11. Undangan dari Bunda


Ayana masih mengantuk saat tiba di Sea Stars. Jujur, ingin sekali dia membolos kerja, tapi dia bukan lagi anak sekolah yang bisa seenaknya membolos. Dunia kerja beda dengan dunia sekolah. Ayana menghela napas dalam, lalu tersenyum lebar saat berpapasan dengan beberapa temannya. Setelah meletakkan tas di loker, gadis itu bergegas menyeduh kopi. Dia butuh kafein.

"Lesu amat, Ay. Kayak semalam habis dilamar aja." Yuni menyipit, meneliti gadis di sampingnya. Yuni tiba lima menit lebih lambat dari Ayana.

Ayana berdehem, tak berniat menjawab. Dia sibuk mengaduk kopi hitam di gelas kecil. Gelas hadiah dari kopi rentengan.

"Tumben pagi-pagi ngopi. Habis lembur?" Tanya Yuni yang masih diburu penasaran. Dan mendapat gelengan dari Ayana. "Semalam nggak tidur? Habis ngedrakor?"

Ayana berdecap. "Kepo amat jadi orang." Lalu meninggalkan Yuni yang masih sibuk menata bekal makan siangnya.

"Wahyu, pesanan kartu nama yang kemarin, udah beres belum?" Ayana mendekati Wahyu yang tengah melaminasi soft cover. Lelaki itu paling bersemangat memulai pekerjaan. Mungkin karena ini hari Jum'at dan besok libur tanggal merah.

"Udah, itu di rak." Wahyu melirik Ayana sekilas. "Jam segini masih nguap. Habis ngapain semalem kamu? Ngedrakor lagi?"

Ayana hanya mesam-mesem.

"Idiih, giliran ditanyai Wahyu, adem bener jawabnya." Yuni bergabung, ikut mengamati Wahyu bekerja. Dia sendiri malah asik mengunyah roti kemasan.

"Kamu nanyanya bukan sekedar tanya, Yun, tapi kepo. Sana ke depan! Malah ngerumpi di sini." Wahyu mengusir Yuni yang kini memberengut.

"Ayo, Ay. Kita ke depan."

"Bentar, mau abisin kopi dulu. Tanggung." Ayana mengangkat gelasnya, menunjukkan kopi yang tersisa setengah. Dia memang pecinta kopi, tapi tak bisa meminumnya dengan lembut. Gadis itu lebih suka meminumnya langsung, tanpa perlu dicecapi perlahan-lahan seperti orang-orang kebanyakan.

"Semalem habis nonton apa sih? Sampe dibela-belain begadang segala," Yuni mendesak Ayana untuk bercerita. Sepertinya gadis itu kehabisan topik obrolan.

Nah, kan. Baru juga dibilangi, Yun.

"Biasa, Lie to Me," sahut Ayana pelan.

"Yaelah!" Yuni melotot, "Gak bosen apa, nonton drama itu mulu. Kalau gak Princess Hours, ya Lie to Me. Kayak kagak ada drama lain aja. Banyak drama baru kali, Ya."

"Kagak lah. Emang suka aja sama pemeran ceweknya. Terus jalan ceritanya, kayak real banget, gitu." Iya, mirip sama kisahnya sekarang. Pura-pura menjalin hubungan, demi menutupi status jomlo. Bedanya, kali ini pihak laki-laki yang membutuhkan sandiwara.

"Nontonnya ditunda nanti malem kan, bisa? Lembur sampe lusa juga monggo, mumpung tanggal merah di akhir pekan," sahut Yuni sewot.

"Ngidam nontonnya semalem, kok ditunda nanti, beda lah." Ayana meneguk kopinya hingga tandas. "Ayo ke depan, nanti dimarahin Mas Bos."

Yuni menurut meski diiringi gumaman panjang. Keduanya berdiri di depan etalase, menunggu pelanggan datang. Menyambut dengan senyum dan sapa, sesuai permintaan Ibra, dalam melayani pelanggan.

Lepas jam makan siang, toko semakin ramai. Ayana bahkan belum sempat makan siang. Dia sibuk memfotokopi beberapa lembar KTP, KK dan akte dari beberapa pelanggan. Sedangkan Yuni, berdiri di balik mesin foto kopi lainnya dengan buku tebal dan beberapa lembar kertas. Wahyu sendiri sibuk menjilid dan laminating di belakang. Hingga matahari mulai tergelincir ke barat, keramaian toko mulai mereda.

