Part 20
New Story
###
Part 20
###
Beri satu alasan kenapa kalian nungguin part ini posting sebelum mulai membaca.
Yang komen ama follow Author, ntar Author follback. Yang terlewat ga difollback bisa protes di papan pesan. 😊😊😊
Author hanya berharap readers bisa seaktif Author posting part selanjutnya. Follow, vote, dan komen kalian adalah bentuk apresiasi terhadap karya Author yang tidaklah seberapa ini. Sebagai semangat. Dan seperti kalian yang terhibur tulisan ini (hanya untuk yang merasa terhibur, yang tidak ya silahkan tinggalkan lapak ini wkwkwk), Author juga merasa sangat terhibur saat membaca komen kalian yang terkadang malah membuat terngakak sendiri.
Selamat membaca ........
###
"Dirga mulai mendekati pimpinan Cheng. Di sebelah utara."
Saga sudah memperkirakan hal itu sejak menyadari kemunculan Dirga di pesta ini. Dirga tak pernah mendengarkan peringatannya dengan baik, kebodohoan itu jugalah yang membuat Sesil jatuh dalam cengkeramannya. Skenario terburuk, pria itu tak akan menyerah untuk mendapatkan Sesil dan akan menggunakan segala cara untuk mengusiknya. Membuat Saga semakin tertantang dalam permainan ini. "Apa kau sibuk, Max?"
Max menggeleng sekali. Ia punya janji menyapa beberapa teman, tapi malam masih panjang untuk memulai rencananya. Pesta juga sepertinya belum benar-benar dimulai.
"Temani Sesil. Kalian bisa mengobrol sedikit sambil mengawasinya untukku. Jangan sungkan memperingatkannya jika dia mulai bertindak tak masuk akal."
Sesil memutar kepala dan melemparkan pelototan mata tersinggung dengan kata-kata Saga.
Saga menunduk, mengecup kening Sesil dan berbisik, "Aku tak akan lama. Jangan merindukanku."
Saga tersenyum dengan godaannya yang termakan oleh Sesil.
"Apa kau memang sespesial itu setiap harinya?"
Sesil berhenti menatap punggung Saga dan Alec yang menghilang di antara kerumunan dan mendesah. "Tergantung arti special setiap orang."
Max terkekeh lebih kencang. Menatap lama wajah Sesil, seolah mengamati dengan teliti.
"Apa yang kaulihat?"
Max menggeleng. "Wajahmu lebih berkilau dari terakhir kita bertemu."
"Aku tak tahu itu pujian atau hinaan. Aku sama sekali tak menikmati situasi dan apa yang kukenakan saat ini."
"Kenapa? Saga memberimu semua hal yang diidamkan hampir semua wanita di ruangan ini yang tidak diberikan pada mereka semua."
"Oh ya? Aku rela menukar apa pun yang diberikan Saga padaku dengan sebuah plester untuk meredakan sakit di tumit karena sepatu sialan ini." Sesil menghentakkan kaki kanan di antara belahan gaunnya.
Max terbahak hingga kepalanya terdongak.
"Hai, Max." Seorang wanita berambut pendek sedikit bergelombang yang dicat merah, mengenakan gaun hitam yang dihiasi permata di sepanjang lengan menyapa Max. Keduanya saling mendekat menyentuhkan pipi kanan dan kiri bergantian.
"Hai, Jen. Bagaimana kabarmu?" Max berbasa-basi.
"Aku baik. Dan apa yang membuatmu begitu terhibur?" Jen menoleh menatap Sesil. "Hai, aku Jen." Jen tak menunggu Max memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangan.
Sesil tak berminat mempunyai teman di lingkungan Saga, tapi senyum, tatapan mata, dan uluran pertemanan yang diberikan wanita bernama Jen itu tampak tulus. Satu-satunya ketulusan yang ia temukan di antara kearogansian dan kesombongan semua orang di ruangan ini. Sesil membalas uluran tangan Jen. "Sesil."
"Sesil?" Kening wanita itu berkerut mengingat sesuatu ketika mengulang nama Sesil di bibirnya. Lalu, kepalanya berputar kembali menatap Max. "Sesil yang itu?"
"Maksudnya?" tanya Sesil tak mengerti.
