakak Panutan kami, Om." Ucap Maggy antusian seraya menyemprotkan hand sanitizer ke tangannya lalu meraih sepotong ayam goreng krispi nan lezat lagi sedap itu.

Naura tertawa kecil melihat tingkah Maggy, kemudian ia mengalihkan pandangannya pada lelaki di seberangnya yang juga sedang menatapnya. Naura yakin ia memang apalah-apalah pada Nick. Semoga Nick menepati janjinya sehingga mereka bisa apalah-apalah.

***

"Kenapa kamu bawa aku ke sini?" tanya Naura. Matanya menjelajah setiap sudut tempat yang mungkin berjasa bagi Naura dan Nick. Di tempat inilah mereka bertemu. Ya, pasar ikan. Mereka dikelilingi ikan-ikan segar, cumi-cumi, hingga kerang-kerang hijau. Naura tersenyum tulus pada Nick, lelaki itu mengerlingkan mata dan mengajaknya ke kios Pak Arnold.

"Kamu belum jawab kenapa kamu ajak aku ke sini, Nick."

"Nanti kamu tahu, Bubble bee." Naura hanya bisa bersemu mendengar panggilan itu.

Sesampainya di depan kios, Pak Arnold tersenyum dan langsung menceracau tentang bagaimana kehebohan rebutan dagangannya beberapa bulan lalu. Hingga ia memberikan sebuah cumi-cumi berukuran besar kepada Naura.

"Ini buat Neng."

Dahi Naura mengerut. Ia melirik Nick yang kemudian memberi isyarat untuk memasukkan jarinya ke dalam kantung hewan bertinta itu. Meski tak mengerti, Naura memasukkan tangannya. Tentu saja cairan tinta langsung mengotori jarinya. Akan tetapi, sebuah benda aneh terdapat dalam tubuh hewan itu. Berbentuk lingkaran kecil dan keras. Naura menariknya dan menemukan sebuah cincin bermata ruby. Cincin itu belepotan tinta tentu saja.

"Nick?"

Naura menatap Nick dengan pipi merona dan senyum semringahnya. Nick terkekeh dan mengambil cincin itu dari tangan Naura.

"Kamu suka cincin ini?"

Naura mengangguk. Jantungnya sudah lebih dulu menari salsa dan goyang dumang.

"Kalau kamu mau cincin ini, kamu harus jadi istri saya. Kamu mau?"

Tentu saja Naura mau. Kalaulah ia sudah tidak punya urat malu lagi, pastilah Naura kini melompat dan jumpalitan kesenangan dari satu kios ke kios lain. Tetapi Naura hanya menampilkan senyum yang paling manis yang pernah ia ulas dan menjawab dengan anggun, "Tentu, Nick."

Nick pun mengusap wajahnya sambil tertawa renyah yang dibalas tertawa juga oleh Naura. Mereka berdua tertawa-tawa entah kenapa, hingga Pak Arnold jengah. "Ini cumi kapan dibayarnya?"

Ah, Pak Arnold ... kalau sudah urusan duit memang tidak bisa melihat orang bahagia barang sebentar.

***

12 April 2020

Setahun setelah insiden rebutan cumi-cumi

Semua yang bersifat seremonial dan perayaan yang pakai upacara, riweh, dan kata Ome sakral, aku tidak suka. Aku tidak suka perayaan ulang tahun dimana aku, harus membawa kado yang dibelikan Ome - kadang aku tak tahu isinya apa- memakai topi konyol dengan pita-pita, melihat lilin ditiup dan kue tercemar karbondioksida, belum lagi permainan konyol dan menu makan siang yang itu-itu saja. Ya, kalo bukan nasi ayam goreng dengan merk franchise tertentu, nasi kuning, nasi uduk, soto, atau nasi ayam bakar selalu menjadi hidangan. Payahnya, bingkisan makanan ringan yang diberikan pun tak dapat kunikmati. Ome beralasan bahwa ciki-ciki dan segala soda hanya akan membuatku makin jumpalitan tak karuan.

Sebenarnya, apa yang salah dengan jumpalitan? Jumpalitan kan berolahraga, semua juga tahu bahwa olahraga baik untuk tubuh. Lagipula, tidak semua orang bisa berjumpalitan dengan sempurna. Maka sebenarnya tidak ada yang salah dengan makan ciki-ciki itu kalau kemudian meningkatkan semangatku untuk berolahraga. Oke, aku tidak ingin membahas bahaya soda dan ciki-ciki terhadap otak anak-anak karena aku pun tidak begitu paham.

Jadi begini, aku berada di situasi paling menyebalkan. Urutan pertama termenyebalkan karena urutan kedua adalah ulang tahun. Urutan ketiga adalah pemakaman, urutan keempat acara sunatan, kelima pengajian dan keenam tersesat di pasar.