Yuni berselonjor, memijat pahanya dengan memukul perlahan. Sedangkan Ayana melipir ke belakang, perutnya berteriak minta diisi. Tadi pagi dia tak sempat sarapan, hanya minum kopi. Begitu tiba di pantry, tak ada makanan yang bisa mengganjal perutnya. Gadis itu berinisiatif meneguk dua gelas air putih. Masih lapar, tapi perutnya tak seberisik tadi.

Ayana mengecek ponsel yang sedari tadi dia simpan di loker. Ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Gadis itu mengernyit, saat menemukan nama bosnya memenuhi layar. Tumben bosnya ngebet menghubungi dia.

Sejak kondangan seminggu yang lalu, Ibra seperti menjauh. Lelaki itu tak pernah datang ke toko. Seperti biasa, Ayana menganggap itu suka-suka Ibra. Toh, Ibra pemilik toko ini, bebas mau datang apa tidak. Yang jadi masalah bagi Ayana adalah hatinya. Setelah kena karma dibuat baper sedemikian rupa, lelaki itu kembali lagi ke setelan pabrik. Membuat Ayana jadi menyesal, membiarkan jantungnya berdegup tak karuan waktu itu. Lagi-lagi dia dilempar pada kenyataan, jika ini hanyalah sandiwara.

'Nanti sore, ikut saya ke rumah. Diundang Bunda makan-makan. Saya jemput pas tutup toko.'

Huft!

Mau ada apa lagi ini? Baru juga dia bernapas dari lelaki itu, sekarang harus bersandiwara lagi. Ibra memang keterlaluan, sesukanya membuat hati Ayana ketar-ketir.

-o0o-

"Iya, Mas? Oh, oke. Siap, siap, Bos!" Punggung Wahyu berguncang seirama gerakan kepalanya yang mengangguk-angguk. Dia berdiri di balik meja administrasi, di sebelah etalase, sambil mengangkat telepon.

Ayana yang duduk di meja kasir, menatap Wahyu yang baru saja mengembalikan gagang telepon. Mengangkat satu alis, saat lelaki itu mesem padanya. "Apa?"

"Tebak, Ya. Apa, hayo?"

"Terserah kamu, deh, Yu." Malas berdebat, perutnya masih sedikit perih.

"Dari siapa, Yu?" Yuni mendekat, di tangannya terdapat lembaran berkas yang baru selesai difotokopi. "Dari Mas Ibra, ya? Apa katanya? Aduh!" Wahyu menjitak Yuni yang nyerocos.

"Guys, hari ini kita pulang cepet. Toko tutup jam empat." Wahyu bersedekap berlagak seperti seorang mandor. Matanya mengedari seisi toko, memastikan karyawan Sea Stars mendengar pengumumannya.

"Seriusan, Yu? Aseek, bisa nonton abis ini," Yuni berseru. "Ayo nonton, Ya? Mumpung ada film bagus."

"Eh!" Ayana mengerjap, dia gelagapan. Efek lapar dan ngantuk, sukses membuatnya lemot. Harus cari alasan, biar Yuni nggak curiga. Tapi apa?

"Nggak bisa, Yun. Aku lagi banyak kerjaan."

"Yaelah, kerjaan apa lagi sih, Ya? Kita mau pulang lebih awal, loh."

"Namatin drakor, lah! Masih kurang setengah tahu!" Ayana bersungut-sungut.

"Nonton sama aku aja, gimana, Yun? Bayarin tapi." Wahyu menawarkan diri dengan cengengesan.

"Nah, bener. Kalian aja yang nonton berdua," balas Ayana mendahului yang seketika mendapat pelototan Yuni.

Yuni mencebik, "Ogah, ngapain traktir kamu. Jadi cowok, kok, nggak modal."

"Sekali-kali, Yun. Daripada kamu ngajak Mas Ibra, nggak bakalan mau dia."

Sadar sasana mulai memanas, Ayana menengahi. "Udah-udah, kalau mau lanjut debat. Nanti aja pas tutup toko. Oke, Yuyun?"

Wahyu dan Yuni mengendikkan dagu, "Yuyun?"

"Wahyu dan Yuni." Ayana meringis dengan mengangkat dua jari.

Untungnya keributan kecil ini,  membuatnya tak lagi memikirkan undangan Rista. Dia berhasil melewati sisa jam kerjanya dengan damai. Riuh suka cita dari anak-anak Sea Stars saat menuju parkiran, hampir membuatnya lupa.

Gadis itu lalu menepi ke minimarket tak jauh dari toko, membeli roti untuk mengganjal perut. Sekaligus bersembunyi sebentar sebelum Ibra menjemputnya.

'Mas, aku nunggu di minimarket.'