"Cinta Sejati Dirga." Jawaban Jen terdengar lugas diikuti ketidak percayaan yang mengejutkannya dengan cara menyenangkan.
"Ya. Sesil si Cinta Sejati Dirga," ulang Max membenarkan pernyataan Jen.
Jen tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala. "Senang berkenalan denganmu. Apakah akhirnya Dirga mau memublikasikan kekasihnya yang misterius? Kenapa aku tak mendengar beritanya."
Sesil memaksa senyum pahit tertarik di kedua sudut bibirnya. Tangannya terangkat menyentuh tengkuknya yang tak gatal.
"Karena dia bukan kekasih Dirga." Max mengambil alih jawaban yang tak mampu diakui Sesil.
Kerutan kembali muncul di kening Jen.
"Sekarang, dia wanita Saga. Itulah kenapa dia muncul di pesta. Untuk kedua kalinya."
Mata Jen membelalak. Tangan kanannya terangkat menutup mulutnya yang terbuka sambil menatap bergantian Max dan Sesil.
Setidaknya Sesil merasa lega penjelasan itu tak keluar dari mulutnya sendiri yang kaku menanggapi kegembiraan Jen sebelumnya. Ia tak merasa nyaman harus berbohong di awal pertemanan dengan satu-satunya orang yang benar-benar tulus. Atau mungkin sekarang Jen tak ingin berteman dengannya lagi.
"Aku tak tahu harus berbahagia atau berbelasungkawa untukmu. Aku hanya mengharapkan kenyamananmu."
"Jaga kata-katamu, Jen. Seseorang bisa berpikir kau melemparkan fitnah," tegur Max.
"Aku mengatakan kejujuranku," bela Jen. "Hanya orang yang berpikiran sempit yang mengatakan pendapat seseorang menjadi sebuah fitnah."
Max mengibaskan tangan di depan wajah. "Terserah kau." Pria itu menghentikan salah satu pelayan dan mengambil satu gelas sampanye. Pelayan itu berlalu setelah Sesil dan Jen menolak tawarannya dan lebih tertarik saling berbincang.
"Aku tahu Saga memiliki fisik yang sempurna di mata wanita, aku mengakuinya. Air liurku pun akan jatuh saat membayangkan dadanya yang telanjang, tapi aku sangat paham dengan karakternya yang gelap dan berbahaya, dia bukan kekasih yang baik. Maafkan aku." Permintaamaafan Jen benar-benar dari dalam hatinya.
"Seseorang memang harus memiliki cacat meskipun hanya satu." Sesil sama sekali tak tersinggung. Bahkan ia mulai menikmati menggosipkan kejelekan Saga dengan Jen dan mengabaikan Max. "Tapi Saga, wajahnya sama sekali tak menutupi semua keburukannya yang sebenarnya."
Jen membelalak tak percaya. Matanya melebar dengan ketertarikan dan rasa penasaran yang semakin meningkat. "Benarkah? Sebelumnya aku hanya pernah mendengar gosip. Apa dia melempar wanita-wanita yang membuatnya bosan ke rumah bordil di pinggiran kota?"
"Hati-hati, Jen. Kepalamu bisa melayang menyebarkan gosip tak berdasar jika sampai terdengar kaki tangan Saga," sela Max penuh peringatan. "Kalau pun benar, itu sama sekali bukan urusanmu."
Jen berdecak sinis pada Max. Lalu menatap ke sekeliling mereka mencari beberapa wajah yang mencurigakan dengan raut yang mulai terlipat dan ketakutan yang mulai muncul. Max benar, satu-satunya kebodohan yang hakiki di lingkungan ini adalah menggosipkan seorang Saga Ganuo. Tetapi hal itu juga tak cukup menghentikan mulut-mulut wanita bergosip. Saga Ganuo selalu menjadi bahan terbaik dan berkualitas tinggi untuk diperbincangkan.
"Lupakan kata-kataku," ucap Jen pada Sesil dengan nada permohonan meskipun tak ada penyesalan di sana. "Katakan padanya aku memuji ketampanannya."
