BAB XIX

Sekarang pukul setengah dua belas dan acara sejauh ini berlangsung dengan sangat lancar dan baik. Aku mulai berharap bahwa semuanya memang akan berjalan dengan baik dan kehadiran Nathan hanya akan berefek pada pemborosan oksigen di aula. Semoga saja begitu.

Aku baru saja selesai memandu kuis dan turun dari panggung ketika Kenzo dan Leo mendatangiku. "Apa acara setelah ini?" tanya Kenzo.

"Drama." Aku menatap mereka berdua dengan aneh. "Bukankah kalian sudah hafal urutan acaranya?"

"Tidak!" keluh Leo sambil mengacak-acak rambutnya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Bisakah kau menukar jadwal drama dengan...." Kenzo berpikir lalu mengangkat bahunya. "Entahlah, dengan apa saja?"

"Tidak bisa. Drama memakan waktu satu setengah jam—berakhir pukul satu. Pukul satu, Sarah Bakker akan datang dan acara tanya-jawab dengan Sarah Bakker berlangsung sampai pukul dua. Setelah itu, acara selesai. Tidak. Tidak bisa. Jadwal tidak bisa diubah lagi," jelasku. "Memangnya ada apa?"

"Semua kostum drama hilang," jawab Leo. "Semua orang sudah mencarinya ke mana-mana. Tapi tidak ada yang berhasil menemukannya."

Aku melongo. "Semuanya?" tanyaku.

Kenzo mengangguk. "Semuanya."

"Bukankah kalian yang bertanggung jawab dengan kostum-kostum itu?" tanyaku sambil menatap Kenzo dan Leo dengan tatapan sekejam mungkin.

Kenzo dan Leo bertukar tatapan. "Yah, kami memang bertanggung jawab menyiapkan kostum dan sebagainya. Tapi mana kami tahu kalau kostum itu akan hilang! Selama aku bertugas menjadi pengurus kostum untuk acara-acara kita, tidak pernah sekali pun kostum hilang," kata Kenzo, membela dirinya.

"Lagi pula, kami lapar. Kami butuh asupan makanan. Kau tidak bisa memaksa kami duduk-duduk saja di ruang kostum sambil memelototi tumpukan baju-baju membosankan," sahut Leo.

Aku mendesah. "Ya, dan sekarang 'baju-baju membosankan' itu hilang," balasku dengan sebal. "Apa yang akan kalian lakukan?"

"Mana kami tahu! Makanya kami bertanya padamu," kata Leo.

Aku mendesah. Oke, tenang.

"Baiklah. Ayo kita ke ruang ganti dan lihat apa yang bisa kita lakukan."

[']

Semua kostum lenyap, hilang entah ke mana. Dan sekarang, di ruang ganti, semua orang panik dan sibuk melakukan apa saja yang mungkin bisa membantu, tapi yang dilakukan mereka pada akhirnya hanya mondar-mandir sambil berceloteh panik.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Karen sambil menghampiriku begitu aku melangkah memasuki ruang ganti.

Aku terdiam sebentar sambil mengamati para pemain drama yang berasal dari ekskul teater.

"Kalau mereka sama sekali tidak mengenakan kostum dan hanya mengenakan pakaian yang mereka pakai sekarang, dramanya pasti akan jelek," kata Ayu sambil berjalan menghampiriku. Ia mengarahkan tatapan ke anak kelas sepuluh yang berperan sebagai Peter Rain. "Mana pernah Peter Rain mengenakan kaus oblong dan jeans pudar di tengah-tengah dinginnya hujan? Sama sekali tidak masuk akal!"

Ayu benar. Tapi bagaimanapun juga, drama harus tetap berlangsung.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Di mana Megan?" tanyaku.

"Dia sudah berangkat untuk menjemput Sarah Bakker ketika kau mengadakan kuis tadi," jawab Kenzo.

Aku mendesah. Aku butuh Megan di sini. Aku butuh ide-ide geniusnya sekarang.

"Jadi bagaimana?" tanya Isha yang tiba-tiba saja muncul.

"Aku akan coba cek lost and found dan melihat apakah ada pakaian yang bisa digunakan," jawabku akhirnya. "Leo, Kenzo, ikut aku. Isha, Karen, cobalah lakukan apa pun di atas panggung, sambil menunggu drama dimulai."

Aku berbalik dan melangkah keluar dari ruang ganti. Aku melangkah cepat-cepat menuju lost and found. Kami tidak boleh membuang-buang lebih banyak waktu.

