7 • photograph

Motor matik Lyn sangat tidak bisa diajak kompromi. Ia sangat terlambat, tetapi si bebek satu ini justru mogok karena kehabisan bensin. Sialnya lagi, ia tidak memiliki uang tunai yang cukup karena belum menarik saldo dari ATM. Ditambah, kuota internetnya hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan di media sosial, tidak untuk yang lain. Alhasil, ia tidak bisa memesan ojek daring dan harus susah payah mendorong motornya sampai ke tujuan. Sungguh ironi.

Seharusnya, Lyn sudah mangkal di taman kota sejak satu jam lalu. Seharusnya, ia datang lebih dulu karena ia yang lebih membutuhkan. Seharusnya, ia memperlakukan Ethan dengan amat baik karena lelaki itu sudah mau membantunya mengerjakan tugas Dasar-Dasar Fotografi. Seharusnya, ia tidak banyak mengatakan 'seharusnya' hari ini.

Lyn mendengkus, mengusap peluh yang perlahan menghapus riasan tipisnya. Sesekali ia berhenti, mengambil napas dalam-dalam dan mengisi energi dengan minuman sisa yang ada di dasbor motor. Ia juga mengumpat, memaki siapa saja yang berlalu lalang dan menatapnya aneh, tanpa berniat mengulurkan tangan yang sebenarnya tak seberapa. Memang benar kata Becca, ia tidak boleh merasa senang yang berlebihan karena hal itu bisa menjadi bumerang yang luar biasa.

Kesengsaraan terkadang mengiringi orang-orang seperti dirinya.

Saat enak-enak mendorong, Lyn merasa bagian belakang motornya terpaku sampai susah bergerak. Sepertinya, ada sesuatu yang menahan hingga sekuat apa pun ia mencoba, ia tidak berpindah sama sekali. Gadis itu lekas menoleh dan hendak menyumpahi apa atau siapa pun yang menyusahkannya demikian. Namun, mulutnya kembali mengatup rapat saat mendapati orang yang menunggunya tengah geleng-geleng dan menatap pasrah. Seketika ada tiga hal yang menurut Lyn amat mematikan untuk dilihat: Ethan berdecak, keningnya berkerut, dan helaan napasnya sangat berat dan panjang.

Tamat sudah riwayat Lyn, batin gadis itu hiperbola.

"Kenapa nggak bilang?" tanya lelaki yang mengenakan setelan serba-pendek itu.

"Nggak mau ngerepotin."

Ethan tersenyum tipis dan segera mengambil alih setir motor Lyn. Gadis yang tenaganya di ambang batas itu tak menolak saat sang senior memarkirkan motornya di depan penjual batagor. Ethan kemudian menekan pundak Lyn agar duduk terlebih dulu, lalu berlari ke penjual cangcimen yang menyediakan tisu dan air mineral--tidak jauh dari mereka. Tak membutuhkan waktu lama, ia sudah menyodorkan dua barang itu agar Lyn bisa menyeka keringat dan menghilangkan dahaga.

"Makasih, ya, Kak."

"Lain kali bilang aja. Nggak usah gengsi segala. Kalau masalah repot, justru urusan makin runyam misal lo baru datang ntar sore. Cahayanya udah nggak bagus dan ending-nya besok kita mesti balik lagi. Buang-buang waktu, kan?"

Lyn makin merasa bersalah. "Maaf, ya, Kak."

"Ya walaupun gue mau-mau aja, sih, kalau lo ngajak jalan berapa kali pun itu. Tapi tetep aja, jangan diulangi, ya, yang begini."

Lyn mengangguk. Selain karena ia tak memiliki alasan untuk membantah, tenaganya juga belum terisi penuh. Butuh lima menit untuknya agar bisa menyusul Ethan yang sibuk mengatur kamera.

Saat menerima tugas fotografi, yang ada di pikiran Lyn adalah memanfaatkan kecakapan lelaki itu. Alasan pertama, kamera yang ia punya tidak memenuhi kriteria pengerjaan tugas. Kedua, ia tidak sanggup menyewa karena uang jajan minggu ini baru dibelikan lipstik keluaran terbaru. Ketiga, teman sekelas yang ia kenal sama-sama kere dan berkelana mencari pinjaman, termasuk Becca. Keempat, kakak tingkat yang ada di sebelahnya ini tidak menolak saat ia meminta bantuan. Tuhan tidak tidur, bukan?

