BAB XXXII
"Hei, bantu aku dengan semua pai moka sialan ini."
Aku menoleh. Nathan berdiri di depan bagasi mobilku. Tangannya memeluk beberapa kotak yang berisi pai-pai rasa moka yang aku, Nathan, dan Mama buat kemarin. (Aku memaksa Nathan ikut membuatnya karena dia yang tahu resepnya.)
Aku berjalan menghampiri Nathan. "Memangnya kau tidak bisa? Kau kan cowok."
"Aku cowok. Bukan raksasa bertangan seratus," balas Nathan dengan sinis.
Aku bisa mendengar pintu mobil depan terbuka. Beberapa saat kemudian, Mama sudah berdiri di samping Nathan. Mama mengambil beberapa kotak pai moka. "Ana, kasihan Nathan. Ambil beberapa kotak."
Dengan terpaksa, aku mengambil kotak-kotak itu dan membawanya masuk ke dalam aula sekolah.
Hari ini, adalah hari dilaksanakannya kembali acara Next Door to the Rain. Kami hanya butuh waktu satu bulan untuk merencanakan acara ini lagi. Sebagian karena kami hanya perlu mengulang rencana kami di acara pertama (kecuali bagian wawancara dengan Sarah Bakker karena wanita itu tidak bisa hadir). Sebagian lagi karena kami sangat bersemangat.
Aku, Mama, dan Nathan berhenti di depan meja yang sudah disiapkan khusus untuk Pai Moka Nathan. Bahkan aku sudah meletakkan tulisan 'Pai Moka Nathan' di atas meja itu.
Nathan membelalak melihat tulisan itu. Dia sebal sekali kalau aku menyebut-nyebut Pai Moka Nathan.
Nathan menoleh padaku. "Singkirkan tulisan itu!"
Aku tertawa. "Tidak mau."
Mama memandang tulisan itu lalu tertawa juga. "Sepertinya kau harus membuka toko pai moka, Nathan. Pai moka buatanmu enak sekali."
"Itu resep ibuku."
"Jangan berbohong," kata Mama sambil tertawa kecil. "Kata Sarah, kau yang membuatnya sendiri."
Nathan tampak salah tingkah. Ia mengusap-usap tengkuknya. "Ya, tapi—"
Mama menepuk-nepuk bahu Nathan. "Memangnya kenapa kalau kau yang membuatnya? Menurutku itu keren sekali."
Nathan tampak senang seseorang berkata 'keren' untuknya. Ekspresi sebal di wajahnya langsung berubah menjadi eskpresi yang sama seperti ketika anak kecil mendapatkan permen kesukaannya.
Aku baru sadar dari tadi aku tersenyum.
[']
Setelah menata semua kotak-kotak pai moka, Mama pergi. "Semoga acaramu kali ini sukses," katanya sebelum beranjak pergi.
Aku tersenyum. "Terima kasih."
Aula sekolah mulai ramai. Orang-orang sudah datang padahal acaranya masih satu jam lagi. Aku memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di aula dengan senang. Mereka tampak bersemangat dan penasaran.
"Teman-teman dari tim basketku akan datang," kata Nathan tiba-tiba.
Aku menoleh. "Untuk apa?"
"Untuk menonton acaramu tentu saja." Nathan memutar kedua bola matanya. "Jangan menatapku seperti itu! Aku tidak mungkin menghancurkan pai-pai yang sudah kita buat kemarin."
"Baiklah," kataku.
Awalnya kukira, sejak hukuman di perpustakaan itu selesai, aku tidak akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama Nathan. Kukira aku hanya akan bertemu dan mengobrol dengannya di pertemuan Komunitas Hujan. Tapi ternyata tidak.
Aku tidak tahu bagaimana kami menjadi lebih akrab. Tidak ada yang berubah dari sikap kami masing-masing. Atau setidaknya, tidak ada yang berubah dari sikap Nathan. Sikapku sendiri, yah, aku tidak terlalu yakin. Senyum sintingku kadang-kadang suka muncul sendiri ketika melihat Nathan yang Baik Hati.
Aku pernah satu kelompok dengan Nathan untuk tugas sekolah, jadi aku harus pergi ke rumahnya. Dan sejak saat itu, Tante Sarah dan Om Kevin berkali-kali memintaku untuk datang ke rumah mereka. (Padahal aku bisa melihat Nathan tidak yah—pokoknya dia hanya bersikap seperti Nathan.)
Megan berkata bahwa aku mungkin saja menyukai Nathan. Atau Nathan menyukaiku. Aku menganggap itu konyol sekali. Mana mungkin? Kurasa aku hanya tersenyum sinting karena sadar bahwa Nathan tidak seburuk dugaan awalku.
"Hei!" Nathan melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
Aku mengerjap. "Apa?"
