BAB XII

Setelah puas merobek halaman demi halaman novel kesayanganku, Nathan mendongak dan menatapku. Ia mengangkat alis kanannya kemudian berkata, "Kalau 'sama saja' katamu, kenapa kau sekarang menangis sedangkan tadi tidak?"

Aku mengangkat tangan dan mengusap wajahku. Basah. Aku bahkan tidak sadar aku menangis.

"Kau tega sekali," kataku sambil terisak pelan. Masa bodoh dengan harga diri dan semacamnya. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Ini keterlaluan.

Nathan mengangkat bahunya. "Novel ini payah—kurasa apa yang kulakukan pantas."

"Kau rasa?" balasku dengan sinis—walaupun masih dengan suara yang terdengar menyedihkan. "Yah, pantas saja. Karena kau sama sekali tidak punya perasaan!"

Nathan mengangkat bahunya lagi dan tidak mengatakan apa-apa. Ia kemudian mengulurkan novelku yang sudah robek-robek. "Nih. Kau kan selalu ingin novelmu kembali."

Aku menatap novel Mr. Peter-ku yang sudah rusak parah. "Kau harus menggantinya," kataku. Setiap melihat nasib novel kesayanganku, perasaan untuk menangis sejadi-jadinya kembali menghampiriku. Jadi, aku memutuskan untuk mengalihkan pandanganku.

"Terserah kalau kau tidak mau mengambilnya," kata Nathan. "Yang jelas, aku tidak mau menghambur-hamburkan uang hanya untuk mengganti novel payah seperti ini."

Aku bisa merasakan belakang mataku kembali memanas—dan aku tidak yakin, apakah aku bisa menahannya. Sebelum air mataku tumpah, aku meraih tasku dan berlari meninggalkan ruangan.

[']

Untung saja, Mama sudah memberiku uang untuk pulang dengan taksi—kalau-kalau aku merasa bosan dan ingin pulang terlebih dahulu. Jadi, begitu aku keluar dari gedung tempat acara dilangsungkan, aku segera memasuki taksi dan pulang.

Di dalam taksi, aku menangis sejadi-jadinya. Masa bodoh dengan supir taksi yang merasa takut dan bingung. Benakku sibuk dengan bayangan Nathan yang merobek-robek novel kesayanganku—tidak ada ruang untuk memikirkan pendapat orang lain saat ini.

Apa sih masalah cowok itu? Kenapa dia sangat membenci Peter Rain? Aku sama sekali tidak mengerti. Dia selalu berkata kedua novel Peter Rain payah—tapi hanya itu. 'Payah' bukan alasan yang tepat untuk merobek-robek dan menghancurkan novelku.

Awalnya, aku selalu menangis seperti ini jika Nathan menginjak, mencoret, melipat, atau melakukan apa pun yang merusak bukuku. Lama kelamaan, aku tahu menangis tidak ada gunanya—jadi, aku berhenti menangis.

Tapi, sampai beberapa menit yang lalu, Nathan tidak pernah merobek bukuku. Mengancurkan bukuku menjadi benda tak berbentuk yang tidak bisa lagi kubaca. Aku tahu, menangis tidak ada gunanya. Tapi kurasa, setitik air mataku yang jatuh bisa menyingkirkan setitik beban yang mengganjal di hatiku. Jadi, kubiarkan air mataku terjatuh.

[']

Aku terbangun oleh sinar matahari yang merembes memasuki kamarku lewat tirai jendela kamar yang sedikit tersibak. Begitu tersadar sepenuhnya dari alam mimpiku yang menyenangkan, aku langsung teringat akan novelku yang dirobek-robek oleh Nathan—dan itu menyebabkan keinginan untuk tidur lagi dan membolos sekolah terasa sangat benar.

Tapi akhirnya, setelah sekitar dua puluh menit tidak melakukan apa pun selain berguling-guling di atas tempat tidur dan meratapi nasib, aku bangkit dan bersiap-siap untuk sekolah.

