Part 10


New Story

###

Part 10

###


"Aku bisa berjalan sendiri," tolak Sesil saat Saga membungkuk untuk menggendongnya.

"Aku tak bertanya atau meminta ijinmu." Saga menyelipkan tangannya di kaki dan punggung Sesil. Mengangkatnya keluar dari mobil.

Sesil terpaksa melingkarkan lengannya di leher Saga. Menundukkan wajah menghindari bertatapan dengan manik tajam pria itu. Apalagi dengan wajah mereka yang begitu dekat. Getaran dan desiran aneh merayapi dadanya. Membuatnya semakin mengkerut jika saja getaran itu sampai terdengar Saga.

Saga tersenyum samar dengan kekikukan Sesil. Ia bisa melihat wanita itu berusaha tak bergerak dan tubuhnya kaku. Bahkan ia bisa melihat semburat rona mulai merekah di pipi wanita itu. "Selama ini, aku bertanya-tanya," gumam Saga agak lirih. Bahkan pria itu sedikit membungkuk dan berbisik di telinga Sesil dengan nada menggoda.

Desiran yang muncul karena napas panas Saga di telinganya membuat Sesil memejamkan mata. Lalu, merambat turun ke leher dan menohok jantungnya. Sesil nenahan napas, debaran jantungnya yang semakin keras kini tak terkendali. Oh, ayolah. Ini benar-benar memalukan jika efek bisikan Saga begitu menggoyahkan keimanan seperti ini.

"Apa saja yang kalian lakukan selama menjadi sepasang kekasih? Aku ragu apa kalian bahkan pernah berciuman melihat kekikukanmu saat aku menciummu."

Sesil merasa pipinya memanas, dan ia yakin dengan pasti pipinya semerah tomat. Bayangan ketika Saga melumat bibirnya dan ia hanya bisa membeku kaku, lalu ia mencoba membalas lumatan itu mengikuti nalurinya. Ia terkejut bahwa ia ternyata semahir itu berciuman. Awalnya dia mengira bahwa hal itu dikarenakan ia dan Saga memang terbiasa berciuman. Namun, ternyata itu adalah ciuman pertamanya dengan Saga setelah pria itu melecehkannya. Pantas saja Dirga berang bukan main melihat video itu. Ia dan Dirga memang tak pernah seintim itu. Kecupan paling dekat pun hanya sekedar di pipi atau pun kening. Karena ia tak berani melangkah lebih jauh. Tak ingin disamakan dengan mantan-mantan Dirga yang melemparkan tubuh pada pria itu dan ia juga tak ingin Dirga menginginkan dirinya karena tubuhnya. Ia hanya ingin merasakan cinta sejati seperti yang biasa diidam-idamkan seorang wanita.

Dan lihatlah sekarang. Saga malah membeli tubuhnya dan memperlakukan dirinya seperti pelacur. Lalu menginginkan seorang anak darinya seakan ia adalah sapi yang harus berkembang biak melakukan tugasnya dengan baik. Sungguh nasib mempermainkannya dengan kejam.

"Betapa polosnya dirimu dan membuatku gemas bukan main saat mengajarkanmu bagaimana cara menyenangkanku di ranjang."

"Diamlah, Saga!" desis Sesil, mendorong tubuhnya menjauh dan hal itu malah membuat keseimbangan tubuh Saga terganggu. Sehingga terpaksa Saga kembali menariknya lebih erat. Dan wajah keduanya hampir menempel.

Selama beberapa detik keduanya terdiam. Saling menatap, saling berbagi udara, dan senyum tipis tersamar di sudut bibir Saga. "Kau benar-benar membuatku gemas, Sesil."

"Turunkan aku! Auww ..." Sesil meronta. Namun, terpaksa berhenti karena gerakannya yang tiba-tiba kembali membuat bekas luka tusukan di perutnya seakan tertarik dan memberinya rasa nyeri yang menusuk.

"Jangan banyak bergerak. Aku suka perutmu yang rata dan mulus. Jadi jangan buat luka itu membekas di sana dan merusak pemandanganku indahku."

Sesil menundukkan wajahnya semakin dalam. Rasa marah bercampur malu berbaur menjadi satu. Seumur hidupnya, ia belum pernah merasa semalu ini. Seakan wajahnya terbakar di panci penggorengan.

