6 • books

Belum sepuluh detik memasuki perpustakaan, Lyn sudah menggaruk kepalanya tiga kali. Ia lelah mengedarkan pandangan dengan mata yang menyipit. Salahnya sendiri memang karena tidak membawa kacamata, sedangkan contact lens yang semula dipakai menimbulkan iritasi. Sepertinya hampir kedaluwarsa, tetapi ia kerap mengabaikan aturan pemakaian itu. Sangat tidak patut dicontoh.

Gadis yang mengepang rambutnya di kedua sisi itu kembali menyalakan ponsel dan membuka pesan Sean yang ia terima sepuluh menit lalu. Lyn mengamati posisi tempat duduk yang dikirimkan padanya tanpa berkedip. Sayang, mau menatap seberapa keras pun, ia tetap mendengkus dan geleng-geleng. Raut wajahnya seketika memerah, bahkan celana kainnya sudah dicengkeram kuat saking kesalnya.

" 'Sebelah pintu kaca, deket penjual snack, jalannya nggak jauh dari rak buku-buku psikologi.' Iya, tapi yang mana? Jajarannya panjang, woy!" Lyn refleks berteriak frustrasi.

Sontak seluruh mata tertuju padanya. Sebenarnya tidak ada yang menegur, apalagi menyumpahinya macam-macam karena terlalu berisik di tempat keramat seperti ini. Namun, cukup dengan tatapan sinis tersebut, Lyn memamerkan senyuman manisnya lalu membungkuk kecil. Ia juga menyatukan kedua tangan dan memohon maaf. Mulutnya memang kurang ajar. Ia paham sekali. Untuk kali terakhir, Lyn sedikit tertawa receh dan mempercepat langkah agar terhindar dari penunggu buku tebal yang amat menyeramkan itu.

"Makanya kalau ke perpustakaan itu keliling-keliling ke sektor ginian, Lyn. Jangan numpang nyari Wi-Fi doang. Bingung, kan, lo sekarang nyarinya." Lyn berbicara pada dirinya sendiri. Selain bodoh, ia juga kurang waras. Sangat lengkap.

Setelah mempertanyakan tempat yang ada di foto pada orang asing, gadis yang memakai atasan lengan pendek bercorak pink-blue pastel itu keluar menuju outdoor perpustakaan. Ia menelusuri setiap penjual makanan ringan yang ada di pinggir sambil celingak-celinguk, mencari keberadaan Sean yang sudah menunggunya sedari tadi. Gusar di dadanya pun longgar dan ia bisa bernapas lega saat berhasil menemukan sosok yang antusias melambaikan tangan ke arahnya.

"Duduk dulu. Aku pesan minum. Mau apa?"

Pandangan Lyn tak beralih pada setumpuk komik yang diikat menggunakan tali rafia. Sejak melihatnya dari kejauhan, meski buram dan tidak jelas, ia sudah cengar-cengir sendiri. Bahkan, senyumnya sampai kini belum pudar dan itu membuat Sean gemas tak karuan. Namun, karena tidak ingin menyentuh sembarangan tanpa izin, lelaki itu mengetukkan jarinya di meja depan Lyn agar sang lawan bicara menyadari keberadaannya.

"Eh, iya, Kak?" Lyn tergagap dan refleks mendongak.

"Mau minum apa?"

"Minum? Apa aja, deh."

"Oke." Sean tersenyum lalu bergegas membeli dua minuman kemasan.

Lyn bertepuk tangan gemas. Sudah lama ia mengincar seri yang sekarang ada di hadapannya. Memang tidak langka, hanya saja uang di kantongnya meronta-ronta dan ia lebih memprioritaskan bedak dan gincu. Ditambah, ibunya tidak pernah memberi lampu hijau saat ia merengek meminta pacar gepeng kesayangannya itu. Alhasil, ia seringkali mojok di toko buku lalu berkeliling mencari komik yang bungkusnya telah terbuka.

Sampai akhirnya Sean menawarkan semua ini padanya secara cuma-cuma. Sungguh sogokan first date yang no kaleng-kaleng.

"Kamu suka dark chocolate, kan?" Sean menyodorkan salah satu minuman yang ia beli.

"Kakak tau dari mana?"

"Feeling aja, soalnya pas party kemarin kamu paling nggak selera sama gelas yang kubawa."

Lyn menggigit bibir. "Sori, Kak, nggak bermaksud."

