8. Teror Kecil-Kecilan
"Jadi?" Yuni bersedekap tanpa memutus tatapannya yang sedalam pisau. Di sebelahnya Wahyu berdiri memainkan ponsel dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku. Mereka berada di pantry dengan Ayana yang tersudut sembari memegang segelas kopi.
"Jadi apanya?"
Bukannya gadis itu tak tahu maksud Yuni. Hanya saja, dia butuh bermain-main sebentar seraya menggali ide untuk memberikan jawaban yang sekiranya cukup memuaskan. Karena Ayana tahu bagaimana sifat sahabatnya itu, selalu haus informasi. Tak akan cukup jika diberi penjelasan yang abu-abu. Yuni akan menggali informasi sampai ke akar-akarnya.
"Nggak usah pura-pura nggak tahu, deh, Ya. Semua anak Sea Stars juga sudah melihat sendiri. Kamu digandeng sama bundanya Mas Ibra. Kalian naik satu mobil." Yuni beralih menatap Wahyu. "Satu mobil, Yu! Kemana nih anak gadis pergi semalam?"
"Kamu dijodohin sama bundanya Mas Ibra, Ya?" Celetukan Wahyu seketika membuat Ayana tersedak. Bisa-bisanya lelaki itu membuat kesimpulan yang jauh dari perkiraannya. Mana hampir benar, lagi!
"Apaan, sih. Nggak ada apa-apa, kok! Cuma diajakin pulang bareng aja." Eh, ini Ayana tidak sepenuhnya berbohong, kan, ya? Dia memang pulang bareng sama Mas Ibra.
"Beneran cuma pulang bareng?" Yuni semakin mendekat, "Nggak ada acara mampir-mampir ke mana, gitu, Ya?"
Ayana pura-pura berpikir, kedua alisnya bahkan saling bertaut. "Sempat mampir, sih."
"Nah, kan! Apa aku bilang, Yu? Pasti Ayana menyembunyiin sesuatu."
"Mampir ke mana emang, Ya?" Kali ini Wahyu tak menggubris Yuni. Dia fokus mencari jawaban dari gadis yang tengah menghidu aroma kopi.
"Mampir ke pom bensin."
"Astaga, Ayana!" Wajah-wajah yang awalnya tegang seketika melunak. Yuni bahkan mengetuk dahinya beberapa kali ketika mendapati Ayana hanya meringis.
"Lagian ya, kalian itu ngapain sih, kepo mulu. Sudah dibilangin aku tuh nggak ada apa-apa sama bundanya Mas Ibra. Kita juga barusan kenal. Udah sana, aku mau ke depan." Ayana melipir menjauhi Yuni dan Wahyu yang saling tatap. Seakan jawaban Ayana belum sepenuhnya menuntaskan rasa penasaran mereka.
Baru saja Ayana duduk di belakang meja kasir, seorang kurir masuk ke toko mencarinya. Wahyu dan Yuni yang baru saja tiba dari pantry saling menyikut, mendekat untuk mengamati lebih detail. Kekepoan mereka ternyata masih belum usai.
"Saya nggak ada pesan makanan, loh, Mas," ujar Ayana sembari mendekati kurir. Diliriknya paket yang masih dalam genggaman lelaki berjaket oranye. "Kira-kira dari siapa ya, Mas?"
"Nama pengirimnya Bu Rista, Mbak."
Tak hanya Ayana yang membeliak, Yuni dan Wahyu yang berdiri tak jauh gadis itu juga sama terkejutnya. "Tuh, kan. Gak mungkin gak ada apa-apa kalau sampai dikirim makanan segala," bisik Yuni pada Wahyu.
"Seriusan, Mas, ini dari Bu Rista?" Ayana sekali lagi memastikan, besar harapannya jika bukan Rista yang menjadi nama pengirimnya. Bukan maksud Ayana menolak rezeki, hanya saja untuk saat ini, apapun itu, jangan ada tanda-tanda sesuatu dari Bu Rista. Bisa bahaya dunia kerjanya.
"Nih, lihat sendiri, Mbak." Kurir itu memberikan paket makanan yang dibungkus kresek putih pada Ayana.
Meski hatinya merapal doa agar bukan Bu Rista yang mengirim. Namun, seketika hatinya terpatahkan saat menemukan nama Bu Rista di ponsel mas kurir. Gadis itu menghela napas dalam, kalau sudah begini mau gimana lagi?
