6. Tamu Tak Diundang


"Buku yasin pesanan Bu Aminah sudah ready, Yu?" Ayana duduk di balik meja kasir, jemarinya lincah bermain di atas layar ponsel. Sempat diliriknya Wahyu yang mondar-mandir membawa tumpukan kertas. Tak lupa lelaki jangkung itu bersiul menggumamkan lagu-lagu galau.

"Ini tinggal packing, Ya. Diambil jam tiga, kan?" Tanya Wahyu sembari melirik jam dinding di sebelah tangga. "Masih satu jam lagi. Aman, lah," gumamnya kembali berjalan ke belakang.

Kepala gadis itu mengayun lega, setelah rampung mengecek pesanan hari ini. Dia turun dari kursi dan menuju pantry. Ayana mengambil satu saset kopi, lantas menyeduhnya dan membawa ke depan. Setelah menyesap lantas menghidu aroma kopi yang entah mengapa seketika membuat moodnya semakin membaik, Ayana segera meletakkannya di sudut meja.

Sudut matanya tak sengaja menemukan sosok yang seminggu ini membuat isi kepalanya meletup. Sosok tersebut tengah menggenggam ponsel di telinga kanan. Berdiri tak jauh dari pintu masuk toko, tengah berbicara dengan seseorang.

Lelaki yang seminggu ini tak pernah datang ke toko, seperti menghilang ditelan bumi, tiba-tiba hari ini datang tanpa aba-aba. Ayana menggaruk belakang telinga kanannya, mengapa pula dia mendramatisir kedatangan Ibra. Toh, lelaki itu bos di sini, pemilik toko pula, yang bisa sesuka hati datang kapan saja. Meski begitu, matanya tak melepas tubuh Ibra yang kini memasuki toko.

Kedua matanya sempat bersitatap, tapi tak lama Ibra mengalihkan matanya. Ayana mendengkus, dirinya bagai bunga yang kehilangan lebah. Oke, dia berlebihan. Dia hanya sedikit kesal saja pada lelaki itu. Karena setelah malam pamer pacar, setelah lelaki itu mengucapkan terima kasih saat mengantarnya pulang, keesokan harinya dia menghilang begitu saja.

Tak ada kejelasan bagaimana hubungan mereka selanjutnya. Walau Ayana mati-matian memantrai dirinya sendiri, jika hubungan palsu mereka bisa dianggap sudah selesai. Tugasnya menolong lelaki itu sudah usai. Hanya saja, sudut hatinya yang lain tidak terima. Maksudnya, seharusnya Ibra bisa mengatakan dengan gamblang, kan, kalau hubungan mereka sudah selesai. Bukannya malah setengah menggantung begini.

Gadis itu mendengkus, memikirkan keruwetan akibat menjadi kekasih bohongan Ibra, ternyata membuat kepalanya kembali berdenyut. Namun tak urung dia melirik ke depan saat pintu toko terbuka. Dia berusaha bersikap biasa saja, menatap Ibra yang berjalan perlahan bak model yang tengah memeragakan busana. Kedua matanya seketika membeliak, saat menemukan sosok di belakang Ibra.

Bagaimana bisa?

Ayana menunduk sedalam mungkin, hingga tulang lehernya nyeri. Isi kepalanya berputar-putar memikirkan alasan-alasan yang tengah dia susun. Karena lehernya semakin protes, dia perlahan mengangkat wajah.

"Lho, ini Ayana, kan?"

Mati aku!

Ayana mati-matian menahan matanya agar tak semakin melebar, bibirnya terbuka tapi dia segera memasang senyuman paling lebar. Menatap orang yang tengah berjalan mendekatinya.

"Ternyata beneran kamu. Tante kira Ibra bohong. Masa pacar--"

"Eh, Tante apa kabar?" Sahut Ayana seraya melirik sekitarnya. Sedikit saja dia terlambat, bisa ambyar satu toko. Matanya mencari Ibra, dan seketika menyipit saat menemukan lelaki itu tengah berdiri di dekat tangga.

Ayana mengernyit, meminta bantuan. Namun lelaki itu hanya balas menaikkan sebelah alisnya. Sama saja.

Dasar setan!

Ayana menggeram dalam hati. Fokusnya kembali pada wanita bergaun coklat muda di hadapannya.

