Part 30

New Story

###

Part 30

###

"Kau tak perlu ijin untuk membuatnya baik-baik saja!" bentak Saga pada perawat yang menyodorkan sebuah berkas ke arahnya. Bahkan pria itu membanting berkas tersebut di lantai dan membuat perawat tersebut mengerut ketakutan hampir menangis. "Lakukan apa pun untuk membuatnya hidup kembali. Keduanya. Apa kalian mengerti?!"

Perawat itu mengangguk dengan kepalanya yang tertunduk. Bergegas memungut berkas di lantai dan lari terbirit.

"Kau harus tenang, Saga." Alec merasa iba pada perawat yang hanya melakukan tugas sesuai prosedur.

"Aku bisa melakukan apa pun di rumah sakitku?!" sengit Saga.

"Bayi itu belum waktunya keluar, kau harus bersiap merelakan salah satunya. Sesil atau anakmu?"

Arrgggghhhh....

"Kau menginginkan anak itu, bukan. Kau hanya perlu menyuruh dokter memprioritaskan anakmu?"

"Diam kau, Alec!" geram Saga. Mendorong tangan ke rambut, menggenggamnya kuat-kuat, dan menggeram dengan keras. Sesil atau anaknya? Ia tak bisa memilih. Ia tak bisa kehilangan salah satu dari mereka.

Alec mendesah keras. Kata-katanya tentu saja memengaruhi emosi Saga, dan memang itu tujuannya. Ia hanya ingin Saga mengakui apa pun yang dimiliki pria itu untuk Sesil.

Memilih diam dan membiarkan Saga kembali berjalan mondar-mandir di lorong dengan gelisah. Pria itu tak pernah sekacau ini sebelum Sesil diseret masuk dalam kehidupan mereka. Terhitung dua kali Sesil masuk ruang operasi dan membuat Saga amburadul seperti ini. Alec hanya berharap apa pun yang terjadi di ruang operasi, tak akan membuat Saga mengamuk dan menghancurkan rumah sakit ini karena tak becus melakukan apa pun yang diinginkan Saga. Demi kebaikan semua pihak.

***

Operasi berjalan lancar. Sesil selamat, dipindahkan ke ruang pemulihan selama beberapa saat sebelum mendapatkan ruang rawat sendiri. Setelah pengaruh obat bius mulai menghilang, Sesil tersadar. Semua tubuhnya terasa berat dan tak mampu bergerak. Bau antiseptik yang tajam menyeruak hidungnya begitu matanya terbuka dengan sempurna. Sesaat ia kebingungan dengan situasi di sekitarnya, lalu ingatan-ingatan itu bermunculan di kepalanya yang masih berat.

"Akhirnya kau tersadar," desahan lirih dan penuh kelegaan di sebelah kiri membuat Sesil menoleh.

Saga dengan rambutnya yang acak-acakan segera memindahkan duduknya dari kursi di samping ranjang ke sisi ranjang perawatan Sesil. Menyentuhkan tangannya di kepala Sesil memastikan bahwa wanita itu benar-benar sudah sadar. "Jangan banyak bergerak?"

"Apa yang terjadi?" Suara Sesil pelan.

"Kau baik-baik saja."

Tangan Sesil terarah ke arah perutnya yang membesar. Lalu kepalanya terangkat sedikit tak menemukan apa pun yang dicarinya. Perutnya merata. "Di mana anakku?"

"Tenanglah."

"Di mana anakku, Saga?" tangisan Sesil pecah. "Apa dia baik-baik saja?"

"Kau harus tenang."

"Di mana dia sekarang?"

"Aku sudah mengurusnya."

"Mengurusnya?" Sesil membeliak dengan matanya yang penuh air mata. "Apa maksudmu mengurusnya? Apa dia pergi?" Sesil mengoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan keras. "Tidak mungkin. Kembalikan anakku, Saga."

Saga menangkup wajah wanita itu. Menahan gerakan-gerakan yang hanya akan membuat wanita itu tersakiti. Tangisan Sesil masih membanjir, tapi wanita itu sudah berhenti meronta.

Dan tangisan itu tetap tak berhenti. Hingga beberapa hari kemudian setelah dokter menyatakan Sesil bisa melanjutkan perawatan di rumah.

