Part 15

New Story

###

Part 15

###

"Masih terlalu dini untuk mengetes kehamilan di perkiraan usia kandungan yang baru mencapai dua minggu. USG dan alat tes kehamilan hasilnya negatif. Jadi ..."

"Jadi dia tidak hamil?" Saga menggedor meja dengan tatapan garangnya.

Tubuh Sesil tersentak dan menjauh dari Saga sejauh mungkin meski tetap menjaga pantatnya masih tertempel di kursi. Aura panas Saga tak hanya menggoyahkan ketenangan bercampur kelegaan akan hasil tes yang dinyatakan sang dokter. Tetapi juga menciutkan nyali dokter yang duduk di seberang meja hingga bolpoin yang dipegang terlepas dan jatuh ke lantai.

"Kami belum bisa memastikannya secara pasti karena perkiraan usia kehamilan yang masih dini dan belum bisa terdeteksi," jawab dokter itu sambil beberapa kali menelan ludah dan bersikap setenang mungkin di bawah dominasi Saga.

"Aku ingi tes lainnya yang lebih akurat. Tes apa pun itu yang menunjukkan hasil yang sebenarnya. Tes yang bisa mendeteksi kehamilan di usia satu hari. Pasti ada alasan kenapa dia melewatkan periode bulanannya, bukan?"

"Tes darah?"

"Ya. Apa pun itu, lakukan semua jenis tes kehamilan padanya."

"Ba ... baik, Tuan. Tetapi, kehamilan melalui tes darah hanya bisa dideteksi di usia tujuh ha ..."

Sekali lagi Saga menggedor meja membuat Sesil dan sang dokter tersentak kaget. "Jika hasilnya masih negatif, makan lakukan apa pun yang bisa membuatnya hamil."

"Ba ... baik, Tuan." Dokter itu mengangguk tergugup. "Saya akan mengambil darah nyonya."

***

"Woww..." Mata Alec membelalak dengan takjub melihat penampilan Sesil dari atas sampai ke bawah ketika keduanya keluar dari ruangan pemeriksaan dokter. Dengan ekspresi masam di setiap sudut wajah Saga dan kening yang berkerut, sudah tentu rencana pria itu tak berjalan seperti yang diharapkan. Well, kehamilan memang suatu hal yang tak bisa diprediksi seperti angka di setiap kasino. Membutuhkan lebih dari sekedar keberuntungan.

"Kau benar-benar wanita yang nakal, Sesil." Alec mengedipkan matanya menggoda pada Sesil yang menunduk dengan malu-malu. Mencoba mencairkan ketegangan di antara Saga dan Sesil. "Jadi ini alasanmu merusak pagiku dan menyuruh mengosongkan jalurmu dari mata-mata jahil?"

"Diamlah, Alec," geram Saga.

"Awasi dia," perintah Saga pada Alec sambil mendorong tubuh Sesil ke arah Alec. "Dan jaga matamu, Alec!" gertak Saga penuh peringatan keras sebelum berbalik dan kembali menghilang di balik pintu.

Alec hanya mengangkat bahu dengan sikap datar. Deretan wanita seksi dan cantik bekas Saga, tak sekali pun pria itu pernah menggertaknya saat Alec terang-terangan mengagumi wanita-wanita itu dengan tatapan nakalnya. Namun, tubuh mungil, kurus, dan pucat Sesil yang tak bisa dibilang seksi malah membuat Saga kelabakan hingga pagi-pagi sekali ia harus mengosongkan jalur khusus menuju ruang dokter kandungan di rumah sakit untuk pria itu. Sepertinya Saga mulai melibatkan perasaan yang tak pernah pria itu miliki demi menuntaskan acara balas dendamnya. Atau, balas dendam itu hanya alasan Saga menjerat Sesil? Alec menggelengkan kepala mengusir pemikiran terakhir yang memiliki tingkat kemustahilan paling tinggi.

"Apa maksudmu mengosongkan jalur?" Sesil teringat lobi rumah sakit yang nampak lengang. Sepanjang perjalanannya menuju ruangan dokter di lantai lima, ia sama sekali tak melihat manusia berkeliaran seperti layaknya rumah sakit pada umumnya. Hanya ada perawat wanita dengan wajah kaku yang menyambut mereka dan memandunya ke ruangan dokter. Tiga wanita yang berjaga di meja resepsionis dan satu perawat yang membantu dokter kandungan memeriksanya di dalam. Bahkan ia mengira, rumah sakit ini berada diambang kebangkrutan meskipun seluruh pandangannya dipenuhi dengan desain yang sangat bersih dan mewah serta dilengkapi peralatan-peralatan yang canggih ketika menapaki lantai rumah sakit.

