Part 21
New Story
###
Part 23
###
"Namaku Reynara. Kurasa kau perlu tahu."
"Kau sudah menulisnya." Saga menunjukkan kertas berwarna pink yang ada di tangannya. "Dan kurasa tanda lipstiknya sedikit berlebihan. Aku hampir terpergok oleh pasanganku." Nada dalam suara Saga terdengar menyesal tapi ekspresi wajahnya tampak datar dan terkesan tak peduli. Lalu, ia meletakkan kertas itu di meja kecil tempat pot bunga anthurium merah.
Reynara tersenyum. "Aku mencoba memberikan pertemuan pertama yang romantis."
Saga mengangkat bahunya sekali. Jawaban wanita itu terasa menggelitik telinganya. Romantis dan dirinya bukanlah hal yang patut disandingkan.
"Penolakanmu pada ayahku terlalu kasar. Jadi, aku memilih menemuimu secara pribadi. Mungkin itu akan sedikit mengubah keputusanmu." Wanita itu berdiri di pagar balkon menyambut kedatangan Saga dengan pose yang tertata apik, memberikan kesan pertama yang istimewa dan diperuntukkan untuk menggoda mangsanya.
Saga mengamati tubuh setinggi seratus enam puluh lima itu dalam diam. Gaun berwarna perak yang menempel di setiap lekuk tubuh wanita itu yang menonjol di tempat-tempat seharusnya tubuh wanita menggoda, penuh dengan keindahan. Mata Saga terpaku pada bawah leher wanita itu, dengan belahan dada serendah itu, Saga bersumpah tak akan pernah memberikan Sesil gaun dengan model semacam itu hanya untuk menarik mata-mata liar tak bermoral. Tubuh Sesil jelas eksklusif hanya untuknya.
"Apa aku begitu mengecewakanmu?" Bibir tipis wanita itu mengerut dengan manja
Kepala Saga terdongak. Menatap wajah mungil berhidung kecil dan mancung, serta bibir tipis dan dagu lancip. Wanita itu terlihat cantik dan tampak bersinar dengan wajah yang di make up natural. Ia akan bersikap munafik jika mengatakan wanita itu tidak cantik dan mengecewakan dirinya. Ya, Saga akui, di antara wanita-wanita yang jatuh di kaki dan singgah di ranjangnya. Kesemuanya selalu berpenampilan mencolok dan mengumbar keindahan fisik mereka dengan penuh kepercayaan diri yang malah terkesan murahan. Tetapi, wanita ini memiliki kecantikannya sendiri dengan penampilannya yang alami. Tak mengurangi keeleganan dirinya meskipun beberapa bagian tubuhnya dipamerkan dengan cara murahan.
"Kau ..." Sekali lagi Saga menilai penampilan fisik wanita itu. Berusaha mencari celah yang membuatnya memiliki alasan untuk menoleh wanita itu. "Aku tak bisa mengatakan kau tidak cantik dan menarik."
"Lalu, apa sekarang aku mengubah keputusanmu?"
Saga menyunggingkan senyum sinisnya. Melangkah mendekat dan ikut berdiri di samping pagar besi tempat wanita itu bersandar. "Entahlah. Aku hanya tak tertarik urusan pribadiku dikendalikan oleh pekerjaan. Apalagi mengenai kebutuhan biologisku. Membuatku tak terlalu bergairah."
Reynara tersenyum. Terlalu memaksa terlihat sangat lembut di bibirnya yang tipis. Tangannya terangkat dan membelai sepanjang lengan Saga.
Saga melirik gerakan lembut yang diperuntukkan menggoda dirinya. Pengaruh akhir-akhir ini yang terbiasa memaksakan kehendak pada Sesil, sedikit banyak membuatnya merindukan diperlakukan penuh pemujaan seperti ini. Alec benar, wanita ini tampak menggoda sekaligus tipe pematuh di atas ranjang. Hanya saja ...
"Apa aku membuatmu bergairah sekarang?"
