Part 22

New Story

###

Part 22

###

Dikit, tapi lumayanlah buat nemanin malam minggu kalian di rumah.

Selamat membaca .....

###

"Pergilah!" usir Saga pada perawat yang sedang mengoleskan salep pada tumit Sesil dengan sangat lambat.

Perawat itu mematung lalu mendongak dengan ketakutan. Wajah tampan Saga memang menakjubkan, tapi aura berbahaya yang menyelubungi pria itu adalah sesuatu yang harus dijauhi secepat mungkin.

"Tinggalkan semua itu di sini. Aku yang akan melakukannya sendiri," jelas Saga tak sabaran. Ia sudah biasa terluka dan merawat lukanya sendiri dengan benar tanpa bantuan seorang dokter. Tentu merawat luka seringan lecet karena sepatu berhak tinggi bukanlah masalah.

Perawat itu masih tak bergerak. Hendak menjelaskan bagaimana cara merawat luka lecet itu dengan benar. Tetapi, aura mencekam yang memenuhi udara di sekitar mereka membuatnya membeku. Belum lagi dengan pistol nampak jelas bersarung di pinggang Saga, membuatnya semakin menggigil oleh ketakutan.

Mata Saga mendelik, siap memakan perawat itu hidup-hidup jika tak segera angkat kaki dari ruang perawatan Sesil. Apakah semua perawat di rumah sakit ini memiliki otak tumpul, sehingga tak memahami satu kata perintahnya dengan baik. Membuatnya semakin uring-uringan harus mengeluarkan dua kalimat dengan kesabarannya yang baru ia miliki sejak menikahi Sesil. Perawat itu seharusnya beruntung, nyawanya selamat karena ia tak ingin membuat keributan dan membangunkan Sesil.

Perawat itu menelan apa pun yang hendak keluar dan berjalan terbirit keluar pintu. Tepat ketika melewati pintu, sosok lain muncul dan ia hampir terjengkang menabrakkan wajahnya di dada bidang tersebut.

"Maaf, maafkan saya, Tuan." Perawat itu seperti hampir menangis ketika matanya menangkap pistol yang juga bersarung di pinggang Alec.

Alec hanya mengangguk singkat. Sekilas menangkap ekspresi ketakutan di wajah tersebut dan tahu siapa atau apa penyebabnya. Saga memang tak pernah menjadi tamu yang ramah.

"Keluarlah, Alec. Suasana hatiku sedang buruk. Kau tahu apa yang kumaksud," usir Saga bahkan sebelum Alec mengambil satu langkah pun di ruang perawatan Sesil.

"Apa kauyakin?" Alec berhenti di depan pintu, merogoh saku jasnya, mengeluarkan benda logam berbentuk lingkaran dengan hiasan permata yang berkilau dan menunjukkan pada Saga. Lalu, melangkah mendekat dengan persetujuan dalam diam Saga dan mengulurkan benda dalam genggamannya pada Saga.

"Itu hanya logam yang bisa kaubeli dengan sangat mudah. Atau kau bisa menyuruh beberapa pengawalmu menggunakan detektor logam untuk mencarinya dengan mudah seperti yang kulakukan. Kau tak perlu menyiksa Sesil dan membahayakan bayi yang kaubilang kauharapkan itu." Alec mengamati Saga yang memasangkan cincin itu kembali di jari manis Sesil yang masih tak sadarkan diri.

"Diamlah, Alec!" gertak Saga tajam. "Aku sedang tak ingin berdebat." Saga berpindah ke ujung ranjang. Mulai mengoleskan salep di tumit Sesil dengan hati-hati. Ia tahu bisa mengerahkan semua pengawalnya untuk mencari cincin itu dengan sangat mudah di halaman berumput yang luas hanya dalam hitungan menit. Tetapi, Sesil dengan arogannya malah menantang maut dan mencarinya dengan cara manual yang konyol. Membuatnya semakin geram setelah dengan begitu tenangnya mengaku dengan bangga membuang cincin pernikahan mereka seperti sampah.

Hanya butuh satu kata penyerahan dan Sesil tak perlu menyiksa diri. Wanita itu tahu tidak akan pernah menemukan benda itu, tapi kepalanya yang bebal memang tak pernah belajar dengan baik. Berpikir cara itu adalah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan di balik harga dirinya yang memang sudah ia hancurleburkan.

