BAB XIII
"Apakah masih ada sisa dana untuk tambahan konsumsi?" tanya Leo begitu Ayu selesai membacakan data keuangan Komunitas Hujan untuk acara kami.
"Memangnya kita kekurangan konsumsi?" tanya Ayu sambil mengecek daftar pengeluaran dana.
"Tidak," kataku. "Lagipula, ibuku akan menyumbangkan cupcake gratis untuk acara ini."
"Serius?" tanya Megan.
Aku mengangguk. "Dia sudah berjanji padaku."
Isha menepukkan kedua tangannya. "Hebat. Aku suka sekali cupcake ibumu, Ana."
"Maksudku, tambahan konsumsi untuk panitia," sahut Leo. "Kita harus mendapatkan tambahan konsumsi!"
"Kita atau kau?" sindir Ayu.
"Kalau kau mau menambahkan untuk konsumsi kita, silakan saja," sahut Kenzo kepada Leo.
Leo memajukan bibirnya. Ia kemudian menoleh padaku dan berkata, "Ayolah, Ana. Sedikit saja. Satu kotak makanan ringan sudah cukup."
Aku memutar kedua bola mataku. "Tidak."
Leo menyilangkan kedua lengannya di depan dada—pertanda kalau saat itu dia sedang merajuk.
Karen tertawa kecil. "Seperti anak kecil saja," komentarnya. Melihat Leo masih tidak menanggapi ucapannya dan hanya diam dengan bibir yang dimajukan, Karen menambahkan, "Aku akan mentraktirmu makan pulang sekolah."
Leo langsung menatap Karen dengan mata berbinar-binar. "Yang benar? Kau mau mentraktirku apa?"
Karen mengangguk. "Benar. Aku akan mentraktirmu bakso."
"Aku juga mau!" sahut Kenzo. "Tidak adil kalau hanya Leo."
"Aku juga," timpalku sambil nyengir.
"Aku juga," kata Megan.
"Jangan lupakan aku!" seru Isha.
"Aku juga mau," kata Ayu.
Karen menghela napas pasrah. "Ya, ya, baiklah."
Kami semua bersorak kegirangan.
[']
Jadi begitulah, begitu selesai rapat, kami segera menuju ke kantin untuk makan bakso. Karen tampaknya biasa-biasa saja. Dia tidak tampak kesal atau menyesal. Justru, dia terlihat lumayan senang.
"Ada apa denganmu?" tanyaku kepada Karen sambil memasukkan bakso ke dalam mulut.
"Tidak ada apa-apa," jawab Karen sambil meneguk jus jeruknya.
"Bohong," sahut Leo. "Kau kan biasanya pelit sekali. Kenapa hari ini kau berubah menjadi sangat amat baik dan membelikan kami semua makanan?"
Karen mendengus. "Biasanya pun, aku tidak sepelit kau. Dan, tidak. Tidak ada apa-apa."
"Apa kau baru jadian?" tanya Ayu sambil menatap Karen dengan mata menyipit.
Karen memelotot. Sebelum Karen bisa menjawab, Isha berkata, "Tidak mungkin. Karen kan sekarang berpacaran dengan—ah, aku lupa namanya."
"Bagas," sahut Megan, menyebutkan nama pacar Karen.
"Ah iya, itu," tanggap Isha.
"Sudahlah," kata Kenzo sambil memasukkan bakso ke dalam mulutnya. "Twidak pwentwing kwenwapwa, ywang pwentwing bwaksow iwnwi gwatwis dwawn ewnwak swekwali."
"Apa?" tanya Leo sambil menatap Kenzo. "Kau tercebur ke dalam kuali?"
Kami semua tertawa—kecuali Kenzo, tentunya.
Kenzo menelan baksonya kemudian memajukan bibirnya. "Ha-ha. Lucu sekali."
"Terima kasih," sahut Leo.
"Omong-omong, Karen belum menjawab pertanyaanku," kataku, mengembalikan topik semula.
Karen memberengut sebal. "Kukira kau sudah lupa."
"Tidak akan," balasku sambil menyeringai.
Karen menghembuskan napas. "Sial."
Megan menyeruput jus mangganya. "Jadi ada apa?"
"Ayu benar," jawab Karen dengan setengah hati. "Aku baru jadian."
"Hah? Bagaimana dengan—ah, siapa tadi namanya?—oh ya, Jelek—maksudku, Bagus." Isha tampak kebingungan sendiri.
Aku terkekeh geli. "Bagas."
"Oh iya!" seru Isha.
"Bagaimana dengan Bagas?" tanya Ayu.
"Kami putus," jawab Karen.
