7. Huru Hara Dimulai

"Sebenarnya, sejak kapan sih, kalian itu pacaran?"

Pertanyaan yang sedari awal Ayana takutkan, akhirnya meledak juga. Ayana yang duduk di samping Rista, menegakkan punggung. Diliriknya Ibra yang masih menekuni laptopnya. Tak lama lelaki itu menatapnya dengan kedua tangan saling menggenggam di depan bibir. Isi kepala Ayana berputar keras, memberi kode pada Ibra lewat gerakan mulut.

"Kok malah diam? Kan, Bunda cuma pengen tahu, Mas." Rista tak terima ketika anak lelakinya hanya menatapnya jengah. Wanita itu lantas menoleh pada gadis di sisinya. "Jadi kapan, Ay?"

Alamak, gimana ini?

"Hmm ...." Ayana menaikkan sebelah alisnya ketika mendapati Ibra yang masih menatapnya. "Sebenarnya ... kita belum lama--"

"Sudah lama, Bun."

Ayana meringis ketika menemukan wajah Rista yang semakin dirundung rasa penasaran. Gadis itu kembali melirik Ibra. Begini nih, kalau sok-sok an main drama tapi nggak ada naskahnya. Amburadul jadinya, kan?

"Lho, lho, lho! Kok, jawaban kalian beda?"

Gimana, dong? Ayana berbicara tanpa suara. Dia meminta agar Ibra saja yang menjelaskan. Beruntungnya kali ini lelaki itu menangkap umpan yang Ayana lempar.

"Ibra sudah lama suka sama Ayana. Tapi Ibra baru berhasil mendapatkan jawaban dia beberapa bulan ini, Bun."

Lelaki itu tak sedang berbicara pada Ayana tapi pandangannya tak lepas dari gadis yang tengah mengernyit kebingungan dengan jawaban Ibra.

"Ooh gitu. Pantesan dari dulu dikenalin sama anaknya temen-temen bunda selalu nolak. Ternyata sedang memperjuangkan seseorang. Bunda cuma penasaran gimana kalian bisa jadian. Soalnya masih aneh banget Mas Ibra yang kaku begini akhirnya punya pacar beneran." Rista meringis di ujung kalimatnya.

Suara ketukan pintu menginterupsi obrolan mereka. Wahyu membuka pintu setelah Ibra menyuruhnya masuk. 

"Maaf, Mas. Mau bicara sebentar sama Ayana." Wahyu masih berdiri di ujung pintu, menunggu Ayana yang mendekat. Sedangkan Ibra mengangguk pelan, mempersilakan.

"Apa?" Tanya Ayana begitu berdiri di ujung pintu.

"Nota pesanan Bu Aminah kamu simpan di mana?"

Ayana mengaduh sembari menepuk keningnya, "Kesimpan di laci dekat kasir kayaknya, Yu. Tadi aku ambil soalnya mau ready, kan. Bentar, aku ambilin."

Gadis itu sudah berjalan beberapa langkah tapi seketika tertegun. "Kamu turun duluan, deh."

"Kamu mau ngapain lagi?" Wahyu kebingungan melihat tingkah Ayana. Dia berusaha memindai ruangan Ibra.

"Ke dalam sebentar. Buruan turun deh, Yu."

Bukannya menuruti perintah Ayana, Wahyu justru menoleh mengikuti arah pandang gadis itu. "Bahas apaan sih, di dalem, Ya?"

"Kepo, deh!" Ayana tak menggubris omelan Wahyu. Gadis itu kembali melangkah dan menghilang di balik pintu ruangan Ibra.

"Maaf, Tante, saya tinggal ke bawah, ya. Lagi rame soalnya." Ayana berdiri di antara Ibra dan Rista. Sembari menunggu Rista menjawab izinnya, dia melirik Ibra yang juga tengah menatapnya. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, membuat Ayana mengernyit.

"Nanti balik lagi, lho, ya? Kita makan malam bareng."

Hah? Ayana melongo. Dramanya harus lanjut episode ke berapa ini?

-o0o-

Sungguh di luar prediksi, Ayana harus duduk satu meja lagi dengan Asha. Setelah makan malam yang canggung beberapa waktu yang lalu, kini mereka harus bertemu lagi dengan orang dan suasana yang sama. Tuhan seperti tengah menggodanya. Tak cukup sampai di situ. Sebelum dia berada di sini, dia harus melewati satu drama lagi di toko.