Bagaimanapun juga, aku tidak boleh membiarkan Nathan mengacaukan seluruh hidupku.

[']

"Papa sudah dengar apa yang terjadi semalam," kata Papa begitu aku menarik kursi dan duduk di depan meja makan.

Aku menghela napas. "Begitulah."

"Nathan Adinata mengaku sendiri di hadapan Papa, Mama, dan kedua orangtuanya," lanjut Papa sambil menyesap kopi panasnya.

Aku mengangkat wajahku dan menatap Papa tidak percaya. "Hah?"

Mama melangkah masuk dari dapur sambil membawa nampan berisi bubur ayam. Mama meletakkan tiga mangkuk bubur ayam di atas meja sambil berkata, "Apa yang dikatakan papamu benar. Nathan berkata, dia merobek novel kesayanganmu dan itu menyebabkanmu marah lalu pulang."

Marah.

Nathan tidak berkata aku menangis. Dia berkata aku marah.

Aku tidak percaya Nathan sempat-sempatnya menjaga harga diriku. Padahal dia sama sekali tidak menghargai perasaanku.

Aku mendengus. "Apa dia mengatakan alasannya merobek bukuku?"

"Dia berkata dia membenci Peter Rain," jawab Papa. "Pasangan Adinata langsung tampak maklum."

"Maklum?" tanyaku tidak percaya.

Mama mengangkat bahunya. "Biarpun begitu, mereka tetap memarahi Nathan—kalau itu membuatmu lebih tenang."

"Apakah Mama dan Papa juga maklum?" tanyaku.

"Pasangan Adinata adalah sepasang orangtua yang bijak," jawab Papa. "Apa pun alasan Nathan membenci Peter Rain, mereka tampaknya mengerti dan memaafkan. Mungkin karena kedua pasangan itu juga tidak menyukai novel remajaentahlah, kami juga tidak mengerti. Kami tidak mengenal Nathan, tapi tampaknya dia menyesal."

"Menyesal?" ulangku tidak percaya. "Dia telah merusak bukuku selama ini."

"Kevin berhasil memaksa Nathan untuk menggantikan bukumu yang rusak," kata Mama.

Aku mendengus. Aku yakin sekali Nathan tidak akan pernah menggantikan novelku. Tapi bagus juga kalau ayahnya sudah membuatnya berjanji untuk menggantikan novelku. Kalau dia tidak menggantikan novelku, aku akan melaporkan perbuatannya itu kepada ayahnya.

"Aku tetap tidak akan memaafkannya," kataku.

"Kau harus memaafkannya," kata Papa. "Semua orang berbuat kesalahan."

"Ya, dan Nathan itu terlalu sering membuat kesalahan."

"Dan apakah itu berarti kau juga tidak sering membuat kesalahan?" tanya Papa.

Aku terdiam lalu mengangkat bahuku. "Entahlah."

"Kau tidak boleh seenaknya saja menilai seseorang, Ana," kata Papa. "Kau tidak mengenal Nathan."

"Oh, tapi aku tidak perlu mengenal Nathan untuk tahu dia menyebalkan," gumamku pelan.

[']

"Hei, Ana!" Seseorang menyapaku ketika aku baru saja memasuki gedung sekolah.

Aku tahu suaranya. Aku juga tahu aku tidak bisa menghindarinya begitu saja. Jadi aku menghela napas lalu memasang senyum dan membalik badanku. "Hai, Rean."

Rean Hardana berjalan mendekatiku sambil tersenyum lebar. "Kudengar kemarin malam, kau bertemu Adinata dan pacarnya, ya?"

Aku mengerutkan dahiku. "Kau tahu darimana?"

"Nayla yang memberitahuku," jawab Rean. "Dia tampak tidak senang harus meninggalkanmu dengan Adinata."

