Part 28
New Story
###
Part 28
###
Hmmm, mulai part ini sampai ke depannya, siapkan hati kalian ya. Kalau mau patah ya patah aja, ntar tinggal di sambung lagi. wkwkkwkwk
###
Tujuh bulan kemudian ....
Reynara mengangkat tangannya begitu denting pintu cafe murahan itu terbuka. Sosok itu menangkap isyarat tangannya dan bergegas mendekat.
"Ada apa, Reynara. Jika kau masih mengungkit hal itu, kau tahu kau tak akan mendapatkannya."
"Kali ini aku membawa sesuatu yang tak akan pernah kaubayangkan, Dirga. Aku yakin kau akan tertarik."
"Kau membuang waktuku," sesal Dirga dengan kesal. Sudah mengangkat pantatnya dan hendak pergi ketika kali ini kata-kata Reynara.
"Sesil hamil."
Dirga mematung. Kembali duduk di kursi dan menatap Reynara dengan wajah pucatnya.
Kenangan Reynara berputar, mengingat pemandangan indah sekaligus memuakkan itu.
Reynara menatap penuh kebencian dari arah balkon pada dua sosok yang tengah duduk berdua di bawah sana. Di halaman berumput dengan cahaya sore yang menghangatkan keduanya.
Saga duduk di samping Sesil. Lengannya bersandar di punggung kursi yang diduduki Sesil sedang satu tangannya menyentuh perut Sesil yang sudah membesar. Wajah Saga dan Sesil menunduk, menjadikan perut Sesil sebagai pusat perhatian. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kemudian Saga tersenyum dan Sesil tertawa terbahak. Mereka berbicara lagi, dengan wajah yang semakin mendekat. Saga menggosokkan hidungnya di hidung Sesil. Dan Reynara tak ingin dibuat semakin membara. Ia berbalik dan yakin mereka pasti sudah saling melumat di bawah sana.
"Beberapa hari yang lalu aku berkunjung ke rumah Saga dengan Arga. Aku terkejut, mengetahui kabar itu setelah kandungannya bahkan sudah tinggal beberapa bulan lagi. Mereka sengaja menutupi pernikahan atau kehamilan ini."
Dirga membeku. Terlihat begitu tenang maski emosi di dalam hatinya hancur berantakan. Ia sudah cukup mendapatkan begitu banyak derita dan rasa sakit dengan pernikahan mereka. Kehamilan itu hanya semakin menyuburkan kebencian yang memang sudah dirajut sejak ia terlahir dan membengkak hingga ia tak bisa menahannya lebih lama lagi. Kekalahan ini tidak akan bertahan selamanya. Bagaimana pun caranya, ia harus menghancurkan kemenangan Saga. Dan mengambil kembali apa pun yang menjadi miliknya.
"Jadi, apa kau masih tak tertarik memberikan apa yang kuinginkan?"
Dirga masih terdiam. Berusaha menetralisir kemurkaan yang menghancurkan dirinya secara pelan-pelan dan mematikan itu dalam ketenangan yang terkendali. "Apa yang kauinginkan?" desisnya.
"Rega."
Dirga merasa balok es menghantam punggungnya dengan kecepatan tinggi. Membekukan seluruh tubuh dan udara di sekitanya. Menariknya masuk ke dalam lubang masa lalu yang gelap dan sangat kelam.
"Aku tahu semua ini bermula karena Rega. Adik bungsu Saga." Reynara berhenti. "Sekaligus mantan kekasihmu."
***
Sesil menopangkan dagunya di kedua tangannya yang bersilang di meja. Menunggu dengan mata berbinar tertuju pada piring Saga. Pria itu masih melahap makanan dengan sikap santainya.
"Hanya hari ini, Sesil. Besok kau harus mulai memakan makanan yang disediakan kokiku untukmu," peringat Saga dengan sendok teracung pada wajah Sesil. "Kau tak bisa memaksaku memakan omelet hanya karena kauingin."
Sesil mengangguk meski tahu ia akan melanggar janji itu. "Bisakah kau lebih cepat menghabiskan bagianmu."
Saga berdecak. "Aku harus mengunyahnya dengan benar sebelum menelannya."
Sesil mengerucutkan bibirnya. "Anakmu sudah sangat kelaparan."
"Apa kau masih gemar mangatasnamakan anakku demi keuntungan pribadimu?"
"Ck." Sesil bersandar dengan wajah yang semakin tertekuk ke bawah.
Saga tersenyum dalam hati dengan ketidaksabaran wanita itu. "Kenapa akhir-akhir ini kau jadi semakin tidak sabaran?"
"Aku memang bukan penyabar."