"Hmm, tidak." Kening Saga berkerut. "Mungkin belum."
Tangan Reynara naik ke wajah Saga. Menyentuhkan ibu jarinya di sepanjang bibir bawah Saga lalu membawanya ke mulutnya sendiri. "Apa kauingin aku mencobanya dengan bibirku?" bisiknya dengan desahan yang mendayu.
"Aku khawatir kau akan tersinggung dengan hasilnya," ucap Saga datar. Namun, penuh tantangan yang tersembunyi.
Reynara mendekatkan wajahnya. Berhenti sejenak saat kedua bibir mereka hampir bersentuhan. "Aku khawatir itu hanyalah kekhawatiran yang tak perlu."
Saga tak berusaha mendekat atau pun menjauhkan wajahnya. Membiarkan bibir Reynara bergerilya di sepanjang bibir bawah dan atasnya bergantian. Kedua lengan wanita itu melingkari lehernya. Dada wanita itu yang menempel di dadanya memberikan tekanan yang pas dan lembut. Ia menunggu, menunggu lumatan panas Reynara menarik perhatiannya dan membuat bibirnya ikut menari dalam ciuman itu. Hingga ia merasa bosan karena tak kunjung ada niatan untuk membalas lumatan bergairah Reynara.
"Apa kau sudah selesai?" Saga bergumam di antara bibir mereka yang masih menempel. Ya, bibir wanita itu sangat lembut dan bergerak melumat bibirnya dengan menggoda. Memanjakannya dan begitu memuja dirinya. Semua perasaan wanita itu terluap dalam lumatan panas yang menyusuri setiap inci kulit bibirnya. Namun, Saga sama sekali tak tertarik berlama-lama beradu bibir dengan siapa pun. Mulai merasa resah karena gairahnya tak pernah tergerak dengan wanita mana pun setelah ia meniduri Sesil. Ia pikir, ia hanya belum merasa bosan, tapi sentuhan Reynara lah yang menyadarkannya.
Sialan! Jika ia membiarkan pengaruh Sesil sedalam ini, sepertinya ia benar-benar harus membunuh wanita itu.
Reynara menarik tubuhnya menjauh. Reaksi Saga benar-benar mengecewakannya, tapi ia tak akan membiarkan dirinya larut dalam kekecewaan. Menakhlukkan seorang Saga Ganuo membutuhkan usaha lebih dari seribu kali. Penolakan pertama bukanlah apa-apa.
"Jangan tersinggung. Aku hanya tak pernah berkhianat dengan pasanganku meskipun aku suka bergonta-ganti pasangan. Hanya kebiasaan saja." Saga berusaha menghibur Reynara meskipun tak tulus.
Basa-basi Saga sama sekali tak mengurangi ketersinggungan Reynara. Ia terbiasa dipuja dan dikejar oleh para pria. Terkadang ia menikmati mempermainkan emosi mereka. Namun, memuja dan mengejar ternyata memiliki sedikit tantangan yang memicu adrenalinnya. Dan Saga adalah lawan yang seimbang. Pria itu membuat dirinya tak mudah didapatkan, seperti dirinya sendiri. "Apa yang membuatmu begitu tertarik dengan wanita itu?"
Saga mengibaskan tangannya di depan wajah, tak menutupi kerisihannya akan topik yang diambil Reynara. Mungkin kesadaran akan pengaruh Sesil yang terlalu besar pada dirinya membuatnya tiba-tiba kesal. "Sayangnya, aku sedang tidak tertarik mencurahkan isi hatiku sama seperti aku tidak tertarik untuk tidur dengan siapa pun selain wanitaku."
"Apa karena dia perawan pertama yang kaucicipi? Atau karena dia semacam tropi kemenangan yang layak kau simpan?"
Seringai tipis terukir begitu apik di bibir Saga. "Keduanya. Mungkin."
"Aku bisa memberikan kedua hal itu padamu." Kata Reynara tak mau kalah dan kali ini dengan kepercayaan diri yang begitu besar.