***

Pagi itu, selesai membersihkan diri dan berpakain, dengan langkah tenang Sesil berjalan ke arah ranjang. Melihat sarapan pagi yang tak diantar ke kamar membuatnya memiliki harapan bahwa kali ini Saga tidak akan mengurungnya di kamar lagi.

Lalu, tanpa sengajata sudut matanya melirik ponsel Saga yang tergeletak di nakas, sedangkan pria itu sibuk dengan lembaran-lembaran yang ada di meja kaca. Satu ide muncul untuk menghubungi Dirga demi meminta pertolongan dan berharap keajaiban mengabulkan harapan terakhirnya. Setidaknya Dirga harus bertanggung jawab untuk penderitaan yang pria itu berikan, 'kan.

"Apa kau sudah selesai?" Saga menjadikan satu lembaran-lembaran di meja dan tangannya sebelum memasukkan kembali ke amplop besar berwarna cokklat. Juga beberapa lembar foto yang berserakan samping amplop.

"Ya." Butuh beberapa detik jawaban keluar dari bibir Sesil. Mulutnya bahkan belum menutup ketika tatapan menyelidik Saga terpusat pada dirinya. Seperti murid yang menunggu guru memeriksa hasil pekerjaan rumahnya dengan hati berdebar.

"Apa kau belum menyisir rambutmu?"

Sesil menutup mulutnya. Pertanyaan yang aneh dan sedikit mengusik harga dirinya. Tidak ada yang salah dengan rambutnya, pria itu saja yang terlalu perfeksionis. "Sudah," jawab Sesil setengah berbohong. Ia memang menyisir rambutnya dengan jari.

"Dengan jarimu?"

Sedetik Sesil terkejut Saga mengetahui kebohongannya dengan mudah.

"Mulai sekarang, kau harus meninggalkan kebiasaan burukmu itu, Sesil. Aku suka rambutmu yang tersisir rapi."

"Kenapa kau bahkan harus mengatur rambutku?"

"Karena hanya aku yang berhak bahkan untuk sehelai rambutmu."

Sesil sudah bersiap membuka mulut dan menyemburkan pembangkangannya. Tetapi, ancaman yang diucapkan Saga selanjutnya membuat bibirnya terkatup rapat.

"Lima menit." Saga menunjukkan kelima jemarinya pada Sesil sambil beranjak dari duduknya. "Aku akan menunggumu di bawah. Jika dalam lima menit ada satu helai rambutmu yang mencuat tak rapi, kau akan menghabiskan sarapanmu di kamar hingga makan siang."

Godaan untuk memberontak sesaat sudah ada di ujung lidahnya, tapi Sesil tahu Saga tak pernah main-main dengan ancamannya. Ia tak suka dikurung di kamar sendirian. Tempat di mana pria itu membunuh orang. Lagi pula, Sesil melirik ke nakas sesaat dan memilih diam. Membiarkan Saga keluar kamar tanpa sepatah kata bantahan pun keluar dari bibirnya.

Dan, sungguh sial. Ia harus menggunakan password atau sidik jari Saga untuk membuka kunci di layar ponsel itu. Sambil menggerutu, ia berjalan ke meja rias, menyisir rambutnya serapi ia mampu, dan mengikuti Saga turun ke lantai satu.

***

Saga melihat Jon sedang menaiki anak tangga dan melangkah menghampiri dirinya.

"Ada apa, Jon?"

"Telfon dari tuan Alec dan ..." Jon berhenti sejenak, "Nona Cassie ada di bawah."

Saga mengerutkan kening terheran. Tak biasanya pengacara yang ia percayakan mengurus masalah-masalah dari pihak berwajib yang mengusik dirinya itu datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Mengabaikan wanita itu, Saga memilih mengambil ponsel yang diulurkan Jon.

"Ada ada, Alec?"

"Dirga mendatangi ruanganmu lusa kemaren."

"Itu urusanmu, bukan?"

"Sial kau, Saga. Apa kau tahu tulang hidungku patah karena perbuatanmu?!"