Alec mengangkat bahunya. Tak ingin mengusik lebih jauh emosi Saga yang masih memanas.

"Kau bisa keluar sekarang," usir Saga terang-terangan.

"Baiklah." Alec berbalik dan melangkah keluar tanpa membantah. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam satu jam yang lalu. Pengaruh alkohol masih menguasainya di keramaian pesta saat Saga menelfon dan menyuruhnya mencari cincin di halaman sialan itu. Dan sekarang ia sama sekali tak berniat membuat dirinya semakin tersiksa dengan aksi uring-uringan Saga. Ya, ia memang harus terbiasa dengan suasana hati Saga yang bagaikan roller coaster karena Sesil.

Saga menempelkan plester sebagai sentuhan terakhir di tumit Saga. Menarik selimut menutupi kaki Sesil dan kembali duduk di kursi samping ranjang. Menunggu wanita itu tersadar.

Entah berapa lama ia menunggu sambil menghabiskan waktu memandangi wajah Sesil yang terlelap. Hingga penantiannya terbayar dengan gerakan tangan Sesil di genggaman membuyarkan lamunannya. Tak lama, rintihan pelan lolos dari bibir mungil itu dan mata Sesil membuka dengan perlahan.

"Jangan bergerak," gertak Saga begitu Sesil berniat bangun untuk duduk. "Apa yang kauinginkan?"

Sesil melirik gelas air putih di nakas.

"Minumlah." Saga mengambil dan mendekatkan gelas itu ke bibir Sesil. Menariknya kembali setelah Sesil merasa sudah menuntaskan rasa hausnya.

Mata Sesil menjelajahi seluruh ruang dengan dekorasi mewah tersebut. Ketiga kalinya berbaring di ruangan semacam ini membuatnya langsung mengenali situasi sekitarnya. "Kenapa aku di rumah sakit?"

"Mulai sekarang, kau harus beristirahat di ranjang sampai kandunganmu benar-benar kuat. Jika terlambat sedikit saja dokter menangani, kurasa kau akan kehilangan anak kita."

"Ka ..." Sesil menelan ludahnya. Tanpa sadar tangannya bergerak menangkup perutnya. Tidak, tidak mungkin, bukan. "Kandungan? Apa maksudmu?"

"Kau hamil." Penjelasan Saga singkat dan tanpa beban sedikit pun seperti menghimpit Sesil.

Sesil mengatur napasnya mulai tak terkendali. Kabar tentang kehamilan ini benar-benar bukan hal yang bisa ia tolak karena ia ingin. Dalam keterpakuannya, ia mencoba bangkit terduduk meskipun dengan sedikit bantuan Saga.

"Kau pasti berbohong, kan?" sembur Sesil. Ya, Saga pasti berbohong. "Seperti yang kaulakukan padaku saat ingatanku menghilang."

"Aku ingin berpura-pura membenarkan tuduhanmu, tapi kupikir aku sudah terlalu banyak berbohong dan menjebakmu."

Sesil menggelengkan kepala. Memutar kembali ingatannya sebelum pingsan. Ia membuang cincin di halaman karena terlalu kesal pada Saga yang seenaknya bercumbu dengan wanita lain. Saga marah karena cincin itu dan menyuruhnya mencari cincin di tiap helai rumput halaman yang luas. Kerena kelelahan mencari, mendadak pusing di kepala dan rasa sakit yang berpusat di perut menyerangnya secara bersamaan. Membuatnya mengerang kesakitan karena tak tahan menerima rasa sakit itu lebih lama hingga kegelapan menelannya hidup-hidup. Apakah itu karena kehamilan ini?

"Apa kau sudah mulai tenang?" Saga membenarkan selimut di pangkuan Sesil dan meletakkan tangannya di sana. Mengamati wajah Sesil yang masih sibuk dengan pemikiran dan dirinya sendiri.

