Part 9

New Story

###

Part 9

###

Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.

Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. "Ada apa?"

"Aa ... aaku... aku melihat mayat." Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.

Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. "Tidak ada apa pun di sana, Sesil," ketus Saga kesal.

"Aku melihat mayat!" Sesil hampir berteriak pada Saga.

"Apa kau masih bermimpi?"

Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.

"Apa kau berjalan sambil tidur?"

Sesil melirik ke arah ranjang. Tak berani mengangkat kepalanya oleh rasa malu. "Aku benar-benar melihatnya di sana. Itu orang yang kaubunuh tadi siang."

"Ya, tapi mayatnya sudah dikuburkan di halaman belakang. Apa kau ingin menengoknya?"

Wajah Sesil memucat dan matanya membelalak tak percaya. Semudah itu Saga mencabut nyawa orang dan menghilangkan bekasnya di halaman belakang? Ada berapa banyak nyawa yang terkubur di sana? Sesil mengingatkan diri, bersumpah tak akan pernah menginjakkan kaki di halaman belakang rumah ini.

"Apa kau akan berdiri di sana sampai pagi?"

Gertakan Saga memecah lamunan Sesil. Wanita itu menoleh dan bergumam dengan ragu. "Aku ... tidak berani ke kamar mandi."

"Kalau begitu tidurlah."

"Aku ingin ke kamar mandi."

"Kalau begitu pergilah. Kau masih ingat di mana pintu kamar mandinya, kan?"

"Aku tidak berani ke kamar mandi!"

Arrgghhhh .... Saga menggeram dan melemparkan tatapan tajamnya pada Sesil. "Apa kau mencoba menggangguku?"

"Kau yang membuatku ketakutan. Setidaknya kau tak perlu membunuhnya di kamar ini!" teriak Sesil sangat kesal.

"Apa kau ingin aku mengantarmu ke kamar mandi?"

"Tidak!" jawab Sesil seketika. Ia benci dengan ketakutan yang menyeruak memenuhi dadanya dan membuat bulu kuduknya merinding. Gambaran mengerikan sosok penuh darah yang dibunuh Saga masih membayang begitu jelas di matanya. Namun, ia tak akan pernah meminta bantuan sekecil apa pun pada Saga. Bagaimana pun menakutkan dan mengerikannya imajinasi yang berkeliaran di kepalanya. Sesil menyumpahi kandung kemihnya yang tidak bisa diajak kerjasama di saat-saat seperti ini.

"Lalu apa yang kauinginkan?!" Emosi Saga benar-benar tersulut. Wanita itu berani menantang kekuasaannya tapi tak berani ke kamar mandi hanya karena kepercayaan mistis yang konyol.

Sambil menghentak-hentakkan kaki, Sesil melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja membanting pintu dengan keras. Tak henti-hentinya ia menatap liar ke setiap sudut kamar mandi saat duduk di toilet. Jika Saga membunuhnya, apakah pria itu juga akan mengubur mayatnya di halaman belakang? Dan melenyapkan namanya dari muka bumi ini? Tak akan ada orang yang berani mencari tahu dirinya jika tahu ia berhubungan dengan seorang Saga Ganuo.

Sesil meratap dalam hati. Hidupnya benar-benar telah usai.

***

"Aku ingin keluar," kata Sesil pagi itu. Meletakkan cangkir coklat hangatnya ke meja sambil mengusap bibirnya dari sisa-sisa sarapan pagi. Ia masih bisa melihat dua pengawal yang berjaga di depan pintu kamar ketika pelayan masuk dan membawakan sarapan pagi untuk mereka.

Saga berhenti sejenak menyesap kopinya, melirik Sesil dua detik dan melanjutkan menandaskan isi cangkirnya. Mengabaikan kata-kata Sesil, ia bersandar pada punggung sofadan mengambil koran di bawah meja. Mulai membacanya seakan Sesil tak berkata apa pun.

Merasa kesal, Sesil sengaja membanting sendok kecil yang masih dalam genggamannya. Lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Meninggalkan bunyi bedebum sangat keras pada pintunya.