"Jangan cengeng, Alec," sergah Saga dengan nada mengejek. "Apa ada yang lain? Perutku lapar setelah semalaman membuang tenagaku di atas kasur dengan isriku."

"Kau benar-benar tak berperasaan."

"Ya, kau tak perlu memberitahuku. Apakah hanya karena itu kau menelfonku?"

"Tunggu. Dirga berniat menuntutmu atas kasus penculikan tunangannya, tapi karena aku menyodorkan salinan sertifikat pernikahan yang sebelumnya kupikir ide konyol, ia mematahkan tulang hidungku."

"Lalu?"

"Aku tahu dia tak akan berhenti, dia sudah mulai menyelidiki kecelakaan Sesil dan menggali informasi di rumah sakit tempat Sesil dirawat."

"Bukankah kau sudah mengurus semuanya."

"Ya, tapi kau tahu dia tak akan berhenti sampai di sini, kan? Entah dari mana, dia tahu tentang ingatan Sesil yang hilang dan dengan bukti foto-foto serta video mesra mereka, aku tahu Dirga akan melakukan sesuatu untuk mengusikmu."

"Ya, bukankah ini yang kita tunggu, Alec. Aku bahkan tak sabar berhadapan secara langsung dengannya." Dan penasaran wajahnya akan sepucat apa saat tahu Sesil mengandung anakku, lanjut Saga dalam hati. Selain menggunakan janin untuk mengendalikan Sesil di bawah kekangannya, ternyata ide untuk membuat Sesil hamil ternyata memiliki banyak manfaat untuk membalaskan dendamnya pada Dirga.

"Kau menghukumnya terlalu jauh, Saga."

"Ck, kau benar-benar membosankan, Alec."

"Terserah kau. Aku harus ke rumah sakit untuk memeriksa hidungku."

"Mungkin aku akan berbaik hati membawa tindak kekerasan itu mewakili dirimu. Sebagai atasan yang baik."

"Tidak, terima kasih," dengkusan kesal Alec mengakhiri perbincangan mereka.

Saga tersenyum lebih lebar. Memikirkan bagaimana ekspresi Dirga ketika kenyataan di hadapan mata menghantamnya hidup-hidup.

"Tuan?" Jon menerima ponselnya yang diulurkan Saga.

Saga melirik ke samping, ke arah Jon yang mengikutinya menuruni anak tangga. "Ada masalah apa?"

"Hanya masalah kecil di The Joanna. Pihak berwajib menemukan mayat yang diduga korban pembunuhan di kamar mandi klub."

Saga mendengarkan dengan kernyitan kecil. Biasanya masalah kecil seperti ini, Jon tak akan melapor kecuali masalah itu terselesaikan. Lagi pula, siapa yang cukup bodoh melakukan pembunuhan di areanya tanpa ijinnya seperti ini. "Tapi?"

"Nona Cassie yang akan memberikan perinciannya." Jon mengarahkan kepalanya kepada sosok yang berjalan ke arah mereka. Dengan sepatu heels merah mengkilat dan setelan semi formal berwarna senada, seorang wanita berambut gelombang terurai memenuhi setengah punggungnya melenggang ke arah mereka.

"Hai, Saga. Kau merindukanku?"

***

Langkah Sesil terhenti melihat seorang wanita yang menghambur dalam pelukan Saga ketika kedua kakinya sudah menginjak lantai satu. Dan menyadari pasangan yang sepertinya tengah melepas rindu itu, Sesil hendak kembali ke kamar di lantai satu, tapi ancaman Saga yang akan mengurungnya di kamar jika ia terlambat turun, membuatnya berdiri seperti orang bodoh di belakang mereka.

Sesil tak tahu siapa wanita itu, tapi tiba-tiba merasa sangat kesal dengan gerakan tak tahu malu ketika wanita itu dengan sengaja menempelkan dada pada lengan Saga. Dan merasa sangat panas karena Saga membiarkan perlakuan murahan itu. Penampilan wanita itu amat sangat memenuhi selera Saga. Dari model rambut, pakaian, bentuk tubuh. Semua berharga sangat mahal. Begitupun dua buah dada yang tampak tumpah di belahan kemeja dan rok pensil dengan belahan yang terlalu tinggi itu. Sesil merasa sangat geram tanpa alasan.