"Kurasa aku sudah memberitahumu jawabanku."
"Aku akan menerima kesepatakan yang kau buat untukku dan Arga."
"Itu bagus." Komentar Saga singkat dan tak peduli.
"Sebelum itu, kau juga harus menerima persyaratan dariku."
Saga terkekeh. "Apa kau mencoba membuat penawaran denganku?"
"Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Dan aku orang yang keras kepala untuk menyerah hanya karena satu penolakan. Apa lagi saat aku belum benar-benar melakukan apa pun."
"Kenapa akhir-akhir ini aku sering menjumpai orang-orang yang tak tahu diri. Berjuang untuk sesuatu yang sia-sia? Omong kosong," gerutu Saga lebih ke dirinya sendiri. Dirga dan Sesil contoh yang payah. "Sebaiknya kau menggunakan tenaga dan waktumu untuk sesuatu yang lebih berarti. Besikap yang manis sebagai putri kesayangan pimpinan Cheng dan merangkai bunga seperti yang biasa kaulakukan sebelumnya. Lupakan kesepakatanmu dengan Arga."
"Kita tak tahu apa yang terjadi sebelum mencobanya, kan?"
"Percayalah. Hubunganku dengan Sesil tak akan berakhir hanya karena kau mencoba menarik perhatianku dengan tinggal di rumahku. Saat ini, perhatianku padanya begitu dalam dan tak akan tergoyahkan oleh badai. Apalagi angin lalu sepertimu."
Reynara sama sekali tak tersinggung atau pun merasa terhina. Sebaliknya, ia malah merasa bersemangat. "Kita lihat nanti." Senyum tipis yang tampak berlebihan terulas di bibir Reynara. Wanita itu menatap dan mengunci manik Saga.
Lalu getaran ringan yang berasal dari saku jas Saga mengalihkan tatapan mereka yang saling beradu.
"Hmm." Saga menjawab panggilan itu dengan gumaman dan tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Reynara. Lalu, tiba-tiba saja ide itu muncul. Membiarkan satu orang yang menolak keberadaannya dan satu orang yang mengejar serta memuja dirinya tinggal dalam satu atap. Sepertinya ini akan jadi sangat menarik.
"Aku akan turun dalam lima menit."
***
Beberapa menit yang lalu pria itu menyeretnya agar mereka segera pulang sampai mengeluh hanya karena ia haus dan ingin minum. Dan sekarang, Saga membuatnya menunggu sedangkan pria itu bersenang-senang dengan wanita lain. Bercumbu di sudut balkon yang sepi dan dengan keremangan yang melingkupi keduanya. Membiarkannya sendiri dan menunggu di tengah jalan seperti orang tolol. Pria itu memang pandai mempermainkan emosinya.
Rasa dingin yang berasal dari logam di antara jemari tangan mengalihkan perhatian Sesil. Hatinya mendadak semakin mendidih menatap cincin yang disematkan Saga di hari pernikahan mereka. Cincin pernikahan sialan! batin Sesil sambil menarik cincin tersebut dan melemparnya ke arah halaman berumput sangat luas di hadapannya sekuat tenaga. Lalu mengembuskan napas dengan keras merasakan kepuasan yang entah kenapa malah terasa menjengkelkan. Mungkin ia jengkel karena cincin yang ia buang sangat cantik dan indah. Mungkin juga karena ia takut Saga akan menyuruhnya mengganti rugi cincin itu. Ia bahkan belum membayar biaya rumah sakit.
Sesil menggelengkan kepalanya dengan keras beberapa kali. Melupakan kerugian materi yang mungkin harus ia tanggung karena cincin itu. Saga tak mungkin peduli pada cincin seperti itu. Toh, cincin itu sepalsu pernikahan mereka yang tak diakui oleh Saga, bukan?
