Part 19
New Story
###
Part 19
###
"Apa Sesil mulai menghancurkan barang-barangmu?" Tatapan Alec mengikuti tiga pelayan rumah yang keluar dari kamar Saga, lalu pada dua pengawal yang menggotong cermin besar berbentuk elips masuk ke dalam. "Kenapa hari-hari kalian selalu dihiasi dengan keributan? Apa berumah tangga memang sekacau itu?"
"Kenapa kau tidak mencobanya sendiri?" Saga mengabaikan rasa penasaran Alec. Berjalan ke arah kiri menuju ruang kerjanya.
Alec terkekeh. Memutar tumit dan mengikuti langkah Saga. "Kau tidak bisa terus-menerus menyiksanya, Saga. Wanita hamil tak bagus mendapatkan tekanan yang terlalu besar."
Langkah Saga terhenti, hampir membuat Alec yang berjalan mengekor di belakang menabrak punggungnya. "Wanita hamil?" ulangnya dengan kekakuan di bibir.
Mulut Alec yang masih terbuka tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mempertanyakan pertanyaan tak masuk akal Saga.
"Apa maksudmu wanita hamil? Siapa yang hamil?"
"Apa kau belum membaca hasil tes darah Sesil yang kutinggalkan di meja kerjamu. Aku sudah memberitahumu di telfon ketika kau masih dalam perjalananmu ke luar kota."
Saga memutar tubuhnya dan berjalan lebih cepat menuju ruang kerjanya. Meskipun pernyataan Alec cukup sebagai pemberitahuan bahwa Sesil hamil, melihat hasil itu secara langsung dengan mata kepalanya sendiri memberikan dampak yang berbeda.
Saga kembali melipat lembaran hasil tes darah di tangannya. Ia sudah mengendalikan Sesil. Namun, ditambah dengan ikatan darah yang ia jeratkan pada wanita itu, membuatnya semakin berada di atas awan atas haknya pada Sesil.
"Kenapa aku merasa kau tak memercayai kata-kataku?" Alec menyandarkan pantatnya di pinggiran meja Saga. Mengamati Saga yang masih terhenyak di kursi putar. "Aatau kau yang terlalu terkejut hingga ingin memastikan kebahagiaan yang kautunggu benar-benar terjadi dengan bukti kuat di matamu?"
Saga mengangkat kepala. Tak terlalu memedulikan kata-kata sindiran Alec. Saat ia menginginkan sesuatu, semua selalu berjalan seperti apa yang ia inginkan. "Aku hanya memastikan rencanaku berjalan seperti yang kuinginkan. Bukankah aku memang selalu memastikan hal itu dengan mataku sendiri?"
Alec mengangguk setelah beberapa saat. Saga selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan semua bisnisnya secara langsung. Pria itu senang memiliki kendali penuh atas apa pun. Setiap masalah yang tidak dia tangani secara langsung, ia memastikan laporan itu dengan mata kepalanya sendiri. Prinsip itulah yang membuatnya kini berada di tempat teratas dalam dunia gelap yang mereka geluti.
"Apa kau akan memberitahunya?"
"Mungkin nanti. Saat penyakit pembangkangnya mulai kambuh. Aku ragu dia akan menjadi patuh dalam waktu yang cukup lama. Dia benar-benar berbakat menguras tenaga dan emosiku."
Alec terbahak. "Entah kenapa, aku mulai menyukai cara Sesil mengusikmu, Saga. Sekali-kali, kau harus mendapatkan imbalan atas kejahatanmu."
Saga mengabaikan olokan Alec. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menggoyang-goyangkannya sedikit.
"Apa dia sudah mulai tenang setelah kejadian kemarin dan bertemu dengan Dirga?"
"Sedikit." Ya, untuk sekarang ia masih bisa mengendalikan Sesil. Membuatnya sedikit bisa bernapas dengan tenang.