Mobil mereka baru saja melaju meninggalkan rumah sakit, Saga menoleh ke samping. Kemuraman itu masih melekat pekat di wajah Sesil. Mata wanita itu tak pernah mengering. Saga hanya membiarkan wanita itu meresapi kesedihan. Tahu apa pun yang hendak Saga berikan akan ditolak oleh Sesil meski hanya sentuhan tangannya saja.

Sepanjang perjalanan ke rumah, tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir keduanya. Sesil turun dari mobil dengan bantuan salah satu pelayan. Membawanya ke kamar.

Hubungan mereka tak pernah membaik, bahkan setelah beberapa hari kemudian. Pengaruh obat membuat Sesil sering tertidur dan selalu terbangun tanpa Saga di ranjang. Selalu hanya ada pelayan yang memastikannya meminum obat dengan teratur. Menanyakan apa kebutuhan dan keinginannya.

Dalam satu hari, ia bertemu hanya Saga saat pria itu hendak naik ke ranjang untuk tidur. Sering kali Sesil, berpura-pura tertidur lebih dulu dengan memunggungi pria itu. Dan ia benar-benar tertidur beberapa saat kemudian. Setelah begitu lelah dengan tangisan tanpa suaranya.

Esoknya, lagi-lagi Sesil menemukan ranjang yang kosong di sampingnya. Satu pelayan masuk begitu ia turun dari ranjang. Sesil mengusirnya dengan mengatakan sedang ingin sendirian.

Ia berjalan ke kamar mandi. Badannya sangat lengket, dan ia ingin mandi. Tanpa melepas pakaiannya, berdiri di bawah shower. Membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Lagi, air matanya mengalir bercampur dengan air dingin. Kakinya melemah dan terjatuh di lantai. Memeluk lutut dengan kedua tangannya. Menangis lagi dan lagi. Sesil butuh sandaran, dan Saga menjauhinya. Tak ada lagi alasan bagi Saga untuk berbuat baik padanya. Anak mereka sudah tidak ada.

Pertama kalinya perasaan itu muncul, perlahan-lahan dan tanpa peringatan. Sesil menyadari bahwa Saga telah berhasil mencuri sedikit demi sedikit hatinya. Karena hormon kehamilan atau bukan, pada akhirnya perasaan itu masih membekas di sana. Mengubah kebenciannya menjadi reaksi alami yang membuat tubuhnya tak sanggup berjauhan dari Saga. Membuatnya selalu berlari dan memeluk Saga. Pria itu akan menghancurkan hatinya. Tanpa ampun dan dengan cara paling kejam yang bahkan tak pernah akan Sesil bayangkan.

Mungkin meninggalkan pria itu adalah satu-satunya jalan baginya untuk melupakan bagian hidupnya di sini. Melupakan semua hal yang terjadi di sini. Anaknya, dan cintanya.

Terkadang, ia merasa menggenggam hati pria itu melebihi yang pria itu berikan. Namun, kebohongan pria itu sekali lagi menegaskan bahwa apa pun yang dimiliki pria itu untuknya adalah sekedar bentuk dari kenaifannya saja. Hanya khayalan yang ia yakinkan pada dirinya sendiri.

Samar-samar gedoran keras dari arah pintu kamar mandi perlahan menyadarkan Sesil. Tubuhnya menggigil dan suara gemericik air memenuhi telinganya. Entah berapa lama air mengguyur tubuhnya. Matanya terbuka, tapi tubuhnya yang menggigil serasa membeku. Tak sanggup berdiri, tangannya berusaha menggapai sesuatu di dinding. Air shower berhenti mengguyur tubuhnya. Tepat ketika pintu kaca digeser dengan gerakan kasar.

"Apa kau sudah gila?!!" Suara Saga menggema di setiap sudut kamar mandi.

Sesil menoleh, Saga sudah di sampingnya. Mengangkat tubuhnya dalam gendongan dan membawanya keluar kamar mandi.

Setelah mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian baru dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Saga menyodorkan secangkir teh hangat pada Sesil.