Sesil tak mengangguk atau pun menggeleng. "Saga mengatakan akhir-akhir ini aku hobby berbohong, tapi itu bukan bakatku," aku Sesil dengan nada merana yang lemah. Membuat Jen dan Max saling tatap dalam diam. Ia sama sekali tak bermaksud menolak permintaan Jen, ia hanya takut kebohongannya justru akan membahayakan Jen. Saga memang seperti memiliki detektor kebohongan di kepala pria itu saat berhadapan dengannya.
"Mungkin kau harus pergi sebelum Saga memergokimu meracuni pikiran wanitanya," usul Max.
"Baiklah. Bagaimana pun, aku senang berkenalan denganmu, Sesil. Bye," pamit Jen dengan senyum yang masih tulus seperti sebelumnya dan segera berbalik menghilang di antara kerumunan.
"Kenapa kau mengusinya? Aku baru saja merasa memiliki teman di pesta yang membosankan ini," protes Sesil lemah dengan tatapan masih terarah pada kerumunan tempat Jen menghilang. Bolehkah ia merasa kehilangan?
"Aku hanya menyelamatkan nyawanya."
Bibir Sesil tertutup rapat menyadari arti kalimat Max lebih dalam.
"Nyawamu mungkin tampak spesial bagi Saga karena kau adalah hal paling berharga di mata Dirga. Tetapi, kami tak punya cukup hal spesial yang bisa diandalkan jika memilih menantang Saga."
Sesil mengembuskan napas dengan perlahan. Jika saja Max tahu, keberuntungannya juga tergantung pada bagaimana tingkat kebosanan Saga.
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Max tak beranjak karena mau tak mau harus menuruti perintah Saga. Lingkungan mereka adalah tempat yang berbahaya untuk Sesil, dan ia tak mau sesuatu terjadi pada Sesil kemudian Saga merongrong tanggung jawab padanya. Tentu ia tak akan melakukan ketololan semacam itu.
"Cinta sejati Dirga?" Sesil memecah keheningan di antara Max dengan dirinya. "Apakah namaku memang seterkenal itu di kalangan kalian?" Sesil teringat pertanyaannya yang muncul ketika Jen mengungkit hal itu di awal percakapan mereka.
Punggung Max mulai rileks dan pembicaraan mereka yang mulai mengalir tenang. "Sebenarnya itu hanya kasak kusuk dan selentingan kabar tak berdasar saja. Mereka menganggapmu sebagai simpanan karena hanya kabar burung yang beredar. Dirga tak pernah menolak atau pun mengiyakan pendapat mereka dan membiarkan mereka berasumsi. Dirga tak pernah melirik wanita-wanita yang sengaja jatuh di bawah kakinya. Terakhir pria itu menyangkal pendapat publik bahwa ia seorang pecinta sesama dengan menyebutkan namamu dan menunjukkan foto kalian yang tampak sangat mesra. Sejak itu namamu tercantum sebagai cinta sejati oleh beberapa orang yang menyaksikan bukti itu dan menyebar sebagai desas-desus."
"Kau mengenaliku di pestamu malam itu karena namaku atau apa kau salah satu saksi itu?"
Max mengangkat bahu lalu menyesap sampanyenya dua kali. "Keduanya. Mereka temanku, tapi aku sedikit lebih banyak mengenal Dirga daripada Saga. Lebih aman tak mengusik atau ikut campur urusan Saga, kan."
"Apa Dirga pernah dekat dengan Saga sebelumnya?" Sesil mulai menyambungkan benang kusut yang terjadi di antara Saga dan Dirga. Kebencian keduanya yang teramat besar sepertinya tak cukup hanya memiliki satu alasan.
"Cerita yang panjang dan sedikit rumit. Kau meminta penjelasan pada orang yang salah dan sekarang bukan waktu yang tepat untuk berkisah. Maafkan aku, Sesil."
Sesil merasa kecewa dengan pengharapannya yang terlalu tinggi untuk membayar rasa penasaran yang mendadak muncul. "Aku hanya ingin tahu apa yang tengah kuhadapi. Tiba-tiba berpisah dengan Dirga dan menjadi is ... harus menjadi tawanan Saga, aku benar-benar ..." Mendadak tenggorokan Sesil tersumbat dan kalimatnya berhenti. Ya, ia harus memahami posisi Max. Saga bukan hanya menguasai dunianya, tapi juga dunia orang-orang di sekitar pria itu.