"Kenapa kau bersusah payah untuk wanita sepertinya? Dendammu sudah terbayarkan, dan jauh lebih menyakitkan bagi Dirga jika kau membuang wanitanya yang sudah kau nodai itu. Tapi, lihatlah sekarang, kau malah menikahinya, lalu membiarkan benihmu bertumbuh di tubuhnya. Aku bisa memahami status pernikahan kalian, secara hukum Dirga tak akan bisa mengusik kalia. Tapi kehamilan ini, aku tak bisa menebak ada yang ada di pikiranmu selain obsesimu yang sudah jatuh terlalu dalam pada Sesil."
Saga memutar-mutar amplop putih di tangannya dengan mata menerawang ke arah meja kaca di hadapannya. Mengurai kata-kata Alec lebih dalam lagi. Mungkin perkiraan Alec benar. Ia sudah terikat pada Sesil lebih dalam dari yang bisa ia harapkan dan inginkan. Namun, entah kenapa pemikiran seperti itu sama sekali tak mengusik hatinya. Emosinya jauh lebih terusik ketika ia mendengar Sesil dalam bahaya beberapa jam yang lalu.
Setelah cukup lama keduanya tenggelam dalam kesunyian, Alec mulai mengalihkan pembahasan. Kerutan di dahi Saga sama sekali bukan pertanda baik mengusik emosi pria itu lebih jauh. Meskipun tak ada tanda-tanda pria itu akan mengamuk dan malah semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Apa Arga sudah memberitahumu, putri pimpinan Cheng akan tinggal di rumah ini. Sebagai syarat perubahan kesepakatan yang kauinginkan."
"Apa?!" Lamunan Saga terpecah dengan kata-kata Alec. "Apa maksudmu?"
"Putri pimpinan Cheng sudah lama mengamatimu. Dan satu-satunya hal yang bisa mendekatkannya padamu adalah koneksinya dengan sang ayah. Aku tak tahu kau memiliki penggemar rahasia yang sangat berharga seperti dia."
"Aku sudah menolak kesepakatan itu."
"Dia bersikeras ingin mencoba dan mengenalmu lebih dekat."
"Atau?" mata Saga menyipit dengan keras. Dia pikir siapa yang bisa mengancam dirinya semudah itu.
"Kau tahu pengaruh pimpinan Cheng terhadap bisnis kita, bukan? Dirga, The Joanna, The Selenna, kita tak bisa diserang dari arah yang bersamaan seperti ini. Para tetuah yang lain juga menyetujui kesepakatan kita dengan mereka."
"Apa mereka mencoba mengorbankan kebahagiaan pimpinan mereka untuk bisnis yang lebih mudah?"
"Pimpinan Cheng sudah menurunkan mandat ini pada putrinya. Entah kesepakatan apa yang mereka lakukan, tapi itu sedikit mengkhawatirkan kelompok kita. Aku berharap itu tidak memengaruhi bisnis kita lebih dalam."
"Apa yang dilakukan Arga?"
"Ya, dia sudah bekerja dengan keras membujuk masalah ini. Tapi, kau tahu, cinta terkadang sulit menerima penolakan. Ditambah, dia merasa harga dirinya telah dilecehkan olehmu bahkan sebelum kalian bertatap muka."
"Apa dia berpikir aku akan menerima kesepakatan ini setelah mengagumi betapa cantik dan seksinya dia?"
"Ya, mungkin. Wanita memang sedikit lebih rumit dalam hal perasaan."
"Aku akan menemuinya. Meskipun sejujurnya aku tak sampai hati menolaknya mentah-mentah secara langsung. Semoga penolakanku akan menampar dan menyadarkan dirinya."
"Apa kauyakin akan semudah itu?" Alec menarik-narik suaranya.
Saga menggeram dengan keraguan yang melumuri wajah Alec terhadap dirinya. Apakah selaman ini dirinya terlihat pemilih saat menentukan pasangan di ranjang?
"Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Beberapa wanita sangat cantik tapi terkadang tak terlalu menggairahkan, dan ada wanita yang tak terlalu cantik, tak cukup seksi tapi begitu membuatmu bergairah dan menarik emosimu lebih dari yang kaupikirkan."