"Kau memberitahu kehamilanku dan ingatan pertama yang tertanam di kepala ketika aku bangun dari pingsan adalah adegan saat kau bercumbu dengan wanita lain?" sinis Sesil menghempaskan tangan Saga dari pangkuannya. Suaranya sedingin dan setajam seperti yang diharapkan meskipun ia setengah mengingkari kemarahannya berasal dari rasa panas yang membakar dadanya.

"Jadi, kau melihatnya?" tanya Saga dengan datar dan sikap tenangnya sambil memutar kepalanya menghadap nakas. Membuka penutup mangkuk di nampan dan mulai mengaduknya. Mulai meniup uap yang masih mengepul pada sendok lalu mengangkatnya ke bibir Sesil. "Makanlah. Kau butuh tambahan gizi ..."

Aarrggghhhhh ... Apakah hanya dia yang bersikap berlebihan? Sesil mengerang dalam hati lalu menyingkirkan tangan Saga dari dekat mulutnya hingga sendok dan bubur itu jatuh ke lantai. "Aku tak sudi hamil, apalagi mengandung anakmu," sembur Sesil.

Saga menunduk. Menatap sendok yang jatuh di lantai dalam diam. Bibirnya menipis, dadanya sudah naik turun, dan sungguh bibirnya sudah gatal untuk membungkam mulut kurang ajar Sesil. Tapi entah kenapa ia menahan diri dengan usaha sangat keras.

Sesil menghentakkan selimut yang menutupi kaki dan mulai menurunkan kakinya dari ranjang rumah sakit. Meringis kesakitan pada jarum infus yang terpasang di pergelangan tangan kanannya karena ia bergerak dengan kasar. Lalu, kepalanya mendadak pusing ketika kedua telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin. Ia terhuyung kembali di kasur dan memegang kepalanya dengan tangan kiri.

Dari seberang ranjang, Saga berdiri dan menarik punggung Sesil untuk kembali berbaring di kasurnya. Sesil membiarkan ia menolong, menandakan rasa sakit yang diderita Sesil pasti sangat besar hingga mampu menanggalkan harga diri yang diagung-agungkan wanita itu.

"Apa kau sengaja melakukannya?" tanya Sesil sambil memperbaiki cara berbaring yang nyaman. Kepalanya masih begitu pusing, dan rasa tak nyaman dan lemah yang berpusat di perut membuatnya bergerak dengan sangat perlahan.

"Seharusnya kau merasa bahagia, karena kau satu-satunya wanita yang kubiarkan mengandung benihku. Dan untuk waktu yang lama, kau akan bertahan di sisiku. Setidaknya aku tidak boleh merasa cepat bosan kepada ibu dari anakku, kan?"

"Kau benar-benar brengsek, Saga," desis Sesil.

"Apa kauingin dokter memeriksa keadaanmu jika kau memiliki keluhan lain?" Saga mengabaikan umpatan Sesil. Brengsek memang sifat sekaligus wataknya. Ia tak akan membantah. "Saat keadaanmu lebih baik, mungkin kita mengambil foto usg."

"Aku sama sekali tak berminat menengok anakmu." Sesil membuang wajahnya. Hatinya terasa sesak memikirkan kebencian yang begitu besar pada Saga, tapi di saat yang bersamaan, perasaan hangat yang mengalir memenuhi hatinya karena kehadiran makhluk bernyawa di perutnya tak mampu ia tolak. Mau tak mau kehadiran makhluk rapuh yang menggantungkan hidup pada dirinya, merubah dunianya dalam sekejap.

Saga membiarkan Sesil menenangkan dirinya sejenak. Mata wanita itu sudah basah ketika berpaling darinya, tapi sekuat tenaga memaksa agar tak menangis di hadapannya. Membuat Saga berdecak kesal atas kegigihan wanita itu mempertahankan harga diri.

Sesil terkesiap kaget ketika tiba-tiba Saga menyelipkan tangan di leher dan balik lututnya, menggeser tubuhnya hingga ke pinggir ranjang dan memiringkannya. Kemudian ia merasakan tekanan berat pada kasur di bagian belakangnya dan punggungnya menempel di dada bidang Saga. Pria itu melingkarkan tangan kiri dari belakang di perutnya. Mengetatkan pelukannya saat ia berusaha meronta dengan tubuh lemahnya. "Apa yang kaulakukan, Saga?"