Max menjilat bibirnya yang mendadak kering. Rasa iba muncul ketika matanya mengamati kebimbangan di wajah Sesil. Ia tak pernah ikut campur urusan Saga, memilih bungkam atau menutup mata atas kekuasaan Saga yang selalu semena-mena terhadap orang-orang di kalangan mereka. Sekali lagi ia menahan godaannya untuk membuka mulut layaknya pengecut. "Kau ingin minum?" Max menghentikan salah satu pelayan yang kebetulan sedang melewati mereka lagi.
Sesil menatap nampan yang dibawa pelayan. Beberapa gelas dengan cairan kuning keemasan disodorkan padanya. Ia tak haus, tapi mungkin minuman itu akan menenangkannya. Tangannya sudah menyentuh gelas terdekat, ketika nampan itu ditarik menjauh secara tiba-tiba.
"Kita pulang. Sekarang." Tatapan dingin Saga membuat pelayan yang sedang sial itu segera terbirit menjauh.
"Aku haus," geram Sesil karena rasa haus itu muncul sama mendadaknya seperti kedatangan dan larangan Saga. Tubuh dan pikirannya memang selalu otomatis melawan Saga. Saat Saga melarangnya, ia tak bisa menahan diri untuk menyambut larangan itu dengan pemberontakan.
Sejenak Saga mencari kebohongan di wajah Sesil. "Aku akan memberimu minum di mobil. Ayo." Saga menarik pinggang Sesil dan membawanya ke arah pintu keluar.
Max terhenyak mengamati punggung Saga dan Sesil selama beberapa saat. Hanya perasaannya saja atau Saga memang tampak sedikit terusik oleh minuman yang akan diminum oleh Sesil. Apakah ... segera Max menggelengkan kepala dengan keras. Bukan urusannya!
Tepat ketika Saga dan Sesil melintasi pintu utama yang masih sepi, karena mungkin merekalah satu-satunya tamu yang pulang lebih awal, seorang pria bersetelan serba hitam menghadang dengan sikap sopan. Keduanya berhenti, menatap tangan pria itu yang menyodorkan secarik kertas berwarna merah muda terlipat menjadi dua.
Sesil melirik kertas yang dipegang Saga dengan enggan meskipun sudut hatinya diikat rasa penasaran. Lalu membuang wajahnya bersikap seolah tak peduli. Dan harusnya ia memang tak peduli karena itu bukan urusannya.
Saga mengerutkan kening membaca satu kaya yang tertera di kertas dalam genggamannya. Pria itu menoleh ke arah tangga spiral tak jauh dari tempat Saga dan Sesil berdiri. Saga mendongak ke atas, menatap seseorang yang berdiri di pinggiran pagar tangga paling atas. Keduanya saling pandang hanya selama dua detik, setelahnya wanita itu berpaling dan menghilang di balik pintu ganda yang sepertinya mengarah ke balkon.
"Kita ke atas sebentar," gumam Saga dengan nada datar sambil membawa Sesil menuju anak tangga.
Sesil memaksa berhenti dan menatap tangga di hadapannya dengan mata membulat. "Aku benar-benar kelelahan, Saga. Apa kau sengaja ingin mematahkan kakiku?"
"Aku harus menyelesaikan sedikit urusan yang harusnya kulakukan sejak tadi. Tapi karena ..." Saga berhenti. Menyebut Dirga di hadapan Sesil bukan ide yang bagus. Karena Dirgalah ia mendadak membawa wanita itu pulang dan melupakan rencana utamanya mendatangi pesta ini.
Saga merogoh ponsel di sakunya. Menghubungi Jon memberikan perintah dengan singkat. "Siapkan mobil dan tunggu di depan dengan Sesil."
"Jalanlah ke depan dan tunggu aku di halaman. Jon akan menyusulmu dalam waktu lima menit."
Sesil tak berani menunjukkan desah kelegaannya di hadapan Saga atau pikiran pria itu akan berubah dalam sedetik. Ia hanya mengangguk dan memutar tubuhnya menuju pintu keluar dengan senyum yang lebar.