Tak semestinya sebuah pernikahan berjalan seperti ini. Ini bukan pernikahan, jika Saga memang peduli pada cincin itu, semata hanya karena pria itu menganggap cincin itu sebagai rantai yang dikalungkan Saga di lehernya. Membuang cincin itu terasa seperti melepaskan cekikan Saga meskipun hanya dalam batin Sesil.
"Nyonya?"
Sesil terperanjat dengan panggilan tiba-tiba itu dan menoleh. Melihat Jon yang tak ia sadari kedatangannya berdiri tak jauh darinya dan sudah membukakan pintu mobil untuknya.
"Maafkan saya membuat Anda menunggu lama. Tadi ada sedikit masalah dengan ban mobil ..."
Sesil mengabaikan penjelasan Jon dan masuk ke mobil tanpa berkata apa pun. Menghempaskan punggungnya di jok mobil dengan keras dan menarik tertutup pintu mobil dengan kasar sebelum Jon sempat menutupnya. Jika Jon datang tepat waktu, tentu ia tidak akan memergoki kebrengsekan Saga. Tak tahu ia harus berterimakasih atau merasa kesal dengan halangan yang dikatakan Jon.
"Kenapa kau tidak menjalankan mobil?" tanya Sesil ketus karena Jon hanya duduk diam di balik setir setelah masuk, tanpa ada tanda-tanda akan menyalakan mesin mobil.
"Tuan Saga belum turun," jawab Jon dengan sabar dan ramah meskipun pertanyaan Sesil terdengar begitu kesal. Ia pantas mendapatkan sikap sinis dari istri tuannya karena membuatnya menunggu lama.
"Aku sangat lelah," gerutu Sesil. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa sangat letih dan ingin segera berendam di bak mandi untuk menjernihkan pikiran yang tampaknya mulai kalut dan berantakan. "Sepertinya Saga tidak akan kembali dalam waktu dekat. Pria itu masih bersenang-senang dengan wanitanya di atas."
Jon mengerutkan kening, lalu menekan tombol panggilan cepat di ponsel sebelum menempelkan di telinganya. "Tuan, mobil sudah siap dan sepertinya Nyonya kelelahan."
Sesil melotot mendengar pengaduan Jon, tapi tak berkomentar. Lagipula, ia memang sangat lelah dan ... rasa perih di tumit kakinya mendadak mulai kambuh setelah sejenak terlupakan karena amarahnya pada Saga.
"Baiklah, Tuan." Jon menurunkan ponsel. "Tuan akan segera turun," beritahu Jon.
"Kau boleh mengatakan padanya tak perlu terburu-buru. Kita bisa pulang sendiri. Aku tak ingin mengganggu acara malam mereka," ketus Sesil lagi.
"Wanita itu bukan wanita tuan Saga, Nyonya. Anda tak perlu khawatir."
"Apa aku mengatakan mengkhawatirkan hubungan mereka?" sahut Sesil semakin dongkol. "Jangan sembarangan menafsirkan kalimatku melenceng dari apa yang kukatakan sebenarnya!"
Jon mengangguk dengan wajah datarnya. "Maafkan saya, Nyonya."
Tak lama kemudian, Saga masuk ke dalam mobil dan mobil pun mulai melaju melewati gerbang besar dengan penjagaan ketat. Mulai melintasi jalanan beraspal dengan pohon-pohon besar di sisi kanan maupun kiri dengan minim pencahayaan.
Sesil melirik sekilas ke arah Saga. Sejak Saga masuk ke dalam mobil, hidungnya terasa gatal mencium aroma parfum wanita yang menempel di badan Saga. Ya, Saga terlalu sering memeluknya. Di ranjang, kamar mandi, sofa, ruang kerja, dan di mana pun pria itu menghendaki. Membuat hidungnya terbiasa mengenali aroma pria itu, dan saat ada bau asing yang menempel di badan pria itu, tentu saja ia bisa mendeteksinya. Merasa kesal pada dirinya sendiri yang ternyata terlalu memperhatikan Saga, Sesil bergerak menjauh serta memutar tubuh memunggungi Saga. Menikmati kekesalannya sambil menatap jalanan yang gelap lewat jendela mobil. Apa pun itu lebih baik asalkan bukan melihat wajah Saga. Membuat ingatannya tentang tubuh Saga dan wanita itu yang saling menempel kembali menari-nari di kepala.
