EMPAT

Keesokan paginya, Rogan berhasil menghubungi Mariana.


Awalnya, cewek itu nggak menganggap serius komplainnya tentang video itu. "Lucu-lucuan aja kok itu, Gan," kata cewek itu sambil tertawa. Nggak hanya itu, dia juga merasa Rogan kelewat kaku dan terlalu serius menanggapi semuanya.


"Masih lucu nggak kalau sekarang hampir semua orang di kantor gue tahu?" Suara Rogan tegas dan dingin. "Lo bikin gue malu di depan kolega-kolega gue, Mar. Setelah kelakuan sembrono lo ini, gimana caranya gue bisa dianggap serius lagi di kantor? Berarti, gue juga harus mengucapkan selamat tinggal untuk promosi dan opportunity lainnya karena di mata mereka gue nggak lebih dari cowok yang baca buku dongeng Ande Ande Lumut sambil bertelanjang dada?"


Mariana terdiam. Setelah jeda cukup lama, akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya, "Lo mau gue gimana sekarang, Gan? Lo tinggal bilang aja, gue lakuin."


"Gue belum tahu seberapa parah damage-nya. Tapi gue mau lo remove itu video dari Youtube sekarang juga."


"Consider it's done."


*


Nggak banyak yang tahu, di kehidupan Rogan yang biasa-biasa itu terselip sesuatu yang istimewa.


Setiap pagi, dia sengaja nggak sarapan dari rumah. Dia memilih untuk makan lontong sayur di warung nggak jauh dari gedung EternalFlame. Kalau boleh jujur, lontong sayur di situ juga sebenarnya nggak enak-enak amat. Tapi dia merasa harus pergi ke sana setiap pagi karena ada seseorang yang juga rutin sarapan di sana.


Namanya Camilla, tapi biasa dipanggil Cam.


Hal pertama yang dilihat Rogan ketika berada di ambang pintu warung adalah Cam asyik dengan handphone-nya. Jantung Rogan langsung berdebar hebat. Dia menjaga dirinya tetap terlihat cool di atas pantofel kulitnya, berjalan santai menghampiri cewek itu di sudut warung sambil berusaha mengurangi nyeri emosional yang dia rasakan akibat debaran jantungnya.


Tapi ketakutan bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Apalagi kalau ketakutan itu berkolaborasi dengan perasaan paranoid, yang berandai-andai betapa nistanya Cam memandang Rogan begitu tahu tentang video tolol itu. Jangankan ada harapan, kemungkinan besar Cam nggak sudi bicara padanya untuk selama-lamanya.


"Hai," sapa Rogan ragu-ragu.


"Oh, hai."


Nggak ada tanda-tanda benci atau ekspresi jijik. Mungkin ini cuman guenya aja yang terlalu khawatir, pikir cowok itu.


"Udah selesai sarapannya?"

"Dari tadi keleuss! Gue kan emang makannya cepat." Cewek itu tersenyum. "Sambil nunggu makanan turun ke perut, gue iseng main Hay Day dulu."


Ah, Hay Day. Permainan pertanian virtual yang lumayan banyak penggemarnya. Dia pernah main sampai belasan episode. Karena bosan, langsung berhenti. Nggak lama kemudian, Rogan men-delete aplikasi game itu dari handphone dan menggantinya dengan game perang yang jauh lebih menantang.


"Asyik amat mainnya."


"Lagi panen soalnya." Cam terkekeh kecil. Rogan sudah pernah bilang belum, suara tawa cewek itu terdengar seperti musik di telinganya?


Sambil menyembunyikan rasa gugupnya, Rogan mengangkat tangan untuk menarik perhatian pemilik warung. "Pak Ayan, lontong sayurnya satu. Pake telur ya."


"Minumnya apa?"


"Air putih aja. Pake es tapi."


"Oke, Bos!" Pak Ayan mengacungkan jempol.


Sekarang, fokusnya kembali tertuju pada Cam.


"So... how's work?"


*


Kalau boleh jujur, Cam sebenarnya antara suka dan nggak suka dengan keberadaan Rogan duduk di sampingnya seperti ini. Ketika pertama kali bertemu (dan dilanjutkan dengan perkenalan singkat), Cam merasa nggak nyaman dengan cara cowok itu memandanginya. Cam bisa membayangkan dengan jelas apa yang diharapkan cowok itu dari dirinya. Bagi Cam, itu masalah.


Cam jelas jauh lebih cerdas daripada keledai, dia nggak akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Pengalaman di kantornya dulu sudah cukup jadi pelajaran supaya jangan pernah menjalin hubungan asmara dengan sesama teman sekantor. Cepat atau lambat akan mengundang masalah—dan melibatkan HRD.