Setidaknya Sesil harus bersyukur, ia tak cukup merasa malu dengan kain yang menempel di tubuhnya yang hanya membuatnya merasa semakin telanjang. "Kenapa dia bisa seenaknya menerobos rumah sakit seperti ini? Pasien VVIP pun tak akan seistimewa ini, kan?"

"Karena dia adalah ketua yayasan rumah sakit ini." Alec mengambil tempat duduk di kursi panjang.

Sesil membelalak tak percaya dan berjalan ikut duduk di samping Alec. "Ba ... bagaimana bisa?"

"Karena dia bisa." Alec mengangkat bahu dan menjawabnya dengan nada ringan.

Sesil menelan ludahnya. Mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak lagi mempertanyakan pengaruh Saga di tempat mana pun. Kekuasaan pria itu terlalu besar dan kepalanya tak cukup menampung pemikiran yang hanya membuatnya sakit kepala.

"Kenapa dia ingin aku hamil?" Ia mengalihkan topik pembicaraan. Meskipun seluruh dunia akan mengkhianatinya dengan perintah Saga, setidaknya tubuhnya masih menjadi miliknya. Sekali lagi bernapas dengan lega dengan hasil dokter yang cukup mengejutkannya. Sekali ini, takdir tak berjalan seperti yang Saga inginkan dan sangat memuaskannya.

"Karena kau istrinya."

"Aku tahu pernikahan ini hanya rekayasa Saga."

Alec memiringkan kepala dengan kening berkerut. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"Dia berbohong mengenai masalaluku dan memanfaatkanku yang sedang hilang ingatan. Bersikap seolah kami pasangan tunangan yang tinggal bersama karena saling mencintai dan rela memberikan nyawanya untuk satu sama lain. Memberikanku pakaian tiga lemari penuh yang satu baju harganya setahun gajiku bekerja di cafe. Atau ... apa mungkin ini pakaian kekasihnya." Suara Sesil meragu saat kalimat terakhir itu berasal dari prasangka dalam hatinya. Wajahnya menunduk, memegang ujung gaun tidurnya dengan marah. "Apa gaun tidur ini juga milik wanita itu?"

Sesil mengangkat kepalanya dengan perlahan. Semakin terbengong dengan senyum penuh kepuasan dan tatapan menyelidik Alec di tubuhnya yang membuatnya tak nyaman. "Apa yang kau lihat?!" Sesil melotot dan memeluk tubuhnya dengan tangannya sendiri.

"Ini seperti yang kuharapkan. Aku tahu warna ini sangat cocok dengan kulitmu. Terbuka di tempat-tempat yang ..."

Bughh ... Suara tendangan sangat keras menyela perbincangan Alec dan Sesil membuat keduanya tersentak.

"Aaww ..." Alec mengangkat kaki kanan dan mengaduh dengan membungkukkan punggung.

"Apa kau ingin aku melubangi matamu?!" gertak Saga dari arah samping setelah menendang kaki Alec dengan keras tanpa menahan-nahan tenaganya.

"Aku hanya mengamati. Gaun tidur yang kupilih cocok atau tidak untuknya." Alec membela diri dengan wajah meringis menahan nyeri di kaki.

"Oh ya?" sinis Saga dengan mata melotot penuh ancaman.

Alec terbahak dan semakin tergoda untuk memengaruhi emosi Saga. "Kau mulai bersikap posesif, huh?"

"Diamlah, Alec!" Saga menyodorkan selembar kertas putih pada Saga. "Dapatkan obat ini, dan pastikan kau mendapatkan hasil tesnya dalam waktu dekat. Aku ingin hasilnya secepat mungkin. Dalam waktu dua puluh empat jam."

"Tes?"

Mulut Sesil kelu. Orang sekeras kepala Saga memang perlu diberi pelajaran. Butuh terjerembab begitu dalam sebelum benar-benar sadar bahwa kenyataan telah menamparnya dengan sangat keras. Bahkan setelah hasil testpack dan USG yang menyatakan dirinya tidak hamil, pria itu masih keras kepala untuk melakukan tes kehamilan lewat darah karena obsesi yang tak bisa ditanggung sendiri.

