10. Simulasi Calon Mantu


"Dapat melatinya, Ay?" Rista berbinar menyambut kedatangan Ayana yang menenteng makanan di kedua tangannya. Wanita itu menunjuk kursi di sebelah, menyuruhnya duduk. Sementara gadis yang dia tanyai tak menjawab, hanya tersenyum lebar untuk menenangkan Rista.

"Nggak berani, Tante. Takut dimarahin Mbak-Mbak make up yang jagain di bawah pelaminan."

Semburat kecewa menghiasai wajah Rista. Wanita itu mengembuskan napas dalam, lalu kembali mengobrol dengan Ayana. Keduanya tak terlihat canggung, walau baru beberapa kali bertemu. Sesekali Rista mengusap punggung Ayana, seakan mencurahkan kasih sayang pada anak perempuan yang tak pernah dia miliki.

"Eh, ini Ibra kemana?"

Seakan baru tersadar, Rista menjelajahi venue. Mencari anak lelakinya yang tak kunjung datang. Decakan kesal terdengar dari bibirnya yang bergincu merah.

"Tadi Mas Ibra ketemu sama teman-teman kuliahnya, Tante."

Rista mengangguk-angguk, "kamu nggak dikenalin ke temen-temennya Ibra?"

Seakan tahu maksud wanita di sampingnya, Ayana tersenyum simpul. "Udah kok, Tante. Tapi ... karena aku udah laper, jadi aku izin ke Mas Ibra buat makan duluan."

Kali ini Ayana tak mengarang, dia memang sempat berkenalan dengan beberapa teman Ibra. Dia sebenarnya ingin berdiri di sana, menemani Ibra mengobrol walau dirinya tak bisa ikut masuk dalam obrolan mereka. Hanya saja, lama-lama dia risi juga. Sedari tadi diam dan memasang senyum tipis. Gadis itu akhirnya pamit mau makan saja. Tentu Ibra tak bisa menolak, karena teman-temannya masih ingin menginterogasinya.

"Tuh, Mas Ibra masih foto bareng sama teman-temannya, Tante."

Di pelaminan, Ibra dan beberapa temannya berfoto bersama dengan berbagai gaya. Dari yang formal hingga awur-awuran. Ayana bahkan sampai terbengong, melihat Ibra bisa sesantai itu bergaya di kamera, di depan banyak orang pula. Si kanebo kering bisa lemes juga ternyata.

"Yang nikah itu, satu-satunya teman Ibra yang belum nikah. Kalau teman-temannya yang lain, sudah pada nikah semua, sudah ada yang punya anak juga. Sekarang tinggal Ibra sendiri yang belum nikah. Bunda harap, kalian bisa sampai ke pelaminan juga."

Ayana terbatuk, kuah bakso yang dia seruput tiba-tiba membakar tenggorokannya. Dia mengambil minum dan menghabiskannya. Untungnya Rista tak terlalu menyadari kegugupan Ayana. Wanita itu justru membantu menepuk-nepuk punggung Ayana.

"Pelan-pelan Ay, habis makan sate, sekarang bakso. Kamu tadi nggak diajak sarapan Ibra dulu?" Rista menggeleng pelan, "Dasar itu anak, ngajak anak orang jalan pagi-pagi, kok nggak dikasih makan."

Ayana menyipit dengan kerutan di kening, jalan pagi-pagi? Perasaan, Ibra datang ke kosnya nggak pagi-pagi amat. Mau tanya jam berapa lelaki itu pergi menjemputnya, juga nggak enak. Takut nanti ketahuan. Lagian, ngenes amat nasib bosnya itu. Sudah kelamaan menunggunya, eh sekarang jadi jomlo tunggal di antara teman-temannya. Pantas saja bundanya mencecar buat cepetan punya pacar.

"Aku udah sarapan kok, Tante." Dia tidak bohong juga, setengah roti bakar dan setengah cangkir cokelat hangat, bisa disebut sarapan, kan?

"Oh, syukur lah. Pagi itu harus sarapan, jangan sampai nggak sarapan. Entah roti, rebusan atau nasi. Yang penting perut ada isinya. Dulu Bunda pernah pingsan di kantor gara-gara telat makan, loh, Ay. Padahal waktu itu Bunda ngarepnya hamil, eh ternyata bukan." Meski diakhiri tawa ringan, Ayana dapat melihat mata Rista berkaca-kaca. Entah karena memang lucu, atau ada hal lain yang menjadi kenangan wanita itu.

"Serius amat ngobrolnya," sela Ibra yang langsung mengambil duduk di depan wanita-wanitanya. Lelaki itu lantas sibuk mengunyah sate, tak mengindahkan tatapan penuh selidik dari Rista.

"Kamu itu loh, foto sama temen-temenmu, kok nggak ngajak Ayana juga, sih, Mas."

"Kan, tadi sudah foto sama Ayananya, Bun."

"Beda, dong, Mas. Itu foto kalian berdua sama manten. Lha, tadi yang rombongan sama temen-temenmu, semua pada bawa pasangan. Nggak malu apa, nggak punya pasangan sendiri?" Celoteh Rista yang sepertinya belum puas meluapkan isi hatinya.

Ibra meneguk air putih, setelah menghabiskan makanan di mulutnya. "Nggak apa-apa. Yang penting ke sini sudah bawa pasangan."

"Kamu itu, ya, kalau dibilangin, adaaaaa aja alasannya." Rista mengambil potongan semangka dan mengunyahnya. "Nanti kamu juga harus pinter jawab alasannya Ibra, ya Ay. Jangan mau kalah sama dia."