"Kapan? Kenapa?" tanya Megan.
"Tadi pagi, dan karena—" Karen berdeham, "—seseorang menembakku dan aku—"
"Kau menerimanya?" selaku tidak percaya. "Tapi kau kan masih berpacaran dengan Bagas waktu itu!"
Karen mengangguk. "Memang, tapi—"
"Sudahlah, tidak usah diributkan," potong Leo. "Kalau Karen tidak putus dengan si Jelek itu, mana mungkin kita bisa mendapatkan bakso gratis?"
Sebelum ada yang bisa menanggapi ucapan Leo, Kenzo menceletuk, "Adinata datang kemari."
kami semua menoleh ke arah pandang Kenzo. Nathan Adinata memang sedang berjalan menuju meja kami.
Begitu Nathan tiba di meja kami, Leo bertanya, "Ada apa?"
"Aku ingin bicara sebentar dengan Iswara."
"Apa?" tanyaku.
"Ikut aku." Nathan mengamit lenganku dan membawa (aku cukup baik tidak mengatakan dia menyeret—karena rasanya seperti itu, omong-omong), ke koridor sekolah yang kini sepi, hanya tinggal tersisa beberapa murid yang berlalu-lalang.
Begitu berhenti di depan loker Nathan, cowok itu melepaskan lenganku.
"Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya dengan sebal.
Nathan tidak menjawabku. Ia membalikkan tubuh lalu membuka lokernya. Ia mengeluarkan tasnya lalu merogoh-rogoh sebentar sebelum mengeluarkan sesuatu. Ia kemudian melemparkan 'sesuatu' itu kepadaku.
Aku menangkapnya dan melihat 'sesuatu' itu ternyata novel Mr. Peter.
"Nah, sudah kuganti novelmu yang rusak itu," kata Nathan. "Jangan mengangguku lagi."
"Aku tidak pernah menganggumu," balasku. Aku menurunkan pandang ke novel yang kini kugenggam.
Novel itu benar novel Mr. Peter—Nathan tidak salah membeli novel. Tapi—
"Ini edisi baru," kataku.
"Apa?"
"Ini edisi baru," ulangku.
"Lalu?" tanya Nathan acuh tidak acuh.
"Punyaku yang kau rusak itu edisi lama," jawabku.
"Ya, terima kasih informasinya," kata Nathan dengan sinis. "Tapi aku sama sekali tidak peduli."
"Kau seharusnya peduli! Kau telah merusak bukuku!" sahutku.
"Dan aku sudah menggantinya," kata Nathan. "Aku sudah menepati janjiku."
"Tapi ini edisi baru." Aku mengangkat buku itu dan memerhatikan sampulnya yang jauh berbeda dengan edisi lama yang dulu kupunya. Dan menurutku, sampul edisi lama lebih bagus daripada yang baru. Lagi pula, ada kebanggaan tersendiri kalau kau memunyai novel edisi lama—bukan edisi baru.
"Lalu kau mau apa?" Nathan menatapku dengan sinis. "Kau kan tidak mungkin berharap di toko buku ada edisi lama dari novel payah itu."
Aku memberengut sebal. Sekali lagi, aku menatap novel itu dengan sedih.
Nathan tampaknya menangkap ekspresi sedihku karena dia berkata, "Awas sampai kau menangis lagi," katanya lalu mendengus pelan. "Lagi pula, apa sih bedanya? Isinya kan sama. Dan bukannya sesuatu yang baru itu lebih baik?"
"Beda! Sampulnya saja berbeda. Dan, tidak. Tidak selamanya yang baru itu lebih baik," balasku sambil masih memandangi novel Mr. Peter di tanganku. "Kau tahu, aku berjuang keras menemukan edisi lama Mr. Peter itu. Sewaktu aku pertama kali membaca serial Peter Rain, edisi baru sudah mulai bermunculan, dan aku waktu itu senang sekali bisa mendapatkan edisi lamanya."
Aku tidak tahu mengapa aku memilih untuk menampakkan sisi lemahku kepada Nathan Adinata. Tapi entahlah, kurasa aku terlalu sedih untuk bisa berpikir jernih.
Nathan tidak mengatakan apa-apa, jadi aku mendongak dan mendapati cowok itu sedang menatapku lekat-lekat. Dan tanpa kusangka-sangka, ia tiba-tiba saja merebut novel Mr. Peter dari tanganku lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Mau kau apakan novel itu? Kembalikan! Kau kan sudah berjanji mau mengganti novelku!" seruku. "Aku berbicara begitu bukan untuk memintamu mencarikan edisi lamanya. Percuma. Kau tidak akan menemukannya di mana-mana."
Nathan tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top