"Ya sudah, ini saya terima. Makasih ya, Mas."
Baru saja Ayana berbalik, Yuni dan Wahyu sudah menatapnya seperti pencuri. Ayana menghela napas panjang sekali lagi, lalu memasang senyum lebar. Apapun yang terjadi, semua pasti bisa diatasi. Rapalnya dalam hati berulang kali.
"Kenapa kalian natap aku begitu, sih?" Ayana melangkah ke pantry sambil memainkan ponselnya, di belakangnya Yuni mengekor sendirian. Sementara Wahyu melayani customer yang baru saja datang.
"Nah, kan, dapat paket nggak, tuh? Udah deh, Ya, nggak usah ditutupin. Kamu ada sesuatu pasti sama Tante Rista. Iya, kan?"
Tangan Ayana terampil mengeluarkan boks-boks makanan. Dibukanya satu per satu. "Enak nih, kayaknya. Kamu mau yang mana, Yun? Aku mau ini aja, enak kayaknya."
"Itu buat kita?" Yuni masih didera penasaran. Dia berjalan mendekat dan ikut mengintip isi boks yang dipilih Ayana.
"Satu buat Mas Ibra, yang rendang. Aku juga rendang. Ini masih ada satu, ayam. Mau?"
"Buat Mas Ibra juga?" Yuni mengernyit tak memahami maksud Ayana.
Ayana berdecap, "Yaiyalah, Yun. Buat siapa lagi? Tante Rista nitip ini buat makan siangnya Mas Ibra. Karena beliau baik hati, jadinya dilebihin."
"Ah, sok tahu kamu. Jelas-jelas tadi mas kurirnya bilang paket buat kamu." Bukan Yuni jika tak menyangkal sampai putus urat.
"Ngeyel banget, sih. Tadi Tante Rista barusan WA aku."
Kedua mata Yuni menyipit, menelisik wajah Ayana yang menatapnya dengan alis terangkat.
"Kepo banget jadi orang. Mau nggak, nih? Kalau nggak mau, buat Wahyu aja."
Yuni menyerah, menerima salah satu boks dan berdecap, "Kenapa Mas Ibra nggak dikasih yang ayam aja sih, Ya?"
Gadis itu menyenggol bahu Yuni, "Gimana, sih? Masa bos dikasih yang biasa." Ayana merapikan boks kembali dan mengambil satu. "Aku mau taruh ini di mejanya Mas Ibra dulu. Kamu kalau mau makan, makan aja dulu. Mumpung Wahyu lagi jaga di depan."
"Orangnya kan belum datang, Ya. Makan dulu aja, lah kita."
Justru itu!
Ayana menggeleng, "Sekarang aja, nggak apa-apa. Kalau nanti takut kelupaan, tahu sendiri kalau lepas jam makan siang toko selalu ramai."
Kalau nggak sekarang, nanti malah ketemu orangnya, Yun.
-o0o-
Namun sepertinya dunia lagi-lagi tak berpihak pada Ayana. Niat hati menghindari Ibra, tapi sekarang dia justru mendapati lelaki itu duduk di balik meja kerja dengan laptop yang menyala di depannya. Lelaki itu tampak fokus sekali menatap laptop hingga tak mendengar kedatangan Ayana.
"Maaf, Mas. Ini ada kiriman makan siang dari Tante Rista."
"Kiriman?" Ibra menaikkan sebelah alisnya, "Dari Bunda?" Kini fokus lelaki itu sepenuhnya menatap Ayana yang berdiri di dekat meja.
"Ehmm ... Iya, dari Tante Rista. Barusan dikirim sama kurir."
Bukannya menerima boks dari Ayana, Ibra justru menyandarkan tubuhnya dengan santai. Kedua tangan lelaki itu saling terlipat di depan dada. Dengan mata menyipit, Ibra menelusuri wajah Ayana yang terlihat menggemaskan.
"Makanan padang?"
"Iya, Mas. Diterima, gih. Jangan diinterogasi mulu." Dengan bibir mengerucut Ayana meletakkan boks di meja. "Silakan dimakan, Mas. Permisi."
"Kamu yakin ini buat saya, Ay?"