Di urutan pertama, akan ada sepasang manusia, sepasang dalam arti wanita dan lelaki. Karena aku percaya Tuhan menciptakan berpasangan itu berarti berbeda kelamin. Ini di luar berpasangan dalam bulutangkis di mana ada ganda putra atau ganda putri. Berpasangan yang kumaksud seperti Ome dan Ode, kucing betina dan Papa kucing garong, induk semang dan kekasihnya. Aku benci dengan pernikahan. Aku benci duduk manis selama si lelaki mengucap 'saya terima nikahnya', lalu berdoa dan aku harus mengamini sampai jatuh tertidur, mendengar ceramah yang kadang tak kudengar karena sudah kabur duluan. Bertepuk tangan ketik cincin dimasukkan ke jari. Pusing amat sih orang dewasa itu. Cuma masukin cincin, loooh.

Belum lagi aku pernah dimarahi karena menangkap bunga yang dilempar. Termasuk aku tidak suka memakai gaun batik. Oh, tidak, gaun batik masih wajar. Tapi kebaya dan roknya yang sempit... Lalu bilang, "Aduh, Biru ... Cantik sekali. "

Dustaaaa. Cantik mananya kalau aku saja seram dengan wajahku, rona pipi, lipstik seperti mengudap serigala? Ah sudahlah.

Jadi omong-omong, hari ini aku terperangkap di pesta pernikahan salah satu kerabat. Jangan ditanya dari mana Ome bisa bersaudara dengan mempelai wanitanya.

Hari ini, 12 April, si Tante Naura yang dikejar-kejar pertanyaan kapan nikah itu, akhirnya dinikahi laki-laki. Alhamdulilah dia normal. Hanya saja mungkin si lelaki tidak waras mau dengan Tante Naura. Yang jelas ... orang waras mana yang souvenir pernikahannya mug beraneka warna dengan tulisan bertinta emas Nick and Nau, 12 April untuk Selamanya

Yakin selamanya? Memang mereka tidak mau mati? Memang tanggal 12 April terus? Jadi, kapan aku berulang tahun di 14 Juli?

"Pempeknya enak loh, Bi," suara Langit merusak otakku yang mau menistakan kalimat menjijikan tadi. Di sebelahku tampak Langit dengan kemeja putih bergaris biru dan abu-abu. Terlalu rapi. Kayak dia saja yang mau jadi pengantin. Syukurlah hari ini Ome mengizinkanku memakai jumpsuit batik. Hahaha ini karena Ome lelah tiap dipakaikan kebaya dan rok yang katanya lucu dan sempit itu, Ome harus menatap nanar melihat roknya robek atau kebayanya penuh tumpahan es krim.

Dengan tangan kuambil sepotong pempek dari piring Langit. Jelas, dia melotot dan aku tertawa.

"Kenapa Tante Nau menikah?"

"Mungkin dia lelah sendirian," jawab Langit.

"Dia tidak sendirian, ada Tante Zhi, Tante Okky, dan Tante Maggy."

"Mungkin Tante Nau ingin punya anak."

"Apa setiap manusia harus punya anak, Ngit?" Tanyaku. Langit menatap kursi-kursi di depan kami dengan dahi yang mengerut, mungkin dia berpikir. Omong-omong pempek ini enak sekali. Tante Maggy sepertinya yang membuat pempek enak ini.

"Pempeknya habis, aku ke sana dulu," sahutku. Langit cuma mengangguk. Aku berjalan dan mendekati meja yang berisi aneka pempek. Sambil mengambil pempek, telingaku secara otomatis mendengar perbincangan gadis-gadis seusia Tante Naura. Mereka bergosip tentang kisah mengapa Tante Naura akhirnya melepas lajangnya. Semoga para orang-orang dewasa itu tidak curiga denganku yang dari tadi menghitung berapa banyak pempek kulit padahal telingaku mendengar dan menyerap dengan baik setiap perkataan gadis berkerudung merah dengan gincu merah muda yang kalau tidak salah bernama Tante Utami. Sepertinya dia teman dekat Tante Naura.

Baiklah, aku memang tidak pernah menonton sinetron karena Ome bilang itu tayangan yang berbahaya untuk anak kelas lima SD sepertiku. Meski begitu kadang aku terpaksa menemani Mbak Marni menonton FTV di pagi hari kalau sedang libur sekolah. Seperti itulah kisah Om Nick dan Tante Naura. Terlalu mulus dan kurang seru, apalagi berliku seperti Kelok 44 Maninjau yang kulewati saat liburan di kelas tiga lalu.

Kisah mereka terlalu ... monoton, seperti hidangan yang semuanya berasal dari laut hanya karena mereka bertemu di pasar ikan. Tidak ada rendang, yang ada gulai kepiting, pepes cakalang, pindang ikan tongkol, udang saus tiram, cumi hitam, pempek aneka bentuk sampai dawet ikan tenggiri. Hanya nasi dan air putih yang tidak berasal dari laut. Syukurlah tidak diganti dengan air laut. Weeeks ... asin pastilah. Sewaktu aku tenggelam di pantai, dan menelan air laut, sejak itu aku memutuskan untuk tidak pernah mau meminum setetes pun air laut.

