9. Tiba-Tiba Naik Level
Minggu pagi yang cerah, libur kerja dan tak ada cucian, bergelung di dalam selimut adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan hari. Sejak semalam, Ayana sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Rencananya dia ingin bangun terlambat, lalu mendekam di kamar hingga sore. Benar-benar menerapkan Minggu rebahan.
Sayangnya sejak terbangun subuh, kedua matanya enggan diajak kompromi. Alhasil, dia hanya berguling-guling tidak jelas. Hingga matahari mulai menghangat, barulah gadis itu bangkit dari rebahan.
Ditemani segelas coklat yang mulai dingin dan setangkup roti bakar yang tersisa setengah, Ayana bersandar di pinggir kasur menonton drama Korea. Beberapa WhatsApp dari teman dan grup sengaja dia abaikan. Baru masuk episode keempat, nama Mas Bos muncul. Ayana terkejut hingga panggilan itu pun berakhir sebelum sempat diangkat.
"Paling juga kepencet," gumam Ayana menghibur diri. Tidak biasanya lelaki itu mengganggu karyawannya di hari libur begini.
Namun dua menit kemudian, panggilan itu terulang. Karena diburu penasaran, akhirnya gadis itu menerima panggilan Ibra.
"Halo, kenapa, Mas?"
"Kamu tidak membuka WA saya?"
Ayana menjauhkan ponsel dari telinga, menatap benda pipih itu seperti sebuah jimat.
"WA yang mana?"
Terdengar helaan napas diseberang. "Kamu nggak sengaja lupa dengan omongan saya semalam, kan, Ay? Coba kamu cek ponsel kamu sekarang."
Gadis itu menurut, membuka ponsel dengan panggilan yang masih terhubung. "Oalah ini! Banyak banget yang WA, makanya nggak ketahuan," gerutunya tanpa sadar. "Sebentar, ini maksudnya apa, Mas? Halo?"
Ayana gelagapan. Dia menunggu dengan cemas. Sesekali matanya melirik jam dinding. Nggak mungkin bosnya itu serius, kan?
'Saya sudah di depan kos kamu.'
Mati!
Ayana segera berdiri, mengintip dari jendela. Kedua matanya membola begitu menemukan mobil Ibra terparkir di depan rumah kos. Gadis itu mencoba mengingat kembali, apa yang dimaksud bosnya. Dia benar-benar tidak menduga jika permintaan Ibra kemarin serius, dia pikir bosnya itu tengah mengerjainya.
Meski sempat ragu mau keluar atau tidak, Ayana akhirnya memilih menemui Ibra. Tanpa sempat melihat pantulan wajahnya di cermin, Ayana hanya menyisir rambutnya dengan jari setelah memastikan kaos yang dikenakan tidak terlalu kumal. Salah sendiri bosnya datang pagi-pagi begini. Ah, bukan! Salah dirinya yang belum mandi.
"Mas!" Ayana mengetuk kaca mobil dan mendapati bosnya sudah berpakaian rapi, membuat nyalinya semakin menciut. "Mas Ibra serius mau ngajak ke kondangan?"
"Memangnya saya terlihat seperti mau ke mall ya?"
Ah, salah lagi!
"Ya, nggak salah juga. Ada kok, mas-mas pakai batik jalan di mall." Ayana masih mengeles, menutupi kegugupannya.
"Butuh berapa lama?"
Ayana bergeming dengan dua alis saling bertaut. "Apanya yang lama?" Ketika berbicara dengan Ibra, selalu saja loading otaknya melambat.
"Mandi, ganti baju dan make up. Tiga puluh menit cukup? Saya nggak mau menunggu terlalu lama."
Ayana mendelik, apa-apaan itu? Isi hatinya penuh dengan omelan ngalor-ngidul untuk Ibra. Tak ada nyali untuk mengeluarkan protes, begitu mendapati lelaki berkemeja batik itu menatapnya lekat. Seketika perutnya terasa dililit, tanpa ba-bi-bu lagi Ayana setengah berlari masuk ke kosnya. Ah, belum apa-apa dia sudah mules duluan.
