Part 14

New Story

###

Part 14

###

Sebelum membaca, Author mau permisi promosi dulu, ya. Siapa tahu di sini ada penggemarnya babang Diaz atau Ario yang nungguin PO nya dari kemaren-kemaren, sekarang sudah bisa dipesan. Untuk pemesanan sudah ada keterangan lebih detail di lapaknya Diaz dan Ario. Buruan dicek dan diorder, kuy.

###

Sesil menatap kalender kertas yang terpajang di meja riasnya dengan gundah meskipun kepanikannya yang naik dengan drastis perlahan menurun saat ia mengatur napas seteratur mungkin. Tuhan tak akan sekejam itu padanya, kan?

Sejak Saga menyentuhnya, pria itu memang tak pernah melewatkan satu malam pun untuk menidurinya, kecuali saat ia di rumah sakit. Pria itu tak pernah menggunakan pengaman dan ia tak memakai alat kontrasepsi apa pun. Kemungkinan dirinya hamil tentu hampir seratus persen. Atau bahkan saat ini ia sedang mengandung anak pria brengsek itu. Sesil menggelengkan kepalanya dengan keras. Menolak semua kemungkinan itu jauh-jauh dari kepalanya, tapi kepalanya kembali dibuat pusing saat memikirkan alasan Saga yang bertekad membuatnya hamil. Seseorang tanpa belas kasihan seperti Saga bukanlah tipe kebapakan. Insting pria itu hanya bekerja saat membunuh musuhnya. Juga saat menelanjangi wanita, tambah Sesil dengan sinis.

Pintu kamar yang tiba-tiba terbuka membuat Sesil tersentak dan berbalik ke belakang. Melihat Saga yang memegang ujung kaos hitamnya lalu menariknya ke atas melewati kepala sambil melintasi ruangan menuju ke arah lemari. Wajahnya memerah, menyadari bahwa pandangannya pada tubuh atas Saga yang telanjang tak terlepas hingga ia menampar pipinya sendiri. Dengan gugup, ia membuang wajahnya ke arah balkon, menunggu dengan tubuh kaku.

"Aku akan pergi dan mungkin akan terlambat pulang," beritahu Saga sambil menautkan kancing jasnya dan melangkah tanpa suara mendekati Sesil yang memunggunginya.

"Akan lebih baik jika kau tak pulang selama beberapa hari," lirih Sesil. Lalu tersentak kaget menyadari bahwa tiba-tiba Saga memeluknya dari belakang dan bibir pria itu berbisik di telinganya.

"Aku khawatir kau akan merindukanku, Sesil." Saga mengecup cekungan di leher Sesil. Menghirup aroma Sesil dalam-dalam dan menanam ingatan itu di kepalanya sebelum melepasnya. "Jadi, jangan buat masalah dan jadilah istri yang baik."

Sesil mengangguk sedikit meskipun Saga tak butuh jawabannya. Ia tak berniat membuat masalah yang nantinya akan menghalangi Saga cepat pergi dari rumah ini.

Saga menyeringai. "Apa kau ingin aku membawakanmu sesuatu?"

Sesil berdiri, mengurai pelukan Saga dan menggeleng. "Tak perlu repot-repot."

Saga menegakkan punggungnya dan memasukkan kedua tangannya di saku. "Baiklah. Sampai ketemu nanti malam, Istriku."

Sesil menunggu hingga Saga keluar dan memastikan pria itu sudah turun ke lantai satu sebelum berjalan ke balkon. Memperhatikan pria itu masuk ke mobil yang sudah disiapkan di depan pintu utama diikuti Alec dan Cassie. Merasa bebas tanpa kehadiran mereka semua meskipun masih terpenjara di rumah ini.

Seharian, ia menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan untuk membaca, melainkan mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa membantunya keluar dari rumah ini. Tak menemukan apa pun, ia pun menyelinap masuk ke ruang kerja Saga. kunci laci yang pernah ia temukan di salah satu gelas, kini tak ada lagi di sana.

Dengan kesal, ia duduk di kursi. Bersandar di punggung dan menggoyang-goyangkannya hingga merasa bosan dan frustasi karena tak mendapatkan apa pun yang bisa membantunya keluar dari rumah ini. Memutuskan untuk kembali ke kamar dan tertidur hingga melewatkan makan malamnya.