Bagaimana tidak jadi tontonan seluruh karyawan Sea Stars, saat Ayana keluar dari toko hingga masuk ke dalam mobil, Rista selalu menggandengnya. Wanita itu seakan tengah memamerkan kedekatan mereka pada semua orang. Membuat Ayana harus merancang kisi-kisi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang pasti dia terima dari teman-temannya besok pagi. Padahal dia sudah mati-matian menahan diri untuk tetap terlihat biasa saja saat seharian Rista mendekam di ruangan Ibra bersamanya.

Sungguh dunia serasa tak adil bagi Ayana.

"Mau pesan apa?"

Suara lembut Ibra menyadarkan Ayana dari lamunannya. Dia menatap buku menu yang sedari tadi dia pegang. Terlalu sibuk dengan isi kepalanya, Ayana tak menyadari kalau semua orang sudah selesai memesan makanan.

"Nasi goreng sea food sama lemon tea aja, Mas." Hampir saja dia tersedak mendengar suaranya sendiri. Betapa lembutnya dia menjawab pertanyaan Ibra. Untung saja dia masih ingat jika sedang bersandiwara. Setidaknya, Ayana tak harus mengeluarkan omelan sekarang.

"Suka sea food, ya? Padahal Mas Ibra nggak suka seafood."

Astaga! Apalagi ini, ya Tuhan?

Ayana menggeram dalam hati. Padahal dia hanya membaca menu yang tertulis paling atas. Lalu kenapa harus dihubungkan dengan menu kesukaan Ibra? Bukan sepenuhnya salah Ayana juga, memang dia tak tahu menahu tentang apapun yang berhubungan dengan kekasih palsunya itu. Ibra juga tak berniat memberinya sedikit clue. Dan saudara kekasihnya itu sengaja menabuh genderang perang. Baiklah, sepertinya Ayana harus melewati satu huru-hara lagi.

"Nggak terlalu suka juga, kok. Tapi masih doyan, sih."

Lihat, kan, Mas? Kekasih palsumu ini bisa loh, diandalkan.

Begitulah kira-kira yang Ayana sampaikan pada Ibra lewat tatapan matanya. Sementara yang ditatap hanya menaikkan sebelah alis. Ah, gak romantis sekali. Ayana jadi kasihan pada kekasih Ibra nanti, harus memiliki pasangan sekaku kanebo kering.

"Nggak nambah lagi, Ay?"

"Udah cukup, Tante. Nanti kalau kebanyakan makan Ayana jadi gendut. Mas Ibra nggak suka."

Bibir Rista berkedut menahan tawa, begitu pula Ibra. Hanya gadis yang duduk di sisi kanan Ibra yang memberengut. Ayana tak terlalu peduli, dia menyadari jika dalam suatu hubungan, pasti ada saja pihak yang tak menyukai. Beruntungnya ibunda Ibra tak ada masalah dengannya. Ayana tak dapat membayangkan andai ada drama antara kekasih dan orang tua pacar.

"Oh ya? Tapi dulu Mas Ibra malah nyuruh Asha gendutin badan lagi." Asha memberengut sebal, ditatapnya Ibra dengan kedua mata menyipit. "Kamu ini gimana sih, Mas. Selera kok berubah-ubah!" Asha menepuk pundak Ibra dan mengusapnya dengan lembut. Dia lantas tertawa terbahak, kentara sekali memamerkan physical touch di antara mereka.

"Serius?" Ayana mencuri perhatian Asha. "Pernah segede apa, dulu?"

Gadis bergaun pink itu mengernyit, "Enggak sampai gede banget. Aku tuh susah gemuk."

"Tapi pas kamu kecil, pernah gemuk sekali, lho, Sha. Bunda aja sampai kaget pas lihat kamu waktu itu." Rista turut menimpali, membuat Asha membeliak.

"Iiih Bunda .... Pakai diingetin segala. Itu kan gara-gara aku kangen terus sama Bunda. Sama Mama aku dikasih es krim biar nggak nyari-nyari Bunda terus."