Tak seharusnya ia merasa kesal. Apalagi marah. Biar saja Saga melakukan apa pun sesuka pria itu di belakangnya. Toh, hubungan mereka bukanlah hubungan yang patut saling mengkhawatirkan kesetiaan satu dengan lainnya.
"Kenapa? Apa kau kesal karena membuatmu menunggu terlalu lama?" tanya Saga yang menyadari kekesalan Sesil setelah keterdiaman wanita itu terasa mencurigakan. Biasanya, wanita itu selalu menggerutu saat merasa kesal. Sengaja membuat telinganya gatal dengan ocehan-ocehan yang keluar dari mulut tajam Sesil.
Sesil menggeleng sedikit. Ia mengantuk, membuatnya semakin tak ingin membuka mulut.
Saga mengamati punggung Sesil. Lalu, saat pandangannya jatuh pada tangan Sesil di paha, tatapannya terpusat pada jemari wanita itu. Merasa ada keganjilan di sana. "Mana cincinmu?"
Tubuh Sesil seketika menegang, lalu segera menarik tangan di pangkuannya menempel di perut. Menutup tangan kirinya dengan tangan kanan untuk menyembunyikan jemarinya dari mata Saga meskipun tahu itu tindakan konyol.
"Di mana cincinmu?" desis Saga lebih tajam. Kini tubuhnya ikut berputar menghadap Sesil dan menarik bahu wanita itu menghadap dirinya.
"Aku ... aku tidak tahu," jawab Sesil sekenanya. Tak menyangka Saga akan menyadari hal itu secepat ini.
"Bukan jawaban yang bertanggung jawab, Sesil."
Sesil menoleh, mengangkat sedikit dagunya dan menjawab dengan lantang. "Aku sudah mengatakan padamu tidak tahu. Apa kau juga tidak tahu itu artinya apa?"
"Itu cincin pernikahan kita," geram Saga.
"Pernikahan yang tidak kau akui, bukan?" sembur Sesil mulai marah.
Saga mengangkat alisnya, mengamati Sesil yang langsung membuang wajah darinya. "Apa kau merasa kesal aku memperkenalkanmu sebagai kekasihku? Dan bukan sebagai istriku?"
Sesil membelalak tak percaya dan menatap kembali Saga dengan kekesalan yang berlipat ganda. Pada Saga, juga pada dirinya sendiri. "Semua itu bukan urusanku. Toh, mereka akan tetap menatapku sebagai pelacurmu."
"Kau bukan pelacurku," tekan Saga. "Kau istri ..."
"Lalu kenapa jika aku istrimu?"
Saga mendesah keras. Tak sabar dengan topik baru lagi. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Di mana cincin itu?" desis Saga tajam dan dingin.
"Aku membuangnya."
"Apa kau bilang?" Saga bukannya tak mendengar. Hanya saja, ia cukup –sangat- terkejut dengan jawaban Sesil hingga membeo jawaban Sesil seperti orang tolol. Apa wanita itu sudah gila?
"Aku membuangnya di halaman! Apa kau puas?!"
Rasa panas menggelegar dari ujung jemari Saga. Merambat ke dada dan naik ke ubun-ubunnya. Jika bukan karena egonya yang tak ingin tergores karena melakukan kekerasan pada seorang wanita, ia pasti sudah menampar wajah rapuh Sesil. Beraninya wanita itu membuang cincin pernikahan mereka?! Harga dirinya serasa diinjak-injak. Akan ia pastikan Sesil mendapatkan hukumannya.
"Kembali," perintah Saga pada Jon dengan desisan tajam. Seperti biasa, perintah itu selalu mampu membuat bulu kuduk Jon bergedik ngeri tanpa berani membalas tatapan sang tuan dari kaca spion.