-o0o-
Ayana berkali-kali melirik Ibra yang tengah serius mengemudi. Lelaki itu masih bertahan dengan mode batu. Mendiamkan Ayana bahkan setelah keduanya berada di dalam mobil. Wajah kesal Ibra yang menyambutnya ketika dia keluar dari kamar kos masih bertahan hingga mereka tiba di lokasi kondangan. Hampir dua jam perjalanan, tak ada obrolan sama sekali. Bagi Ibra, Ayana seperti barang tak kasat mata. Ayana jadi menyesal menuruti kemauan bosnya.
Hawa dingin seketika menyergap begitu Ayana keluar dari mobil. Aroma pengharum mobil yang membuatnya menahan mual sedari tadi, terganti dengan embusan angin pegunungan. Lamat-lamat Ayana menelisik tempatnya berdiri. Di sekelilingnya banyak pepohonan pinus yang berdampingan dengan aneka bunga warna-warni. Tak jauh darinya, berdiri beberapa bangunan modern dengan sentuhan hiasan klasik. Ayana menduga di dalam ruangan itu lah acara kondangan berlangsung.
Gadis itu berdiri mencengkeram slingbag, berulang kali mengembuskan napas dalam. Seakan mencuci paru-parunya dengan udara sejuk yang jarang dia dapatkan di tempatnya bekerja. Hawa seperti ini, sayang untuk diabaikan begitu saja.
"Kenapa masih berdiri di situ? Ayo masuk."
Ayana gelagapan tapi tak urung merasa lega, karena Ibra sudah kembali bersuara. Dia bergegas menyusul Ibra yang sudah berada di depan. Menyamai langkah lebar lelaki yang hari ini terlihat lebih tampan dengan batik hitam dan celana bahan berwarna senada. Ayana melirik pakaiannya, peplum blouse hitam dengan rok plisket broken white dan slingbag hitam. Sangat sederhana, kontras dengan Ibra yang terlihat mewah.
Ya, memang tak banyak baju yang dia miliki, apalagi baju khusus untuk kondangan. Dia hanya punya satu blouse batik, tapi sering dia pakai kalau ada acara di toko. Ayana tak terlalu suka berbelanja, dia lebih senang menabung. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin, untuk masa depannya yang cerah.
"Aduh!" Ayana meringis, dia hampir tergelincir ketika tanpa sadar menuruni tangga. Mengabaikan jalanan licin yang mulai menurun. Sejak masuk gedung, isi kepalanya sibuk berkelana. Hingga lupa kalau mereka tiba-tiba harus keluar melewati taman panjang nan luas. .
"Hati-hati." Ibra meraih tangan Ayana, menuntun gadis itu menuruni beberapa anak tangga.
"Masih jauh nggak, sih, Mas? Pegel amat." Beginilah kalau jarang memakai rok, suka susah jalan. Padahal rok yang dia kenakan tidak terlalu ketat.
"Itu, di sana."
Ayana mencari arah yang ditunjuk Ibra dan segera binar di matanya terbit begitu saja. Tak jauh dari tempat mereka, venue acara sudah mulai terlihat. Rangkaian bunga-bunga yang didominasi warna putih dan pink berdiri melingkar membentuk pintu masuk buatan. Meja-meja kecil berhias bunga senada dan kain-kain putih yang menjuntai terhampar di tengah tanah lapang. Pegunungan, yang hari ini tak tertutup kabut ataupun awan, berdiri kokoh dari kejauhan seakan menjadi background pelaminan.
"Sudah selesai terkesimanya?" Ibra menatapnya sesaat, "kita sudah terlambat."
Ayana segera tersadar lalu berdehem pelan. Mereka kembali melangkah, mengikis jarak. Seperti masuk ke dunia dongeng.
"Mas," Ayana menarik genggaman mereka, membuat Ibra menghentikan langkah.