Lalu mengalirlah cerita nostalgia di antara mereka. Menyisakan Ayana yang bukan bagian dari masa lalu, terdiam bagai orang asing. Ah, dia memang orang asing di sini. Obrolan terhenti ketika makanan datang, semua orang sibuk menghabiskan pesanan mereka. Kurang dari lima belas menit piring-piring di meja mulai terlihat kosong. Ayana yang pertama kali menggeser piringnya. Gadis itu lalu meneguk minumannya hingga tandas, sampai sedotannya berbunyi. Ketika mengangkat wajah, dia terkejut mendapati tiga pasang mata menatapnya. Apa dia terlihat norak?

"Masih belum selesai?" Ayana menatap satu per satu wajah mereka. Tatapannya terhenti pada wajah Ibra, yang untuk sesaat lalu lelaki itu sempat dia abaikan.

Asha melihat jam di tangannya, "Kamu buru-buru? Biasanya kita kalau kumpul dinner gini, sambil temu kangen." Suara gadis itu sangat lembut, seolah menyayangkan kalau Ayana tidak mau bergabung.

"Mau langsung pulang, Ay?" Ibra menggeser piringnya yang masih menyisakan sedikit makanan. Lelaki itu tanggap dengan keadaan yang sudah mulai kurang kondusif.

"Kalau boleh, iya, Mas. Besok masih harus kerja soalnya." Padahal dia hanya ingin episode hari ini segera berakhir.

"Saya antar."

Ayana membeliak, "tapi kalian kan ...."

"Sudah, nggak apa-apa, Ay. Tante juga harus pulang ini, besok ada acara keluar kota."

"Bunda mau pulang sekarang?" Asha tak terima diabaikan. "Ya sudah kita pulang bareng aja."

"Nggak, Bunda naik taksi aja, kelamaan kalau muter-muter nganter kalian dulu." Rista menunjuk Asha dan Ayana dengan dagunya membuat dua gadis itu tersenyum kikuk.

"Ayana aja yang naik taksi, Tante. Kalian kan serumah, lagian rumah kita berseberangan." Ayolah, Ayana hanya ingin segera bebas dari Ibra dan keluarganya.

"Nggak-nggak, kamu ini pacarnya kok malah pulang sendirian. Nanti ketemu orang jahat di jalan gimana? Nggak bakalan tenang Tante nanti."

Suara deheman dari satu-satunya lelaki di meja itu membuat Ayana yang hendak membuka mulut, kembali menelan suaranya.

"Ibra nganter Bunda dulu, lalu Asha, terakhir Ayana."

-o0o-

Awalnya Ayana sempat dibuat kebingungan dengan keputusan Ibra. Tidak sepenuhnya, hanya saja ada sesuatu yang menurutnya aneh. Setelah mengantar Rista pulang, mereka masih melanjutkan perjalanan bersama Asha. Ayana sempat berpikir kalau Asha tinggal di apartemennya sendiri atau ngekos, belajar hidup mandiri dan tidak mau terlalu diatur. Namun sebuah rumah megah dua lantai mematahkan seluruh praduganya begitu mereka tiba. Asha turun walau sebenarnya dia masih menunjukkan raut tak suka harus pulang duluan. Mungkin lebih tepatnya dipulangkan duluan.

Selama sisa perjalanan gadis itu terus berceloteh, seolah ingin menguasai Ibra. Ayana yang sudah mulai bosan, pura-pura tertidur demi menjaga sopan santun. Toh, dia duduk di kursi belakang. Daripada dia jadi nyamuk, mending tertidur, kan?

"Aku duluan ya, Mas. Makasih udah dianter." Asha meremas lengan Ibra lalu memeluknya sesaat. Ayana sempat menangkap lelaki itu terkejut sebelum balas menepuk punggung Asha dengan lembut. Asha kemudian menoleh ke tempat duduk Ayana, "Bye, Ayana."

"Eh, bye juga, Sha."

Saat tubuh Asha sudah tertutup pintu gerbang, Ibra tak kunjung melajukan kendaraannya. Ayana menoleh sekeliling dan tatapannya terhenti di depan. Ibra menatapnya lekat melalui kaca spion, membuat Ayana keheranan.

"Kenapa, Mas?"

"Pindah ke depan."

"Di sini juga sama aja, kan?"

