Part 11
New Story
###
Part11
###
"Kau terlambat satu menit," sela Saga di antara suapan yang akan masuk ke dalam mulut Sesil. Merasa kesal dengan sikap dingin Sesil, seharusnya dengan posisi spesial wanita itu di sisinya, atau dengan kekeras kepalaan wanita itu pada perintah-perintahnya, paling tidak Sesil merasa harga dirinya diinjak atau membangkang pada makian Cassie. Bukannya malah melenggang pergi tanpa bantahan sedikit pun seperti mangsa yang bertemu predator.
Sesil melirik sekilas kedatangan Saga, mengunyah makanan yang masuk ke mulut dengan penuh ketenangan dan kembali menatap piringnya dengan keantusiasan yang lebih besar. Berhari-hari memakan makanan rumah sakit yang hambar membuatnya seperti orang kelaparan, dan sungguh beruntung hidangan yang dimasak oleh koki Saga memiliki cita rasa yang sempurna. Untuk pertama kalinya ia bersyukur tinggal di rumah ini.
"Apa kau kesulitan membuka password ponselku?"
Sesil berhenti mengunyah sejenak. Bagaimana Saga bisa tahu? sepertinya adalah pertanyaan konyol yang muncul di kepalanya. Pria itu pasti sengaja meningalkan ponsel di sana hanya untuk memancing niatnya. Sungguh tolol dia termakan umpan pria itu.
"Apa kau mendengarkanku?"
Sesil masih membungkam. Melanjutkan sarapannya setelah menguasai ekspresinya setelah Saga memergoki niat diam-diamnya.
Saga menggebrak meja dengan kedua tangannya. "Apa kau mengabaikanku, Sesil?" desis Saga mulai kehilangan kesabaran dengan pengabaian Sesil.
Sesil tercengang. Tubuhnya terhuyung bersandar di punggung kursi, wajahnya mendongak menatap wajah Saga, dan sendok dalam genggamannya jatuh kepangkuannya.
"Iya, aku mendengarmu. Dan ya, aku mengabaikanmu, Saga. Apa kau puas?" teriak Sesil meluapkan kekesalannya. Pria itu mendadak minta diperhatikan setelah saling memperhatikan dan melepas rindu dengan kekasihnya? Benar-benar keterlaluan.
Saga menarik piring Sesil menjauh saat wanita itu hendak kembali melanjutkan makannya. "Aku belum selesai bicara denganmu."
"Aku harus cepat menyelesaikan makanku sebelum kekasihmu kemari, jangan menggangguku, Saga." Sesil menarik piringnya mendekat. Namun, sebelum Sesil sempat menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, lagi-lagi Saga menjauhkan makanan itu. Pyaaarrrr .... Kali ini Saga melempar piring itu ke lantai di samping kursi yang Sesil duduki.
Sesil tersentak, matanya terpejam ketika salah satu atau dua pecahan itu terbang dan menggores kakinya. Lalu, Sesil berdiri sehingga tatapannya sejajar dengan Saga yang membungkuk dan bersandar pada meja. Berteriak dengan lantang. "Apa maumu, Saga?!"
"Aku tak suka diabaikan, Sesil," desis Saga dengan wajah merah padam dan mengeras di kedua rahangnya.
Sesil mendengkus, sedikit mengangkat dagunya meskipun ada ketakutan mulai menjalari hatinya dengan kemarahan yang begitu kentara di wajah Saga. Terkadang, pria itu memang begitu menakutkan hanya dengan kontak mata seperti rumor yang beredar. "Dan apa yang membuatmu tiba-tiba menginginkan perhatian dariku?"
"Apa kau masih belum mengerti? Bahwa kau pun tak berhak mempertanyakan apa yang kuinginkan darimu. Apalagi berpikir akan menantangku seperti ini."
Sesil menipiskan bibir, harga dirinya terinjak tapi ia tak berdaya hanya untuk membela sedikit hal yang masih tersisa.