Mata Saga menyipit dengan perincian wanita kedua yang disebutkan Alec. Sesil memang tak terlalu cantik, bertubuh kecil, dan jauh dari kata seksi seperti wanita-wanita yang memujanya dengan terlalu berlebihan. Namun, ia menahan diri memberitahu Alec bahwa dalam pandangan matanya, setiap lekuk tubuh Sesil memancarkan godaan yang tak terelakkan. Selalu mampu menarik dirinya seperti kutub magnet. Selalu membuat darahnya berdesir dan menggila saat kulit mereka saling bersentuhan. Sialan! Ia ingin cepat-cepat kembali ke kamar dan berkeringat bersama Sesil.
"Tapi wanita ini, dia memiliki keduanya. Sangat cantik, menggoda, seksi, menggairahkan, dan aku yakin dia sangat patuh dan penurut. Terutama di atas ranjang."
Saga bergerak tak nyaman menyadari pikirannya berkeliaran membayangkan tubuh telanjang Sesil dan mengingat bagaimana rasa wanita itu di bawah sentuhan telapak tangannya dengan Alec yang sibuk mengoceh. Apakah ia memang semesum ini? Sebelum-sebelumnya, ia tak pernah begitu bergairah kecuali hanya di atas wanita yang telanjang dan pasrah di bawahnya. Tidak di saat ia duduk di ruang kerja seperti ini. Tidak di saat ia membicarakan bisnis mereka atau pun sekedar berbincang biasa dengan Alec.
Sialan!!! umpat Saga dalam hati.
"Aku ragu kau akan tetap pada pendirianmu setelah bertemu dengannya."
"Menurutku, dia lebih masuk pada kriteria wanita pertama yang kausebutkan," komentar Saga dengan tatapan mata menegaskan pada Alec.
Alec diam sedetik. Keputusan Saga memang sulit digoyahkan.
"Tapi aku akan tetap menemuinya untuk menyelesaikan masalah ini, bukan?"
"Baiklah. Mungkin nanti malam waktu yang tepat. Ada pesta penggalangan dana untuk ... entahlah." Alec tak bisa mengingat, terlalu banyak pesta penggalangan dana yang penting atau tidak penting yang harus ia datangi demi menambah koneksi bisnis mereka. Masuk dengan undangan atau tanpa undangan pemilik pesta sama sekali bukan penghalang bagi Saga atau Alec untuk menjadi tamu tak diundang. Mereka datang kapan pun mereka ingin. "Pesta khusus VVIP, dan tertutup. Tidak ada paparazi. Semua bersih. Tempat dan waktu yang tepat jika kau ingin lebih pribadi," lanjutnya.
"Baiklah." Saga mengangkat bahunya sekali. Memasukkan lembaran yang terlipat kembali ke dalam amplop dan melemparnya ke meja. "Oh ya, kau urus persiapan istriku juga. Aku tak akan membiarkannya berkeliaran di rumah memikirkan rencana-rencana tololnya selama aku pergi."
Alec membuka mulutnya tanpa suara. Mulai resah karena ia semakin tak memahami cara pikir Saga. "Apa kauyakin akan membawa Sesil?"
"Aku belum pernah seyakin ini, Alec." Seringai tersamar di sudut bibir Saga. "Sedikit pelajaran tambahan untuk istriku yang seksi."
***
Sesil tak tahu harus berbuat atau bersikap seperti apa selain mengekor dengan memasang wajah tolol ketika Saga menyeretnya ke sana kemari. Ia belum pernah mendatangi pesta semewah dan semegah ini, kecuali saat ingatannya masih belum kembali dan saat itu ia merasa sudah sering mendatangi pesta semacam ini yang ternyata hanyalah ingatan palsu. Dengan gaun yang menempel seperti kulit kedua di tubuhnya, menampakkan punggungnya hingga di atas pantat, ditambah belahan cukup tinggi di sepanjang pahanya, lalu sepatu berwarna senada dengan tinggi yang tak masuk akal. Sesil hampir tak bisa menahan ringisannya ketika merasakan lecet yang mulai terasa mengganggu. Namun, Saga tak cukup peka untuk mengetahui penderitaan yang ia alami. Seolah membalas semua pembangkangannya dengan sepatu sialan ini. Sungguh pembayaran yang tidak setimpal.