Saat Sesil keluar, Saga sudah tak ada di dalam kamar. Piring kotor bekas sarapan juga sudah tak ada di meja. Digantikan beberapa buah, camilan kue di toples, segelas jus jeruk, dan satu teko air putih. Dan ia benar-benar ingin berteriak keras-keras saat ingin menghirup udara segar tapi menemukan pintu balkon dikunci. Rasanya ia sudah tak bisa benapas lagi. Saga memenjaranya seolah ia seorang napi yang pantas mendekam di bui.

Seharian Sesil berbaring di ranjang. Memikirkan bahwa hidupnya jauh lebih mudah ketika ingatannya belum kembali. Saga menipunya, tapi ia masih memiliki kebebasan untuk mengeliling rumah ini. Seharusnya ia berpura-pura seakan ingatannya belum kembali dan menunggu waktu yang tepat untuk meloloskan diri dari cengkeraman pria itu dengan bantuan Dirga.

Hahh, Dirga. Ia ingat bagaimana panggilan menyayat hati pria itu ketika Saga menariknya pergi. Setelah ia pikir-pikir, pertemuannya dan Dirga adalah skenario Saga. Pria itu sengaja mempertemukannya dengan Dirga untuk mengembalikan ingatannya sekaligus membuat Dirga menderita.

Pertengkarannya terhebatnya dengan Dirga dimanfaatkan oleh Saga. Seharusnya ia tetap berada di sisi Dirga, menjelaskan kesalahpahaman mereka hingga Dirga mengerti bahwa pertengkaran inilah yang diinginkan Saga. Namun, semua sudah terjadi. Ia sudah terlanjur terbawa emosinya, memberi apa yang Saga inginkan. Masuk dalam perangkap Saga dengan mudah.

Matahari baru saja tenggelam ketika pintu kamar terbuka. Saga melempar jasnya ke sofa dengan muka ditekuk menemukan nampan makan siang dan camilan Sesil masih utuh. Sedangkan wanita itu hanya berbaring di ranjang memunggunginya dan tak bergerak. Apa wanita itu mencoba memprotes dengan mogok makan karena dikurung di kamar ini?

"Kenapa kau tidak menyentuh makananmu?"

Mata Sesil terbuka sempurna. Rasa kantuk seketika lenyap dan dadanya berdebar dengan suara ditekan yang berasal dari balik punggungnya. Seharian ini ia hanya tidur, bangun, tidur, bangun, dan ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil lalu kembali lagi ke ranjang. Tak cukup lelah untuk mengantuk, dan tak cukup nyenyak untuk terbangun.

"Kenapa kau tidak menyentuh makananmu, Sesil?!" Kali ini Saga membalik tubuh Sesil dengan kasar dan menghadapnya. Suara lebih tinggi dan nadanya lebih dalam.

"Aku bosan makan di kamar ini?" jawab Sesil kesal.

"Kau bosan makan, ya? Apa kau juga bosan hidup?!" Saga menarik lengan Sesil hingga wanita itu terduduk.

"Ya!" Sesil mendongak dan menjawab dengan lantang. Memaksa tubuhnya yang lemah untuk bersuara lebih keras. "Aku sudah bosan hidup. Untuk apa aku hidup jika hanya menjadi pemuas nafsu pria tak bermoral sepertimu. Mati lebih baik daripada harus berbagi napas di dekatmu."

Saga menggeram. Menyeret Sesil turun dari ranjang dan mendudukkannya dengan paksa di sofa. "Makan!"

"Tidak!"

"Makan!" Saga mencengkeram leher Sesil, menekan tubuh rapuh hingga wajah istrinya menyentuh menu makan siang yang sudah dingin.

Sesil mendorong nampan itu menjauh dari wajahnya hingga semua isi nampan berhamburan di karpet dan lantai. "Aku tidak mau makan!" teriaknya keras kepala.

Habis sudah kesabaran Saga. Pria itu menjambak rambut Sesil, mendongakkannya. Baru tadi malam wanita itu bersikap penurut, melambungkan hatinya dengan penyerahan dan keberhasilannya menaklukkan wanita itu. Tetapi, sekarang Saga dibuat uring-uringan dengan aksi pembangkangan Sesil dan seakan menghempaskan dirinya ke dasar bumi dengan kekecewaan.