"Apa yang kaulihat?!" bentak wanita itu galak ketika Sesil ketahuan mencuri pandangan ke arah Saga dan wanita itu. "Pergilah ke dapur lakukan tugasmu. Atau kau akan dipecat sekarang juga."

Saga menoleh ke arah Sesil, tapi hanya beberapa saat karena Cassie memegang pipi Saga dan mengalihkan perhatian pria itu hanya tertuju pada wanita itu.

Sesil segera beranjak pergi, menuju dapur untuk mendapatkan makan paginya meskipun merasa jengkel. Tak peduli Saga akan ikut bergabung dengannya di meja makan atau tidak. Sepertinya akan lebih baik jika tidak.

"Untuk apa koper-koper ini?" Saga mengernyit tak suka ke arah dua koper yang diletakkan pengurus rumah tangganya di dekat Cassie. Meminta instruksi lebih lanjut tentang koper-koper itu.

"Aku sudah melakukan tugasku, dan aku ingin mendapatkan hadiahku dengan bermalam di sini selama tiga hari."

Saga menjauhkan tangan Cassie yang bermain-main di pipinya. Begitu pun lengan wanita itu yang mengalung di lengannya. Ia membiarkan Cassie melakukan tindakan lancang itu hanya untuk mengetes, seperti apa reaksi Sesil. Tetapi, ternyata reaksi Sesil melenceng dari yang ia perkirakan.

Dengan sikap tenangnya, Sesil malah melenggang pergi tanpa ada segurat amarah melintas di wajah mungil itu.

"Untuk?" Saga mengangkat salah satu alisnya.

"Apa kau tidak ingin bersenang-senang denganku, Saga?"

"Sayangnya aku tak pernah mencampur adukkan hubungan pekerjaan dengan urusan pribadi, Cassie. Jadi, kemasi kopermu dan kembali ke mobil."

"Aku tak membutuhkan ijinmu." Cassie berdecak, lalu dengan langkah dihentak-hentakkan, ia duduk di sofa. Bersandar dengan kedua tangan bersilang di dada. Wajahnya mendongak keras kepala sedangkan bibirnya mengerucut merajuk.

Saga memicing, sikap kekanak-kanakkan Cassie memang selalu menguras emosinya, beruntung wanita itu lebih banyak memberinya manfaat sehingga menutupi kelemahan yang masih bisa ia tolerir.

"Ada seseorang yang akan mengunjungimu perihal masalah yang ditimbulkan oleh Dirga di The Joanna. Aku bahkan tak tahu darimana pria itu mendapatkan informasi yang sangat rahasia sehingga namamu ikut terseret. Dan kau butuh didampingi pengacaramu."

Kening Saga mengernyit, memberikan perhatian penuhnya pada Cassie. "Bukankah sudah kubilang jangan sampai namaku tersangkut masalah apa pun, Cassie. Apakah pekerjaanmu mulai menurun akhir-akhir ini?"

"Informasi yang diberikan oleh Dirga cukup dalam. Aku curiga kau perlu memeriksa kembali anak buahmu satu persatu, Saga. Alec memenuhi panggilan pihak berwajib, tapi kau punya reputasi yang harus dipertimbangkan jika kau mendatangi kantor polisi, bukan. Jadi, mungkin mereka hanya akan berbasi-basi tentang mayat itu. Mereka tak punya bukti kuat untuk menyangkutkan namamu."

Kening Saga berkerut mencerna kata-kata Cassie. Dirga benar-benar berniat mengusiknya dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Ia jadi tak sabar ingin segera memberi pria sialan itu tamparan yang cukup keras. Atau sangat keras sehingga kemenangan yang akan ia genggam terasa sangat memuaskan. Sehingga pria itu akan memohon belas kasihannya.

Melihat betapa terlukanya pria itu ketika kehilangan Sesil, tentu harga Sesil amat sangat mahal melebihi apa pun yang dimiliki pria itu, bukan?


***



Pertama kalinya pajang foto cogan. Semoga bisa sedikit membantu imajinasi kalian tentang sosok Saga wkwkwk.

Jangan lupa vote dan commentnya yang banyak, ya.


Salam Luisana


Thursday, 16 January 2020



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top