BAB XXVIII

Aku merasa benar-benar bersalah. Rean berjalan pergi meninggalkanku begitu saja. Ia bahkan tidak repot-repot menoleh ke belakang ketika aku memanggil namanya lagi.

Seharusnya saat ini aku merasa senang karena akhirnya Rean menjauh dariku. Karena akhirnya cowok itu tidak akan mengangguku lagi. Tapi tetap saja, aku tidak pernah berharap bahwa perpisahan kami akan membuatku merasa sangat menyesal.

"Ada apa denganmu?" Nathan menjatuhkan dirinya di atas kursi tempat kami 'belajar' di perpustakaan.

Aku duduk di sebelahnya lalu menghela napas. "Tidak ada apa-apa."

"Seharusnya aku yang tampak lelah sepertimu," komentar Nathan. "Nayla benar-benar membuatku kewalahan. Cewek itu mengira, aku berkencan denganmu." Nathan tertawa sinis. "Lagi pula, kalau aku benar-benar berkencan denganmu. Mana mungkin aku akan membiarkan kita berkencan di perpustakaan?"

Aku memaksakan diriku tertawa kecil.

"Kalau begitu, ada apa denganmu?" tanya Nathan. Cowok itu mengangkat alis kanannya dan menatapku dengan bingung.

Aku tahu, konyol sekali jika menceritakan semua ini kepada Nathan, tapi aku benar-benar butuh pendapat orang lain. Seharusnya aku menunggu sampai aku bisa berbicara dengan Megan. Tapi Megan tidak ada di sini. Dan aku tidak yakin bisa bertahan selama satu jam ke depan dengan rasa bersalah membebani diriku.

Aku menghela napas. "Aku akan menanyakan sesuatu padamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?"

"Tergantung," jawab Nathan sambil mengangkat kedua bahunya.

"Dan tolong jangan anggap aku orang yang konyol dan aneh," kataku.

Nathan tertawa kecil. "Itu akan sedikit sulit, tapi baiklah, akan kucoba. Ada apa?"

Jadi, aku menceritakan padanya apa yang terjadi antara aku dan Rean tadi. Aku tidak menceritakan seluruh isi percakapan kami, karena aku tahu Nathan tidak akan mau mendengar semuanya. "Bagaimana menurutmu? Apakah aku bisa dikatakan bersalah?" tanyaku setelah mengakhiri cerita singkatku.

Nathan terdiam sejenak. "Tidak juga. Aku tidak buta. Aku bisa melihat kau tampak terganggu dengan kehadiran Hardana selama ini. Tapi aku tidak tahu apakah Hardana menyadarinya. Kurasa dia tidak sadar dan yang kau katakan lebih mengejutkan daripada mengecewakan baginya," kata Nathan.

"Tapi dia tampak benar-benar kecewa dan sedih," kataku. "Juga beberapa kali terlihat marah."

"Dia kecewa, sedih, dan marah, karena harga dirinya terluka," balas Nathan. "Tidak ada hubungannya sama sekali denganmu. Aku tahu Hardana itu orang seperti apa. Dia pasti memikirkan apa kata teman-temannya kalau dia gagal mendapatkanmu."

Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.

"Tidak perlu dipikirkan," kata Nathan sambil melambaikan tangan kanannya. "Tidak penting. Lagi pula, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."

"Apa?"

"Karena kita sudah berbaikan sekarang, kurasa kita bisa meyakinkan Neli untuk mengembalikan Komunitas Hujan. Aku bisa membantumu berbicara dengannya, kalau kau mau," kata Nathan.

Aku tidak memercayai pendengaranku sendiri. "Kau serius?"

Nathan mengangkat alis kanannya. "Apakah aku tampak seperti sedang bercanda?"

"Terima kasih! Ya ampun! Terima kasih, Nathan!" pekikku kegirangan.

"Ya, ya," kata Nathan. "Tapi aku tidak berjanji apa-apa. Aku hanya akan membantumu berbicara dengannya. Keputusan tetap berada di pihak sekolah."

"Aku tahu," sahutku. Ya, aku tahu. Tapi aku benar-benar senang sekali. Tidak pernah aku menyangka Nathan Adinata akan membantuku mengembalikan Komunitas Hujan. Nathan mungkin bukan penghibur yang baik, tapi dia berhasil mengalihkan pikirkanku dari Rean selama sisa hari itu.

[']

"Hei."

Aku menoleh dan menatap Nathan yang duduk di belakangku. "Apa?"

"Aku sudah berkata pada Neli kalau kita berdua ingin berbicara dengannya. Dia berkata dia bisa menemui kita pada jam istirahat kedua."