Padahal dia sangat mencintai pekerjaannya di Sophia Martinez. Dia memiliki atasan yang baik dan ada kebijakan perusahaan yang membolehkan karyawannya membeli produk Sophia Martinez dengan harga khusus—hanya cewek bodoh yang akan melewatkan begitu saja kesempatan membeli tas yang dibandrol sejutaan dengan harga ratusan ribu saja.


Di perusahaan MLM itu, Cam bekerja sebagai photo stylist.

Deskripsi pekerjaannya jelas: di bawah pengarahan creative director, dia bertanggung jawab atas setiap sesi foto . Setiap harinya, ada sejumlah produk yang harus difoto dan diatur sedemikian rupa supaya terlihat menarik di katalog nanti. 


Belum lagi sejak akhir tahun lalu, bagian promosi mengusulkan supaya Sophia Martinez punya channel video sendiri di Youtube. Artis atau public figure yang terpilih sebagai wajah sampul katalog mereka biasanya akan dibuatkan video behind the scene dan wawancara singkat—tambah satu lagi deh pekerjaan Cam. Dan semakin sering jugalah dia nongkrong di studio foto dan berinteraksi dengan anak-anak fotografer di sana. 


Salah satunya bernama... Mahendra. 


Bad boy bukan tipenya. Jadi jelas ketertarikannya pada Mahendra nggak bisa dikategorikan sebagai 'cinta pada pandangan pertama.' Cam nggak suka dengan rambut Mahendra yang gondrong, apalagi soul patch (sejumput rambut ganggu yang tepat berada di bawah mulut) yang di mata Cam tak ubahnya seperti kumis Hitler yang ganti lokasi. Cam juga nggak suka dengan musik grunge kesukaan Mahendra, yang selalu diputar kencang-kencang setiap kali dia sibuk bekerja dengan komputernya. Dia benci dengan selera humornya yang nyerempet-nyerempet porno. Dan masih banyak lagi benci-benci lainnya. 


Tapi Cam menyukai cara cowok itu mencium.


Dia menyadari itu di suatu sore, ketika keduanya merokok bareng di area terbuka di atap gedung Sophia Martinez. Mengobrol-ngobrol ringan sambil menghabiskan Lay's rasa rumput laut yang dibawa Cam dari kubikelnya. Mengobrol tentang fakta bahwa Cam masih menjomblo sampai sekarang.


Lalu, Mahendra bertanya—lebih tepatnya, penasaran, "Selama lima tahun nggak punya pacar, lo nggak HBL?"


Cam mengernyitkan kening. "HBL?"


"Haus Belaian Laki-laki—nggak usah pura-pura bego laaah!"


Cam terkikik. "Ya nggak lah. Kita, cewek-cewek, jauh lebih kuat menahan diri dari godaan libido. Kaum lo tuh yang gampang banget horny-an."


Mahendra manggut-manggut. Rambut gondrong berantakannya bergoyang-goyang, tapi lebih karena embusan angin dari arah belakang kepalanya."Terus, gimana dengan kemampuan berciuman lo. Lima tahun nggak pacaran, orang bisa lupa lho caranya."


Cam mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan sengaja di wajah Mahendra. "Bodoh banget hipotesis Anda, Tuan Mahendra. Berciuman itu sama dengan skill bersepeda. Sekali udah bisa, lo nggak akan lupa."


Mahendra tertawa mengejek. "Gue nggak percaya."


"Lo nantang nih...."Ketika itu, Cam nggak sadar, ternyata memang itu yang diharapkan Mahendra. Dan dengan mudah dia terpancing ke jaring laba-laba yang ditenun cowok itu di hadapannya.


"Prove it."


Cam nggak berpikir panjang. Dengan telunjuknya, dia mengangkat dagu Mahendra. Ketika bersirobok dengan matanya, cewek itu menemukan tatapan mengejek di sana. Kenyataan itu membuat Cam geram sekaligus semakin bersemangat. Dia merasa harus membuktikan Mahendra salah besar, membuat cowok itu menjilat ludahnya sendiri.Dia lalu mencium Mahendra, sedikit kasar dan agresif, tapi dia masih bisa menyisakan ruang di dalam usahanya itu untuk menggoda cowok itu dengan ujung lidahnya.


Ketika kemudian bibir Mahendra membuka, Cam langsung menekankan bibirnya lebih dalam, diikuti dengan gerakan cepat lidahnya menjelajah masuk ke rongga mulut cowok itu. Dia mengecap samar-samar rasa tembakau dan kopi pahit yang tadi dikonsumsi Mahendra, sensasi yang selamanya akan mengingatkan Cam pada kejadian sore itu.