"Alhamdulillah Tante baik. Kamu gimana, sehat-sehat aja kan? Kenapa nggak main ke rumah lagi?"

Aduh!

Kembali gadis itu melirik sekeliling, para penghuni Sea Star sepertinya masih setia mencuri dengar. Ayana segera berdiri, menggandeng lengan Rista. Sudah, lupakan dulu soal berakhirnya status pacar bohongan. Anggap saja, ini episode kedua dari drama yang tengah dia mainkan.

"Tante mau ngopi? Kita ngobrol di atas aja, ya. Sambil duduk santai." Ayana setengah menyeret Rista yang juga tak menolak. Ibunda dari Ibra itu semakin semringah saat tangannya digenggam erat Ayana. Keduanya melenggang ke lantai dua mengabaikan tatapan penuh tanya para karyawan Sea Stars.

Saat menaiki tangga, gadis itu menoleh ke belakang berharap Ibra menyusul. Nyatanya tak ada jejak kaki yang mengikuti. Ayana mendengkus pelan, tugasnya masih panjang. Mana dia nggak tahu harus mengarang apa lagi.

"Pantesan anak itu kerasan di sini."

Eh! Ayana kembali menatap Rista yang berjalan di sisinya.

"Apa, Tan?"

Rista tersenyum, menatap penuh sayang pada kekasih anaknya. "Itu ... Ibra kalau mampir ke sini, pasti lama. Ternyata karena ada pacarnya."

Bibir Ayana terasa kaku, bingung harus merespon apa selain tersenyum. "Tante bisa, aja."

"Tante nggak bohong, Ayana. Makanya waktu Tante jodohin, dia menolak mentah-mentah." Rista menggenggam tangan Ayana, ketika mereka tiba di ujung tangga. "Maaf ya, Ayana. Tante nggak tahu kalau waktu itu Ibra sudah punya kamu."

Dan kali ini Ayana benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana. Hatinya memanggil Ibra berulang kali. Berharap lelaki itu datang dan menyelamatkannya dari situasi darurat ini.

"Hmm ... Tante duduk di sini dulu, Ayana buatkan kopi sebentar." Ayana hendak ke pantry, tiba-tiba dia berbalik. "Eh, Tante mau kopi atau teh?"

"Teh aja, tapi gulanya sedikit."

-o0o-

Ayana akhirnya bisa bernapas lega. Beban di dadanya seakan menghilang begitu dia tiba di pantry. Namun itu tak berlangsung lama. Ketika Yuni tiba-tiba berdiri di sisinya saat dia tengah menyeduh teh, beban itu kembali datang.

"Kamu kenal sama Ibunya Mas Ibra, Ya? Kok kamu nggak pernah cerita?"

"Eh, apa?"

Yuni memutar bola matanya, genas dengan tingkah Ayana yang tiba-tiba lemot. "Ituuu kamu kok bisa kenal sama Ibunya Mas Ibra, Ayana?"

"Nggak sengaja ketemu pas lagi di luar." Demi menyembunyikan raut wajahnya, Ayana bergeming fokus mengaduk teh. Ah, dia tak sepenuhnya berbohong kan? Memang kenyataannya dia bertemu Rista di luar kerjaan.

Ayana menoleh setelah berhasil membalik ketakutannya, menatap wajah Yuni sekilas. "Kenapa? Mau dikenalin?"

Wajah Yuni seketika memerah, bibirnya terkulum menahan senyum. "Kalau ada kesempatan kenalan sama camer, kenapa harus ditolak?"

"Ya udah, kamu jaga di depan dulu. Nanti aku kenalin kalau momennya pas."

"Janji, ya?"

"Iyaaaaa!"

Setelah mendapatkan kepastian dari Ayana, Yuni segera melenggang ke depan. Ayana menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Urusan Yuni bisa nanti-nanti, sekarang dia harus kembali menghadapi 'masalah' sendirian.

Ayana menuju lantai dua dengan membawa segelas teh. Perlahan langkahnya menaiki satu persatu anak tangga dengan hati-hati. Di pertengahan jalan, dia dikejutkan dengan punggung seseorang yang berdiri tak jauh di depannya. Seperti kesetanan, Ayana mempercepat langkah, tak lagi peduli dengan tangannya yang mulai kepanasan.