"Kau melamun," kata Nathan sambil mengangkat alis kananku.
"Lalu?"
"Aku tidak mau kau kesurupan lalu menghancurkan acaramu sendiri. Yah, acaramu sih tidak apa-apa. Aku tidak ingin kau menghancurkan pai-pai mokaku," tukas Nathan.
Aku mendengus. Lihat kan? Mana mungkin Nathan menyukaiku? Konyol sekali.
"Aku harus ke depan. Teman-teman dari tim basketku sudah datang," kata Nathan. "Yah, sebenarnya beberapa dari mereka sudah datang dari tadi. Tapi aku kan harus membantumu dengan semua pai moka ini dulu."
"Ya sudah, ke depan saja. Aku juga mau ke ruang Komunitas Hujan. Ada beberapa hal yang perlu kuurus," kataku.
"Oke." Nathan melangkah pergi.
Aku membalikkan tubuhku lalu berjalan menuju pintu aula. Aku mendorong pintu besar aula dan melangkah ke luar. Aku bahkan belum berjalan lima langkah ketika seseorang menabrakku.
"Maaf," katanya.
Aku mengangkat wajah dengan terkejut. Rean? Apa yang dia lakukan di sini? Kupikir waktu itu dia hadir hanya karena aku.
"Em, ya, tidak apa-apa," balasku.
Rean tersenyum kepadaku. "Semoga acaramu sukses," katanya. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju koridor kelas-kelas, menjauhi aula.
Aku mengangkat alis kananku. Senyuman Rean berbeda. Itu bukan senyum yang dulu ditujukan Rean padaku. Anehnya, aku merasa tidak asing dengan senyum itu.
[']
"Ana!" Leo berseru begitu aku melangkah memasuki ruang Komunitas Hujan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kostum drama hilang," katanya. "Lagi."
Aku melongo. "Apa kau serius?"
"Aku memang lucu dan sebagainya. Tapi aku benar-benar tidak sedang bercanda sekarang!" kata Leo.
"Apakah kau sudah mengeceknya ke semua tempat?" tanyaku.
"Sudah. Semua ruang janitor di sekolah sudah dicek," kata Leo. "Bahkan kamar mandi cewek juga sudah dicek."
Aku memelotot. "Kau masuk ke kamar mandi cewek?"
Leo menggaruk tengkuknya. "Sayangnya, tidak ada orang—"
Aku melambaikan tanganku untuk menghentikan ucapan Leo. Tidak ada waktu untuk itu sekarang. "Di mana Kenzo?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Dia sedang berusaha mencari pakaian di lost and found." Megan tiba-tiba muncul dari balik meja.
Aku menghela napas. Semoga saja Kenzo berhasil menemukan pakaian yang cocok. "Leo, bantu Kenzo mencari pakaian di lost and found."
"Baiklah." Leo pun melesat pergi meninggalkan ruang Komunitas Hujan.
Aku melangkah menghampiri Megan yang sedang berdiri di belakang meja.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyaku.
"Mencari amplop berisi uang untuk membayar konsumsi. Kita harus sudah melunasinya sore ini," jawabnya.
"Apakah amplop itu juga hilang?" tanyaku tidak percaya.
"Ya." Megan menjawab dengan lesu.
"Bagaimana bisa? Amplop itu tersimpan dengan baik di meja ini. Hanya orang-orang di dalam Komunitas Hujan saya yang bisa—"
Nathan. Nathan. Dadaku sesak memikirkan Nathan lagi-lagi merusak acaraku.
"Itu belum tentu dia, Ana," kata Megan. Kurasa mungkin dia memang bisa membaca pikiran atau semacamnya. Mengerikan sekali. "Nathan bersikap baik kepada kita selama ini. Ia bersikap sangat baik kepadamu. Dia bahkan ikut membuat pai moka."
"Tapi siapa lagi?" tanyaku sambil meletakkan kedua telapak tanganku di dahi. "Lagi pula, apa yang mencegahnya dari berbuat iseng?"
Megan terdiam.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Isha masuk dengan panik.
"Ada apa?" tanyaku. Aku tahu, apa pun yang dikatakan oleh Isha tidak mungkin baik. Tapi aku harus tahu.
"Ember-ember—" kata Isha dengan napas tersengal-sengal, "—ember-ember di atas lagi. Air tumpah. Aula berantakan."
Aku memejamkan mata untuk menahan air mata. Dadaku rasanya sesak sekali. Dan aku hanya bisa memikirkan satu hal.
Nathan kembali merusak acaraku.[]
a.n
wayolo. JENG JENG JENG. WKWK.
Oke, aku enggak mau kebanyakan bacot, aku cuma mau bilang, aku kemarin nge-post cerita baru, judulnya Just a Little Spell. Silakan dibaca kalau mau : ) HEHE.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top