"Apa kau baik-baik saja?" Saga bertanya ketika Sesil hampir terjatuh dan membuat tubuhnya terhuyung ke samping menabrak tubuh bagian sampingnya.
Sesil memutar mata dengan jengah. Apakah pria itu sengaja bersikap seperti pahlawan kesiangan? Berpura-pura bertanya di saat paling terlambat hanya demi mengejeknya.
"Sepatu ini menyiksaku, Saga. Apa kau sungguh tak memiliki niat tersembunyi di balik sepatu sialan ini?" desis Sesil berusaha agar para tamu di sekitar mereka tak mendengar suaranya.
"Aku hanya membuatmu tampak sempurna."
"Pada siapa? Aku cukup mengenali reaksi biasa saja yang diberikan teman-temanmu saat menatapku."
"Ya, mereka hanya tak ingin mengingat wajah seseorang yang harus mereka lupakan dalam satu dua jam ke depan. Jangan tersinggung."
"Memangnya berapa banyak wanita yang pernah singgah di ranjangmu?"
"Apa kau sungguh ingin tahu?"
"Tidak!" Sesil menggeleng cepat. "Lupakan, aku akan toilet."
Saga mengangguk. Membawa Sesil meninggalkan keramaian dan berhenti ketika sudah sampai di lorong yang sepi. "Apa lima menit cukup?"
"Aku tahu pengawalmu mengawasiku. Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku." Sesil menatap lorong panjang di hadapannya dengan tulisan 'Toilet' tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Saga tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya dan mengusap ujung kepala Sesil. "Kau benar-benar wanita yang menggemaskan."
Sesil menepis tangan Saga dengan kasar. Berjalan melewati pria itu sambil menggerutu tak jelas.
Bruukkk ...
Sesil terhuyung ke belakang ketika berbelok ke pintu toilet dan menabrak seorang wanita yang hendak keluar. Ia membungkuk mengambil tas tangan wanita itu dan mengembalikan pada sang pemilik. "Maaf."
Wanita itu mengulurkan tangan tanpa melepas tatapannya pada wajah Sesil. Tanpa senyum tapi tak cukup dibilang bersikap dingin. Hanya menatapnya datar dengan matanya yang sipit dan bibirnya yang tergores tipis tanpa senyum.
Sesil memaksa sebuah senyum canggung pada wanita itu. Memiringkan tubuhnya dan berjalan melewati wanita itu karena wanita itu masih bergeming di tempatnya. Mencari salah satu bilik yang kosong dan segera masuk mengabaikan rasa herannya pada wanita asing yang aneh itu.
"Aakhhh ..." Sesil merintih ketika berusaha melepas sepatunya sambil duduk di toilet. Lecetnya lebih parah dari yang ia perkirakan dan membayangkan akan mengenakan sepatu itu lagi membuat rasa sakit yang ia dapatkan terasa dua kali lipat lebih menyakitkan. Ia butuh plester atau apa pun yang akan membantunya meringankan rasa pedih di tumitnya. Tetapi, di mana dan pada siapa ia bisa mendapatkannya adalah sebuah masalah. Ia tak tahu berada di mana dan tak mengenal siapa pun yang bisa ia mintai pertolongan. Setiap gerak-geriknya diawasi oleh pengawal Saga yang tak tampak dari matanya.
Sepuluh menit lebih Sesil menghabiskan waktu duduk di toilet mengistirahatkan kakinya. Tak peduli meskipun Saga akan menerobos masuk. Tetapi, nyatanya pria itu tak juga muncul hingga ia menambah lima menit berdiam diri di toilet sambil mengurut kakinya yang pegal.
