12. Menjadi Imam


Ayana tak menduga, jika kedatangannya bisa membuat Rista berbunga-bunga. Wanita itu menyambutnya dengan semringah, tak berhenti tersenyum walau sedang sibuk menyiapkan acara. Begitu mereka tiba, Ibra yang dibantu Ayana, segera menyingkirkan sofa dan menggelar karpet. Ayana juga turut membantu Rista menyiapkan kudapan, menata buah dan kue di piring-piring saji. Gadis itu begitu luwes melebur di keluarga Ibra. Seperti sudah menjadi bagian dalam keluarga.

"Sudah Maghrib, kamu mandi dulu. Bawa baju ganti, kan?" Rista menyentuh bahu Ayana saat keduanya selesai menata bolu yang dibawa gadis itu.

"Bawa, kok Tante."

"Buun-da! Panggil Bunda. Kok masih tante aja."

Ah! Gadis itu meringis. "Eh, iya, Bun. Maaf, udah seminggu nggak ketemu. Jadi lupa."

"Ya sudah, sana mandi dulu. Habis itu makan. Pulang kerja pasti laper."

Ayana menurut, mengambil totebag yang dia sampirkan di kursi meja makan. Dia melongok ke ruang tengah mencari sosok Ibra, yang tiba-tiba menghilang setelah ditinggal ke dapur. Setelah memastikan tak kunjung menemukan si bos, gadis itu kembali mengusik Rista.

"Bun, kamar mandinya di mana, ya?"

Rista yang tengah mencuci peralatan dapur menoleh. Wanita itu diam sejenak, sedang berpikir.

"Kamu mandi di kamar saya." Suara Ibra yang tiba-tiba datang, membuat kedua wanita di dapur berjengit. Lelaki yang sudah berganti pakaian itu berjalan mendekat dengan santai, melewati Ayana yang berdiri kaku. Dia tak tahu saja, bagaimana jantung Ayana berjumpalitan tak karuan.

"Bunda juga belum mandi, kan? Kalian mandi dulu, sana. Biar saya yang beresin," lanjut Ibra kian mendekat, merebut spons di tangan Rista. Aroma mint dan cytrus seketika menguar di dapur.

"Kamu itu, bisanya bikin Bunda jantungan aja." Rista mengembuskan napas dalam. "Ya sudah. Ayo Ayana, Bunda tunjukkan kamar Ibra."

Gadis itu menurut, tak ingin membantah. Lebih cepat lebih baik. Toh, dia hanya numpang mandi. Hanya saja, mandi di kamar Ibra, tak pernah terpikirkan olehnya. Berandai-andai masuk ke kamar bosnya saja, dia tak pernah. Hal itu yang membuat perutnya seketika melilit. Rasa-rasanya, dia seperti pengantin baru yang sedang di antar ke kamar pengantin saja.

Aduh! Gadis itu menggigit bibirnya. Menyadarkan halusinasi yang tiba-tiba mendera.

"Bunda, di kamarnya Mas Ibra ada mukena, nggak? Kalau nggak ada, aku bisa mandi di kamar Bunda aja. Antri nggak apa-apa." Ayana berbisik saat mereka berada di depan sebuah pintu kamar, yang dia tebak adalah kamar milik si bos. Dia berusaha mencari celah untuk kabur.

"Nggak ada lah, Ay. Memangnya dia nyimpen mukenanya siapa? Udah, nanti Bunda pinjemin."

"Ayana mandi di kamar Bunda aja, deh. Nggak enak numpang di kamarnya Mas pacar." Lidahnya mendadak kelu saat mengucap dua kata terakhir.

Rista terkekeh, "Ibra bener, Ayana. Kalau kita gantian, nanti lama. Keburu Isya nanti. Kalian jamaah saja,"Rista mendekati telinga Ayana. "Bunda lagi halangan."

Rista membuka pintu kamar Ibra, mendorong Ayana masuk. "Nanti mukenanya Bunda taruh di tempat tidur. Kamu mandi dulu sana. Bunda juga mau mandi."

Sudah kepalang tanggung, pintu pun sudah tertutup rapat. Ayana menghela napas panjang, pasrah dengan nasibnya kali ini. Dia berjalan perlahan sambil melihat-lihat isi kamar bosnya.