"Kalau kamu nggak pindah, mobil ini tidak akan jalan."

Tahu bagaimana kerasnya Ibra selama di toko, membuat Ayana mau tak mau turun dari mobil dan duduk di samping kemudi. Suasana mendadak sunyi, sementara di sekitar mereka ramai lalu lalang kendaraan.

"Jadi ....?" Ayana memberanikan diri membuang keresahannya. Ibra menatap Ayana sesaat, sebelum kembali membuang pandang pada jalanan

"Jadi apanya?" Tanya Ibra ketika gadis di sampingnya tak kunjung bersuara.

Ayana mengubah posisi duduknya, kedua tangannya menggenggam seat belt. "Kenapa Asha pulang ke rumah itu?"

Lelaki yang tengah memegang kemudi itu berdehem. "Ya, karena itu rumahnya dia." Diliriknya Ayana yang kini tengah menatapnya kebingungan. "Dia adik tiriku. Bunda dulu pernah menikah dengan papanya Asha."

Ayana mengangguk pelan sembari ber-oh-ria di dalam hati. Puzzle di kepalanya mulai tersusun. "Pantesan ...."

"Kenapa?"

Gadis itu menoleh cepat, "Apa, Mas?"

"Kamu bilang tadi, pantesan. Pantesan apanya?"

"Oh itu, gimana, ya. Masa Mas Ibra nggak tahu, sih?" Lelaki itu menggeleng, membuat Ayana menghela napas dalam. "Pantesan dia protektif banget. Ternyata kamunya juga nggak peka. Asha itu suka sama kamu, Mas."

"Saya memang jadi idolanya Asha sejak dia kecil."

Kedua bola mata Ayana berputar, "Bukan suka yang model begitu. Tapi cinta, Asha itu jatuh cinta sama kamu. Makanya dia nggak suka sama aku. Dia pikir aku merebut Mas Ibra."

"Begitu, ya?"

"Lha, gitu doang? Mas Ibra nggak kaget? Mas Ibra sudah tahu, ya? Jangan-jangan Mas Ibra mau dijodohin sama Asha, makanya Mas Ibra nolaknya pakai cara halus." Ayana tak lagi duduk tegap, dia sudah bisa sedikit santai setelah memuntahkan analisanya.

"Menurut kamu, saya ini bagaimana?"

"Kenapa jadi berubah bahas Mas Ibra, sih?" Gadis itu bersedekap, terlihat menantang Ibra. Untuk kali ini, dia melupakan kalau Ibra adalah bosnya.

"Tinggal jawab pertanyaan saya saja, Ay."

"Sebentar, ini Mas Ibra sebagai bos atau
lelaki?"

"Dua-duanya."

Tak kunjung menjawab, Ayana tengah berpikir keras. Sepertinya dia benar-benar serius dengan pertanyaan Ibra. "Mas Ibra itu sosok atasan yang baik, loyal ke semua orang, pengertian, tapi sayangnya terlalu kaku. Makanya anak-anak Sea Stars pada takut sama Mas Ibra."

"Hmm ... Begitu, ya? Kalau sebagai lelaki?" Ibra kembali melirik Ayana yang kini menatapnya tajam.

"Mas Ibra itu enggak peka. Sudah tahu ditaksir adik tiri malah ngajak bawahannya jadi pacar pura-pura. Kasihan tahu, dibaperin terus anak orang."

"Oh, jadi kamu baper."

"Bukan aku, Mas. Tapi Asha yang baper." Ayana menegakkan tubuh, tak terima dengan tudingan Ibra.

"Memangnya kamu nggak baper sama saya?"

"Enggaklah, mana ada baper.  Baru juga dua kali pacaran pura-puranya. Atau jangan-jangan, Mas Ibra nih, yang baper?" Ayana mengeser tubuhnya, menggoda Ibra.

"Kalau iya, memangnya boleh?"

"Eh, apa?"

-o0o-

Boleh, boleh banget kok, Mas.

Hihihi apa kabar? Lama sekali kita tak berjumpa. Cuaca sedang tak bersahabat, nih. Angin kencang mulu, bikin baper, eh bikin meriang. 🙈

Makasih ya, sudah mau bertahan bersama Mas Ibra dan Mbak Aya.

20 Oktober 2024
Vita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top