Sesil tak terkejut tidak menemukan Saga di tempat seharusnya pria itu menunggu. Begitu keramaian pesta kembali tersaji di hadapannya, ia mencoba memecah perkumpulan para tamu yang berkelompok dan mencari Saga. Setidaknya, ia punya kegiatan untuk menuruti pria itu daripada terlihat bengong di antara canda tawa para tamu di sekitarnya. Tinggi badan Saga seharusnya tampak mencolok mengingat betapa jangkung dan besarnya tubuh pria itu, tapi ia masih merasa kesulitan di antara banyaknya orang dan beberapa pramusaji yang berjalan mondar-mandir menawarkan minuman dan makanan. Makanan dan minuman yang tak cukup menarik perut atau minatnya. Atau mungkin lecet di kakinya yang membuatnya tak berselera. Yang membuatnya merasa tolol karena hampir memesan plester saja pada salah pelayan yang mempertanyakan keinginannya.
Sesil hampir menyerah untuk mencari keberadaan pria itu, ketika tatapannya terpaku pada sosok familiar yang berdiri di dekat balkon sebelah utara. Dirga, dengan beberapa lebam yang masih tampak membekas di wajah, pria itu tengah berbincang serius dengan dua pria bersetelan tak kalah mewah dan elegannya dengan yang dikenakan Saga. Kelegaan menyusuri dadanya melihat pria itu baik-baik saja dan lebih dari sehat untuk menghadiri pesta ini.
Kakinya sudah bergerak hendak mendekati pria itu. Mungkin pemikiran yang sangat buruk, tapi kebiasaan tubuhnya yang berlari mendekati pria itu tak bisa dilupakan begitu saja.
"Menurutmu, apa yang akan kakakku lakukan jika tahu istrinya diam-diam mengamati pria lain di belakangnya?"
Kaki Sesil terpaku di lantai dan ia tersentak dengan wajah yang tiba-tiba muncul di samping telinganya. Memaksa kepalanya menjauh karena wajah pria itu yang terlalu dekat ketika ia menoleh ke samping.
Arga menegakkan punggung, melangkah ke depan Sesil, dan menunduk menatap wajah Sesil karena tinggi tubuh mereka yang terpaut hampir tiga puluh senti. "Aku tahu kakakku bukan pria setia, tapi dia sangat tak suka dikhianati."
"Bukan urusanmu!" desis Sesil tajam. Mundur satu langkah menjauh dari aura menyebalkan Arga. Sudah cukup satu Ganuo membuat hidupnya berantakan, ia tak butuh percikan masalah lainnya yang membuat hidupnya semakin sengsara.
"Aku hanya ingin memberikan sedikit nasehat padamu. Kau tak perlu memaksa untuk membuka hatimu jika memang kau membenci Saga."
Sesil terheran, meskipun hanya untuk sesaat. Karena kalimat selanjutnya yang pria itu ucapkan benar-benar mengoyak hatinya.
"Karena kau hanya perlu membuka kedua kakimu untuk Saga."
Plaakkk ...
Satu tamparan keras menghantam wajah Arga. Pria itu terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Begitupun beberapa tamu yang ada di sekitar mereka berdua. Sejenak suasana menjadi hening dan mereka menjadi pusat perhatian. Beraninya wanita itu menyentuh kulit wajahnya dengan cara memalukan seperti ini. "Kau?!!!" geram Arga.
Sesil mengangkat dagunya lebih tinggi. Sedikit pun tak merasa bergetar saat telapak tangan Satya terangkat dan siap melayang ke wajahnya. Ia tak menyesali perbuatan –pembelaan- nya atas ucapan kotor dan busuk pria itu. Bahkan seharusnya Arga mendapatkan lebih dari sekedar tamparan, mungkin seharusnya ia mencakar mulut pria itu dengan kuku jari tangannya yang sedikit panjang dan bercat merah muda.
"Hentikan, Arga!" Suara Saga dari arah belakang membuat keduanya menegang dengan alasan yang berbeda. Arga menurunkan tangannya seketika dan berbalik dengan patuh. Menganggukkan kepala sekali dan berpamit. Suara dingin Saga yang memenuhi udara di sekitar mereka cukup menginstruksikan pada adiknya tersebut untuk segera berpaling dari hadapannya mengabaikan konflik kecil tak terelakkan itu. Begitu pun dengan orang-orang yang sempat terpaku dan menjadikan ketiga orang tersebut sebagai pusat perhatian mengingat Saga dan Arga bukanlah orang biasa. Sudah tentu hal tersebut mengundang banyak persepsi berlebihan di pikiran mereka dan terpaksa mereka memalingkan wajah kembali pada kesibukan sebelumnya atau kau yang akan menjadi pusat perhatian seorang Saga Ganuo.