Sesil meringis kesakitan, tapi bersumpah tak akan mengerang. Kemarahan Saga seolah membuatnya semakin bersemangat dan membayar rasa sakit karena rambutnya yang ditarik dengan keras.

"Apa kau mau mati?"

"Ya," jawab Sesil cepat penuh kepuasan. Entah apa yang merasuki pikirannya. Mungkin keputusasaan yang terlalu besar setelah meratap karena seharian terkurung di ruangan tempat Saga membunuh. Atau kesombongan Saga karena merasa berhak atas tubuhnya melebihi dirinya sendiri. Secepat jawaban Sesil, secepat itu pula tangannya yang memegang pisau buah di meja tanpa sepengetahuan Saga karena pria itu terlalu konsentrasi pada kemarahan dan pembangkangannya. Sesil menusuk ke perutnya sendiri. Kemarahan menjadi bahan bakar atas tindakan pengecut dan tak masuk akalnya.

Saga tercengang menyadari situasi yang tengah terjadi di luar perkiraannya. Instingnya berjalan lebih lambat satu detik dari gerakan Sesil. Pisau buah itu tertancap di perut Sesil, Saga mendekap tubuh Sesil yang meluruh sebelum keduanya terjatuh bersamaan di lantai berkarpet. Tubuh Saga bergetar, oleh amarah yang tak bisa ia luapkan menatap pisau itu dan ekspresi kesakitan Sesil secara bergantian. Darah mengucur membasahi dress Sesil ketika Saga menarik pisau itu. Beruntung lukanya tak terlalu dalam dengan noda darah yang hanya menghiasi ujung pisau.

Sesil mengerang. Menekan rasa sakit diperutnya dengan kedua tangan, tapi darah tetap merembes melalui celah-celah jemarinya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi dingin, tapi keringat membasahi sekujur tubuhnya.

"Jon!!!" Saga berteriak ke arah pintu. Satu tangannya menyanggah punggung Sesil sedangkan tangan yang lain ikut menahan darah mengalir lebih deras dengan memberi tekanan di perut Sesil. "Apa kau benar-benar bodoh?"

"Aku ...aaku ttidak ttakut mma ..." Sesil tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Kegelapan segera memenuhi pandangannya dan tubuhnya meluruh ke lantai.

****

Saga merasa marah dengan kepanikan yang tak bisa ia kuasai. Napasnya tak berhenti mendesah dengan keras, seperti orang tolol berjalan mondar-mandir di lorong yang sepi. Hanya bisa menunggu pintu ruang operasi terbuka, dan sialan ia benar-benar bukan orang penyabar. Semua ketololan ini berakar dari seorang wanita murahan, licik, dan bodoh bernama Sesilia Nada.

"Tuan." Jon muncul dengan kantong pakaian berwarna hitam pada Saga. meskipun kemeja Saga berwarna gelap, noda darah yang mengotori bagian perut dan lengan tuannya tampak begitu jelas.

"Aku tidak membutuhkannya, Jon." Saga menepis kantong pakaian itu hingga jatuh ke lantai. Saat itu ia bersumpah akan membunuh Sesil. Ia mengabaikan tampilan sempurna hanya karena terlalu sibuk memikirkan keadaan wanita sialan itu. Namun, sebelum membunuh Sesil, ia akan memastikan mengambil segala manfaat yang bisa ia dapatkan dari tubuh mungil itu. Wanita itu tidak boleh mati sebelum ia merasa cukup dan terpuaskan.

Pintu berwarna putih itu bergeser membuka, muncul seorang dokter dengan beberapa cipratan darah di bagian depan bajunya yang berwarna hijau muda. Saga berjalan mendekat dengan langkah terburu dan napas tersengal ketika bertanya, "Bagaimana keadaannya?"

"Pendarahannya sudah berhasil kami hentikan. Butuh beberapa jahitan di perut, beruntung luka tusuknya tak sampai mengenai organ vital."

"Aku ingin melihatnya," tandas Saga dengan nada memerintah.