"Tugasmu di rumah ini hanya dua Sesil. Mematuhi setiap perintahku dan memanfaatkan tubuhmu sebaik mungkin untuk menyenangkanku di ranjang. Kuyakinkan padamu, saat kau jadi membosankan, itu adalah mimpi terburuk yang tak akan pernah kauharapkan seumur hidupmu untuk menjadi kenyataan."
Mata Sesil mulai basah, tapi ia menekan dalam-dalam keinginannya untuk menangis dan tampak menyedihkan di hadapan Saga. Bayangan mengerikan jika Saga menjadikannya pelacur di rumah bordil pria itu sepertinya bukan ancaman belaka. Reputasi pria itu tak main-main. Bagi Saga, ia hanyalah satu dari sekian banyak wanita yang akan dijual pada pria hidung belang. Permusuhan Saga dengan Dirgalah yang memberinya perlindungan dan sedikit keistimewaan dari para pelacur-pelacur itu. Tetapi tidak membuatnya kebal terhadap siksaan batin dari Saga.
"Jon!!" panggil Saga tanpa melepaskan kontak mata dengan Sesil.
"Iya, Tuan." Jon muncul dari arah belakang menginterupsi ketegangan di antara kedua manusia itu dan melangkah mendekat.
"Bawa istriku kembali ke kamar. Dan pastikan dia tidak keluar dari sana sampai aku memerintahkanmu."
Jon mengangguk.
"Jika sekali saja aku mendengar laporan kau membuat keributan, entah tak menghabiskan makananmu atau berusaha melompat dari balkon. Pastikan istriku tahu aku tak pernah main-main atas ancamanku, Jon." Kata-kata itu diperuntukkan bagi Jon. Namun, Saga memastikan Sesil menyerap tatapan penuh ancaman itu dengan baik. Agar wanita itu membuang jauh-jauh pikiran dan niat untuk mengusik emosinya sedikit saja.
Sesil melangkah pergi. Air matanya berurai sesaat setelah ia berpaling dari Saga. Seharian itu, ia kembali terkurung di kamar. Menghabiskan makan siang dan malam di sana dengan patuh. Ketika malam menjelang dan Saga masuk ke kamar, ia mengenakan gaun tidur dengan bahan tipis pendek dan menyisir rambut dengan sisir sesuai keinginan pria itu. Saat ini, ia hanya bisa diam dan bersabar. Mengabaikan rongrongan dalam hati untuk merobohkan kearogansian dan kekejaman Saga.
Dengan senyum puasnya, Saga menoleh mengamati tubuh Sesil. Kepatuhan Sesil sedikit banyak mengundang kecurigaan. Setelah dua kali tertipu dengan ketaatan Sesil dan berakhir dengan niat melarikan diri dan menusuk pisau di perut, tentu wanita itu memiliki rencana di kepalanya yang mungil, bukan. Sebaiknya ia segera membuat Sesil hamil. Umur pernikahan mereka baru dua minggu yang dihabiskan tujuh hari di rumah sakit. Sejak malam pernikahan itu, ia tak pernah menggunakan pengaman saat meniduri Sesil. Tak ada niat untuk menghamili wanita itu dan ia terlalu lupa diri dengan gairah menggebu ketika menyentuh kulit Sesil hingga melupakan aturan paling penting saat bersenang-senang dengan wanita di ranjang.
"Apakah luka di perutmu sudah membaik?" Saga melirik Sesil yang duduk di sisi ranjang tempat wanita itu berbaring.
Sesil mengangguk dengan kepala tertunduk ambil menarik selimut menutupi pahanya yang hampir tak tertutup.
"Berbaringlah, aku ingin melihatnya." Tanpa menunggu Sesil menyetujui atau sekedar menyerap pernyataannya dengan baik, Saga mendorong lengan Sesil hingga wanita itu berbaring. Menyingkap selimut dan ujung gaun tidur Sesil dan mendekatkan wajahnya pada bekas jahitan di perut wanita itu. Sedikit tersamar tapi masih cukup jelas tertangkap indera penglihatannya. Membuat bibirnya mengerut tak suka. "Aku akan menyuruh Jon memastikan kau datang ke rumah sakit untuk perawatan bekas lukamu."