Saga menatap kerucut di bibir Sesil dengan gemas. Lalu tiba-tiba ia menyendokkan sepotong omelet dan mendekatkannya di mulut Sesil. "Apa rasanya akan berbeda jika tanganku yang menyuapimu?"
Alis Sesil turun sedikit. Lalu membuka mulut dan mengunyah potongan omelet itu dengan perlahan. Seolah mencari kenikmatan yang dicarinya. Kemudian matanya melebar penuh binar sebelum mengangguk penuh antusias pada Saga yang menunggu reaksinya.
"Selama tujuh bulan dan ide itu baru muncul hari ini?" tanya Sesil, kini mencondongkan badannya ke dekat Saga. "Aku tak percaya menyia-nyiakan kesabaranku demi sepotong omeletmu."
Saga terkekeh. Mulai menyuap untuk dirinya dan Sesil bergantian. Kesenangan Sesil untuk anak dalam kandungan wanita itu. Tanpa sadar, ia sendiri jatuh dalam perangkap permainan emosi yang ia siapkan untuk Sesil.
"Apa hari ini jadwalmu ke rumah sakit?"
Sesil mengangguk. "Aku sudah memberitahumu lusa kemarin. Apa kau ada pekerjaan hari ini?" Bibir Sesil mulai tertekuk ke bawah.
Saga menggeleng. Menyuapkan sesendok pada Sesil.
"Baguslah." Suara Sesil tak terlalu jelas dengan omelet yang ada di mulutnya.
"Hanya akan ada beberapa orang yang datang ke rumah ini. Nanti malam. Sebaiknya kau tidur lebih awal."
"Kenapa?" Sesil berhenti mengunyah.
"Jangan banyak bertanya." Suara Saga tegas.
Sesil pun memilih diam. Terkadang orang datang ke rumah ini memiliki pengawal-pengawal yang berperawakan mengerikan. Dengan tubuh besar dan kekar serta jenggot yang hampir memenuhi wajahnya yang sangar. Ia tahu bisnis yang digeluti Saga memang memerlukan orang-orang seperti mereka. Terkadang, hal itu membuat Sesil menjauh. Namun, langkahnya hanya sampai di telinga dan matanya yang dijaga Saga tetap buta dan tuli dari dunia mereka.
Dengan perkembangan hubungan mereka yang mulus dan tanpa pertengkaran selama beberapa bulan terakhir, bukankah seharusnya ia sudah melangkah lebih dekat pada Saga? Lagi-lagi pertanyaan itu hanya sebatas dalam benak Sesil.
***
Arga melempar lembaran kertas berstempel salah satu nama rumah sakit yang pria itu yakini rumah sakit di pinggir kota. Wajah pria itu sekeras baja dan memerah siap membakar Reynara dengan emosinya yang meluap tak terkendali.
Reynara tertunduk, menatap lembaran yang sudah tak berbentuk jatuh di lantai. "Jadi, kau tahu," ejek Reynara dengan nada mencemooh.
Arga menarik lengan Reynara dan mendorong wanita itu tembok terdekat. Tangannya mencengkeram wajah cantik itu dengan niat menyakiti. "Apa kau ingin bermain-main denganku?"
Reynara sama sekali tak mengerut kesakitan. Cemoohnya semakin kentara mengejek Arga. "Permainan tanpa perlawanan tak akan menarik, Arga."
Arga menggeram, semakin mengetatkan cengkeramannya pada wajah Reynara. "Mulai malam ini, kita akan tinggal di rumah Saga."
Kepucatan seketika menghiasi wajah Reynara. "Mengawasiku seperti stalker tak akan membuatku hamil anakmu."
Arga menyeringai. "Kita lihat saja nanti."
***
"Jenis kelamin masih sama. Seratus persen laki-laki. Cairannya cukup, detak jantung bagus, apa semakin sering menendang?"
Sesil mengangguk. Bibirnya tak berhenti melengkung menatap layar besar di depan dokter. "Terutama saat kami mengajaknya berbincang."
"Ya, itu bagus. Komunikasi sangat penting untuk tumbuh kembang bayi."
Sesil menoleh pada Saga yang berdiri di samping ranjang. Pria itu juga tengah memandang layar. Tak ada senyum di sana, tapi Sesil tahu pria itu sama bahagia seperti dirinya.
"Perkiraan 21 Juli. Tetap pastikan asupan gizi dan suasana hati ibu terjaga," kata dokter lebih ke pada Saga.
"Apa vitaminnya sudah habis?" Dokter itu menarik alat di perut Sesil. Seorang perawat mendekat dan membersihkan sisa gel di perut Sesil.