***
Sesil menggerutu karena Jon yang tak kunjung datang setelah sepuluh menit berlalu. Ia berjalan melintasi halaman yang luas menuju jalanan yang sepertinya mengarah ke gerbang. Mencari tempat yang jauh dari pengawal bersetelan hitam putih yang berjaga di depan pintu tunggal. Ia ingin menunggu sambil meratapi kesendiriannya tanpa orang lain mengetahui bagaimana menyedihkan dirinya di antara kemewahan yang membungkus tubuhnya.
Sesil mengamati bangunan bertingkat tiga yang tampak megah di hadapannya. Yang mau tak mau mengingkatkannya akan rumah Dirga. Menyadari bahwa tingkat sosialnya dan Dirga memang jauh berbeda meskipun ia mengakui ketulusan cinta Dirga untuknya. Dan sekarang ...
Sesil mendongak, menatap balkon yang ada di samping bangunan ketika satu gerakan tertangkap sudut matanya. Maniknya menyipit mengenali salah satu dari dua sosok yang tengah berbincang di atas sana adalah Saga. Dengan seorang wanita mengenakan gaun berwarna perak dan berambut hitam legan dan lurus yang tengah memunggunginya. Sesil mengambil satu langkah mendekat dan menajamkan penglihatannya di antara keremangan cahaya yang melingkupi jalanan tempatnya berdiri dan tempat Saga dengan wanita itu. Ia tak bisa mendekat lebih jauh lagi karena pagar tanaman yang mengelilingi sisi jalan keluar rumah ini.
Wanita itu tampak familiar di ingatannya. Lalu, mendadak ia membelalak ketika teringat wanita asing yang aneh yang ditabraknya di depan toilet. Mengingat betapa cantik dan anggunnya wanita itu. Seketika membuat Sesil dilanda ketidakpercayaan diri yang begitu besar.
Ya, ia memang tak cukup cantik, penampilannya tak pernah semenarik wanita-wanita yang menjadi pusat perhatian para kaum Adam. Dan selama ini, cinta Dirgalah yang membuat dirinya dipenuhi kepercayaan diri. Ia tak pernah merasa rendah diri karena Dirga selalu memujanya. Baginya itu sudah lebih dari cukup untuk mensyukuri fisik yang ia miliki selama Dirga mencintainya dengan tulus. Sekali ia pernah meragukan ketulusan Dirga, tapi pernyataan Max beberapa saat lalu seketika melenyapkan keraguan itu hingga tak bersisa. Sekarang, ia yang jatuh ke pelukan Saga juga melenyapkan cinta Dirga untuknya. Beserta kepercayaan diri itu.
Sesil menunduk, bahkan ia kesulitan memakai sepatu bertumit tinggi, tubuhnya juga tak seseksi wanita-wanita di dalam pesta yang tak henti-hentinya melemparkan tatapan memuja pada Saga. Lalu, tangan kanannya terangkat menyentuh pipi, wajahnya juga sangat jauh dari kata cantik.
Dengan bergelimang ketidakpuasan atas dirinya sendiri, kepala Sesil kembali mendongak ke arah balkon. Tak bisa menahan dirinya yang terkesiap mendapati pemandangan mengejutkan di hadapannya.
Kedua tangan wanita asing yang aneh itu kini bergelayut di leher Saga dan wajah mereka menempel. Sesil terhuyung ke belakang dan membuang wajahnya. Merasa tak bisa mengendalikan rasa sesak di dada yang akan membuat jantungnya berhenti berdetak jika melihat pemandangan menjijikkan itu sedetik lebih lama. Sesil melangkah menjauh menyeberang menuju sisi jalan lainnya yang menghamparkan lapangan berumput. Memegang dadanya yang naik turun tak terkendali. Rasa marah, benci, dan jijik bercampur aduk memanaskan hati dan kepalanya.
Perasaan dikhianati itu nyata dan benar-benar meremas dadanya tanpa alasan yang bisa ditangkap oleh nalarnya.
***
Mau menyumpahi Saga?
Silahkan, antriannya panjang dan harap yang rapi ya. Satu orang boleh nampar Saga sepuluh kali. Sesuka kalian ,sebebas kalian, dan sepuas kalian. Karena Saga memang sebrengsek itu.
Monday, 30 March 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top