***

Saga membuka pintu kamar dan menemukan kegelapan mengeliling seluruh penjuru kamarnya. Sempat kekhawatiran menyusuk ke dalam hatinya dan dengan segera ia menekan saklar lampu di dinding. Hampir tak bisa menahan desah kelegaan menemukan Sesil yang berbaring miring memunggunginya di kasur dan membiarkan langkah kakinya berjalan mendekati sisi ranjang tempat Sesil terlelap. Meletakkan kotak berwarna coklat tua dengan pita berwarna emas di nakas, lalu membungkuk mengambil kecupan ringan di kening Sesil sebelum berjalan ke kamar mandi.

Tepat saat ia keluar dari kamar mandi, pintu kamar diketuk dan dua pengurus rumah tangganya muncul dengan nampan penuh berisi menu makan malam. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah, Saga membangunkan Sesil.

Sesil mengerang tak suka dengan gangguan di sela tidur nyenyaknya. Di antara kantuknya, ia membuka mata dengan enggan dan terkejut menemukan wajah Saga begitu dekat dengan wajahnya.

"Apa yang kau lakukan, Saga?!" Sesil bangkit terduduk dengan keras dan mendorong dada Saga menjauh.

Saga menegakkan punggung dan tersenyum dingin. "Bangunlah, temani aku makan."

Sambil mengusap matanya dengan sisa kantuk yang sedikit memusingkan kepala, Sesil menolak, "Aku tidak lapar."

"Kau melewatkan makan malammu." Saga menarik lengan Sesil dan menyeret wanita itu turun dari ranjang dan membawanya ke sofa.

Sesil menoleh melirik jam di dinding. Matanya membelalak tak percaya. "Ini sudah hampir lewat tengah malam, Saga," protesnya.

"Kenapa? Apa kau takut gemuk?" Saga melempar handuknya ke samping dan menuangkan anggur ke gelas kosong. "Aku tak masalah jika beberapa bagian tubuhmu sedikit berisi. Sepertinya tanganku akan cepat menyesuaikan diri." Saga mengangkan tangannya dan bergerak-gerak seolah menggenggam sesuatu di udara.

"Apa otakmu memang terlalu peka jika menyangkut hal kotor?"

Saga terbahak. Mengangkat gelas anggurnya dan bersandar sambil menyilangkan kedua kaki. Menggoyang-goyangkan gelasnya dan mata tertuju pada Sesil. "Makanlah."

Sesil melihat piring berisi steak yang sepertinya baru diangkat dari pemanggang dan sudah dipotong-potong kecil menguarkan aroma yang mengusik perutnya. Ya, ia memang lapar. Seharian memikirkan cela untuk terbebas dari kungkungan Saga cukup menguras tenaga dan pikirannya. Tanpa mengeluh lagi, ia menyuapkan satu potongan daging itu ke mulutnya. Rasanya tak pernah mengecewakan lidahnya. Sangat lembut dan manis yang membuatnya tak bisa menahan diri untuk melanjutkan ke potongan yang lainnya demi menuntaskan rasa lapar di perut.

Sekali lagi, senyum simpul menghiasi bibir Saga melihat Sesil begitu menikmati makanannya. Bahkan hanya melihat wanita itu makan saja menjadi sebuah penghiburan untuk dirinya.

"Kau tidak makan?" tanya Sesil yang baru menyadari bahwa makanan di meja hanya untuknya.

Saga menyesap anggurnya sekali lagi. "Aku sudah makan."

"Jadi kau membangunkanku tengah malam seperti ini untuk menemanimu minum?"

"Dan karena kau melewatkan makan malammu."

Sesil menarik dan menghembuskan napasnya sekali. "Sejak kapan kau memperhatikan jadwal makanku?"

"Tidak baik banyak berbicara di tengah santapanmu, Sesil. Kau bisa tersedak, dan mati."

Tepat ketika Saga menyelesaikan kalimatnya, Sesil tersedak.

Saga meletakkan gelas anggurnya dan menyodorkan gelas air putih pada Sesil. "Beruntung kau tidak mati."

Sesil mengambil beberapa tegukan dengan bantuan Saga. setelah merasa tenggorokannya lebih ringan, ia berkata, "Aku juga ingin minum."

Saga mengikuti arah pandangan Sesil pada gelas anggurnya. Senyum tipis tergores di bibirnya sebelum ia menggelengkan kepalanya satu kali. "Tidak, kau tidak boleh minum."

"Kau membangunkanku tengah malam, setidaknya aku juga ingin mencicipinya."

"Minuman keras tidak bagus untuk wanita hamil, Sesil."

Seketika wajah Sesil berubah kaku dan ia menghentakkan tangan Saga yang memegang gelas air putih hingga jatuh ke karpet. Ia berdiri menjulang di hadapan Saga dan berkata dengan keras. "Aku tidak hamil!"