"Kemarin terakhir," jawab Sesil sambil bangkit dengan bantuan Saga. Pria itu mendekatkan sandal Sesil dan membantunya turun dari ranjang lalu mengikuti dokter menuju meja di sudut.
"Saya akan meresepkan vitamin lainnya."
***
"Kalian datang lebih awal, Saga masih di rumah sakit," sapa Alec ketika Arga dan Reynara muncul di pintu utama. "Memeriksakan kandungan Sesil. Semakin besar kandungan harus semakin sering kontrol. Apa kalian belum mendapatkan kabar gembira ini?" Mata Alec tertuju pada perut Reynara.
Arga menggeram. "Antar istriku ke kamar atas," pintahnya pada salah satu pelayang yang datang mendekati mereka. Beberapa pelayan lelaki membawa koper mereka, melangkah di belakang Reynara menuju lantai dua.
"Kau terlihat uring-uringan, Arga?" tanya Alec pada Arga yang kini duduk di sofa panjang berseberangan dengan tempatnya. Wajah pria itu tampak kusut.
Arga mendongak. "Apa kau tahu, bagaimana cara menangkal suntikan kontrasepsi?"
"Kenapa?"
"Nara, sialan! Wanita itu memakai suntik kontrasepsi tanpa sepengetahuanku. Beberapa kali aku dibodohi dengan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kehamilan yang pasti hasilnya nol."
Alec terbahak. "Apa kau tak sabar ingin segera menjadi ayah?"
"Diam kau, Alec!"
Alec semakin terbahak, tapi tetap bertanya, "Berapa lama suntikan itu akan bertahan?"
"Entahlah, tiga atau enam bulan."
"Kau hanya perlu bersabar dan menunggu tiga atau enam bulan untuk menidurinya."
Arga semakin menggeram. Menggusurkan kedua tangannya di antara rambut di kepala dan menunduk dengan geraman yang semakin dalam.
"Kau mungkin bisa menemui dokter. Mungkin ada obat atau sesuatu yang bisa mengurangi keefektifan suntikan itu."
Saran Alec samasekali tak membantu. Dokter mengatakan butuh waktu satu tahun sejak suntik itu dihentikan bagi Reynara untuk hamil.
"Kalian sudah datang?" Saga muncul dari ruang tamu Satu tangannya melingkar di pinggang Sesil dan berjalan pelan menyetarakan langkah kakinya dengan Sesil.
"Apa jenis kelaminnya sudah berubah, Sesil?"
Sesil mendelik jengkel pada Alec. Setelah mengetahui jenis kelamin anaknya adalah laki-laki, pria itu tak berhenti mengejeknya. Pria itu keukeuh dengan pendirian bahwa jenis kelamin bayi tergantung dari cara makan ibu saat sedang hamil. Jika banyak makan alias rakus sudah pasti laki-laki, jika tidak suka makan pasti perempuan karena wanita suka diet bahkan sejak masih di dalam kandungan. Pemikiran macam apa itu.
"Tunggu di ruanganku." Saga menginteruksi pada Alec dan Arga.
Alec berdiri, berhenti di dekat Sesil dan berkata lagi, "Jika kau menahan selera makanmu selama sebulan ini, mungkin saja bulan depan bayinya akan berubah perempuan."
"Diamlah, Alec!" gertak Sesil. Tetapi tawa pria itu semakin nyaring bahkan ketika sudah menghilang di tangga.
"Pergilah ke kamar."
Sesil menggeleng. "Aku ingin duduk di halaman belakang."
Saga mengangguk. "Aku akan menyuruh pelayan untuk membawakanmu beberapa potong buah."
"Terima kasih."
Kernyitan muncul lagi di dahi Saga. Setiap Sesil mengatakan kata itu, ia merasa Sesil menariknya mendekat dan ia tak menyukainya. Wanita itu seolah melucuti tembok penghalang yang ia pasang untuk mereka. Mulai menggoyahkan tujuan utamanya.
***
Reynara sedang duduk di balkon menikmati jus dan potongan buahnya ketika melihat Sesil berjalan di halaman belakang. Dengan perutnya yang besar, wanita itu menapaki halaman berumput itu. Apa bentuk wanita hamil memang terlihat sejelek itu? Reynara bersyukur ia tak akan mengalami hal semacam itu. Ia tak akan bersusah payah untuk mengandung anak Arga. Apa lagi demi kepuasan pria itu yang haus akan kekuasaan.
Reynara meletakkan jus di tangannya, berdiri dan memutuskan bergabung dengan Sesil. Terlalu penasaran, apakah hubungan Saga dan Sesil akan terusik dengan tabir yang akan ia buka di antara mereka.
****
"Boleh aku bergabung?"