Aku tertawa sinis. Memangnya apa yang dia harapkan akan terjadi antara aku dan Nathan? Dia pintar sekali kalau bisa menebak Nathan akan merobek-robek novel kesayanganku dan membuatku menangis.

"Tapi aku meyakinkannya bahwa kau sebal setengah mati dengan si Adinata, jadi dia tidak perlu khawatir," kata Rean sambil nyengir. "Benar, kan?"

"Benar sekali."

"Bagus."

Kemudian, kami berjalan beriringan menuju deretan loker sambil mengobrol. (Atau mungkin lebih tepat jika disebut Rean-mengoceh-Ana-mendengarkan-saja.)

Aku hendak membuka pintu lokerku ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku baru saja hendak menoleh dan menyapa Megan ketika mendapati bahwa yang barusan menepuk bahuku bukan Megan—tapi Nathan Adinata.

Aku langsung menatapnya dengan sinis. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku.

"Bicara," jawab Nathan.

"Ya sudah, bicara saja," balasku acuh tidak acuh.

"Tidak di sini," balas Nathan. Matanya menyapu koridor yang ramai—tapi terutama kepada Rean yang berdiri di sebelahku.

"Kenapa? Bicara saja di sini," kata Rean.

"Bukan urusanmu aku ingin berbicara di mana," balas Nathan dengan sinis. "Ayo." Nathan menarik tanganku dan menuntunku ke lapangan parkir sekolah.

Begitu sampai di lapangan parkir, aku menyentakkan tanganku lalu menatap Nathan dengan sebal. "Nah, kau mau bicara apa?"

"Maaf."

Aku tertawa sinis. "Oh, maaf. Kukira kau ingin merobek-robek novelku lagi."

Nathan memutar kedua bola matanya. "Kenapa kau sulit sekali diajak bekerja sama, sih?" tanyanya. "Aku berusaha berdamai!"

"Dan aku yakin sekali, keinginanmu untuk berdamai itu dipengaruhi oleh kedua orangtuamu."

Nathan terdiam. Jadi aku tahu aku benar.

Aku mendengus lalu bertanya, "Kenapa kau tidak mau meminta maaf di koridor saja? Merepotkan sekali."

"Ada Hardana," jawabnya.

"Memangnya kenapa?"

"Hardana itu tukang gosip. Kalau dia mendengarku meminta maaf kepadamu, dia akan mencari tahu apa yang terjadi dan menyebarkan berita bahwa aku telah menyakitimu atau apalah," kata Nathan. "Padahal aku kan hanya merobek novelmu!"

"Dan itu menyakitiku juga," balasku pelan.

Nathan menatapku sejenak kemudian mengangkat bahunya. "Hardana akan membuat kejadian itu terdengar sepuluh kali lebih buruk, tahu."

"Kenapa?" tanyaku.

"Dia tidak menyukaiku," jawab Nathan.

Aku mencibir. "Memangnya ada yang menyukaimu?"

"Hardana itu tidak menyukai nyaris semua anak basket," jawab Nathan. "Kurasa—maskudku, kupikir dan berdasarkan fakta sangat-cowok yang ada—ia masuk tim basket untuk mendapatkan ketenaran dan kabar terbaru saja. Permainannya payah sekali. Dia hanya diterima karena dia berteman dekat dengan kapten tim basket tahun lalu—dan karena aku ketua tim basket sekarang, aku bisa saja mengeluarkannya, tapi tidak ada pertukaran pemain sampai akhir semester depan."

"Maksudmu, Rean tidak punya teman selain mantan kapten basket itu?"

"Aku tidak bilang begitu!" sanggah Nathan. "Dia berteman dengan anak-anak dari tim futsal."

"Oh."

"Ya, oh." Nathan menatapku dengan sinis.

"Memangnya apa yang harus kukatakan?" balasku.

Nathan mengangkat bahunya.

Aku tiba-tiba teringat. "Oh! Kau harus menggantikan novelku!"

"Sial."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top