Aku tidak pernah membayangkan bagaimana kalau mereka bertemunya di kebun binatang. Apa gajah-gajah akan datang, lalu berkata,"Selamat datang Biru di pernikahan Nick dan Nau. Mari nikmati tebu kami." Membawa gajah ke pesta pernikahan mungkin tidak terlalu heboh, aku hanya tidak membayangkan bagaimana makanannya. Apakah akan ada nasi empal gajah, rica-rica buaya, jerapah saus tiram? Oh jangan Tuhan... mereka binatang yang harus disayangi dan dilindungi, bukan untuk diganyang.

Ah, untunglah tidak bertemu di pemakaman. Mungkin semua hiasan berbau laut di pesta ini hilang. Lalu kursi hitam, ruang remang-remang, kembang tujuh rupa di meja makanan, dan wangi menyan semerbak memenuhi ruangan. Belum lagi tamu-tamu tak kasat mata dari dunia lain. Lalu... di album foto, yang seharusnya hanya ada 6 orang yaitu, Om Nick, Tante Nau, Ome, Ode, aku, dan Langit, berubah menjadi 16 orang dengan munculnya teman dunia lain.

Astaga, aku tidak mau datang.

"Dik, ngapain dari tadi bengong ngeliatin pempek? Ambil aja kalau mau," suara perempuan mengalun di gendang telinga. Ah, ya. Seharusnya aku mengambil pempek, menuang cukanya dan kembali duduk. Kemudian mendoakan agar Om Nick tahan dengan Tante Naura dan segala keriwehannya.

Haus. Aku haus sekali. Kata guruku kalau kita haus berarti butuh minum. Maka aku harus segera minum. Aku berjalan menuju meja berisi gelas-gelas berwarna-warni. Diduga gelas-gelas itu berisi sirup.

"Halo Biru!" Tante Utami menyapa. Bukankah tadi di stand pempek ada dia, kenapa di sini ada dia lagi? Apa dia memang suka beredar? Ah ya, pasti dia haus hingga butuh minum.

"Aku mau minum. Ada sirup stoberi?"

"Ada, yang ini," Tante Utami menyerahkan gelas berisi air berwarna merah. Aku meneguknya sedikit. Terlalu asam.

"Boleh melon? Ini asam." Kuletakkan gelas tadi di meja. Tante Utami mengangguk, berjalan mundur ke arah deretan gelas berisi air berwarna hijau. 1...2...3....

Bruk.

Sumpah demi Yang Maha Esa, punggung Tante Utami bertubrukan dengan punggung seorang lelaki tinggi dengan kulit putih. Lelaki itu berbalik, memandangi Tante Utami. Mereka bersitatap seperti di film-film. Aku melongok ke belakang kalau-kalau ada kamera dan sedang ada syuting FTV kesukaan Mbak Marni. Tapi tidak ada.

Lelaki berbatik hijau tua itu menggaruk lehernya. Mungkin gatal. Dan Tante Utami buru-buru mengambil sirup melon dan menyodorkannya padaku. Situasi jadi canggung. Aku harus mencairkan suasana. Aku berjalan mendekati mereka berdua.

"Hai Om Maulana," sapaku. Aku mengenalnya karena ia pernah bekerja di rumah sakit yang sama dengan Ode.

"Halo Biru. Kamu sudah besar rupanya."

"Tentu. Aku sudah besar dan Om masih belum punya pacar juga?"

Kini wajah Om Maulana semerah tomat, dan kekehan geli terdengar dari bibir Tante Utami.

"Kok Tante ketawa, bukannya Tante Utami jomblo. Tante Naura sih yang bilang."

Dan kini berbalik. Pipi Tante Utami semerah stoberi dan Om Maulana tertawa geli. Hingga tawa Om Maulana terhenti dan mereka saling tatap.

Yah, kalau melihat mereka berdua rasanya aku perlu baju baru untuk menghadiri resepsi pernikahan dalam waktu dekat. Bagaimana menurutmu?


TAMAT



31/7/2016

Terima kasih kepada Paduka Ratu Nau yang baik hati dan tidak sombong serta gemar memberi cokelat. 5.500 sekian kata ini semoga dapat menutup cerita Nick & Nau dengan baik, nista, dan mudah dilupakan. Biru yang sejatinya telah meninggal 17 Maret 2015 terpaksa dihidupkan sehari pada 12 April 2020 menjadi anak kecil demi Kakak Panutan Nauraini. Semoga Kakak Nau dapat menemukan sosok yang bisa membuatnya apalah-apalah.

Maka dengan amat sangat berat badan, kami harus mengucapkan selamat berpisah pada panpik NickeloNau ini. Kami tidak akan meminta maaf jika endingnya tidak sesuai ekspektasi karena malah berakhir tergoda untuk membuat panpik lain. Jadi, sebenarnya endingnya apa sih? Yha, sudah tertulis bahwa setelah ini Nick dan Nau yang telah menyadari bahwa mereka apalah-apalah maka akan apalah-apalah sampai apalah-apalahnya berakhir apalah-apalah. Pusing? Sama, kami juga pusing, semoga setelah ini otak kami akan bersih kembali dari penistaan penuh tjinta ini.

Salam #AgustusHiatus


Obat Puyer

Mg  O



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top