Sesil menerimanya. Menangkup cangkir itu dan merasa kehangatan menggantikan rasa dingin di kedua telapak tangannya.

"Apa kau benar-benar berniat ingin mati, Sesil?!" bentak Sesil.

Sesil masih menunduk. Ya, kematian anaknya benar-benar membuatnya ingin mati, Sesil menjawab dalam hati. Kemudian ia menyesap teh hangatnya sekali dan berniat meletakkan cangkir itu di nakas.

"Habiskan!" gertak Saga sebelum cangkir Sesil menyentuh nakas.

Sesil tak menjawab, tapi menuruti kata-kata Saga dengan matanya yang kosong.

Setelah cangkir teh itu kosong, Sesil membaringkan badannya di kasur dan Saga kembali keluar setelah mengatakan dokter akan datang untuk memeriksa keadaannya. Dengan wajah penuh kefrustrasian.

Sesil beruntung, bekas operasi di perutnya baik-baik saja. Tidak ada sesuatu yang serius selain tubuhnya yang kedinginan dan perlahan sudah mulai menghangat.

Saga merasa kurang puas dengan kata-kata dokter, pria itu naik ke ranjang dan memeluk tubuh Sesil dari belakang. Menyelimuti tubuh mereka dan menggenggam kedua tangan wanita itu dalam genggamannya.

"Apa yang kaulakukan, Saga?" Sesil berusaha menepis sentuhan Saga. ia benci gelenyar hangat yang selalu muncul ketika kulit mereka saling bersinggungan. Ia benci akan keinginannya untuk merapat di dada Saga dan meminta kehangatan di sana.

"Sampai aku yakin tubuhmu benar-benar hangat, aku akan memelukmu. Tidurlah!"

Kali ini Sesil tak menolak. Ia membutuhkah kehangatan ini untuk hatinya. Selama ia masih bisa menikmatinya.

Hening, sangat lama. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan meski saling menyadari bahwa tidak ada yang terlelap di antara mereka.

"Biarkan aku pergi, Saga." Tiba-tiba ucapan Sesil membelah kesenyapan itu. Lirih tapi memberikan efek luar bisa bagi tubuh di belakangnya.

Bibir Saga terkatup marah, menahan geramannya di tengorokan. Wanita itu harus bersyukur atas kerapuhan dan rasa sakit setelah operasi besar demi melahirkan anak mereka. Satu-satunya hal yang menahan Saga membalik dan mendorong Sesil ke kepala ranjang dan membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya.

Ia tahu, wanita itu akan memohon padanya untuk satu hal itu. Hubungan mereka selama ini baik-baik saja. Penuh hasrat dan saling membutuhkan satu sama lainnya untuk mengusir stress. Apakah bagi Sesil ia hanyalah pria yang digunakan untuk menuntaskan gairah? Meski baginya Sesil juga seperti itu. Terkadang ada saatnya hubungan mereka membuat kepalanya pecah. Tujuan utama permainan yang ia buat sendiri.

Aarggghhhh ....

Wanita itu meminta lebih. Lebih besar dari yang seharusnya bisa Saga berikan dan ia tahu ia tak bisa memberikannya pada Sesil. Dan sekarang, kata-kata itu akhirnya keluar juga.

"Aku akan berpura-pura tak mendengarnya, Sesil. Tidurlah."

***

Rupanya Sesil benar-benar berniat mengikis habis kesabaran Saga dengan segala cara. Esoknya, seharian penuh wanita itu hanya meringkuk di kasur, tanpa menyentuh makanannya sesuap pun.

"Makanlah, jika kau tidak ingin mati menggenaskan karena kelaparan, Sesil."

Sesil tak bergerak.

Kehilangan kesabaran, Saga menyingkap selimut dari tubuh Sesil, menarik lengan wanita itu dan membuatnya terduduk. Lalu memindahkan nampan di nakas ke pangkuan Sesil. "Makan!"

Sesil melempar nampan itu dari pangkuannya. Seluruh isinya berhamburan di lantai. "Aku tidak lapar!"

Mata Saga terpejam, setengah mati menahan tangannya untuk menyentuh kulit wanita itu dan meremukkannya. "Apa yang kauinginkan?" desisnya dengan bibirnya yang menipis. "Apa kauingin pergi dari rumah ini? Kau tahu itu tidak akan pernah terjadi."