"Udah?" Ethan menoleh dan menatap Lyn lembut.

"Apanya, Kak?"

"Istirahatnya."

"Udah, kok."

"Kalau gitu kita naik, yuk!"

"Motor?" Lyn berkedip bingung.

"Biar di situ aja. Titip, ya, Bang!" Ethan berteriak pada lelaki paruh baya yang berkalungkan handuk kecil.

"Siap, Mas!"

Lyn tersenyum dan sedikit membungkuk pada penjual yang berkenan menjaga motornya. Ia kemudian mengikuti langkah Ethan yang berjalan menuju jembatan penghubung dua sisi jalan. Tanpa kesusahan, lelaki itu membawa tripod dan kamera sekaligus di kedua tangan. Lyn sempat ingin membantunya, tetapi langsung ditolak karena menurut Ethan ia masih bisa sendiri. Lagi pula, Lyn pasti lelah maksimal karena mendorong motor sejauh entah berapa ratus meter.

"Gue duluan nggak apa-apa, kan?" Ethan berbalik sebelum menaiki tangga. "Gue nggak pengin liat body belakang lo soalnya. Takut nggak sopan."

"Iya, nggak apa-apa, kok, Kak."

"Oke."

Setelah sampai di atas dan agak ke tengah, Ethan meletakkan tripod-nya lalu menyalakan kamera. Ia kemudian mengalungkan tali benda itu pada Lyn. Selain untuk mempermudah pemakaian, ia juga harus memastikan keselamatan DSLR-nya.

"Btw, Kak Ethan, kok, di daerah sini? Kan janjiannya di taman."

"Gue pikir lo kesasar, jadi gue jalan aja sambil nyari-nyari. Tadi kelar beli rokok kebetulan liat lo."

Lyn tidak bertanya lagi. Ia lebih memilih diam, memperhatikan berbagai tools yang belum ia pahami. Di kelas, dosennya lebih menjelaskan tentang teknik umum dan filosofi. Tanpa praktik langsung, ia kurang bisa membayangkan situasinya. Tugas seperti ini sebenarnya sangat membantu. Namun, ia terhambat ketiadaan alat yang syukurnya terselamatkan berkat kehadiran Ethan. Ragu, gadis itu ingin bertanya. Hanya saja, lidahnya kelu dan tidak tahu harus bagaimana memulainya.

"Tugas Pak Hadi nggak pernah ganti tiap tahun. Dulu, gue juga dapat street photography gini." Seperti mengetahui isi kepala Lyn, Ethan membuka percakapan lebih dulu.

"Berarti Kakak dulu ke sini juga?"

"Iya, tapi malem. Gue pengin ambil gambar ala-ala The Flash gitu," jawabnya diiringi tawa.

"Ada contohnya, nggak?"

Ethan menggeleng. "Ini memori baru. Foto-foto lama ada di hardisk. Tapi kalau lo penasaran, ntar pas udah gelap gue ajarin juga."

"Nggak apa-apa, Kak?"

"Santai aja. Sekarang belajar dari nol dulu, ya."

Lyn mengangguk antusias. Ia sangat fokus saat Ethan menjelaskan dari hal kecil yang sungguh besar baginya--karena belum tahu apa pun. Mulai dari pemilihan lensa yang bermacam-macam, mengatur mode ke aperture priority (A/Av) atau shutter priority (S/TV), hingga pemberian tips mencari sumber cahaya agar pengambilan gambar bisa maksimal.

"Kenapa nggak disarankan pakek mode manual (M) dan auto (P), Kak?"

"Kalau pakek mode M ntar lo bisa kehilangan banyak momen, soalnya itu lebih lambat dari mode lain. Terus kalau mode P biasanya kualitasnya sering melenceng. Tapi kalau lo masih bingung dan pengin pakek dua mode ini, pilih yang mode P aja. Lebih gampang."

"Oh, gitu. Nggak, kok. Saya lumayan paham."

Ethan tersenyum dan mengangkat kedua alisnya bangga. "Oke, lo coba sekarang."