Sesil menahan napas, sentuhan seringan bulu jemari Saga di kulit perutnya menimbulkan gelenjar aneh yang menjalar ke seluruh tubuh dan membuat sarafnya melemah. Beruntung dia tengah berbaring di kasur, jika tidak, kakinya yang mendadak berubah menjadi jeli dan tak akan sanggup menopang berat tubuhnya. Belum dengan kebiasaan Saga ketika hendak naik ke tempat tidur, Pria itu selalu membiarkan tubuh bagian atasnya terlanjang. Menampilkan otot sekeras baja di lengan dan perut. Pria itu benar-benar memiliki tampilan yang sempurna di luar maupun dalam. Ia membenci Saga, tapi tak terlalu munafik mengakui keindahan fisik pria tersebut. Bagaimana ketika dada keras itu bersentuhan dengan kulit telanjangnya.
Ia pernah merasakan sensasi hangat yang menyenangkan, otot-otot di seluruh tubuhnya berkontraksi, dan menemukan kenikmatan di detik-detik paling menegangkan ketika tubuhnya yang lembut dan tubuh Saga yang keras saling bertaut. Sesil menggeleng ketika ingatan mesum itu terpampang jelas di kepalanya. Saga memang lihai memperlakukan dan memanjakan tubuh wanita. Ditambah dia yang terlalu lemah dengan sentuhan pria itu dan membuatnya berpikir bahwa ada jalang murahan yang mendekam di sisi lain dirinya.
Merasa malu dengan dirinya sendiri, Sesil menarik ujung gaunnya yang tersingkap dan bergegas menutupi kulit telanjangnya. Dengan tergugup, ia mencicit, "Kau ... kau tak perlu mencemaskannya."
Ya, untuk apa pria itu mencemaskan hal seperti itu jika akhirnya akan membuangnya seperti sampah ketika ia sudah jadi membosankan.
Saga mengangkat wajah dan menegakkan punggungnya. Seringai tersamar di sudut bibirnya ketika wajah Sesil merona dan berusaha menghindari tatapan matanya. "Kapan biasanya haidmu datang, Sesil?"
Mendadak tubuh Sesil menegang. Keningnya mengerut mengingat tanggal berapa hari ini. Tatapannya mengarah pada jam di nakas dan matanya menyipit ketika terpusat pada angka kecil di pojokan bawah. Paru-parunya melonggar mendapati angka lima belas di sana. Dalam waktu dua hari, ia harus mendapatkan haidnya, atau ... Sesil menggeleng membayangkan kemungkinan mengerikan yang melambung di otaknya.
Lagipula, umur pernikahan mereka baru menginjak dua minggu, tentu kemungkinan itu sangat kecil dan hampir tidak mungkin, bukan?
"Apa kau ingin aku mengulangi pertanyaanku?" gertak Saga.
Sesil seketika menoleh dan baru menyadari bahwa kini wajahnya dan Saga hanya berjarak beberapa senti. "Ke ... kenapa kau bertanya?" Sesil memilih berpura-pura tak mengerti ke mana arah pembicaraan pria itu mulai mengalir.
"Kau bertanya karena memang benar-benar tak mengerti atau kau berpura-pura tak memahami pertanyaanku?"
"Apa maksudmu, Saga?"
"Kau tak mungkin berpikir aku berpura-pura tak menyadari desahan penuh kelegaan ketika kau melirik tanggal di jam itu, bukan?" Saga mengangkat salah satu alisnya ke arah nakas. "Jadi, kapan kau tamu bulananmu akan datang?"
Menyadari kesia-siaannya untuk berbohong lebih jauh lagi, Sesil menjawab dengan lirih, "Tu ... tujuh belas."
Seringai di bibir Saga naik dengan tajam dan matanya berkilat oleh gairah yang sejak tadi tertahan, kini membanjiri setiap sel darahnya. "Maka sebaiknya aku tak menyia-nyiakan waktu kita, bukan?"
Lagi, gaun tidur Sesil teronggok di lantai dan malam pun semakin terlarut.
****
Monday, 27 January 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top