"Kita bisa mengetesnya besok pagi." Jawaban Saga terdengar begitu tenang dan sama sekali tak terpengaruh dengan kemarahan Sesil. Membiarkan wanita itu berjalan ke kamar mandi dengan marah dan membanting pintu keras-keras. Seringai tertarik di sudut kanan bibirnya dengan hatinya yang terasa mengembang.

Sesil merasa lega saat keluar dari kamar mandi dan Saga serta gelas anggurnya tak ada di sofa. Menandakan bahwa pria itu benar-benar pergi dari kamar ini. Namun, kelegaannya tak pernah bertahan lama. Pria itu kembali masuk dan menegurnya tepat saat ia berbaring di kasur dan menarik selimut menutupi dadanya.

"Ganti pakaian tidurmu, Sesil."

Pun pagi itu, seolah pria itu memang sudah membuat daftar rencana untuk membuatnya kesal di setiap menit dan menunggunya meledak. Saga membangunkannya dan menyodorkan beberapa kotak berwarna pink dalam genggamannya. Ia belum pernah melihat benda itu secara langsung, tapi ia tahu apa kegunaan benda dalam kotak tersebut.

"Sekarang tanggal tujuh belas, berharaplah rencanaku berjalan seperti yang kuinginkan."

Raut muka Sesil memucat dan bibirnya membeku tanpa sepatah kata pun mampu melewati tenggorokannya. Kepalanya menunduk bergantian menatap kotak testpack dalam genggamannya lalu mendongak melihat wajah Saga dengan linglung. Ia belum siap, dan ia tak akan pernah siap memiliki anak dengan Saga sebagai ayahnya.

"Aku ..." Sesil melempar kotak-kotak itu ke lantai dan menggeleng dengan keras. "Aku tidak mau!"

Saga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. "Jangan merusak suasana pagiku yang cerah ini, Sesil."

"Aku tidak mau mengandung anakmu!"

Saga mencengkeram lengan atas Sesil dan memaksa wanita itu turun dari ranjang. "Dan aku tak bertanya pendapatmu," desisnya dengan kejam di telinga Sesil. "Pungut benda itu dan segeralah masuk ke kamar mandi atau ... aku yakin kau lebih tak ingin mendengarkan pilihan kedua yang akan kuajukan padamu."

Tubuh Sesil bergetar. Ketakutan akan pilihan kedua yang ia tahu bukanlah pilihan bagus dan kecurigaan Saga mengenai anak pria itu di perutnya, berkelut di kepalanya yang sudah menciut sejak kemarin karena memikirkan haidnya yang tak kunjung datang hingga pagi ini.

Dengan kaki terseret, ia melangkah ke kamar mandi setelah memungut kotak-kotak itu di lantai. Mengunci pintu kamar mandi sambil berharap hal itu bisa mengulur waktu atau meredakan kegelisahannya yang menggetarkan seluruh tubuhnya.

Berkali-kali ia memikirkannya sambil duduk di toilet, ia semakin yakin bahwa ini satu-satunya hal yang tak akan pernah siap untuk dijalani. Hidupnya akan hancur, terjebak dalam kesuraman untuk selamanya. Sesuatu paling berharga yang ia miliki sudah direnggut oleh Saga. Jika ada anak di antara mereka, meninggalkan anak ini dengan Saga atau hidup selamanya dengan Saga. Kedua pilihan itu akan melumat hidupnya habis-habisan. Ia akan menderita, mendekam di sudut kegelapan tanpa cahaya dan terpenjara dalam jeruji emas istana Saga. Untuk selamanya.

Dengan air mata berurai, Sesil berdiri dan membongkar semua testpack itu, lalu mematahkannya menjadi dua bagian sebelum melemparnya dengan sangat menggenaskan ke tempat sampah. Ia tidak siap, dan ia tak akan pernah siap.

Dengan aktifitas panas yang hampir setiap malam ia lakukan dengan Saga, pasti ada satu kemungkinan mereka menciptakan ... Sesil menggelengkan kepalanya keras-keras. Mengusir kemungkinan yang mulai menggerayangi kepala dan membuat perutnya mual.

Lalu, gedoran keras di pintu mengagetkan Sesil dari kecamuk dalam kepalanya. Ia menoleh ke arah pintu yang sepertinya akan jebol karena dorongan kuat dari luar.

"Buka pintunya, Sesil!" teriakan Saga membuat Sesil terhuyung mundur. Ia terjatuh dan bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin. Memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya di lengan. Membiarkan ketakutan menerobos kamar mandi dan menyelubungi tubuhnya.