Dokter itu terpaku sejenak. Aura mengancam yang begitu kental membuat tubuhnya serasa mengkerut. Ia tahu sedang berurusan dengan siapa ini, jadi ia terpaksa mengangguk meskipun prosedur rumah sakit tak mengijinkan hal tersebut. "Tapi ..."

Saga menatap manik sang dokter. Yang langsung menutup rapat-rapat mulutnya. Cukup cerdas saat memilih minggir ke samping dan membiarkannya masuk.

****

Keadaan Sesil semakin membaik dalam waktu tujuh hari. Tak bicara meskipun sudah sadar. Beruntung masih mau membuka mulut ketika perawat menyuapkan makanan meskipun hanya beberapa suap sekedar pengganjal perut untuk menelan butiran obat.

Saga datang hanya ketika pengawal yang berjaga di pintu masuk ruang rawat Sesil memastikan wanita itu sudah terlelap. Dan pergi sebelum wanita itu terbangun. Hingga Dokter menyatakan keadaan Sesil benar-benar sudah pulih, Saga muncul di hadapan Sesil pada pagi itu.

Sesil hanya melirik sekilas saat Saga masuk. Menyodorkan kantong putih berisi pakaian ganti pada perawat yang akan membantunya mengganti pakaian. Tanpa kata, Sesil membiarkan perawat itu menghelanya ke kamar mandi, tapi ia berhenti tepat di depan pintu kamar mandi. "Aku bisa melakukannya sendiri," ucapnya pada si perawat.

Saga menoleh, dengan ekspresi dinginnya dia menyela penuh ancaman. "Aku atau perawat itu yang akan membantumu berpakaian?"

Tubuh Sesil masih merasa lemah jika harus berdebat dengan Saga. Ditambah perdebatannya dengan Saga tak pernah berhenti dengan cepat dan mudah. Akhirnya ia memilih membiarkan perawat itu masuk ke kamar mandi bersamanya.

Beberapa menit kemudian, Sesil duduk di kursi roda. Saga mendorongnya keluar dan menelusuri lorong rumah sakit yang sepi. Dalam diam. Pria itu sama sekali tak bersuara kecuali untuk memerintah beberapa pengawalnya. Dan Sesil juga tak berniat memulai pembicaraan.

Ia masih begitu syok dengan apa yang telah berani ia lakukan. Ada rasa malu, atas jalan yang ia pilih untuk penyelesaian masalah yang tengah ia hadapi. Merasa beruntung ia berhasil selamat, meskipun hidup yang ia jalani pasti akan lebih sulit.

Saat ini, Saga memang bersikap sedikit lebih manusiawi terhadapnya. Tetapi, jika keadaannya sudah benar-benar pulih. Ia yakin Saga akan membuatnya membayar mahal atas percobaan bunuh diri yang ia lakukan.

"Apa kau tahu berapa banyak biaya yang harus kukeluarkan untuk pengobatanmu?" Saga memulai pembicaraan setelah keduanya duduk di kursi belakang mobil dan mobil mulai melaju keluar basement.

Sesil mencibir dalam hati. Pemilihan topik yang bagus di saat ia baru keluar dari rumah sakit. "Aku akan membayarnya," jawab Sesil sekenanya dengan suara rendah.

"Hargamu benar-benar mahal untuk wanita pinggiran sepertimu, Sesil."

Sesil menolehkan kepalanya dengan keras menghadap Saga. Kata-kata itu sangat tak asing di telinganya, dan ia berharap punya tenaga cukup untuk menampar wajah Saga. Namun, apa daya. Semua kerugian yang dialami Saga karena perbuatan Dirga, ia tak akan sanggup membayarnya dengan gajinya sebagai pelayan cafe seumur hidup. Bahkan biaya perawatannya baru saja, dengan kamar pasien yang terasa seperti bermalam di kamar suite hotel berbintang. Mungkin butuh waktu lima tahun atau lebih untuk melunasi hutang tersebut.

"Apa pun yang terjadi di antara kau dan Dirga, itu sama sekali bukan urusanku, Saga."