Lyn celingak-celinguk mencari apa yang bisa diabadikan di jalan ini. Namun, tidak ada yang menarik. Kendaraan saja tidak ada yang melintas. Pandangannya sontak tertuju pada Ethan yang bersandar santai pada pinggiran jembatan. Side profile-nya sangat menawan berkat rahang yang tegas dan alis yang tebal. Model rambutnya yang hitam dan rapi--meski agak panjang--juga memberi nilai lebih. Walau sederhana, kaus dan celana hitam yang ia kenakan justru terlihat berkelas. Padahal, Ethan hanya melengkapinya dengan sandal sepuluh ribuan. Tanpa basa-basi, Lyn pun mengambil foto lelaki itu.

"Lah, kok, gue yang jadi modelnya?" Ethan tertawa receh.

"Soalnya saya bingung mau foto apa, Kak."

"Bilang, dong. Sini, gue kasih liat sesuatu."

Canggung, Lyn menggaruk tengkuk dan langsung menghampiri Ethan. Lelaki itu lekas berdiri di belakangnya lalu meminta izin dengan dua kata 'maaf' dan 'permisi' untuk ikut memegang kamera. Serasa mendapat back hug, Lyn menelan ludah dan bergeming. Jantungnya berdegup tak karuan hingga ia tak berkutik.

"Atur segini, terus arahin ke sana. Lo liat? Ada objek secakep itu di depan lo."

Ethan menunjukkan keberadaan tiga pengamen yang beristirahat di trotoar. Ada yang menghitung koin-koin dari dalam gelas bekas, ada yang memetik ukulele sambil bernyanyi, ada pula yang sekadar duduk berjongkok dan mengamati lalu lintas siang ini. Tak heran, sebab lampu hijau masih menyala terang. Ia pun memotret momen itu beberapa kali hingga merasa cukup.

"Bagus, nggak?" Lyn meminta pendapat Ethan.

Lelaki itu mengangguk. "Lumayan. Lo pinter juga ternyata. Cepet nangkep."

Ethan segera menjauh dan bergeser ke samping karena sesi potret-memotretnya telah selesai. Merasa bangga, ia refleks menepuk-nepuk kepala Lyn dan tersenyum lebar, sedangkan gadis yang diperlakukan seperti itu tengah kalang kabut menenangkan dirinya.

"Ma-makasih, ya, Kak. Saya nggak kepikiran buat ambil momen mereka."

"Gimana mau kepikiran, lo aja ngeliatin gue mulu dari tadi."

Baru saja cengar-cengir, Lyn berubah kesal kembali. "Ck, pede banget."

"Nggak apa-apa kalau belum mau ngaku, mah. Masa-masa denial emang gitu."

Lyn menautkan alis. "Apaan, sih."

Ethan langsung tertawa melihatnya. "Lo lanjut hunting lagi, gih. Bisa sendiri, kan? Atau mau gue temenin?"

"Nggak usah. Kakak di sini aja."

Kalimat Ethan terdengar seperti meremehkannya. Entah karena terlena atau bagaimana, kesannya seakan-akan Lyn membutuhkan lelaki itu lebih dari apa pun. Idih, satu kata yang berulang di dalam batinnya. Ia memang sempat mengagumi kakak tingkatnya itu, tetapi tidak lebih. Hanya sebatas senior-junior.

Iya, semoga saja benar-benar begitu.

Ethan pun membiarkan Lyn berjalan menyusuri jembatan dan memotret ke segala sisi. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menyalakan ponsel dan membuka grup The IV yang ia sematkan paling atas. Sambil memandangi gadis yang tampak colorful meski sedikit barbar plus meledak-ledak itu, ia merekam pesan suara lalu lekas mengirimnya.

"Kumpul di tempat biasa aja. Kira-kira jam tujuhan. Gue masih jalan dan pengin ngajak makan malam juga. Kalau kalian mau nitip bilang aja. Jangan aneh-aneh. Gue lagi bokek."

Dari kejauhan, Lyn menoleh ke arah Ethan tanpa sebab. Lelaki itu langsung melambaikan tangan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Detik berikut ia mengantongi ponselnya kembali lalu menyusul gadis itu bersama tripod yang baru akan digunakan saat sore nanti.

DAY 7
7 Juli 2022

Minimal kalau gak bisa dimiliki tuh jangan ganteng-ganteng, Kak.

🙂🙂🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top