Braakkk ... pintu kamar mandi menjemblak terbuka dengan engsel yang menggantung tak berdaya di dahan pintu. Saga menggeram, rahangnya mengeras dengan bibir menipis mencari sosok si pencetus amarahnya. "Apa yang kau lakukan di sana?!" bentaknya dengan semburan bara api hanya tertuju untuk wanita itu.

Sesil masih meringkuk. Tak memedulikan kemurkaan Saga. Ia lebih takut pada bayangan masa depan pada anak yang direnggut Saga darinya atau pun terjebak selamanya dengan pria itu. Akan lebih baik jika Saga menghancurkan tubuhnya demi meluapkan amarah pria itu saat ini.

"Di mana alat itu?!" Mata Saga berkeliling mencari sekotak testpack yang diberikannya pada Sesil tadi. Dan melihat penutup tempat sampah yang tersangkut benda berwarna biru itu menarik perhatiannya. Ia membuka penutup tempat sampah itu, meskipun tahu apa yang akan ia temukan di dalam sana. Wanita ini benar-benar menguji kesabarannya.

"Bangun!" perintah Saga dengan geraman menggelegar memenuhi sudut kamar mandi.

Sesil masih tak bergerak. Tubuhnya bergetar oleh tangisan yang sama sekali tak membuat Saga iba. Itulah satu-satunya senjata wanita yang paling ia benci. Namun, bahan senjata itu tak berguna di hadapan Saga.

"Bangun, Sesil!!" Kali ini Saga membungkuk dan mencengkeram lengan atas wanita itu sebelum menariknya berdiri dengan keras. Sesil meronta, tapi ketika ia memelintir lengan Sesil, rontaan wanita itu terhenti dan meringis kesakitan.

"Kau menyakitiku!"

"Seakan itu adalah hal baru bagimu, Sesil," sinis Saga. Lalu menyeret wanita itu keluar kamar mandi dan berhenti di walk in closed.

"Aku tidak mau mengandung anakmu?!"

"Kaupikir aku bertanya padamu, eh?" Saga menyentakkan tangan Sesil, membuka lemari wanita itu dan menarik selembar cardigan paling depan sebelum melemparkannya pada Sesil. "Pakai itu!"

Sesil kembali melempar cardigan itu ke lantai. "Aku tidak mau!"

Tangan Saga terasa sangat gatal ingin mencekik wanita itu dan memberi apa yang paling diinginkan Sesil demi keluar dari jeratan pernikahan mereka. Tetapi, ia tak akan memberi jalan sangat mudah untuk wanita itu. Sifat pembangkang Sesil harus dilenyapkan terlebih dahulu sebelum nyawa wanita itu.

"Baiklah, kau yang meminta," desis Saga. Dengan kasar, ia mencekal pergelangan tangan Sesil dan menyeretnya keluar dari kamar. Melintasi lorong, menuruni anak tangga menuju lantai satu.

"Kita mau ke mana?" Sesil memucat ketika langkah Saga menuju pintu keluar. Ia masih mengenakan baju tidur yang hanya menutupi sebagian kecil pahanya. Belum dengan tali spaghetti yang memamerkan bahu dan lengan telanjangnya. Bahkan belahan dadanya nampak begitu jelas dengan kain satin yang menggantung rendah.

"Rumah sakit," jawab Saga dengan dingin. "Aku sudah memperingatkanmu untuk mengenakan kain itu, 'kan."

Sesil meronta. Apa Saga sudah gila. Membawanya ke rumah sakit dengan pakaian seperti ini. Pria itu benar-benar berniat mempermalukannya. "Aku tidak mau!" teriak Sesil nyaring dengan rontaan yang semakin menjadi. Tak peduli meskipun cekalan tangan Saga membuat pergelangan tangannya nyeri dan akan meninggalkan bekas lebam di sana.

Wanita ini sungguh membabat habis kesabarannya yang hanya seujung kuku. Dengan satu gerakan gesit, ia mendorong tubuh Sesil hingga membentur sisi salah mobil yang berderet di carport dan menahan rontaan Sesil dengan tubuhnya. "Sekali lagi, aku yakinkan kepadamu, Sesil. Mengandung anakku lebih baik daripada bayangan masa depan suram yang akan kuberikan padamu jika aku sudah mulai bosan dengan sikapmu yang pembangkang ini."

Saga mengakhiri ultimatumnya, membuka pintu mobil dan memasukkan Sesil ke dalam yang tak memiliki pilihan selain patuh pada perintahnya.

***

Saturday, 29 February 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top