"Mas! Berhenti dulu sebentar."

Ayana semakin mempercepat langkah begitu Ibra menoleh, bahkan dua anak tangga sekaligus dia lewati. Tangan kirinya segera merengkuh lengan Ibra yang hendak pergi saat gadis itu tiba di dekatnya.

"Sebentar," Ayana mengatur napasnya yang memburu. "Itu di atas ada Bunda kamu, Mas."

Ibra menaikkan sebelah alisnya, "Lalu?"

"Kok lalu, sih?" Kedua mata gadis itu membola. "Ini saya harus gimana?"

Tak lekas menjawab, Ibra justru menatap Ayana lekat. Membuat gadis yang berdiri satu tangga di bawahnya itu mengalihkan kedua matanya.

"Terus mau kamu apa, Ay?"

Kedua bola mata gadis itu berputar, semakin gemas dengan tingkah bosnya. "Ya kita harus gimana, Mas? Kita, saya sama Mas harus ngapain di depan Bundanya Mas."

Lelaki itu bersedekap, tanpa melepas tatapannya, Ibra semakin menunduk. "Memangnya, menurut kamu, kita harus ngapain, Ay?" Sudut bibir Ibra melengkung. Satu senyuman tersungging manis di wajahnya yang tak lagi datar.

"Ini saya bukan jadi 'pacarnya' Mas Ibra lagi, kan? Jadi harusnya saya nggak ikut-ikutan drama lagi. Aman deh, kalau gitu." Ayana balas menatap Ibra dengan menyipitkan matanya. Kesal karena lelaki itu mulai bermain-main.

Ayana melewati Ibra yang terdiam di sisinya. Tak lagi peduli dengan wajah lelaki itu yang menatapnya terkejut. Peduli setan!

"Maaf ya, Tante, nunggu lama jadinya." Ayana meletakkan segelas teh hangat di meja. Gadis itu berdiri di depan Rista yang tengah bersandar di sofa. "Maaf, Tante. Saya tinggal ke bawah dulu, ya. Soalnya--"

"Duduk dulu sebentar sini, Ay. Tante masih pengen ngobrol sama kamu."

Ayana menoleh cepat, tubuhnya berjengit ketika Ibra muncul dan berdiri di sampingnya. Ujung jemari lelaki itu menyentuh pinggangnya. Ayana kembali menatap Rista yang tengah mengulum senyum. Perlahan, Ayana menggeser kaki kanannya, lalu menginjak perlahan sepatu Ibra.

Walau ujung kakinya berdenyut, Ibra tetap bertahan di sisi Ayana. Tanpa melepas senyuman lelaki itu meraih jemari Ayana dan menggenggamnya. "Ngobrolnya di dalam ruangan Ibra aja, Bun. Lebih adem."

Tentu Rista tak menolak, terlebih melihat sendiri bagaimana anak lelaki satu-satunya itu menggandeng kekasihnya. Impiannya untuk segera melihat Ibra di pelaminan semakin nyata.

"Ayo!"

Berbeda dengan Ayana, gadis itu mengerjap menatap Ibra dan Rista bergantian. Berkali-kali dia berkelit hendak melepaskan jemari kokoh yang menyelubungi jemari mungilnya. Namun nihil, genggaman Ibra terlalu erat. Mau tak mau dia pun turut serta bergabung dengan Rista lebih lama lagi.

"Mas, nanti anak-anak di bawah pada nyariin saya," bisik Ayana selagi Ibra membuka kunci ruangannya.

"Sebentar."

Apanya yang sebentar? Waktunya yang sebentar atau jawabannya yang sebentar lagi? Ayana ingin sekali menggigit telinga Ibra. Jawaban lelaki itu ambigu sekali.

"Mas mereka nanti tanya-tanya--"

"Temani Mas kerja sebentar, ya, Ay." Suara Ibra yang lantang seketika membungkam ucapan Ayana. Bisa-bisanya lelaki sedingin freezer itu berlagak jadi bucin. Di depan orang tua pula.

Ngajak perang, nih, si bos!

-o0o-

Perang nggak, nih?

Huwaaa akhirnya bisa update lagi😭
Semoga suka, ya.

Vita
12 September 2024



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top