"Kau bercanda, ya?" tanya Leo sambil berlari-lari di belakangku. "Lost and found?"

Aku menoleh sambil menaikkan alis kananku. "Kau punya ide yang lebih baik?"

"Tidak juga, sih. Tapi—"

"Ya sudah, kalau begitu bantu saja mencari baju di lost and found dan jangan banyak memprotes. Kecuali kalau kau punya ide yang lebih baik," selaku.

[']

Kami berhasil menemukan beberapa pakaian yang lumayan cocok digunakan untuk drama. Walaupun memang tidak sebagus kostum yang hilang, setidaknya Peter Rain tidak harus mengenakan kaus oblong dan jeans pudar.

Akhirnya, setelah lewat dua puluh lima menit, drama pun dimulai. Aku mendesah lega sambil duduk di kursi penonton.

"Yang penting dramanya dimulai," kata Karen sambil duduk di sebelahku.

"Ya," gumamku.

Selebihnya, drama berjalan dengan lancar (kalau tidak memerhatikan kostum yang mereka kenakan). Biarpun begitu, pikiranku terus-terusan tertuju ke kostum-kostum yang hilang. Siapa yang menghilangkan kostum-kostum itu? Bagaimana kostum-kostum itu bisa hilang?

Aku tidak bisa tidak memikirkan Nathan Adinata saat ini. Bukannya aku menuduh atau apa, tapi, memangnya siapa lagi?

Dugaanku diperkuat ketika Nathan tiba-tiba lewat di depanku sambil tersenyum mengejek. "Kostumnya hebat sekali. Di mana kau membelinya?"

Kalau saja aku tidak ingat bahwa sekarang aku berada di barisan kursi penonton paling depan, aku pasti sudah berdiri dan menendang Nathan jauh-jauh.

Alih-alih, aku hanya mengangkat bahu lalu memfokuskan pandanganku ke panggung. Masalah pembalasan dendam kepada Nathan, itu bisa dipikirkan nanti.

[']

Peter Rain di atas panggung sedang tidur-tiduran di atas kasurnya. Matanya melirik ke arah jendela di dinding panggung sambil menggumamkan dengan keras betapa ia ingin pergi ke luar dan bertemu dengan orang-orang. Tapi terutama ia ingin bertemu Sophie.

Sejauh ini, tidak ada lagi hal yang menganggu jalannya pementasan drama. Anak-anak dari ekskul teater yang bekerja sama dengan Komunitas Hujan memang sudah berkali-kali membantu kami di pementasan Peter Rain untuk acara-acara kami. Dan mereka tidak pernah mengecewakan kami.

Peter Rain di atas panggung kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah menuju jendela. Ia memandang keluar dengan bersemangat karena langit mulai berubah kelabu dan hujan tampaknya sebentar lagi akan turun.

Peter Rain membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Tapi, tidak ada yang pernah mendengar apa yang akan dikatakan Peter Rain di atas panggung karena tiba-tiba saja, air mengguyur panggung, membuat panggung basah. Bahkan air itu juga menciprati barisan kursi-kursi penonton.

"Apa yang terjadi?" tanya Karen panik.

"Aku tidak tahu!" sahutku. "Kurasa ini bukan bagian dari rencana. Ekskul teater tidak pernah mengatakan apa pun soal guyuran air."

Kami semua masih terkejut ketika suara guyuran air di belakang membuat semua orang menoleh. Sekarang, nyaris semua aula basah kuyup. Ember-ember yang entah berasal dari mana terpasang di celah lebar antara dinding aula dengan atap—yang memang terbuka dan hanya dihubungkan dengan tiang-tiang panjang.

Kukira semua sudah berakhir ketika tiba-tiba, guyuran air jatuh membasahi kursi penonton, membuat nyaris semua orang basah kuyup.

Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling. Dadaku rasanya sesak sekali. Aku melihat berbagai macam benda terkena guyuran. Mulai dari kursi, meja, buku, dan... cupcake.

Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku tumpah begitu melihat cupcake itu hancur berantakan. Sebagian cupcake jatuh ke lantai dan hancur. Sebagiannya lagi bertahan di atas meja—bukan berarti tidak hancur.

Aku menengadah untuk mencegah air mataku turun lagi. Tapi begitu aku menatap ke atas, aku malah menangkap satu sosok—yang sepertinya sedang menuruni tangga—lewat celah di antara dinding dan atap.

Nathan Adinata.[]





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top