Sesil tak tahu, seberapa penting cincin itu bagi Saga hingga membuat pria itu bereaksi berlebihan pada benda logam itu. Bahkan pria itu tak mau repot-repot mengakui pernikahan palsu mereka di hadapan publik meskipun ia juga tak butuh pengakuan tersebut. Lagi, pernikahan mereka juga dilaksanakan dengan penuh tipu muslihat dan tekanan-tekanan yang ditujukan demi kepentingan salah satu pihak. Sesil merasa pusing, memikirkan pernikahan mereka yang ia sendiri tak mengerti harus berjalan seperti apa atau bagaimana harus menempatkan diri dalam rumah tangga ini.
"Cepat temukan," ucap Saga dingin ketika mobil berhenti di halaman luas tempat mereka berada beberapa saat yang lalu. Hiruk pikuk dan keramaian pesta masih terdengar dari kejauhan, tapi tempat ini masih sepi seperti saat mereka meninggalkannya tadi.
Sesil menoleh. Melihat wajah Saga dari samping. Begitu pun hamparan rumput dari kaca mobil. Apa pria itu menyuruhnya mencari cincin di halaman yang seluas lapangan golf itu? Di tengah malam seperti ini? Dengan gaun panjang dan sepatu tinggi sialannya?
"Apa kau sudah gila?"
"Aku ingin kau memungut cincin itu sekarang juga." Suara Saga penuh penekanan di setiap kata-katanya yang tegas meskipun kepalanya tetap menghadap ke depan.
Kedua tangan Sesil terkepal keras. Kemarahan yang begitu besar menahan semua umpatan kotor hendak keluar dari bibirnya.
Saga memutar kepalanya merasakan kemarahan Sesil yang hendak meluap, tapi wanita itu menahan diri dengan sangat baik. "Kau tidak boleh masuk ke mobil ini tanpa cincin itu di jari tanganmu." Saga mengakhiri perintahnya. "Agar kau mengerti seberapa berharganya arti pernikahan kita."
Sesil membanting pintu sekuat tenaga. Tak akan mengeluh seberapa pun waktu yang akan ia lalui untuk menemukan cincin itu. Dengan penerangan minim dan cuaca sedingin ini, ia perkirakan hingga pagi menjelang ia tak akan menemukannya. Dan ia tak akan peduli. Tak akan pernah.
Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga Sesil merasa begitu lelah menyusuri setiap helai rumput dengan penerangan sangat minim. Sudah tentu ia tak akan menemukannya. Ia juga tak berharap akan menemukannya. Angin dingin yang menusuk tulang dan membuat tubuhnya hampir membeku pun tak ia pedulikan. Meskipun begitu keringat masih membubuhi wajah dan seluruh tubuhnya karena terlalu banyak energinya yang terkuras. Punggungnya terasa kaku dan sakit karena terlalu sering membungkuk. Hells yang ia kenakan sudah berpisah dengan kakinya dan entah terdampar di mana. Kepalanya mulai pusing, oleh rasa kantuk dan lelah. Napasnya juga mulai terengah, tapi ia tak menyerah dan terlihat menyerah di hadapan Saga. Mati karena mencari cincin pernikahan sialan di padang rumput ini terasa lebih terhormat daripada harus mengatakan menyerah sekali lagi pada kekuasaan Saga. Sudah cukup penyerahan pertamanya mengoyak-ngoyak harga dirinya. Ia akan mengakui dirinya tidak waras jika kali ini menyerah untuk kedua kali.
Bruuukkkkk ...
"Tuan!" Jon memanggil sebelum berlari mendekati Sesil yang tergeletak di antara rerumputan.
Saga menoleh, melihat pengawalnya berlari menembus keremangan menuju tubuh Sesil yang kini berbaring di rerumputan. Terkejut, Saga bergegas keluar dari mobil menyusul Jon.
***
Kemaren nyumpahin Saga, kalau sekarang enaknya ngapain Saga?
Thursday, 2 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top