"Aku tak punya waktu menjelaskan." Saga berbalik dan menarik lengan Sesil untuk berdiri mengikuti langkahnya menelusuri lorong.

***

"Apa kau senang?" Pertanyaan Saga menyela lamunan Sesil yang menatap jendela mobil memunggunginya. "Terlalu dini untuk merasa dirimu menang, Sesil. Terlepas hasilnya positif atau negatif, kau bahkan sama sekali tak punya kesempatan menang. Kau hanya berguna jika hasilnya positif. Ya, sedikit lebih berguna ketimbang hasilnya negatif. Aku masih belum merasa bosan menikmatimu di atas ranjang."

Sesil memutar kepalanya menghadap Saga. Tangannya sudah bergerak akan mendaratkan satu tamparan keras di wajah Saga. Namun, tangan itu hanya terkepal erat di atas pahanya dan bibir yang menipis menggigit keras-keras amarah yang hendak lolos lewat mulutnya.

Mata Saga melirik kepalan tangan Sesil dengan seringai mencemoohnya. "Kau mulai pintar mengendalikan dirimu. Sebaiknya gunakan tanganmu untuk berdoa atau kukumu akan melukai telapak tanganmu."

"Ya, aku akan berdoa," jawab Sesil hampir terdengar seperti desisan tajam. "Orang sepertimu pantas mendapatkan hadiah."

"Tak perlu repot-repot mendoakanku. Berdoa untuk dirimu saja."

"Aku harus jadi istri yang baik, kan?" sinis Sesil.

"Istri yang baik tak akan berdoa untuk mencabut nyawa suaminya."

Wajah Sesil berubah kaku meskipun tak ada penyesalan di sana. Jika ia tak bisa melepaskan diri dari Saga karena pria itu masih hidup, berharap pria itu mati bukanlah keinginan yang terlalu besar, kan?

"Percayalah, Sesil. Saat aku mati, hanya kaulah yang kukhawatirkan. Cassie tak pernah ramah pada wanita-wanita yang kutiduri. Minimal aku tak membuangmu ke tempat pelacuran dan membiarkanmu dinikmati beberapa pria hidung belang di saat yang bersamaan."

Sesil menelan ludahnya. "Apa semua wanitamu berakhir seperti itu?"

"Hmm, hanya beberapa yang cukup beruntung."

Mulut Sesil membeku untuk beberapa saat karena kehilangan sepatah kata pun untuk bersuara. Menahan diri untuk tidak memekik ketakutan. "Kalian benar-benar tak punya hati."

Saga mengangkat bahunya dengan sikap arogan. "Kenapa? Apa sekarang kau mulai memikirkan cara untuk bertahan di bawah bayanganku selama mungkin?"

Sesil tak menjawab meskipun ingin melemparkan umpatan kasar ke wajah Saga. Berbalik memunggungi Saga dan mengamati jalanan yang lebih padat daripada saat mereka berangkat ke rumah sakit. Hanya beberapa saat ia berhasil menenangkan hatinya. Di saat setelahnya, Saga merengkuh pinggangnya dan menariknya mundur untuk duduk di pangkuan pria itu.

Sesil terperanjat dan belum sempat menyadari situasi di sekitar mereka ketika Saga mengambil alih bibirnya yang hendak menjerit dan melumatnya tanpa ampun. Merampas udara yang hendak masuk melalui hidungnya.

"Mencumbumu ide yang bagus untuk membunuh kebosanan sampai kita sampai ke rumah."

Sesil tak sempat membantah karena sekali lagi, Saga mengambil alih bibirnya.

***

Sesil berdiri bersandar di pagar balkon sambil menyesap jus jeruknya. Cuaca sedikit panas mendekati jam sepuluh siang dan ia terlalu bosan menghabiskan waktu di perpustakaan seperti biasanya. Matanya menyipit memperhatikan mobil Cassie yang melaju menuju gerbang. Selama dua hari wanita itu tinggal di rumah ini, dan tanpa sengaja mengamati wanita itu yang keluar masuk rumah Saga tanpa pengawasan yang ketat seperti kendaraan-kendaraan lainnya. Merasa iri karena wanita itu sangat leluasa melewati gerbang penjagaan yang dijaga sangat ketat sedangkan dirinya terkurung dengan sangat menyedihkan di kamar Saga yang membuat hatinya terasa pengap.

Esok paginya, ia terbangun sendirian di ranjang. Saga pasti ada urusan mendadak di luar rumah karena pria itu tak muncul hingga ia menyelesaikan makan paginya di meja makan seorang diri.