Suara Ibra yang menggelegar seketika menghentikan tubuh Ayana yang hendak berbalik. Ragu, gadis itu mengangguk pelan.
"Saya sudah makan siang."
Aduh, kenapa begini, sih?
"Mungkin Tante nggak tahu, Mas."
"Saya makan siang bareng Bunda, di rumah makan Padang."
Eh, gimana-gimana?
Tenggorokan Ayana seperti tercekik, bagaimana bisa dia keluar dari situasi ini? Mau lanjut bohong tapi harus pakai alasan apa lagi? Apa dia harus jujur saja?
"Saya nggak tahu, Mas. Maaf."
Wajah Ibra masih tak memberikan reaksi apa-apa. Lelaki yang hari ini menggerai rambut hampir sebahunya itu menatap Ayana lekat. "Buat kamu."
Eh, apanya? Iya Ayana tahu kalau tante Rista ngirim makanan buat dia. Tapi kan ....
"Saya sudah punya di bawah, Mas. Tante Rista ngirim tiga boks."
Ibra menghela napas panjang, kini dirinya mulai mengerti. "Ya, sudah. Yang dua buat teman-temanmu. Yang ini buat kamu."
Ayana menggeleng cepat dengan kedua telapak tangan yang bergerak tak beraturan. Gadis itu mendekati meja Ibra. "Jangan, Mas. Nanti anak-anak curiga kalau Mas Ibra nggak mau."
"Curiga bagaimana?" Kali ini Ibra benar-benar tidak mengerti maksud Ayana. Kedua alis lelaki itu bahkan masih melengkung menunggu jawaban.
"Soalnya, saya bilang ke Yuni kalau ini paket buat Mas Ibra. Kalau Mas Ibra nggak mau, nanti saya ketahuan lagi ada apa-apa sama Mas. Begitu. Masa Mas Ibra nggak paham juga, sih."
Mendengar Ayana yang mengoceh, membuat Ibra menahan menyum.
"Malah senyam-senyum." Ayana berdecap kesal. "Lagian, bunda kamu itu kenapa pakai kirim-kirim paket segala sih, Mas. Berasa diteror kecil-kecilan, kan, jadinya. Mana tadi dilihatin anak-anak lagi! Terus Yuni sama Wahyu juga udah mulai curiga. Nanya-nanya terus kenapa kemarin Tante ngajak aku pulang bareng."
"Memangnya kenapa? Biarin aja, lah," sahut lelaki itu enteng.
"Memangnya kenapa? Memangnya kenapa?" Ayana mengulang pertanyaan Ibra dengan nada yang dilebih-lebihkan. "Ya kenapa-napa, lah, Mas. Kan, dari awal kita udah janji, aku mau bantuin Mas Ibra asal jangan sampai anak-anak tahu."
"Iya tahu."
"Nah, itu tahu."
"Kamu kalau marah, lucu loh, Ay."
"Ish, apaan, sih!"
Gadis itu menyentuh ujung meja, mengentakkan kakinya sedikit lebih pelan, masih sadar untuk mempertahankan sopan santun. Sekesal-kesalnya Ayana, dia masih berstatus pegawai di sini. Tahu diri, tahu posisi.
"Makan dulu, Ay. Keburu dingin."
"Nggak mau. Itu buat Mas Ibra pokoknya."
"Duduk dulu kalau gitu, kita ngobrol pelan-pelan."
"Nggak mau."
Keduanya tak bersuara, saling melempar mata seperti membaca pikiran. Hingga senyum Ibra membuat Ayana akhirnya menyerah dan berbalik meninggalkan ruangan.
"Oh, iya, Ay."
"Apa lagi?!" Ayana berhenti dan menoleh.
"Besok temani saya kondangan, ya?"
Hah?
Ini maksudnya apa?
Ayana mendelik, masih mencerna permintaan Ibra yang menurutnya aneh. Dia mati-matian menyembunyikan hubungan palsu mereka dari anak-anak Sea Stars. Namun lelaki itu justru mengajaknya pergi ke kondangan.
Mau go publik, Mas?
-o0o-
Huaaaa!
Akhirnya bisa update lagi.
Semangat buat diriku sendiri.
Terima kasih buat kalian semuanya.
Mereka kondangan bakal gandengan aja atau ... Apa kira-kira?🤭
Vita
16 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top