Sesil mendongak. Menatap wajah Saga yang menjulang tinggi di samping ranjang. "Aku ingin kau menepati janjimu!"

"Janjiku?" Alis Saga turun dan saling berdekatan membentuk kerutan vertikal di tengah.

"Meski anak itu sudah tidak ada, aku sudah melakukan tugasku untuk melahirkannya. Sekarang aku ingin kau menepati janjimu untuk membebaskanku."

Saga menggeram. Sialan! janji itu.

"Kau sudah berjanji padaku," kejar Sesil.

"Hidup dan matimu adalah milikku, Sesil. Ingat?"

Sesil menyeringai. "Aku akan memilih kematianku."

Selama lima detik mata mereka saling terpaku. Melemparkan kemarahan dan tekad kuat yang tak akan terpatahkan.

"Kau benar-benar membuatku muak, Sesil. Baiklah, jika memang meninggalkan rumah ini yang kauinginkan. Pergilah! Sekarang juga!"

Kemudian Saga menyumpah dan berjalan keluar meninggalkan kamar mereka. Suara bantingan benda-benda pecah menyusul setelahnya.

Sesil menunduk, menangkup wajah dengan kedua telapak tangan dan menangis. Semua ceritanya dan Saga telah usai.

***

"Dia benar-benar terlihat sangat terluka, Saga." Ada rasa iba yang melumuri suara Alec. Ekspresi kehancuran yang melekat begitu erat di wajah Sesil, luka hati yang begitu dalam tersorot di matanya yang tak pernah mengering sejak hari itu. Mau tak mau hal itu memengaruhi hati yang seharusnya tak cukup peka melihat kesedihan semacam itu. Ia sudah terlalu kebal dengan ribuan air mata yang berurai demi memohonkan nyawa padanya. Tetapi, kali ini, air mata Sesil benar-benar menyentuh hatinya. Dan kepergian wanita itu seolah mengembalikan dunianya yang hampa.

"Aku tahu." Sudut bibir Saga berkedut ke atas, masih dengan pandangan mata yang terpusat pada mobil yang membawa Sesil melewati gerbang besinya yang tinggi.

"Apa kauyakin melakukan ini, Saga?" tanga Alec lagi, menghapus setetes cairan di sudut matanya sebelum mengalihkan wajahnya pada Saga.

"Yang mana?"

"Keduanya."

"Jika seorang wanita memilih pergi, itu artinya dia benar-benar terluka, Alec. Aku hanya membiarkan luka itu sembuh, meski aku ragu melihat ekspresi terlukanya yang begitu dalam."

Mata Alec menyipit, menyangsikan jawaban Saga secara terang-terangan. Tetapi Saga malah tergelak menertawakan kecurigaannya. Setelah dengan berbagai cara dan emosi telah Saga lalui untuk menakhlukkan Sesil, bagaimana pria itu bisa tertawa dengan kepergian Sesil. Kecuali ....

"Dia masih istriku, dan kebohongan kedua akan membawanya kembali. Dengan kerelaaannya sendiri." Saga merogoh saku celananya. Mengeluarkan dadu berwarna hijau dan menyipitkan mata untuk memperhatikan setiap titik yang mengeliling sisinya.

Dahi Alec mengerut. Membiarkan Saga melemparnya ke tanah dan berjongkok untuk melihat titik paling atas.

"Empat?" Saga menggaruk dagunya yang tak gatal. "Aku berharap satu. Tapi lebih buruk jika enam."

Kerutan di dahi Alec semakin banyak.

"Sampai ketemu empat tahun lagi, Sesil."

Alec paham. Permainan Saga belum berhenti. Mungkin tak akan pernah berhenti. Ia pun tak akan bertanya kenapa Saga begitu terobsesi dengan Sesil. Yang ia tahu, Sesil berada dalam masalah besar.

Saga memungut dadu itu dan berjalan melewati Alec sambil berujar, "Hmm, aku harus ke rumah sakit. Kau urus pekerjaan hari ini."

***

So, Sesil ke mana????

Saturday, 2 May 2020



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top