"Suruh seseorang menyiapkan mobilku. Aku akan keluar dalam sepuluh menit." Suara Cassie dari arah ruang tamu menghentikan niat Sesil menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Lalu berbalik dan melihat Cassie menyodorkan kunci mobil pada salah satu pengurus rumah tangga yang sepertinya tengah membersihkan guci di meja hias.

Sesil mengedarkan pandangan ke sekeliling dan melangkah berjinjit menuju lorong yang tak jauh dari tempatnya berdiri untuk bersembunyi. Setelah memastikan derap langkah Cassie yang menjauh sudah menghilang. Kepalanya melongok dan melihat punggung pengurus rumah tangga itu melewati pintu utama. Sesil melangkah dengan tergesa tapi tetap menjaga agar langkahnya tak sampai terdengar. Pagi-pagi sekali Saga sudah keluar dengan beberapa pengawal yang lebih banyak daripada biasanya dan Cassie hendak keluar di saat Saga tak ada di rumah. Ini benar-benar kesempatan yang sangat langka dan ia tak akan melewatkannya. Kesempatan sekecil apa pun layak untuk dicoba, meskipun nyawa taruhannya.

***

Selama satu jam lebih, Cassie berusaha mengabaikan suara peringatan dari mobil karena pintu mobilnya yang tidak tertutup rapat sejak meninggalkan rumah Saga. Dering yang berasal dari ponselnya meyakinkan kecurigaan dan pernyataan suara dari seberang memastikan dugaannya akan keberadaan penumpang gelap di mobilnya. Membuatnya merubah tujuan awalnya sambil merangkai rencana baru untuk menuntaskan dendamnya. Sungguh naif jika wanita sialan itu berpikir bisa membodohinya dengan begitu mudah. Atau memang wanita itu lebih bodoh dari yang terlihat.

"Aku akan mengurus wanita itu. Jawaban itu cukup untuk laporanmu pada Saga setelah dia pulang," jawab Cassie mengakhiri panggilan dan memarkir mobilnya di sudut halaman yang masih sepi. Lalu mematikan mesin mobil sambil melakukan panggilan lain. Menunggu sesaat hingga panggilannya dijawab di deringan ketiga.

"Hai, Dirga," sapanya ringan. Membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Berjalan ke belakang mobil dan bersandar di samping pintu bagasi dengan kedua tangan mengintruksikan pada beberapa pria yang menunggu di pintu klub untuk datang mendekat.

"Salah sambung," balas dari seberang dengan nada dingin.

"Aku punya sesuatu yang menarik perhatianmu."

"Aku tidak tertarik berbasa-basi denganmu, Cassie."

"Oh ya?" Cassie membuka bagasi mobilnya dengan seringai jahat tertarik di kedua sudut bibirnya. Hatinya berdebar kencang seolah dunia berada dalam genggamannya dan ia hanya perlu menjetikkan jari untuk memporak porandakan dan menghancurkan hidup Dirga dan Sesil hanya dalam sekejab.

Salah satu pria itu membuka pintu bagasi. Wajah pucat dan basah oleh keringat menyambut senyum licik Cassie begitu keduanya saling berhadap-hadapan. Jeritan wanita itu tertahan oleh rontaan sekuat tenaga yang tak berarti apa pun bagi pria bertubuh besar yang menyeretnya keluar.

"Apa kau menikmati perjalanannya, Sesil?"

"Lepaskan!!" teriakan Sesil dengan kedua tangan dan kaki bergerak ke segala arah demi menyusahkan kedua pria yang mencekal kedua tangannya. "Lepaskan aku!!!"

"Akhirnya, aku bisa melenyapkanmu dari hadapan Saga tanpa harus mengotori tanganku. Aku tak menyangka akan semudah ini menyingkirkanmu."

"Lepaskan aku. Aku mohon." Sesil tak tahu harus memohon pada kedua pria itu atau pada Cassie. Yang ia tahu, apa pun yang akan terjadi bukanlah hal yang baik.

"Bawa dia," perintah Cassie mengabaikan tatapan mengiba Sesil.

"Sesil?"

Cassie terbahak. "Apa sekarang aku mulai mencuri hatimu, Dirga Sayang?"

"Apa yang kauinginkan?"

"Waktumu. Sepuluh menit atau kau akan menyesal karena terlambat menyelamatkannya."

"Di mana kau?"

***

Friday, 6 March 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top