"Santai aja. Cuma minuman." Sean membenahi kacamatanya, kemudian teringat akan janji yang ia umbar semalam. "Oiya, ini komik yang kamu cari. Kira-kira terlalu berat, nggak?"

"Makasih, Kak. Enggak, kok. Nanti saya taruh bawah aja. Motor matic. Gampang."

"Oke. Kalau ternyata susah, jangan sungkan bilang. Aku bawa mobil tadi."

Lyn tersenyum kaku--seperti dipaksa. "Makasih, Kak. Dipinjemin aja saya udah seneng banget, kok. Nggak perlu repot-repot yang lain."

"No, no, no," Sean menggeleng, "itu buat kamu. Aku udah selesai baca semuanya dan nggak berniat ngoleksi. Rak bukunya nggak muat. Jadi daripada dibuang, kamu aja yang simpan."

"Serius, Kak?" Mata Lyn berbinar-binar.

"Iya."

"Nggak ada tukar tambahnya, nih?"

Sean mengangkat sudut kiri bibirnya. "Aku nggak pamrih. Tapi kalau kamu mau ngasih sesuatu, aku terima dengan sepenuh hati."

Lyn tampak berpikir. "Em, Kakak lagi butuh apa? Barangkali saya bisa bantu cariin."

"Nggak ada. Cuma kalau nggak keberatan, temenin aku aja gimana?"

"Temenin ngapain?" Lyn mendadak curiga. Ia bahkan memundurkan badan dan itu membuat Sean tertawa kecil.

"Ya temenin di sini. Aku ada kelas satu jam lagi, tapi males balik. Sendirian nggak enak. Lagi males baca juga. Mau, kan?"

"Oh, kecil ternyata. Oke, lah. Saya kebetulan lagi kosong, kok."

"Syukurlah, kalau jodoh emang nggak ke mana, ya."

Ck, mulai lagi, batin Lyn. Ia lekas meminum olahan cokelat yang teramat pahit, lalu memalingkan muka. Sean hanya tersenyum dan menopang dagu, mengaduk-aduk minumannya menggunakan sedotan seraya memandangi wajah Lyn. Detik berikutnya, lelaki itu menunduk karena perubahan rona yang memerah secara tiba-tiba. Sean mengalihkan fokus dengan merapikan buku-buku yang dipinjam sebelum duduk di tempat ini.

"Anak Sosiologi belajar perang dunia juga, Kak?" tanya Lyn saat membaca judul bahasa Inggris yang dicetak tebal pada sampul.

"Oh, ini punya Hans. Tadi dia minta dicarikan literatur."

"Kenapa nggak Kak Hans sendiri yang nyari?"

"Ada kelas. Lagian aku sering ke sini, jadi sekalian aja."

"Oh gitu." Lyn manggut-manggut.

Di tengah percakapan itu, ponsel Lyn menyala sekian detik sebab ada notifikasi yang masuk. Berkat posisinya yang terkapar di atas meja, Sean bisa melihat pesan apa yang nangkring paling atas di layar tersebut. Laki-laki itu lekas mendekatkan wajahnya ke arah Lyn dan tersenyum lebar. Hidung tinggi nan proporsional dan alisnya yang tebal sempat membuat Lyn menahan napas.

"Kamu baca Webtoon?"

"Eh? Iya. Kakak juga?"

Lyn tampak sedikit terkejut. Awalnya ia berpikir lelaki seperti Sean hanya menyukai buku-buku filosofis yang sangat tebal dan membosankan--terlihat dari bagaimana ia membahas tugas Antropologi beberapa hari lalu. Namun, di satu sisi hal ini tidaklah aneh. Nyatanya Sean memiliki koleksi komik yang bukan main jumlahnya.

Lelaki berwajah bule itu mengangguk semangat. "Suka genre apa?"

"Apa aja, sih, tapi lebih sering baca fantasi dan aksi."

"Sama, dong."

"Iya? Wih, saya jarang nemu yang satu selera. Kebanyakan suka romance dan horor. Kakak lagi baca apa?"

Sudah lama Lyn tidak menggebu-gebu saat membahas hal ini. Alasan pertama, Becca tidak pernah memahami ketampanan paripurna cowok 2D dan selalu meremehkan mereka karena mustahil digapai. Alasan kedua, Becca juga tidak pernah memahami betapa asyiknya mengimajinasikan fantasi di luar nalar dan menganggap mau sebagus apa pun itu tetaplah tidak nyata. Alasan ketiga, mungkin Becca tidak menyukai hobinya saja, tanpa kondisi khusus.