"Apa lagi, Ay?"
"Aku salah kostum kayaknya," cicit gadis itu sembari melirik sekitarnya.
"Mau ganti sekarang?"
"Mas bawa ganti?" Ayana hampir menjerit bahagia. Namun dia kembali menghela napas ketika Ibra hanya menggeleng. "Semua bajunya bagus-bagus, aku kok kayak orang mau jalan." Kali ini Ayana sedikit menyesali hobinya yang jarang berbelanja. Lain kali dia harus membeli gaun atau kebaya kekinian, untuk dipakai kalau-kalau ada kondangan lagi.
Eh, memangnya dia mau kondangan ke mana? Teman-temannya belum ada yang terlihat akan menikah. Ah, ini gara-gara bos di sebelahnya, dia jadi melantur.
"Yang penting pakai baju." Ibra kembali melangkah, mengeratkan genggaman mereka. Membuat Ayana yang kesal mengurungkan omelannya, begitu melihat tangan mereka yang masih terpaut erat.
Ini sentuhan fisik pertama mereka. Namun efeknya, mampu menciptakan gelenyar aneh di dada. Ayana berusaha membuang debaran itu, mengingatkan kembali dirinya, jika ini hanyalah sandiwara. Dan sebagai pemeran yang baik, dia harus bisa menuntaskan episode kali ini.
Gadis itu hanya terdiam saat Ibra setengah menyeretnya mengitari venue. Kedua matanya justru sibuk memindai dekorasi, sesekali berdecap takjub dan mengingat-ingat untuk dia jadikan inspirasi pernikahannya suatu saat nanti.
"Akhirnya ... yang ditungguin dari tadi datang juga. Macet ya, Mas?" Rista berdiri dari duduknya dan memeluk Ibra.
"Sedikit ada masalah tadi, Bun. Maaf ya, Ibra telat."
Ayana kesulitan meneguk salivanya saat Ibra menekankan kata masalah. Lelaki itu tak berniat menyindirnya, kan?
"Nggak apa-apa. Yang penting kalian datang. Ini keretanya dilepas bentar bisa dong, Mas. Susah Bunda mau peluk Ayana."
Seperti baru tersadar, Ibra perlahan melepaskan genggaman mereka. Membuat Ayana kehilangan pegangan. Tubuh gadis itu segera menghilang dalam dekapan Rista.
"Aduh ... Calon mantu Bunda cantik sekali." Rista merapikan rambut Ayana yang menjuntai. "Gimana tadi? Ibra rewel nggak, di jalan?"
Terang saja gadis itu membeliak, menantu katanya? Oh, tidak! Kenapa statusnya jadi naik level, sih? Ayana melirik Ibra yang tak memberikan reaksi apa pun. Dia jadi membayangkan, gadis yang menjadi kekasih bosnya nanti, pasti sangat senang. Jalan menembus restu orang tua pacar semulus ini. Tak ada penolakan, tak ada lirikan sinis atau sindiran lainnya. Tiba-tiba perut Ayana melilit, bagaimana nanti kalau skenarionya bersama Ibra terbongkar. Apakah Rista akan tetap sebaik ini padanya?
"Anak Bunda anteng banget, kok," celetuk Ayana mengulum senyum setelah berhasil membuang gelisah yang tiba-tiba hadir.
"Ya sudah, kalian salaman dulu sama manten, lalu ambil makan. Bunda tunggu di sini, ya." Rista mendorong kedua anak dan calon mantunya. Namun sebelum Ayana semakin menjauh, wanita itu meraih lengannya.
"Nanti kamu curi melatinya manten, ya, Ay. Biar ketularan cepet nikah sama Ibra," bisik Rista menahan senyum.
Eh? Nikah sama bos kanebo? Ogah!
-o0o-
Harusnya up semalam, tapi belum sempet ngedit. Jadilah up pagi-pagi menuju siang begini. Buat nemenin kalian makan dan bobo siang.
16 Januari 2025
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top