Sesil menggigit bibir bagian dalamnya. Perasaan terhina yang baru saja ia dapatkan lenyap digantikan ketakutan akan ekspresi dingin Saga. Sepertinya pria itu marah karena telah mempermalukan adiknya di depan umum seperti ini. Tanpa kata, Saga mengaitkan lengan kanan pria itu di pinggang Sesil. Membawa wanita itu masuk lebih dalam ke keramaian pesta.
"Hanya lima menit aku meninggalkanmu dan kau sudah membuat kegaduhan dengan adikku," bisik Saga tajam sambil menempelkan bibirnya di telinga Sesil.
"Adikmu yang memulai lebih dulu."
"Sebagai kakak ipar, sebaiknya kau mulai bersikap sedikit lebih dewasa."
Sesil terdiam. Membiarkan Saga kembali menyeret-nyeretnya ke sana kemari. Lagi dan lagi memperkenalkannya pada beberapa orang sebagai kekasihnya, bukan sebagai istri. Ada kegetiran yang merambat di hati Sesil, membuatnya semakin lelah dan muak terhadap Saga. Baru saja pria itu mengakui Arga sebagai adik iparnya, yang berarti bahwa Saga mengakuinya sebagai seorang istri. Tetapi, di detik berikutnya Sesil merasa dihempaskan dengan cara paling kejam.
"Hai, Sesil." Sapaan ringan dan ramah dari arah samping membuat keduanya menoleh. "Kita bertemu lagi."
"Sepertinya posisi kalian tidak dalam situasi perlu saling menyapa," sela Saga dingin dengan Max yang melangkah semakin dekat pada mereka.
Max menarik seulas senyum tulus dalam hati. "Dia wanita pertama yang kaubawa dua kali di pesta. Tentu aku harus mulai mengenalnya untuk membuatmu tersentuh demi keamanan bisnisku."
Saga berdecak. Bualan Max yang lebih ke arah sindiran membuat Sesil bergerak tak nyaman di sampingnya.
"Saga." Muncul Alec dari arah belakang Max.
"Hai, Alec," sapa Max basa-basi. Sedikit lega karena ini bukan pesta miliknya. Jadi keributan apa pun yang dilakukan Alec dan Saga tak akan mengganggu suasana hatinya.
"Untuk pertama kalinya, kedatangan kami bukan untuk mengacau, Max. Maaf mengecewakanmu," ejek Alec mengartikan tatapan rasa penasaran bercampur prasangka buruk yang terlalu kentara di wajah Max.
Max terbahak keras. Membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh sekilas. Terakhir kalinya, entah apa yang dilakukan Saga dan Alec pada Dirga. Dirga mengamuk di tengah hiruk pikuk pestanya dalam keadaan mabuk. Menghancurkan gelas-gelas anggur dan sampanye sambil menggumamkan nama Sesil. Lalu muncul Alec di tengah kekacauan itu yang membuat keadaan semakin tak terkendali. Keduanya beradu tinju dengan Dirga sebagai samsak hidup Alec.
Alec mendekati Saga, membisikkan sesuatu di telinga Saga.
"Apa kau sibuk, Max?" tanya Saga setelah Alec menjauh dari telinganya.
Max menggeleng sekali.
"Temani Sesil. Kalian bisa mengobrol sedikit sambil mengawasinya untukku. Jangan sungkan memperingatkannya jika dia mulai bertindak tak masuk akal."
Sesil memutar kepala dan melemparkan pelototan mata tersinggung dengan kata-kata Saga.
Saga menunduk, mengecup kening Sesil dan berbisik, "Aku tak akan lama. Jangan merindukanku."
***
Thursday, 26 March 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top