Sikap agresif Cam kemudian digantikan oleh keinginan Mahendra untuk menguasai permainan. Cowok itu mendorongkan tubuhnya ke arah Cam, mendesak cewek itu untuk memberinya akses berada di atas dirinya. Mahendra menahan posisinya dengan kedua tangan, di saat serupa dirinya memagut bibir Cam dengan lapar dan menuntut.


Mereka melakukannya tanpa berpikir panjang. Makeout sampai hampir satu jam lebih seolah itu adalah hal terakhir yang harus mereka lakukan karena besok adalah hari kiamat.


Keduanya sama sekali lupa tentang cerita lama di kantor ini. Bahwa bertahun-tahun sebelum Cam maupun Mahendra bekerja di sini, pernah ada insiden pencurian besar-besaran yang diprakarsai oleh salah satu mantan karyawan Sophia Martinez dan teman-temannya. Kasus ini menyebabkan muncul keputusan dari manajemen untuk memasang kamera CCTV di hampir semua sudut bangunan—termasuk atap.


Keesokan harinya, Cam dan Mahendra dipanggil ke kantor HRD. Salah seorang staf security melaporkan tentang kejadian di atap kantor dan juga menyerahkan barang buktinya. Kebayang dong seperti apa malunya melihat diri sendiri tertangkap basah oleh CCTV kantor sedang ditindih oleh sesama karyawan kantor juga.


Oleh HRD, Cam dan Mahendra divonis melakukan hal nggak senonoh di tempat kerja. Dan sebagai hukumannya, mereka dipaksa untuk mengajukan surat pengunduran diri dalam waktu 2 x 24 jam.




Pepatah sialan itu benar: karena setitik nila, rusak susu sebelanga.


Karena sebuah ciuman iseng antar teman sekantor, Cam harus mengucapkan selamat tinggal selamanya pada pekerjaan yang disukainya dan diskon karyawan yang luar biasa. Sesuatu yang nggak ingin dia alami lagi sampai kedua kali. Nggak akan, bahkan meskipun yang menawarinya berbuat nakal adalah cowok tipenya.


That's right, people. Cowok berkacamata dan agak nerdy adalah tipenya sepanjang masa.


Jadi, kebayang kan bagaimana sulitnya ketika mendapati Rogan duduk tepat di sebelahnya? Rasanya seperti berada di daerah penuh ranjau. Salah memilih jalan sedikit... BOOM! Cam kembali jadi pengangguran.


Makanya, lebih baik lanjut bercocok tanam di Hay Day saja. Selain karena jaminan nggak akan berurusan dengan hama dan kemarau, bermain Hay Day jelas jauh lebih aman ketimbang lanjut mengobrol dengan Rogan.


Aman bagi hati... dan juga masa depan kariernya.


*


Rogan tahu ini akan terdengar aneh. Tapi dia merasa harus melakukannya.


"Euh, ngomong-ngomong, Cam... punya Facebook nggak?"


Cewek itu mengalihkan pandangannya dari ladang virtualnya.


"Punya sih. Tapi sekarang, lebih banyak dipake buat nambah teman main Hay Day aja."


Rogan manggut-manggut. "Temenan dengan, euh, Arifin Sirait?"


"Kenapa memangnya?"


Cowok itu nyengir terpaksa. "Nanya aja."


Cam tampak berpikir sejenak. "Seingat gue sih nggak."


"Kalau... Fachri?" Rogan memberi petunjuk, "Anak humas. Agak melambai orangnya."


"Oh, Fachri. Gue pernah beberapa kali sih beli pulsa dari dia." Rogan baru ngeh tentang fakta yang satu itu. Biarpun sebenarnya ada aturan tentang larangan berjualan di dalam kantor, tetap saja ada karyawan yang memanfaatkan komunikasi via WhatsApp dan BBM untuk menjajakan jualannya. Ada yang jualan mukena, produk tas dari MLM Sophia Martinez, atau yang jualan pulsa beli-sekarang-bayar-boleh-besok seperti Fachri.


"Tapi lo nggak temenan sama Fachri kan di Facebook?"


"Nggak sih." Cam mengernyit bingung. "Kenapa tiba-tiba nanya begitu sih? Ada masalah kah dengan mereka?"


"Euh...."


"Lo aneh deh, Gan."


Lebih bagus dicap aneh deh daripada dianggap mesum dan eksibisionis, pikir cowok itu.


"Hahaha, anggep aja tadi cuman pertanyaan iseng." Rogan mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari saku celananya. "Bayar yuk, terus abis itu kita balik ke kantor bareng."


Cam menutup kelepak casing handphone-nya. "Ayuk deh! Udah pukul sembilan juga."


---

Buat yang nggak kebayang soul patch itu seperti apa, bisa lihat sendiri di gambar ya.

By the way, seperti biasa, ditunggu komentar dan vote-nya, NICELANDERS!


XOXO,

Ganteng-ganteng Simamora


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top