Kamar yang didominasi warna putih dan abu-abu itu tampak rapi. Tak banyak dekorasi di dinding bercat putih, hanya ada lukisan abstrak berwarna monokrom. Tepat di sebelah lemari hitam yang ia tebak berisi pakaian, terdapat sebuah pintu. Ayana pikir, itu pasti kamar mandi yang dia cari-cari.

Tak ingin berlama-lama, Ayana segera masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian dia keluar dengan tubuh yang segar. Aroma Ibra melekat kuat di tubuhnya. Ayana seperti tengah dipeluk lelaki itu.

Ketukan di pintu menyadarkan Ayana dari sisa-sisa halusinasi. Belakangan, dia sering melantur ke mana-mana jika sudah menyangkut tentang bosnya itu. Ayana membuka pintu, menemukan Ibra berdiri menatapnya tak berkedip. Gadis itu berdehem, mengalihkan mata seraya menghela rambut ke belakang telinga.

"Ada apa, Mas?"

"Mau sholat di kamar. Mushollanya dipakai buat tempat berkat." Ibra belum mengalihkan tatapannya. "Bisa geser sedikit? Keburu habis waktunya."

Seketika Ayana tersadar, jika dirinya masih berdiri memeluk pintu yang hanya terbuka setengahnya. Gadis itu merutuk dalam hati, bisa-bisanya dia bersikap layaknya pengantin baru.

Nah, kan! Mulai lagi melanturnya.

Ibra masuk setelah Ayana bergeser mundur, lelaki itu membiarkan pintunya terbuka lebar. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ayana bersyukur dengan sikap Ibra yang tak berniat mencuri kesempatan dalam kesempitan.

"Sudah sholat?" Tanya Ibra setelah mengambil wudhu. Dia berdiri di sudut kamar, mengambil sarung dan menggelar sajadah.

Ayana menggeleng, "baru selesai mandi."

"Sini, buruan ambil wudhu. Saya imami kamu."

Aduh, kenapa vibesnya jadi kayak dilamar beneran, sih?

"Mas Ibra mau jadi imam saya?" Ayana bersedekap, menaikkan kedua alisnya.

Sadar dengan ucapannya, Ibra segera meralat. "Kita sholat bareng, Ay."

"Kirain beneran mau jadi imam saya," gumam Ayana menahan senyum sambil berjalan menuju kamar mandi. Tentu saja dia hanya ingin menggoda Ibra, sekaligus menutupi gugup yang suka datang seenaknya.

"Saya bisa jadi calon imam kamu, kalau kamu mau, Ay."

Tak ada sahutan, hanya suara pintu yang berdebum. Ibra tersenyum lalu menggeleng, menggoda Ayana kenapa jadi candu begini?

Setelah selesai sholat, Ibra belum juga beranjak. Membuat Ayana mengurungkan melepas mukena. Gadis itu sudah tak tahan duduk di belakang punggung Ibra. Namun uluran tangan di hadapannya membuat gadis itu membeku.

"Kenapa diam? Ayo salim, Ay. Kan, saya imam kamu."

Ingin rasanya Ayana menyentil kening bosnya itu. Hanya saja, dia enggan membuat drama perkara imam menjadi panjang. Ayana menerima uluran tangan Ibra, menjabatnya erat tanpa berniat membawa ke keningnya.

"Belum sah, Mas. Belum boleh cium tangan."

-o0o-

Ayana mengubah posisi duduknya, kakinya kram karena terlalu lama duduk di lantai. Sejak acara dimulai dia duduk manis di samping Rista. Ayana tak bisa menolak saat Rista menyeret dan memperkenalkannya pada tamu-tamu yang hadir sebagai kekasih Ibra. Wanita itu terlalu bersemangat memamerkannya.

Hampir dua jam akhirnya acara selesai, Ayana pamit ke belakang, meninggalkan Rista dan beberapa ibu-ibu yang masih merumpi. Bibir yang selalu melengkung itu akhirya bisa bergerak leluasa. Tak harus berpura-pura lagi.

"Capek?"