"Saya juga suka itu, lho, Kak. Sayang banget belum ada sepuluh chapter, eh kreatornya hiatus."

"Iya, padahal dari seri Hybe yang lain, art-nya Dark Moon yang paling kece."

"Ih, Kakak benar-benar saya banget, deh. Art lainnya juga kece abis, sih, cuma yang ini, tuh, kayak another level. Cakep parah."

"Tapi kalau dari segi story line, aku paling suka sama Star Seekers. Kamu?" Sean bertanya sambil menatap Lyn. Bahkan saat meminum pun, ia tetap memandangi gadis itu.

"Em, bingung, sih. Soalnya 7Fates: Chakho juga bagus. Saya suka selipan budaya Korea-nya."

"Kalau Dark Moon, sukanya kenapa? Selain karena ilustrasinya."

"Seru. Satu cewek dikelilingi tujuh vampir, belum terhitung werewolf dari sekolah sebelah. Saya juga penasaran dia sebenarnya makhluk apa. Belum bisa nebak. Terus ...."

Lyn lantas berbicara tanpa henti. Sean sama sekali tidak menyelanya, padahal ia juga tahu betul akan cerita yang dimaksud. Mereka benar-benar mendalami peran masing-masing. Lyn dengan ribuan kosa kata ketika bercerita dan Sean dengan sejuta diamnya dalam mendengarkan. Lelaki itu cukup merespons seadanya. Tertawa saat Lyn berusaha melucu, mengangguk saat Lyn mengharapkan validasi, dan tersenyum saat Lyn mengakhiri ceritanya dengan hal yang sama.

"Lyn, tau kapan kamu terlihat paling cantik, nggak?" tanya Sean tiba-tiba.

Gadis yang menggoyangkan kedua kakinya itu menggeleng. "Pas kelar dandan, mungkin."

"Itu juga cantik. Tapi menurutku, masih ada yang lebih cantik."

"Kapan emang?" Lyn kemudian menghabiskan minumannya.

"Tadi," jawab Sean seraya tersenyum. "Pas cerita apa yang kamu suka, kamu cantik banget."

"Makasih, Kak."

Lyn menunduk. Ia memainkan pita rambutnya tanpa sadar. Hening pun mengambil alih percakapan mereka. Keduanya sama-sama terdiam setelah berulang kali kata 'cantik' disebutkan. Lyn tampak mengentak-entakkan kakinya dan mengulum bibir. Tubuhnya tidak bisa diam, entah mengapa.

Hingga tak terasa satu jam berlalu dan Sean harus masuk kelas. Sebelum pergi, lelaki itu kembali menawarkan bantuan berupa membawa komik ke rumah Lyn. Agaknya sekaligus modus. Namun, Lyn konsisten menolaknya karena bisa berusaha sendiri. Lagi pula, ia tidak mau menjadi alasan kakak tingkatnya itu absen dari perkuliahan.

"Kalau gitu, aku pergi dulu, ya."

"Oke."

Sean lekas beranjak bersama buku-buku yang ia pinjam. Namun, belum sampai tiga langkah, ia kembali berbalik dan berhenti tepat di depan Lyn.

"Kenapa, Kak?" Gadis itu tentu bingung.

"Kapan-kapan ke toko buku bareng, mau?"

Perlahan, sedikit ragu, Lyn mengangguk. "Boleh."

"Yes, oke. Sekarang aku beneran cabut ke kelas." Sean sedikit tertawa karena Lyn menertawakannya pula. "Dadah, Cantik."

"Hati-hati."

Lyn menghela napas panjang dan mendongak, bersandar pada pinggiran kursi. Ia menatap langit yang tak seberapa terik, berharap sinarnya menjadi alasan baru mengapa mukanya merona tak karuan seperti ini. Gadis itu lekas mengusap wajah dan meraih ponsel yang terus bergetar. Tanpa memedulikan siapa peneleponnya, ia menerima panggilan tersebut.

"Ha--"

"Udah nggak ganggu nge-date-nya, kan? Bisa baca chat, nggak?"

Lyn lekas menautkan alis dan buru-buru menjauhkan ponselnya. Ia lantas membaca nama yang tertera dan sontak menelan ludah saat menyadari sesuatu. Ia telah melupakan hal penting.

"Sori, Kak. Saya otw, ya."

DAY 6
6 Juli 2022

Ada yang hobi baca juga kayak Sean?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top