"Eh, iya, Tante," ucap Ayana setelah menandaskan potongan melon di mulutnya.

Rista mencebik, "Kok masih panggil Tante, sih. Panggil Bunda, biar sama kayak Ibra."

Waduh! Ayana berkedip berulang kali, menoleh pada Ibra yang menatapnya dengan satu alis terangkat. Gadis itu berdecap lirih, percuma mencari jawaban dari bosnya. Lelaki itu tak paham kode yang selalu dia lemparkan.

"Coba, kamu latihan panggil Bunda."

Karena terus didesak, mau tak mau Ayana menurut. Dengan terbata gadis itu akhirnya berhasil memanggil Rista. "Bun ... da."

Senyum milik wanita berkebaya hitam itu merekah, membuat Ibra yang sedari tadi mengamati dalam diam jadi terpana. Padahal bukan Ayana saja, gadis yang memanggil wanita itu Bunda. Namun entah mengapa ibunya itu lebih bahagia jika Ayana yang memanggilnya. Apakah efek calon mantu begini dahsyatnya? Ibra jadi merinding.

"Bagus, sip. Harus dibiasakan, ya, Ay. Jangan malu-malu, anggap saja Bunda seperti ibu kamu sendiri." Rista mengusap pundak Ayana, menepuknya lembut sebelum beralih pada putranya. "Mas, tolong fotoin Bunda sama Ayana, ya?"

Rista berdiri menarik Ayana yang gelagapan, "Kita cari spot bagus dulu. Di sana kayaknya oke." Mereka lalu bejalan bersisian, dengan Rista yang menggandeng Ayana. Sedangkan Ibra berjalan di belakang, membiarkan sate yang tersisa dua tusuk, merana di atas piring.

Lelaki itu menatap punggung kedua wanita yang sama-sama mengenakan baju warna hitam. Lalu menengok pakaiannya sendiri. Menyadari kalau mereka tampak serasi, seperti sebuah keluarga.  Seorang ibu kondangan dengan anak dan menantunya. Ibu dan menantu yang disayangi melebihi anaknya sendiri. Dia mendesah, belum apa-apa isi kepalanya sudah melayang tak karuan.

Beberapa kali Ibra mengambil foto Ayana dan Rista di tempat yang berbeda. Rista bahkan minta tolong pada orang yang lewat untuk mengambil foto mereka bertiga. Ibra tak bisa membantah, dia berdiri kaku di tengah-tengah para wanita yang membuat hidupnya jungkir balik. Saat hendak menjauh, Rista kembali menyeretnya. Kali ini wanita itu merebut ponsel Ibra dan memintanya foto berdua dengan Ayana.

"Ayo dong, Mas. Masa udah pacaran fotonya kaku begitu? Kayak mau foto KTP aja." Rista berteriak heboh, menjadi pakar gaya dadakan dengan senyum tak lepas dari bibirnya.

Yakin jika lelaki di sampingnya tak akan mengerti, Ayana berinisiatif memeluk lengan Ibra dan menyandarkan kepala di bahu lelaki itu. Karuan saja Ibra menoleh karena terkejut.

"Begini, nggak, Bun?" Teriak Ayana yang membuat Rista menahan senyum.

"Sip! Ganti gaya lagi. Ambil pose yang banyak, ya."

Astaga, emakmu Maaass!

Kali ini Ayana sedikit menyerong dan memutar tubuh Ibra perlahan menghadap dirinya. Gadis itu menengadah sembari tangan kirinya menyentuh dada Ibra. Mereka saling berpandangan, dengan ekspresi yang berbeda. Ayana yang menahan senyumnya agar terlihat alami tapi justru terlihat aneh. Sementara Ibra memasang senyum dengan kerutan di keningnya.

"Jangan tegang gitu, yang rileks. Nanti Bunda curiga," bisik Ayana tanpa membuang senyumnya.

"Yang mesra dong, Mas. Jangan kaku begitu. Anggap saja Bunda ini orang lain." Rista masih bersemangat memberi aba-aba. Tak lupa dia mencuri berbagai pose.

Ibra mengerjap, seperti tersadar. Lelaki itu melepas tangan kirinya yang dipeluk Ayana, dan melingkarkan di pinggang gadis itu. Membuat Ayana berjengit dan membeliak.

"Nggak usah tegang begitu, katanya disuruh rileks." Ibra tersenyum manis. Senyuman yang jarang dia lakukan.

Sial!

Kemana perginya kanebo kering milik Ibra? Apa sudah letoy kena air, hingga membuat lelaki itu jadi pandai membolak-balik kata dan bersikap manis?

Ayana meneguk ludah susah payah. Kalau begini terus, bisa-bisa dia yang terlena. Gadis itu mengembuskan napas dalam. Berusaha bersikap tenang dengan melemaskan telapak tangannya yang menempel di dada Ibra. Bukannya jadi rileks, Ayana semakin risau. Saat tangannya merasakan dentuman detak jantung Ibra yang seperti detak jantungnya sendiri.

Apakah mereka berdua mulai menggila?
Oh tidak!
Dia tak mau menggilai bosnya sendiri.

-o0o-

Update tercepat iniiii!
Harusnya semalam, tapi karena belum sempat direvisi akhirnya baru bisa nongol sekarang.

Gimana, gimana? Mas kanebo habis kena hujan kayaknya, lemes banget godain Ayana. Wkwkw

19 Januari 2025
Vita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top