"Emosimu yang berlebihan bisa membuat janin dalam kandunganmu terguncang. Aku hanya ingin menenangkan anakku dan memberitahunya bahwa dia baik-baik saja."

Sesil membeku. Karena kata-kata Saga atau karena pelukan pria itu yang membuatnya tak bergerak dengan bebas. Air mata yang hendak membanjir mendadak terhenti dan kekesalan karena ia begitu terhanyut membuatnya marah pada diri sendiri dan hanya bisa melampiaskannya pada Saga.

"Lakukan itu sendiri pada anakmu, Saga. Jangan jadikan aku sarana untuk kebrengsekanmu."

Saga terkekeh. Mengecup leher Sesil yang terekspos bebas di hadapannya dan berbisik penuh kepuasan. "Jadi, kau bersedia mengandung anakku hingga lahir?"

Bibir Sesil terkatup rapat. Bersyukur ia berbaring di ranjang sehingga kakinya yang melemah karena kecupan dan hembusan napas panas Saga di leher membuat tubuhnya sensitif. Sialan! Ini bukan dirinya. Ini bukan tubuhnya yang sebenarnya. Ini hanya hormon sialan yang sedang mengambil alih tubuh dan pikirannya hingga membuatnya lemah dan lebih mudah terjebak dalam kelicikan Saga.

"Tidurlah. Kita akan pulang saat kau benar-benar sudah tenang dan melupakan segala rencana buruk untuk berbuat onar di rumah sakit."

"Aku baru saja bangun," protes Sesil.

"Kau baru bangun dari pingsanmu, bukan tidurmu."

"Aku tidak mengantuk."

"Pejamkan matamu."

"Ranjangnya sempit, Saga. Kau atau aku yang harus pindah di so ..."

Saga menggeram. Mulai kehilangan kesabaran meskipun ia berusaha sangat keras menahan amarahnya. "Diam dan berpura-puralah tidur agar tak mengganggu tidurku, Sesil. Aku ingin memejamkan mataku setidaknya untuk tiga puluh menit ke depan."

Sesil tak menjawab. Keheningan yang mendadak melingkupi mereka membuatnya menahan bibir. Saga pasti sudah tenggelam dalam alam mimpinya dengan napas teratur yang berhembus di cekungan lehernya. Seperti yang biasa dilakukan oleh pria itu saat mereka berada di ranjang. Ia ingin merasa tak terbiasa, tapi keadaan memaksanya terbiasa dengan sentuhan atau pun pelukan yang diberikan Saga.

Ia pernah mencoba melepas pelukan Saga saat mengira pria itu benar-benar sudah lelap. Tetapi keenam indera pembunuh pria itu mendadak aktif ketika merasakan gerakan tiba-tiba di sekitar. Beruntung Saga tak lepas kendali dan memecah kepalanya dengan pistol yang selalu tersembunyi di balik bantal pria itu. Sejak itulah, ia tak berani mengganggu tidur Saga. Membiarkan pria itu melakukan apa pun terhadap tubuhnya.

Sesil mengangkat sedikit jemari tangannya dengan gerakan sepelan mungkin menyadari kilau yang tertangkap sudut matanya. Cincin pernikahannya dengan Saga sudah terpasang kembali di sana. Bagaimana pria itu bisa menemukannya bukanlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban dan Sesil tak mau memikirkannya. Hanya saja, arti cincin ini bagi Saga adalah pertanyaan lain yang membuat kepalanya semakin pusing. Apakah cincin ini milik orang yang sangat berharga bagi Saga sebelumnya? Mantan tunangan? Atau mantan istri? Orang setampan Saga pasti memiliki banyak wanita yang silau oleh penampilan fisik pria itu.

Karena terlalu lelah memikirkan Saga, ditambah napas Saga yang berhembus di tengkuknya, mata Sesil mulai mengantuk. Hingga ia tertidur dan merasa begitu nyaman dalam pelukan Saga.

***

Nah, loh. Kalau sudah begini. Saga enaknya diapain, guys?

Hormon kehamilan emang semenye itu kok, Sil. Nikmati selagi Saga khilaf. wkwkkwkwk

Saturday, 4 April 2020



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top