Sepuluh menit kemudian, sebuah Avanza hitam terparkir di depan minimarket. Ayana yang menunggu di teras segera beranjak tapi langkahnya terhenti melihat Ibra justru keluar dari mobilnya.

"Sebentar, saya cari minum dulu," kata Ibra sambil melangkah masuk minimarket.

Ayana mengangguk, lalu duduk kembali. Memakan potongan terakhir roti kemasan di tangannya dan menunggu dengan gelisah. Dia menebak-nebak ada niatan apa Rista mengundangnya. Hingga sentuhan lembut di pundaknya, membuat Ayana berjengit. Ibra sudah berdiri di sampingnya, menggenggam sebotol minuman dingin.

"Sudah?"

Lelaki itu mengangguk, "Ayo. Kita ke kos kamu sebentar."

"Ngapain?" Ayana yang hendak melangkah, berdiri mematung.

"Barangkali mau ambil baju ganti." Ibra mendahului Ayana, membiarkan gadis itu begitu saja.

Ayana menunduk, mengamati pakaiannya. Menyadari jika kaos polos yang bertuliskan Sea Stars di punggung dan celana jins, sepertinya terlalu santai untuk sebuah acara makan-makan.

"Boleh, deh. Sekalian mandi juga, ya, Mas?" Ayana setengah berlari mengejar Ibra yang sudah masuk mobil.

"Mandi di rumah saya saja. Kelamaan kalau harus menunggu kamu mandi. Masih ada yang harus saya kerjakan habis ini."

Tanpa berniat menyanggah, Ayana diam saja menurut. Dia mengenakan seat belt dan duduk manis. Kalau berdebat terus, nggak akan ada ujungnya. Begitu juga Ibra, yang tengah serius mengemudikan mobil meninggalkan parkiran minimarket.

"Jangan lupa bawa kerudung," pesan Ibra saat Ayana hendak membuka pintu mobil. Mereka baru saja sampai di kos Ayana.

"Memang acara apaan, sih, Mas?" Tanyanya penasaran.

"Yasinan komplek."

Sontak saja Ayana mencebik, "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Pakai alibi makan-makan segala."

"Nanti juga ada makan-makannya, kok," balas Ibra dengan wajah datarnya.

Dengan menahan kesal, Ayana keluar mobil dan tergesa masuk ke kamar kosnya. Mengambil satu gamis hitam dan kerudung hitam bermotif bunga-bunga lalu memasukkannya ke dalam totebag. Tak lupa membawa perlengkapan make up-nya yang tak seberapa, hanya bedak, liptin, body lotion dan facial foam. Dia juga mengganti seragam kerjanya dengan kaos rib blue denim.

"Sudah?"

Ayana mengangguk dengan napas menderu. Dia seperti peserta uang kaget yang harus kejar-kejaran dengan waktu. Ibra bergegas menjalankan kemudi, membelah macetnya jalanan. Mereka mampir ke toko buah, membeli beberapa untuk suguhan. Hanya Ibra, sih yang membeli. Ayana cuma ngekor di belakang. Saat mereka ke toko kue, Ayana tergelitik untuk membeli bolu. Efek keliling melihat-lihat kue yang dipajang di etalase. Lagipula, sebagai pacar yang baik, bukannya harus perhatian juga ke orang tua si pacar? Ayana meringis dalam hati, pacar gundulmu!

"Kamu beli kue?" Mereka bertemu di depan meja kasir, saat Ibra akan mengambil kue-kue pesanannya.

"Iya, Mas. Buat Bunda. Nggak enak kalau nggak bawa buah tangan." Gadis itu tersenyum lebar, meletakkan nampan yang berisi dua bolu ke meja. Lalu berjinjit untuk mendekatkan bibir ke telinga Ibra. "Sebagai pacar yang baik, harus pinter ngambil hati camer."

Ayana menjauh lalu terkikik membekap mulutnya. Puas sekali menggoda lelaki di sampingnya. Membuat Ibra jantungan untuk beberapa waktu. Detik berikutnya, lelaki itu tersenyum simpul, lantas menggeleng kecil.

"Punya pacar saya, jadikan satu sama pesanan saya, ya, Mbak."

Ayana membeliak, menggeleng cepat. "Saya bayar sendiri, Mas."

"Enggak apa-apa." Ibra lalu berbisik lirih, "Sebagai pacar yang baik, harus bayarin pacarnya belanja."

Nah, kan!
Kini wajah Ayana yang merah padam.

-o0o-

Mas Ibra mulai berani godain Ayana, nih. Harusnya nggak usah pakai embel-embel pacar pura-pura, ya kan?

Part depan, mereka enaknya diapain?

23 Januari 2025
Vita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top