Ayana berjengit, mendapati Ibra tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Lelaki itu membawa sepiring jeruk yang tinggal beberapa biji.

"Enggak." Ayana tak berbohong. Hanya saja kantuk yang ditahan sejak pagi, perlahan mulai datang kembali. Dia menoleh sekeliling, lalu mendekati Ibra.

"Ini saya kapan boleh pulangnya, Mas?"

"Sudah makan?"

Gadis itu menggeleng.

"Ayo makan dulu. Setelah ini saya antar kamu pulang."

Lelaki itu meninggalkan Ayana sendirian di dapur. Tak peduli bagaimana gadis itu kini memendam kesal. Selang beberapa menit, Ibra kembali ke dapur membawa dua mangkuk bakso. Ayana yang tadinya memberengut, kini bertanya-tanya dalam hati. Tumben sekali bosnya begini.

"Tanpa saos, kuah banyak, sambal juga banyak," ujar Ibra sambil menyerahkan semangkuk bakso.

Kedua mata Ayana seketika membeliak. Bukan karena sikap manis lelaki itu yang tiba-tiba membawakannya makanan. Akan tetapi, bagaimana Ibra bisa tahu detail makanan favoritnya. Apakah lelaki itu mengamatinya diam-diam? Lagipula, segabut apa Ibra sampai harus mengamatinya.

Setelah menandaskan semangkuk bakso, yang diracik spesial oleh kekasih pura-puranya, yang entah mengapa rasanya lebih enak. Mungkin bakso yang dipesan Rista untuk acara yasinan ini, memang aslinya enak. Ataukah karena campur tangan Ibra, Ayana tak bisa menebak. Gadis itu ingin berkemas. Mengambil totebag yang dia letakkan di kamar Ibra.

Masalahnya, Ibra masih di luar. Lelaki itu belum juga kembali setelah mengembalikan mangkuk ke penjual bakso yang berada di garasi samping rumah. Malam semakin kelam, tak ingin pulang terlalu larut, juga mata yang mulai tak bisa diajak kompromi, Ayana akhirnya menyusul Ibra.

"Mas," Ayana mencolek lengan Ibra. "Bisa minta tolong sebentar?"

"Kenapa?"

Gadis yang masih betah memakai kerudung itu tersenyum simpul kepada penjual bakso yang tengah memberesi dagangannya. "Anterin ke kamar, mau ambil barang," bisik Ayana yang terdengar oleh abang tukang bakso.

"Ambil sendiri, kan bisa, Ay?" Elak Ibra dengan wajah datarnya.

"Nggak sopan, lah. Masa masuk kamarnya cowok tanpa izin." Ayana bersungut-sungut. Gemas ingin mencubit pipi lelaki yang malam ini memakai baju koko putih dan sarung hitam bermotif wayang.

"Lebih nggak sopan mana, lelaki dan perempuan berduaan di dalam kamar?" Tanya Ibra dengan alis bertaut. "Kamu masuk aja, enggak apa-apa. Sudah saya izinin."

Tak ingin jadi tontonan abang tukang bakso, Ayana segera berbalik. Saat berjalan masuk rumah, sayup-sayup dia mendengar obrolan dua lelaki beda usia itu. Gadis itu berinisiatif menguping sebentar.

"Pacarnya, ya, Mas?"

"Iya, Pak."

"Lagi ngambek itu kayaknya. Hati-hati entar ngambeknya lama. Turutin aja, Mas "

"Pacar saya minta dianter pulang, Pak. Saya nunggu di sini aja."

"Waah, nggak peka nih, Masnya. Itu pacarnya minta disun dulu, makanya ngajak ke kamar. Kalau di sini kan, malu. Hehe."

"Bisa ae, si Bapak."

"Bapak juga pernah muda, lho, Mas. Nggak ujug-ujug tua begini, sudah hafal sama yang beginian," lanjutnya sambil terkekeh.

Seketika wajah Ayana memerah. Jangan sampai itu kejadian beneran.

Amit-amit jabang bayi!

-o0o-

Gimana, mau disun beneran, nggak nih?🤭

Kalau iya, komen yang banyak😜

30 Januari 2025
Vita




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top