"Anggap saja kau sedang sial jatuh cinta pada orang yang salah," jawab Saga dengan ringan.

Sesil menarik napasnya panjang dan dalam. Bahkan perutnya masih terasa ngilu hanya karena emosi yang berusaha ia tekan. "Kau bisa saja membuangku setelah merusak dan menodaiku demi membalaskan dendammu pada Dirga. Lalu kenapa kau malah memilih jalan yang sulit dengan membodohiku untuk pernikahan yang sama sekali tak berarti apa pun bagiku ataupun dirimu?"

"Karena, aku bisa membelimu dengan hukum. Dirga tak bisa menyentuhmu jika kau menjadi istriku. Itu rencana awalku, membuat pria itu menyesal menyia-nyiakan kekasih hatinya dan mendamba dirimu karena penyesalan yang selalu datang di akhir. Lalu, aku mendapatkan keperawananmu sebagai piala kebanggaan. Sepertinya kau memiliki kandungan yang bersih untuk anakku."

Mata Sesil membelalak lebar, bibirnya membeku oleh keterkejutan yang melintas sebelum kemudian bergetar oleh kemarahan yang menguasai dirinya. "Aa ... anak?"

"Mungkin ini saat yang tepat bagiku untuk menjadi seorang ayah, dan kebetulan kau sedang beruntung menjadi istriku."

"Keyakinan apa yang membuatmu mengatakan pernyataan tak masuk akal itu padaku?"

"Aku tidak berpikir kau akan memenangkan perdebatan ini, Sesil. Jadi, bersikap baiklah selagi aku memberimu kesempatan emas memperbaiki kesalahanmu. Dan jujur, ini pertama kalinya aku melakukan hal itu. Kuharap kau tak mengecewakanku."

Dengan wajah merah padam, Sesil mencaci, "Aku tak sudi mengandung anakmu!"

"Ya, kau akan melakukannya suka atau pun tidak."

"Jangan membanggakan dirimu terlalu tinggi, Saga."

"Itu yang seharusnya kukatakan padamu, Sesil. Kau menghargai dirimu terlalu tinggi hingga berpikir untuk menolak perintahku."

"Aku ..."

"Shhh ..." Saga meletakkan jari telunjuknya di bibir Sesil. Lalu mengangkat dagu wanita itu mendekat ke wajahnya. Memperlihatkan kobaran api yang bergulung-gulung di manik Saga. Memastikan wanita itu tahu kemurkaan yang mendekam di sana dan tertahan selama beberapa hari ini. Rekor terbesar dan terbaik dalam mengendalikan amarah, akhirnya terpecahkan karena wanita sialan ini.

Ia tak ingin memiliki anak. Pemikiran semacam itu belum pernah ada dan tak terbayangkan akan ada hingga detik ia kehilangan akal untuk mengendalikan Sesil. Sekarang, wanita itu akan mengandung anaknya sebagai hukuman karena membuatnya kewalahan. Wanita itu membuatnya gila. Mengacaukannya dari dalam dengan perlahan dan perlahan tapi mematikan. Ia benci dengan segala kekacauan yang dibuat wanita itu di kepalanya. Ia benci dengan emosi berlebihan menyerupai api yang selalu bergolak di dadanya. Dan ia sangat benci ketika wanita itu membuatnya seolah-olah menjadi orang yang tak ia kenal selama di rumah sakit dan mengamati Sesil seperti penguntit.

"Pilihan untuk diam akan sangat berarti untuk kebaikan dirimu sendiri, Sesil. Kecuali kau lebih suka aku melemparmu seperti gumpalan daging pada para pria yang lebih tak bermoral dariku yang menjadi pelanggan di rumah bordilku di pinggiran kota sana? Setidaknya aku tak membagimu dengan orang lain ketika di ranjang."

Mata Sesil berkaca, tapi ia tak akan menangis. Merasa sesak dengan ketidakberdayaannya melawan kuasa Saga bahkan untuk berkata-kata saja. Ia menghempaskan tangan Saga dari wajahnya. Lalu berbalik menghadap jendela mobil dan air matanya tumpah tanpa suara.

****

Wednesday, 8 January 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top