"Baiklah."

Saat itu bel istirahat pertama baru berbunyi. Masih ada beberapa jam lagi sampai jam istirahat kedua.

"Pikirkan baik-baik apa yang akan kau katakan," kata Nathan sambil bangkit dari duduknya. "Kita tidak bisa berbicara dengannya setiap hari." Kemudian cowok itu berlalu meninggalkan kelas.

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju kantin. Setelah membeli sepiring batagor, aku menuju Megan yang sedang duduk bersama teman-teman sekelasnya. Aku ikut duduk bersama mereka. Kadang aku merasa aku lebih dekat dengan anak-anak di kelas Megan daripada anak-anak di kelasku sendiri.

"Hai," sapa Megan ketika aku meletakkan piringku di atas meja lalu duduk.

"Hei," balasku. Setelah bertegur sapa dengan semua orang di meja itu, aku menatap Megan kemudian tersenyum lebar. "Kau tahu apa yang akan aku lakukan di jam istirahat kedua nanti?"

"Apa? Membeli nasi goreng?" tanya Megan.

Aku menggeleng. "Bukan. Aku akan ke ruang Bu Neli bersama Nathan."

"Kau mendapat hukuman lagi? Kukira kau sedang menjalani hukuman." Megan menatapku dengan heran.

"Bukan. Kami sendiri yang meminta untuk bertemu dengannya," jelasku. "Apakah kau pernah mengira Nathan Adinata menawarkan diri untuk membantuku mengembalikan Komunitas Hujan?"

Megan membelalakan matanya. "Dia menawarkan diri untuk membantu mengembalikan Komunitas Hujan?"

"Tepat."

"Tidak mungkin."

"Aku tahu."

[']

Aku mengetuk pintu ruangan Bu Neli.

Terdengar suara Bu Neli dari dalam ruangan. "Masuk."

Aku meraih gagang pintu dan mendorong pintunya. Lalu aku melangkah masuk. Nathan mengikuti di belakangku.

Kami dipersilakan duduk di depan meja Bu Neli. Bu Neli sendiri kemudian duduk di kursinya dan menatap kami dengan heran.

"Kehormatan apa yang kudapatkan saat ini?" tanya Bu Neli. "Kenapa kalian berdua tiba-tiba mengajukan diri ke hadapanku?"

"Kami—" Aku melirik Nathan sekilas. Tidak ada tanda-tanda ia berniat mengatakan apa pun. Jadi aku melanjutkan, "Kami ingin mengajukan permintaan untuk Komunitas Hujan agar bisa berdiri lagi. Kalau kau meminta komunitasku untuk membuktikan kelayakan kami, kami siap membukikannya."

"Kalian mengajukan permintaan untuk izin berdirinya Komunitas Hujan?" ulang Bu Neli.

"Ya," jawabku.

"Kalian?" ulang Bu Neli.

"Ya, kami," sahut Nathan.

Bu Neli terdiam sebentar. Ia menatap kami bergantian sambil tersenyum lebar. "Jadi kalian berdua sudah berbaikan?"

"Seperti itulah," kata Nathan.

Bu Neli tersenyum lebar sekali. Aku benar-benar khawatir bibirnya akan robek. "Bagaimana bisa?" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi bagaimana?" tanyaku. "Tentang Komunitas Hujan."

"Aku akan menanyakannya kepada guru-guru lainnya terlebih dahulu. Tapi kalau aku bisa memutuskan sendiri, aku tentu akan mengizinkan komunitasmu berdiri lagi," kata Bu Neli sambil tersenyum.

"Bukankah segala urusan yang menyangkut komunitas di sekolah, memang ada padamu?" tanya Nathan.

"Memang," sahut Bu Neli. "Hanya saja aku butuh mengonfirmasi hal ini dengan guru-guru lain agar lebih resmi."

"Jadi secara tidak resmi, komunitasku sudah boleh berdiri lagi?" tanyaku bersemangat.

Bu Neli tersenyum. "Tentu saja," sahutnya. "Tapi aku punya satu syarat."

"Apa itu?" tanyaku.

"Nathan harus ikut bergabung dalam Komunitas Hujan."[]


a.n
Haii aku cuma mau ngasih tau kalau mulai minggu depan, karena beberapa hal, aku update cuma setiap Rabu sama Sabtu yaa : ) Semoga tetep setia dan gapada kabur wkwk.

Dan maaf aku belom sempet balesin comment di chapter kemarin hehe. Aku bakal bales secepatnya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top