Sesil mendongak ke samping. Reynara dengan gaun warna kuningnya yang panjang dan memiliki belahan tinggi hingga paha di samping menunduk dengan senyum melengkung terlalu lebar.
Sesil mengangguk. Meskipun mereka memiliki hubungan kekeluargaan yang dekat, hubungan di antara mereka terlalu canggung untuk lebih akrab. Setelah pernikahan Reynara dan Arga, keduanya tinggal di Cina karena Arga perlu mengurus beberapa bisnis di sana. Beberapa minggu yang lalu mereka kembali ke negara ini dan ini adalah pertemuan keduanya dengan Reynara.
Reynara mengambil tempat duduk di samping Sesil. Tatapan wanita itu tak henti-hentinya tertuju ke arah perut Sesil. "Apa kau bahagia, Sesil?"
Sesil tak tahu apa makna pertanyaan Reynara. Ia sendiri pun bingung jawaban apa yang hendak ia keluarkan. Itu adalah pertanyaan yang sama yang selalu ia pertanyakan untuk dirinya sendiri. Apakah ia bahagia?
Mungkin hubungannya dengan Saga memang jadi lebih baik, tanpa kemarahan sebagai satu-satunya media komunikasi mereka. Ia menikmati kehamilannya. Menikmati sikap Saga yang lebih lembut. Hanya saja, ia tak pernah tahu sampai kapan semua kenyamanan ini bertahan. Sudut hatinya menyadari, bahwa suatu saat, semua ini akan berakhir. Dunianya dan Saga masih terpisah.
"Apa kau belum menemukan alasan yang tepat untuk meninggalkan semua kebahagiaan yang semu ini, Sesil?" Mata Reynara yang hitam dan bening menatap Sesil. "Aku tahu, jauh di dalam sana kau menyadari. Bahwa di sini, bukan tempatmu."
Sesil mengerjap. Reynara seolah masuk ke dalam pikirannya dan membaca apa pun yang tersimpan di sana yang tak berani ia hadapi sendiri.
"Atau kau yang sudah terlanjur jatuh cinta dan enggan beranjak dari posisi nyamanmu? Tanpa memperhitungkan kesempatan untuk terluka atau bobrok yang membalut kebahagiaan semu kalian?"
"Apa maksudmu, Reynara?" Sesil ingin mengabaikan kata-kata Reynara. Tetapi rasa penasaran membuatnya membuka mulut.
"Kisah Dirga dan Saga tak seperti yang kita duga, Sesil. Permusuhan mereka menyimpan kekelaman yang abadi. Permusuhan yang sudah melibatkan tiga generasi. Dua generasi telah mencoba memperbaiki, hanya untuk menjadi korban dari permusuhan itu."
Sesil bergeming. Membutuhkan sedikit usaha lebih untuk memahami dengan benar maksud kata-kata Reynara.
"Ada dua keluarga, tak pernah ada yang tahu bagaimana dua keluarga ini saling melemparkan kebencian. Seiring kesuksesan yang mereka raih perseteruan pun semakin meningkat. Kebencian itu tak pernah terhapus dan mengabadi hingga diwariskan kepada anak turun mereka. Beberapa generasi yang begitu naif –seperti Rega- mencoba memperbaiki, hanya untuk menjadi korban dari permusuhan tersebut. Tak pernah ada yang berhasil, hingga mereka tersadar dan menganggap kebencian itu sebagai kutukan keluarga."
"Rega?" Sesil melengkungkan alis. Jelas sekali terkejut mendengarkan cerita Reynara.
"Rega, adik bungsu Saga. Apa Saga tak pernah bercerita padamu?"
Sesil tak akan menggeleng demi memuaskan Reynara. Apa pun niat Reynara menceritakan kisah ini, ia tahu niat itu tidak baik. Hanya saja, ia tak bisa tak tertarik dengan kisah tersebut.
Cukup lama Sesil bertanya-tanya ketika mulai menyambungkan benang kusut yang terjadi di antara Saga dan Dirga. Kebencian keduanya yang teramat besar sepertinya tak cukup hanya memiliki satu alasan. Ia sudah mempertanyakan hal itu pada Max. Satu-satunya pria yang cukup dekat dengan Saga dan Dirga. Namun, pria itu tak memberinya jawaban yang memuaskan. Hanya meninggalkan teka-teki yang masih tersimpan di kepalanya.
Apakah Reynara akan memberinya jawaban tersebut? Meski firasat buruk mulai menyelusup ke dalam hatinya, Sesil membiarkan lampu hijau menyala untuk Reynara melanjutkan kisah tersebut.
***
Btw, guys. Di sini ada yang suka baca di aplikasi lain selain wattpad ga? Apa namanya?
Saturday, 25 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top